BAB 11
Caramel Coffee Jelly di atas meja jadi satu-satunya saksi bisu atas pergantian emosi Leana setiap detiknya. Pertama, Leana kesal sebab Kallan sudah terlambat lima belas menit dari waktu yang mereka tetapkan untuk pertemuan tiap pekannya. Kedua, Leana bingung rencana apa yang harus ia berikan kepada Kallan selanjutnya. Ketiga, Leana sudah tidak sabar untuk marah kepada Kallan karena dua hari silam meledeknya di depan mata Arras dan teman-teman hampir seangkatan.
Dan setelah dua puluh lima menit berlalu sejak detik pertama Leana menginjakkan kaki di mal besar di Jakarta Selatan ini, baru Leana bisa melihat sosok Kallan dengan setelan khasnya—kaus oblong putih yang dipadukan dengan skinny jeans berwarna gelap. Dengan tanpa bersalahnya, sambil memegangi Asian Dolce Latte di tangan kanannya, laki-laki itu menyapa Leana dengan begitu ramah. "Eh, udah dateng, Ya?"
Mata Leana yang semula lebih tenang, kini menyorot ke arah Kallan dengan begitu tajam. "Ya lo pikir aja!" serunya galak.
Menanggapi itu, Kallan hanya terkekeh-kekeh kemudian menarik kursi di hadapan Leana. Kallan baru saja menyesap minumannya sedikit, lalu hendak memulakan percakapan, namun tahu-tahu Leana menginterupsi tepat ketika Kallan baru ingin bicara.
"Sori, gue boleh ke toilet sebentar, nggak?" tanya Leana. "Perasaan gue nggak enak. Perut gue juga sakit nih dari tadi."
Pasrah, Kallan memilih untuk mengangguk daripada berdebat. Ia mengurungkan cerita panjangnya yang ingin diutarakan kepada Leana. Gadis itu pun langsung berlari pergi meninggalkan Starbucks bersama totebag hitamnya, menuju ke toilet terdekat. Cepat-cepat Leana masuk ke salah satu bilik.
Hasilnya, Leana hanya bisa diam. Gadis itu bengong sesaat memandang ke arah pintu yang tertutup. "Anjir," umpatnya pelan. "Kenapa harus datang bulan tiba-tiba begini, sih?"
Kabar baiknya adalah Leana selalu menyediakan pembalut di dalam tasnya. Namun di balik itu, kabar buruknya adalah di bagian belakang roknya sudah terlihat bercak merah. Leana benar-benar bingung. Rasanya malu sekali kalau harus keluar, tapi tidak mungkin juga ia berdiam di sini menanti mal sepi pengunjung.
Masih di dalam bilik toilet, Leana mengambil ponselnya di saku, mencari kontak Kallan, lalu meneleponnya. Tidak ada lima detik nada deringnya terdengar, Leana sudah bisa mendengar suara Kallan, "Woi, ke mana lama banget."
Leana menghela napas. "Gue mau pulang," katanya lirih.
"Lah gue baru sampai, masa lo pulang?" balas Kallan. "Emangnya gue terlambat lama banget sampai bikin lo bete, Ya?"
"Nggak gitu, Kal, tapi tuh...." Segera Leana menyetop penjelasannya. Gadis itu mengurungkan niatnya. "Ah. Pokoknya gue mau pulang ya, Kal. Besok aja kita ketemuannya. Gue traktir deh, ya?"
"Kenapa sih, Ya?"
"Lo nggak perlu tau, Kal."
"Sini dulu balik ke Starbucks."
"Nggak mau."
"Kaleana Arsy—"
"Gue nggak mau, Kal."
Kini keduanya diam selepas Leana menginterupsi Kallan. Leana bisa mendengar laki-laki itu berdengkus. Agaknya ia kesal karena kedatangannya sia-sia. Detik selanjutnya, Leana memutuskan untuk keluar dari toilet, dan yang membuatnya terkejut adalah Kallan menyusulnya ke toilet.
Sial. Kalau begini kan Leana jadi tidak punya alasan untuk kabur.
Laki-laki itu datang, bersama dua gelas minuman yang ada di tangannya. Satu miliknya sendiri, satu lagi milik Leana yang masih tersisa begitu banyak. "Pasti lo nggak ngecek aplikasi period tracker lo itu, ya?" tanya Kallan to the point. "Di hape gue ada notifikasinya barusan. Tulisannya your period might start today."
Leana membelalak, tidak sanggup memikirkan kata-kata untuk merespons, sebab kini beberapa orang menoleh ke arah mereka saking Kallan tidak bisa menahan volume bicaranya untuk tetap terjaga.
"Ih, bego!" umpat Leana. Gadis itu kini masih sibuk menoleh ke kanan kiri, serta tangannya sibuk menutupi bagian belakang rok merah mudanya. "Kenceng banget!"
Kallan terkekeh-kekeh. "Eh iya, sori, Ya. Keceplosan," katanya. "Bocor ya, Ya?" tanyanya. Kali ini suaranya pelan, lalu Leana mengangguk pelan. Kemudian sambil menyodorkan dua minuman yang ada di tangannya, Kallan bilang, "Nih, pegang dulu."
Tanpa bertanya apapun, Leana menerima gelas dari tangan Kallan, lalu menyaksikan laki-laki itu membuka ranselnya, mengeluarkan jaket berwarna biru dongker dari dalamnya.
Leana sudah mengerti maksudnya, dan gadis itu tidak bisa menolaknya. Kemudian yang tidak bisa Leana tolak lagi adalah ketika Kallan bilang, "Gue antar pulang ya, Ya. Nggak usah nolak, pokoknya gue antar lo pulang. Besok kita ketemu lagi buat ganti pertemuan sore ini."
Samar-samar, Leana mengangguk. Kenapa setelah putus justru Kallan terasa lebih perhatian dan menyenangkan? Selama sebelas bulan kemarin, ke mana saja Kallan?
-=-=-=-
Arras : Lea, kok tugas fotografi kemarin belum dikirim ke gue?
Arras : Gue mau forward ke Pak Hisyam.
Arras : Jangan ditunggu lengkap. Yang ada aja. Sisanya tanggung jawab atas keterlambatannya sendiri.
Baru Leana akan berbaring di kasurnya setelah selesai mandi, tiga notifikasi itu sudah menyita perhatiannya sebab membuat ponselnya bergetar-getar. Leana menarik ponselnya dari nakas, membaca tiga pesan masuk dari Arras, lalu menepuk dahinya. Leana lupa!
Dengan tergesa-gesa gadis itu mengambil laptopnya di atas meja belajar, membawanya ke kasur, lalu membuka folder yang ia khususkan untuk tugas fotografi teman-temannya dua hari lalu.
Dan di tengah sibuknya Leana melihat-lihat siapa saja yang belum mengumpulkan tugas, nama Arras kembali mencuat di layar ponselnya
Arras : Lea?
Arras : Besok pagi ke gue bisa?
Dengan jantung yang entah kenapa berdebar-debar, Leana mengetikkan pesan balasan. Namun di tengah kesibukan jari-jarinya merangkai kata demi kata, layar ponselnya yang menampakkan chatroom, tiba-tiba saja berubah. Terpampang wajah Arras dengan begitu jelas di layar. Arras menelepon.
Jantung Leana semakin tak keruan debarnya, namun gadis itu tidak bisa menolak panggilan tersebut. Sambil meyakini dirinya untuk tidak gugup, diterimanya telepon tersebut.
"Halo, Lea. Sori gue ganggu, tapi Pak Hisyam nanyain," sapa Arras tanpa berbasa-basi. "Besok pagi bisa, nggak? Sekitar jam sembilan atau sepuluh."
"Eee ... sebentar, Bang," balas Leana. "Besok gue ada kelas dari jam delapan sampai jam dua belas, Bang. Kalau setelah jam dua belas, gimana?"
"Gue mulai kelas jam dua belas. Kalau setelah jam tiga, lo bisa?"
"Bisa, sih. Ya udah, jam tiga aja, Bang," balas Leana tanpa pikir panjang. Pukul tiga tidak masalah, sebab Leana dan Kallan sepakat untuk bertemu pada pukul lima besok sore, sebagai ganti dari pertemuan hari ini yang dibatalkan.
"Sip. Gue tunggu di Katsu, ya, Lea," ujar Arras. Leana refleks mengangguk, meski tahu Arras tidak melihatnya. Setelahnya, sambungan telepon terputus. Arras menyudahi telepon mereka, dan Leana akhirnya bisa bernapas lega sebab detak jantungnya perlahan-lahan kembali normal.
Gadis itu lanjut mengatur folder berisikan tugas teman-temannya, sekaligus mengingatkan teman-teman seangkatannya untuk segera mengumpulkan tugas fotografi terbaru sebelum pukul dua belas besok siang.
Sambil berbaring, Leanaterus-menerus menerima file tugas serta pertanyaan-pertanyaan dariteman-temannya, hingga pada akhirnya Leana terlelap tanpa sadar. Bersama laptopyang masih menyala, dan ponselnya yang masih sibuk menerima notifikasi dariteman-temannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro