Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 13

Kallan berdecak sebal sambil meremas ponsel dengan hardcase hitam yang ada di tangannya. Kalau lepas kendali, hampir saja laki-laki itu membanting benda kecil tersebut ke lantai. Pasalnya, sudah tiga jam berlalu sejak keributannya mencuri perhatian seisi kelas, dan Leana belum terlihat lagi batang hidungnya. Apa gadis itu benar-benar marah sampai tidak mau hadir di kelas selanjutnya hari ini?

Sejak kemarin malam, Leana masih memblokir kontak Kallan. Selain itu, Leana juga masih tidak mau menggubris tiap-tiap direct message yang Kallan kirimkan di Instagram.

"Kal, lo nggak mau tanggung jawab nih buat nyari Leana?" tanya Gigi, salah satu teman sekelasnya. To the point sekali, dan Kallan hanya bisa diam tanpa kata apapun. "Kalian kenapa, sih? Putusnya nggak baik-baik, ya?"

Kallan masih tak berkutik di kursinya. Pandangannya menyorot lurus kepada Gigi yang duduk di kursi depannya, dan kini balik badan untuk menghadap ke Kallan. Ketimbang merespons pertanyaan Gigi—yang sudah Kallan pastikan hanya dilandasi rasa penasaran—Kallan lebih memilih untuk tetap diam. Lima detik sekali laki-laki itu membuka Instagram, mengecek apakah ada pesan masuk dari Leana atau tidak.

Sejauh ini sampai selang tiga puluh menit, tidak ada. Pesan Kallan pun tidak dibaca. Akan tetapi, di menit setelahnya, Leana hadir. Gadis itu masuk ke kelas dan lantas jadi pusat perhatian. Semua orang memandangnya, dan beberapa di antaranya langsung menawarkan tempat duduk. Tiba-tiba Leana jadi rebutan.

Gadis berambut sebahu itu tak merspons satu pun tawaran tersebut. Justru ia memilih untuk duduk di kursi paling depan yang jarang ditempati siapapun kecuali dalam keadaan-keadaan mendesak.

Selanjutnya tidak ada yang berani menyapa Leana. Bahkan Kallan. Laki-laki itu bisa membaca dengan jelas raut wajah Leana. Masih sama kusutnya dengan tadi pagi ketika keduanya berkelahi. Matanya semakin sembab, meski tidak begitu terlihat sebab polesan make up yang menempel di wajahnya.

Fokus Kallan kepada Leana lekas beralih ketika akhirnya dosen mata kuliah filsafat seni melangkah memasuki kelas. Sapaannya sukses membuat ruangan hening seketika. Semua orang kembali pada kursinya masing-masing, dan Pak Dandi, dosennya, pun mulai membawakan materi.

Namun, di pertengahan penjelasannya, kalimatnya terinterupsi. Satu-satunya pintu di dalam ruangan tersebut diketuk dan dibuka setelahnya. Seorang laki-laki dengan kemeja beige polos, celana pendek hitam dan sepatu Converse hitam, berjalan dengan cengiran kecil. "Maaf Pak, terlambat. Saya baru tau kelasnya di sini," ujarnya sambil melangkah untuk menyalami Pak Dandi.

"Loh kamu kenapa ambil kelas saya? Kamu kan angkatan 2016? Kemarin-kemarin kenapa nggak masuk?" tanya Pak Dandi bertubi-tubi.

"Iya, Pak. Ngulang, hehe. Saya baru ganti KRS minggu lalu, makanya ini baru tau," balasnya.

Tak mau berlama-lama, Pak Dandi lantas menyuruhnya duduk, dan laki-laki itu gegas menentukan tempat duduknya. Tepat di sebelah Leana. "Boleh duduk sini, kan?" bisik Arras begitu mengistirahatkan dirinya di kursi.

Seketika wajah cemberut Leana memudar. Segaris senyum terbit di wajahnya, menyambut kedatangan Arras di kursi sebelahnya. Selanjutnya Pak Dandi meneruskan materi perkuliahan hingga usai. Kelas bubar dengan sendirinya.

Sebelum Arras sempat pergi, Kallan sudah berniat untuk menghampiri Leana di kursinya, kembali meminta maaf perihal keributannya tadi pagi dan janjinya yang ia ingkari kemarin sore. Namun, kabar buruknya adalah ketika Kallan bangkit untuk mendekat kepada Leana, gadis itu turut bangkit dari kursinya bersamaan dengan Arras.

Tanpa pamit kepada seisi ruangan, keduanya melengang begitu saja keluar dari ruangan, jalan seiringan. Kallan geming memandangi Leana yang semakin jauh dan hilang di balik pintu kayu yang tertutup dengan sendirinya.

Laki-laki itu tidak punya kesempatan sore ini. Pulang ke rumah dengan hasil nihil, dan harus menghabiskan Sabtu hingga Minggu dengan sejuta rasa bersalah yang kian lama kian berkembang di dalam hatinya.

Sementara Leana, sore itu bahagia-bahagia saja. Segala bentuk kecewa dan sedihnya surut tepat sejak Arras duduk di sebelahnya. Meski keduanya tidak sengaja beranjak dari kelas secara bersamaan, namun hal itu membuat Leana ingin sekali melonjak girang. Sebab Leana yakin, Kallan tidak akan mengejarnya lagi sore ini karena laki-laki itu pasti sedang dikurung kesalahpahaman.

Ya. Kesalahpahaman bahwa Leana sebenarnya tidak keluar dari kelas bersama Arras. Akan tetapi Leana yakin beribu-ribu persen yakin, bahwa Kallan sedang berpikir kalau Arras dan dirinya sudah punya janji. Padahal keduanya berpisah di pintu utama gedung fakultas. Leana pulang, sementara Arras pergi ke Lapangan Katsu untuk menemui teman-temannya.

"Ciah. Makin deket aja lo Ras," ujar Galang ketika Arras baru saja bergabung dan melakukan high five dengan satu per satu temannya yang duduk melingkar. Arras hanya tersenyum menanggapi ledekan Galang. "Akhirnya satu tahun penantian lo nggak sia-sia, kan?"

Sekali lagi Arras tersenyum. "Apaan sih. Gue nggak nungguin Lea, kali," sangkalnya masih dibarengi dengan cengir salah tingkah. "Kebetulan aja dia lagi jomblo, makanya bisa temenan sama siapa aja."

Sebelum tertawa terbahak-bahak, Galang diam terlebih dulu sambil saling tatap dengan Pita. "Nggak usah ditutup-tutupin, Ras. Kita dari semester satu ke mana-mana bertiga, nongkrong di Katsu tiap sore rame-rame. Masa iya kita nggak bisa baca perasaaan lo?" ujar Galang masih diiringi kekehan. Laki-laki itu kemudian menyikut lengan Pita sambil meminta persetujuan, "Iya nggak, Pit?"

Pita mengangguk mantap, menyetujui Galang. Menanggapi hal tersebut, Arras masih hanya terkekeh-kekeh salah tingkah. "Masih aja lo ngebahas yang tahun lalu."

"Anjir, kocak lo Ras kalau lagi salting!" seru Pita keras-keras sambil terus tertawa. Gegas, Galang membungkam mulut Pita dengan kedua tangannya. Lalu Arras tertawa menyaksikan kedua temannya bertikai di depan matanya.

Semua orang di lingkaran tersebut turut tertawa. Sore lama-kelamaan habis. Matahari melangkah turun, berganti tugas dengan bulan. Kian larut, satu per satu orang bergantian pamit dari Lapangan Katsu. Termasuk Arras yang pada akhirnya memutuskan pulang sebelum pukul tujuh bersama Pita.

"Ras," panggil Pita di tengah perjalanan mereka menuju ke parkiran motor. Arras yang melangkah di depannya bergumam, menoleh kepada Pita yang tak jauh dari posisinya berdiri. "Lo beneran masih suka sama Leana, ya?"

Arras berhenti melangkah, Pita kemudian mendahuluinya. "Emangnya gue kelihatan kayak masih suka sama Lea?" Arras bertanya. Pita hanya mengedikkan bahu sambil terus berjalan menuju motor Arras yang sudah terlihat dekat.

"Nggak ada yang perlu lo tutupin kali, Ras," gumam Pita. "Orang yang lagi jatuh cinta itu kelihatan tingkahnya. Beda. Arras hari ini adalah Arras yang gue kenal ketika dia lagi berbunga-bunga. Persis kayak Arras yang satu tahun lalu."

Mendengar ucapan tersebut, Arras kini kembali menyusul langkah Pita, berjalan di sisinya agar dapat mendengar lebih lanjut omongan sahabatnya yang satu itu. "Pantes lo nggak pernah berubat ya, Pit. Dari dulu nggak pernah suka sama siapa-siapa."

Pita terkekeh. Gadis itu berhenti melangkah dan hendak berbalik untuk kemudian mengurungkan niatnya pulang bersama Arras. Senyumnya mengembang tipis. "Bukan nggak pernah suka sama siapa-siapa, tapi karena dari dulu gue masih mencintai satu orang yang sama, Ras. Nggak pernah berubah sampai sekarang."

"Kok gue nggak tau lo suka sama siapa?" tanya Arras. "Bisa-bisanya ya, ada rahasia yang lo sembunyiin dari gue dan Galang?"

Pita mengedikkan bahunya. Gadis itu kini benar-benar melangkah ke lain arah dengan Arras.

"Mau ke mana?!" tanya Arras dengan setengah berteriak. "Nggak jadi pulang sama gue?"

Tanpa berbalik, Pita berteriak balik pada laki-laki itu, "Nggak! Duluan aja!"

Arras mengernyitkan kening. Kenapa Pita tiba-tiba begini? Mana pernah perempuan itu membuang kesempatan untuk mendapat tumpangan ke halte TransJakarta terdekat menuju rumahnya? Bahkan biasanya, kalau tidak mendapat kesempatan pun, Pita selalu memaksa Arras untuk tetap memberikan tumpangan.

Di samping itu pula, kenapa Arras bisa tidak tahu siapa laki-laki yang Pita sukai?

Detik selanjutnya, meski masih memikirkannya, Arras mencoba menangkis pikirannya. Ia bersikeras untuk tak acuh. Laki-laki itu kembali melangkahkan kakinya menuju motornya yang terparkir.

Tak jauh dari motornya, ada motor yang ia duga milik Kallan. Sebab di sana pun ada Kallan bersama seorang mahasiswa baru yang ia tidak tahu siapa namanya. Lama Arras memandangi mereka sambil mengenakan helmnya.

Apakah ini alasanLeana putus dengan Kallan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro