BAB 18
"Eh, apa-apaan lo, Pita!" ujar Bagas sambil menahan tangan Pita yang hendak mengeluarkan beberapa lembar kartu dari barisan remi yang ada di genggamannya. "Tahan dulu. Nggak ada warisan dari Galang untuk lo. Gue bisa balas," lanjutnya sambil mengeluarkan dua kartu as, menimpal dua Jack yang dikeluarkan Galang sebagai kartu terakhirnya.
"Ish, sialan bener lo, Gas," sungut Pita sambil berdecak sebal. Gadis itu memandang sisa kartu yang ada di tangannya. Masih ada tiga, sementara Bagas memegang empat. Ini benar-benar antara hidup dan mati. Pita berdoa dengan sungguh-sungguh untuk tidak kalah lagi di babak kedua Poker sore ini.
Seluruh orang yang turut dalam permainan memerhatikan Bagas dengan saksama. Dilihatnya tangan kanan laki-laki itu menarik satu kartu dan meletakkannya di atas tumpukan kartu sebelum-sebelumnya. Tidak ada yang spesial, hanya satu kartu berangka tujuh yang kemudian bisa Pita balas dengan kartu Queen.
Setelahnya, Bagas mengeluarkan kartu berangka dua, dibarengi dengan dua kartu sisanya yang masih ia miliki, yaitu kartu berangka empat. Senyum lebar lantas mengembang di wajah Bagas. "Gue menang. Lo pilih truth or dare?" katanya.
"Anjir gue nggak dikasih menang. Dasar laki pada berengsek," balas gadis itu sambil tertawa-tawa. "Ya udah, truth sekarang. Tadi kan udah dare, dan gue nggak bodoh buat dipermalukan sama kalian untuk kedua kalinya."
Tiga laki-laki lainnya saling tatap, seolah saling memberi kode satu sama lain. Sementara Pita terdiam menantikan ketiganya mengajukan pertanyaan.
"Lo dulu aja, Ras. Kan lo yang menang," ujar Galang, yang kemudian disetujui dengan anggukan oleh Bagas.
Arras yang mendapatkan kesempatan pertama untuk bertanya mengangguk, tidak keberatan dengan beban yang dilimpahkan kepadanya. Sesaat laki-laki berambut panjang itu berpikir, sampai keputusannya bulat untuk bertanya, "Sebenernya lo suka sama siapa, Pit?"
Terasa seperti disambar petir, senyum Pita luntur dalam sekejap. Gadis itu langsung geming. Jantungnya berdebar kencang sekali. Dalam hatinya sendiri Pita bertanya, kenapa harus pertanyaan seperti ini, dan kenapa Pita jadi rugi double hanya karena kalah secara berturut-turut?
"W...aw." Refleks Galang merespons dengan gumam, membuat Pita langsung menoleh kepada laki-laki yang duduk di sebelah kanannya itu. Pita benar-benar ingin teriak meminta pertolongan kepada Galang.
"Eh pinter banget lo, Ras, asli. Gue juga penasaran, cuy!" ujar Bagas yang entah bodoh entah polos. Ujaran itu sukses membuat Arras jadi semakin percaya diri karena memiliki pendukung. "Berapa cowok yang udah lo tolak, Pit, masalahnya. Emang tipe lo yang kayak siapa? Sabi kan, ya, Ras, kita bantuin Pita sama doi?"
Arras hanya terkekeh sambil mengangguk pelan. Pita merasa semakin stres diserang begini. Dua lawan satu. Ditambah Pita tidak bisa berbohong karena Galang sudah tahu jawaban sebenarnya.
Dengan begitu berat, diiringi debar jantung yang tak keruan, setelah tarikan napas panjang, Pita menjawab, "Sama ... Arras."
Semua orang lantas diam. Termasuk Galang yang sangat tidak menyangka Pita akan memberikan jawaban dengan jujur. Arras tak memberikan respons apapun sebab kelewat bingung, pun dengan Bagas yang tiba-tiba merasa bersalah sebab sudah mendukung Arras.
Sedetik selanjutnya, cengiran Pita tampak. "Ehehe. Sori ya, Ras," tuturnya. Dalam sekejap, seakan sudah hilang gugup, gadis itu langsung asyik. Tatapannya yang semula tertuju pada Arras, selanjutnya teralihkan ke Bagas dan Galang. "Masih ada pertanyaan, nggak? Kalau nggak, kartunya gue kocok, ya," lanjut Pita sambil mengumpulkan kartu remi yang bersepah di tengah. Segera gadis itu merapikannya dan mengocok kartu.
Tidak ada yang merespons selain dengan anggukan. Tidak ada yang mau mengajukan pertanyaan lagi. Arras adalah yang pertama dan terakhir. Permainan pun kembali dimulai begitu tiga belas kartu sudah didapatkan masing-masing pemain.
Garing adalah satu kata yang sekiranya tepat untuk menggambarkan babak ketiga permainan. Tidak ada lagi obrolan asyik dan saling balas ejek. Semuanya mendadak serius saling balas kartu, sampai ditentukannya pemenang pada babak ketiga.
"Yes! Gue akhirnya menang!" seru Pita penuh antusias sambil mengeluarkan tiga lembar kartu Jack, yang mana adalah kartu terakhir di tangannya. Akan tetapi, respons tiga laki-laki lainnya tak seantusias Pita.
Suasana benar-benar berubah.
Dan Galang memutuskan untuk menghentikan permainan. "Ini last, ya. Gue mau pulang," katanya. "Lo mau pulang sama gue, Pit?"
Dengan anggukan, Pita antusias merespons. Seperti tidak terjadi apa-apa pada Pita. Gadis itu juga tidak membicarakan apapun di sepanjang jalan pulangnya dengan Galang, sementara Galang terlalu ragu untuk memulakan topik.
"Kalau dipikir-pikir, tolol juga gue ya," ejek Pita pada dirinya sendiri setelah hampir setengah jam diam di sepanjang perjalanan. Galang tak serta-merta merespons, melainkan hanya memutar sedikit spion kirinya untuk lebih jelas melihat ke arah Pita. "Tadi gue cuma mikir, gua tuh takut lo bilang gue bohong kalau gue nggak nyebut nama Arras."
Galang terkekeh pelan. "Gue nggak sejahanam itu kali, Pit," ujarnya. "Tapi ya udah telanjur juga lo ngakuin itu. What you gonna do, Pita?"
Balik menatap Galang melalui kaca spion, Pita menggeleng. "Nggak ada, Lang. Mungkin nggak ada sama sekali selain gue bakal jaga jarak sama Arras," katanya.
"Kenapa harus jaga jarak?"
"Y ... ya, malu lah. Gue menyatakan perasaan gue gitu aja, Lang. Di depan orangnya langsung. Di depan lo, di depan Bagas, di depan anak-anak lainnya," balas Pita. "Emangnya lo nggak malu kalau nyatain perasaan, terus dia nggak ngerespons apapun kayak Arras tadi?"
Galang bergumam panjang. Sesaat laki-laki itu diam dan fokusnya kembali ke jalan raya. "Gue suka sama lo," aku Galang tiba-tiba. Pita tak berkutik. Gadis itu justru mengangkat sebelah alisnya saking heran. "Nggak ah, gue nggak malu tuh walaupun lo nggak ngerespons apa-apa."
Detik selanjutnya Pita tertawa. Dipukulnya helm yang Galang kenakan di kepalanya. "Apaan sih, anjir! Aneh banget lo sumpah!" cemoohnya sambil terus tertawa. Galang ikut tertawa, menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya Galang sedang berkata jujur, seperti Pita yang tadi berkata dengan jujur di depan Arras.
Tak lama, tibalah motor Galang di depan pagar rumah Pita. Gadis di jok belakang lekas turun dan melepaskan helmnya, kemudian pamit untuk segera masuk ke rumah. Galang hanya mengangguk seraya menunggu Pita sampai benar-benar masuk dan aman. Selanjutnya Galang beranjak pulang.
Tiga telepon tidak terjawab dan satu pesan masuk menyambut kepulangan Galang. Itulah yang Galang lihat ketika ia baru saja menginjakkan kaki di rumahnya dan lantas meraih ponsel di saku celananya. Telepon dan pesan yang seluruhnya datang dari nama Arras.
Terlebih dulu Galang membuka pesan dan membalasnya.
Arras : Pita bercandanya gila juga ya anjir.
Galang : Wkwkwk kayak baru kenal lo.
Galang : Kenapa nelepon Ras?
Seolah tak peduli balasan lanjutan dari Arras, Galang meletakkan ponselnya dan segera membersihkan badan. Seselesainya, justru bertambah yang mengirimnya pesan. Bukan hanya Arras, melainkan Pita yang tampaknya panik setengah mati sebab Arras mempertanyakan kejujurannya ketika bermain tadi.
Dan belum sempat Galang membalas satu pun dari mereka, Pita menelepon duluan. Mau tidak mau Galang mengangkat teleponnya dan mendengar Pita kali ini serius panik.
"Lang, sumpah Arras percaya ya? Dia nanya ke lo nggak sih? Soalnya dia tau kalau lo tau gue suka sama siapa!" ujarnya begitu tergesa-gesa. Galang masih diam, mencerna tiap kata-kata yang keluar dari mulut Pita. "Dia masa nanya gini, 'Pit, lo bercanda apa serius? Jadi nggak enak gue kalau lo serius.'"
Galang menjawab dengan enteng, "Dia chat gue kok. Dia bilang Pita bercandanya gila juga. Terus ya gue bilang aja, kayak nggak kenal Pita."
"Lang sumpah gue mau mundur aja, malu banget anjir," aku Pita.
"Ya ... terserah lo sih. Gue nggak mau ngasih saran lo mundur atau tetap berjuang," balas Galang. "Eh tapi selama ini lo nggak pernah berjuang juga, sih."
"Iya emang terserah gue. Dan pokoknya lo jangan mancing-mancing gue ya, Galang. Biarin Arras sama Leana," kata Pita. "Udahlah, gue mau mandi dulu."
Galang hanya mengangguk, meski tahuPita tidak akan melihatnya. Telepon lantas diakhiri oleh Pita, namun Galangbertutur, "Dan biarin lo sama gue, Pit."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro