Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 16

Satu gelas berukuran venti jadi satu-satunya barang yang ada di atas meja. Leana baru tiba di Starbucks PIM, duduk di sebelah kaca yang memberikan pemandangan jalan raya. Tempat favorit Leana dan Kallan entah sejak kapan. Dua menit gadis itu duduk tanpa menyentuh minumannya, Kallan kemudian datang setelah memesan Asian Dolce Latte favoritnya.

Laki-laki itu menyapa dengan senyum, sementara Leana hanya diam memandanginya. Tanpa menunggu perintah, Kallan meletakkan minumannya di atas meja lalu duduk di depan Leana.

It's been awhile, pikirnya.

"Jadi ... apa kabar, Ya?" tanya Kallan. Leana tak bersuara. Gadis itu hanya tersenyum tipis sebagai jawaban yang mewakili kata baik-baik saja. "Gue minta maaf banget buat yang waktu itu. Terus, sekarang ... siapa yang mau cerita duluan?"

"Lo aja," jawab Leana singkat. Dalam hatinya ia menaruh keyakinan penuh bahwa dirinyalah yang unggul perjalanannya. Sebab, ya jelas saja, kan? Kallan dan Thania pasti hanya bermain game, game, game, makan siang bersama, pulang bersama, dan diulang dari awal. Sementara Leana kini mulai terlibat dalam beberapa proyek fotografi Arras, dan membantunya beberapa hal kecil sebagai asisten dosen.

Senyum Kallan mengembang. Sejenak laki-laki itu menyesap minumannya, lalu melipat kedua tangannya di atas meja. Tatapannya menyorot lurus ke Leana. Dengan suara jernih dan lembut, Kallan bilang, "Gue jadian."

Seperti disambar petir rasanya bagi Leana. Kallan hanya menyebutkan dua kata, tapi sukses merenggut segala ide di otak Leana untuk meresponsnya. Bagaimana bisa secepat ini? Kallan dan Leana sempat renggang karena keributan beberapa waktu silam, tapi kenapa ketika kembali, Kallan justru sudah jadian dengan gadis itu?

"Gue mau bilang sama lo dari kemarin kalau gue pengin nembak Thania, tapi lo nggak sedikit pun mau dengerin gue. Jadi, ya ... gimana lagi? Gue akhirnya ambil keputusan sendiri," terang Kallan.

Senyum Leana mengembang tipis sambil kepalanya terangguk-angguk pelan. "Selamat ya," tuturnya. Seketika semangatnya runtuh berantakan. Segala kata-kata yang sudah dirancangnya dengan apik untuk membuat Kallan tertegun, kini bersepah tak keruan. Leana tidak bisa menceritakan apapun sebab telah kalah.

Seolah tidak peka dengan ekspresi Leana, Kallan mengangguk semangat. "Makasih loh, Ya. Lo sendiri gimana? Kayaknya semakin hari juga semakin nempel kayak lem aibon. Memabukkan ya, Bang Arras?"

Seharusnya Leana tertawa mendengar lelucon tersebut dari mulut Kallan. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Gadis itu tetap diam dan memandangi Kallan yang tengah tersenyum-senyum hampir tertawa.

Setelah hening menyerbu, baru Leana menjawab pertanyaan Kallan dengan begitu lesu, "Gue nggak ada perkembangannya, Kal."

"Bohong banget," tukas Kallan cepat, dengan harapan Leana akan tertawa dan lantas mengatakan yang sejujurnya setelah itu. Namun harapan Kallan kandas. "Lo aja sampai suka pulang bareng dan diminta bantuin ini itu di mata kuliah fotografi, kan?"

Leana mengangguk. "Tapi ya sebatas jadi asistennya asdos, Kal. Nggak lebih. Nggak seunggul elo yang bahkan udah jadian sama Thania padahal kalian cuma main game bareng," balas Leana. Kian ke sini nada bicaranya kian meninggi. Leana merasa dirinya begitu berapi-api. Terbakar cemburu yang begitu panas ... mungkin.

"Ya ... kan setiap orang beda-beda perjalanannya, Ya. Nggak usah patah semangat, lah. Kan kita udah perjanjian dari awal kalau bakal saling bantu sampai dua-duanya jadian. Walaupun gue pacaran sama Thania, gue bakal tetap bantuin lo sampai jadian sama Bang Arras, Ya," ujar Kallan yang kemudian ditutup dengan segaris senyum lebar. Laki-laki itu mengacungkan kelingkingnya di atas meja. "Gue janji, Ya," katanya.

Samar-samar senyum Leana ikut mengembang. Gadis itu menautkan kelingkingnya kepada Kallan. Menit-menit kembali bergulir dibarengi dengan emosi Leana dan Kallan yang stabil. Leana mulai menceritakan semua perkembangan pendekatannya dengan Arras.

Sampai matahari terbenam, sampai langit menggelap, baru keduanya beranjak dari kursi Starbucks saking keduanya asyik bercerita tentang hubungan masing-masing. Sejujurnya Leana senang Kallan kini sudah jadian, sehingga Leana sudah tidak perlu repot-repot memikirkan rencana apa yang harus Kallan jalani untuk mendekati Thania.

Meskipun jauh di dalam hatinya, Leana merasa kalah telak. Kalah sebab Kallan sudah jadian duluan. Padahal semua ini adalah idenya sendiri, tapi Leana justru tidak bisa memenangkan persaingan.

-=-=-=-

"Eh, sori. Gue udah ada janji sama Lea."

Untuk yang ketiga kalinya dalam satu pekan ini, itulah yang keluar dari mulut Arras ketika Pita dan Galang mengajaknya sekadar nongkrong di Lapangan Katsu sampai malam, atau di restoran fast food terdekat dari kampus.

Pada akhirnya Pita dan Galang hanya akan menghabiskan waktu berdua selama Arras menyibukkan dirinya dengan Leana. Seperti sore ini pun, di saat Pita, Galang, dan beberapa teman seangkatan lainnya berkumpul di Lapangan Katsu, Arras mangkir. Laki-laki itu sudah beranjak dari kawasan kampus sejak tiga puluh menit lalu, bersama Leana.

Selama tiga puluh menit pula Pita masih terbengong sambil terus bersandar ke punggung Galang dan memeluk lututnya. Pandangannya mengarah ke langit yang kian lama berubah warna ke oranye.

"Pit, lama-lama berat anjir," ujar Galang sambil menggoyangkan tubuhnya agar Pita berhenti bersandar padanya. Pita tak berkutik. Gadis itu tetap mempertemukan punggung Galang dengan miliknya. "Galauin apa lagi sih?" tanya Galang sambil menoleh ke belakang. Dilihatnya Pita merespons dengan gelengan kepala singkat.

"Lang," panggil Pita lembut. Gadis berambut blonde dengan panjang sedada itu melepaskan punggungnya yang melekat di Galang. "Pulang, yuk," ajaknya sambil merapikan ponsel dan headphone-nya ke dalam tas. Gadis itu berdiri dari posisinya, menunggu Galang turut berdiri. Semua pasang mata menatap Pita. Tidak biasanya gadis itu mengajak Galang pulang secepat ini.

"Nggak kurang malam, Pit? Liat tuh kopi senjanya si Farel belum habis. Bagas juga belum mulai nyanyiin lagu-lagunya Hindia, kali," balas Galang diiringi tawa, yang disambut tawa lagi oleh teman-teman di sekelilingnya. Namun Pita diam. Gadis itu tidak memberikan respons apapun selain wajah datarnya yang masih menatap Galang. "Oke, ayo pulang."

Lekas Galang meraih ranselnya yang tergeletak di atas rumput. Laki-laki itu segera pamit kepada seluruh teman-temannya yang masih bersenandung ria diiringi gitar yang ditekuni Bagas sejak tadi.

Dalam perjalanan pulang, Pita tidak bicara apapun. Berkali-kali Galang mengajaknya bicara dan mencari topik yang biasanya Pita gemari, namun berkali-kali pula Galang tidak mendapatkan respons apapun.

Hingga pada akhirnya Galang menyerah. Laki-laki itu tidak bersua lagi. Atensinya tersita pada jalan raya di depannya, tujuannya kini hanyalah rumah Pita. Galang harus segera mengantar Pita pulang.

"Lang."

Entah setelah berapa menit Galang dan Pita saling diam, Pita akhirnya memecah hening. Galang bergumam meresponsnya. Keduanya kemudian bersitatap melalui spion kiri. "Menurut lo, wajar nggak sih, kalau kita ini plin-plan sama perasaan kita sendiri?"

"Gimana, Pit?" respons Galang. "Sori, sori. Gue nggak fokus."

"Di satu hari gue suka sama Arras dan imagining dia bakal jadi milik gue selamanya, Lang," ujar Pita. "But in another day, gue bakal kayak ... Arras ya Arras. Gue tau dia bakal selamanya jadi temen gue seperti lo. That's why gue nggak pernah mau mengakui ke Arras kalau gue suka sama dia, Lang. Selain gue takut Arras nggak anggap itu serius, gue juga takut...."

Curahan hati Pita menggantung di sana. Gads itu memutus omongannya begitu saja, membuat Galang serta-merta menoleh ke spion lagi, memandangi Pita. "Takut apa?" tanya Galang dengan hati-hati.

Pita diam. Kedua matanya menyorot ke arah yang sama dengan Galang. Keduanya saling tatap melalui spion dengan Galang yang sesekali mengalihkan pandangannya ke jalan raya. Pita tersenyum tipis. "Gue takut merusak pertemanan gue sama Arras. Sayang, kan, kalau gue nggak dapet jadi temen hidupnya, dan nggak dapet juga jadi sahabatnya?"

Galang memilih untuk tidak berkata apapun. Tidak ada solusi yang terpikirkan di dalam benaknya. Justru Galang mencari-cari solusi dari permasalahan yang sama. Sejak empat tahun silam ketika ia pertama kali menyukai gadis yang kini duduk di jok belakang motornya.

Cristapitara Arisa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro