BAB 12
"Eh, Leana," sapa Galang begitu Leana melangkahkan kakinya di Lapangan Katsu. Leana memperlihatkan senyumnya ketika sapaan tersebut dilontarkan. "Nyari Arras?" Galang serta-merta bertanya. Leana mengangguk malu-malu. "Masih kelas kayaknya. Sini aja, tungguin sambil ngobrol dulu."
Sekali lagi, Leana mengangguk. Gadis itu kemudian bergabung dengan kerumunan kakak tingkat yang lambat laun mulai dikenalnya satu per satu—tidak hanya Pita dan Galang.
Tidak membuang waktu lama, Leana sudah bisa melihat Arras datang. Gadis itu terpaku menatap Arras dengan kaus cokelat, celana selutut dengan warna senada, sepatu Converse semata kaki, serta kemeja flanel kotak-kotak berwarna krem. Benar-benar setelah dan warna khas seorang Arrasya Guntara.
Laki-laki itu menyapa semua temannya, sebelum akhirnya menyadari keberadaan Leana di antara teman-temannya. Arras menyungging senyum paling rupawan, lalu melambaikan tangannya, "Eh, Lea. Udah lama?"
Sementara Leana menjawab pertanyaan tersebut dan Arras lantas mendekat, Pita dan Galang saling tatap seolah tengah berbicara melalui telepati. Akhir-akhir ini Arras dan Leana semakin lengket saja kelihatannya. Arras bahkan bisa-bisanya menyapa Leana dengan begitu ramah. Padahal, sepenglihatan Pita dan Galang, selama ini Arras tidak pernah menyapa Leana.
Atau karena Leana sudah tidak memiliki status apapun dengan Kallan?
"Lucu banget sih," komentar Pita. Galang mengangguk sambil menenggak kopi susu di tangannya. "Gue jadi pengin punya pacar deh, Lang."
Kali ini Galang membelalak, hampir saja menyemburkan kopi dari dalam mulutnya. Laki-laki itu memandang Pita. "Cewek boyish kayak lo bisa pengin punya pacar juga? Mau pacar yang cewek apa yang cowok?"
Menanggapi pertanyaan tersebut, Pita buru-buru menoyor kepala Galang. "Ya yang cowok lah, bego!" serunya kencang, sukses menyita perhatian beberapa orang di sekitarnya, termasuk gerombolan mahasiswa dari fakultas lain. Menyadari hal tersebut, Pita lantas membungkam mulutnya dan sekali lagi menoyor Galang, "Gara-gara lo, nih."
Galang hanya tertawa-tawa menanggapinya, sementara tatapannya kembali kepada Arras dan Leana yang entah sedang bertukar apa di laptopnya. Sedikit banyak mendengar percakapannya, Galang akhirnya tahu kalau Arras sedang meminta tugas fotografi kelas Pak Hisyam.
"Wei, jago juga lo Ras kerjanya. Asisten Dosen kok nyari asisten lagi?" ujar Galang. Kali ini Arras menoleh, namun hanya menyungging senyum tipis sebelum akhirnya kembali menatap ke layar laptop Leana.
Percakapan tersebut tidak dilanjutkan ketika Pita segera bangkit dari posisi duduknya dan meminta Galang untuk menemaninya ke kantin. Arras fokus bicara pada Leana, mengobrol sedikit-sedikit, sampai akhirnya kegiatan menyalin file dari laptop Leana ke harddisk Arras usai. Leana kemudian pamit untuk segera pulang.
Arras sempat ingin mengantarnya karena ingin pulang juga, namun kali ini saja, Leana menolak. Gadis itu memilih untuk pergi sendiri sebab Leana ingat ia ada janji dengan Kallan sore ini. Pukul lima. Leana hanya punya waktu sepuluh menit lagi sebelum pertemuan mereka harusnya dibuka.
Pukul lima lebih sepuluh menit, Leana tiba di Starbucks PIM. Tidak ada Kallan di sana. Sudah biasa. Gegas Leana menuju kasir, memesan satu Asian Dolce Latte untuk Kallan, dan Caramel Coffee Jelly untuk dirinya sendiri. Ini untuk membayar utangnya karena kemarin membatalkan pertemuan secara sepihak setelah Kallan datang.
Selagi menanti kehadiran Kallan, Leana membuka laptopnya di kursi paling pojok yang kosong. Seraya menunggu Kallan, gadis itu menyaksikan film yang tersedia di laptopnya. Di menit-menit pertama Leana merasa aman-aman saja, tapi ... ketika filmnya mencapai menit ketiga puluh, gadis itu mulai resah. Kallan ke mana?
Kallan memang sering terlambat, tapi tidak mungkin selama ini. Bahkan es di minuman yang Leana pesan untuk Kallan sudah mencair sedikit demi sedikit. Gadis itu mencoba mengirimkan pesan-pesan singkat kepada Kallan, menanyakan keberadaannya. Tidak ada jawaban. Telepon-telepon Leana juga tidak mendapatkan respons apapun.
Dua jam.
Selama itu Leana sibuk menyampah di chatroom bersama Kallan, dan selama itu pula Leana tak berhenti menelepon Kallan, sampai akhirnya Kallan menerima teleponnya setelah dua jam tidak memberikan respons apapun.
Laki-laki itu menyapa Leana dengan begitu polosnya. "Oi. Kenapa, Ya? Sampai spam gitu nelepon gue. Penting?"
"Hah?" balas Leana refleks. "Penting? Ya penting lah! Lo di mana coba terlambat dua jam?"
"Terlambat?"
"Lo ada janji sama gue buat ketemuan hari ini ya, Kallan Budiarto bin Budiarto Sutrisno!" balas Leana. "Kan lo sendiri yang memberi kepastian kalau sore ini kita ketemuan, buat ganti pertemuan kemarin."
"Astaga, Leana," balas Kallan lirih. Leana mulai menduga kalimat selanjutnya yang akan Kallan kemukakan. "Sori banget, gue lupa. Sumpah tadi habis kelas gue langsung makan sama Thania, terus sekalian aja deh nganterin Thania pulang. Sori loh ... Ya. Gue bukannya mau ingkar janji, tapi gue bener-bener lupa."
Tahu begini Leana pulang degan Arras tadi sore.
Gadis itu menghela napasnya. "Emang Thania segalanya," tuturnya lirih. "Tau begini gue mending pulang sama Bang Arras aja tadi."
Sambungan telepon diputus seihak oleh Leana. Lekas-lekas gadis itu memblokir kontak WhatsApp Kallan saking kesalnya. Ia menjatuhkan kepalanya di atas keyboard laptopnya. Dua jam yang begitu sia-sia. Harusnya Leana sudah tiba di rumah sejak dua jam yang lalu, dan sudah bisa bersantai sekarang.
Dengan penuh rasa kesal bercampur kecewa, Leana lekas merapikan laptopnya. Gadis itu menyakukan ponselnya, kemudian membawa pulang minuman yang harusnya sudah habis di tangan Kallan. Gadis itu meninggalkan Starbucks tanpa melaporkan dan mendapat laporan apapun bersama Kallan. Sia-sia.
-=-=-=-
Kallan dikepung rasa bersalah. Seharian laki-laki itu mendekati Leana dan meminta maaf, namun yang didapatkannya hanyalah berbagai bentuk penolakan. Leana tidak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan apapun.
"Ya, ya ampun. Maaf, Ya." Itu adalah kalimat yang sama sejak tadi pagi. Entah sudah yang ke berapa kalinya, tapi Leana tetap saja muak. Muak melihat wajahnya, muak pula mendengar suaranya yang begitu memelas. Mungkin Kallan memang menyesali perbuatannya, tapi tetap saja Leanna tidak bisa semudah itu melupakan apa yang sudah dikorbankannya kemarin.
1. Leana sudah mengorbankan waktunya untuk menunggu Kallan,
2. Leana sudah mengeluarkan hartanya untuk menraktir Kallan,
3. Leana sudah menghabiskan tenaga untuk pergi ke Pondok Indah Mall,
4. Leana sudah membuang kesempatan emas untuk pulang bersama Arras!
Poin nomor empat paling penting. Leana sudah menolah Arras demi Kallan, dan Kallan malah mengacaukannya! Mungkin Kallan bisa mengganti uang yang sudah Leana habiskan, bisa pula merencanakan lagi pertemuan pengganti, tapi poin nomor empat, mana bisa Kallan ganti?!
"Ya—"
"Eh, gue muak banget denger suara lo, ya, Kallan," interupsi Leana cepat. Gadis itu akhirnya merespons. Seisi ruangan menyempatkan diri untuk menaruh perhatian meski tidak terlalu lama. "Ini tuh janji yang lo ciptain sendiri. Lo ingkari sendiri. Gue kurang baik apa sama lo, sih? Gue bahkan ngorbanin hubungan kita demi lo sama Thania ya, Kal."
Leana hilang kendali. Orang-orang yang semula sudah memalingkan perhatian, kini kembali mendengar lagi keributan di belakang kelas.
Dan kabar yang lebih buruknya adalah, bukannya menenangkan atau mengaku salah, Kallan justru menimpali, "Gue nggak pernah minta lo ngorbanin hubungan kita, Ya. Lo yang mutusin gue. Itu juga demi Bang Arras, kan? Emang dasarnya lo aja yang juga suka sama dia, dan lo cuma lagi dapat kesempatan buat jadiin gue dan Thania alasan."
Perseteruan kecil itu semakin memanas mengingat tidak ada satu pun yang mau mengalah. Nama Thania dan Arras terus dibawa-bawa, diperdengarkan kepada teman-teman seangkatannya yang tidak tahu-menahu apapun soal telah hancurnya hubungan Kallan dan Leana. Semuanya tiba-tiba jadi begitu runyam.
"Kalau lo nggak mengutamakan Thania di saat masih pacaran sama gue juga gue nggak akan kayak gini, Kal! Emang dasarnya lo yang berengsek, bangsat!" kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Leana. Membuat Kallan langsung bergidik ngeri. Satu dua orang mulai ikut campur, memisahkan keduanya.
Dan Leana hanya bisa menangis pada akhirnya setelah bicara begitu kasar. Gadis itu menyingkirkan tangan teman-temannya yang tengah mengusap punggungnya guna menenangkannya.
Tak peduli dengankuliah yang belum dimulai, Leana memilih untuk angkat kaki dari ruangan. Kinisemua orang memandang begitu keji kepada Kallan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro