BAB 10
Desain Komunikasi Visual angkatan 2018 geger. Semalam, tepat setelah magrib, feeds semua orang yang mengikuti akun Instagram Arras membuat bertanya-tanya, sejak kapan Arras dan Leana dekat, bahkan sampai Leana menginjakkan kaki di studio foto yang sama dengan Arras?
Notifikasi Instagram serta WhatsApp Leana membludak. Teman-temannya menandai username Leana di kolom komentar foto yang Arras unggah. Leana juga kaget, serta bingung. Kenapa Arras tidak bilang kalau laki-laki itu akan mengunggah tiga sekaligus foto Leana di akun Instagramnya? Tolong garisbawahi, TIGA SEKALIGUS, dalam satu baris.
Di kampus, semua mulut menanyakannya. Bahkan Kallan. Ketika keduanya berpapasan di tangga kampus, Kallan menghentikan langkahnya, dengan sengaja menghadang jalan Leana menuju ke kelas di lantai tiga gedung.
"Wah, keren ya, udah go public, sampai jadi gosip seangkatan," ujar Kallan sambil menyungging senyum. Sebelah tangannya ia ulurkan, seolah mengajak Leana berjabat tangan. "Selamat deh yang sebentar lagi jadian."
Leana diam, memandangi Kallan yang posisinya jauh lebih tinggi darinya sebab berdiri di anak tangga dua tingkat di atasnya. Gadis itu tidak memberikan respons apapun, melainkan langsung balik badan dan hendak naik ke lantai dua melalui tangga di sisi lain gedung.
Melihat respons itu, Kallan mengernyitkan kening penuh heran. Laki-laki itu tak tinggal diam, justru mengejar Leana. "Ih, sombong, ya yang udah merasa unggul?"
Dalam hatinya Leana menggerutu. Ia bukan merasa sombong atau bahkan lebih unggul dari Kallan. Hanya saja, mereka sedang berada di gedung fakultas, dan ini adalah menit-menit menuju jam kuliah fotografi yang mana Arras-lah yang akan mengajar. Leana tidak mau mengulang tragedi berpapasan dengan Arras ketika ia sedang bercengkerama dengan Kallan.
"Lea!"
Dan teriakan itu menghantam gendang telinganya di tengah langkah cepatnya yang diekori Kallan. Leana tahu itu suara siapa, dan tahu siapa yang memanggilnya dengan sebutan Lea. Gadis itu bergeming, berpikir terlebih dulu sebelum memutuskan untuk terus berjalan atau berbalik dan menyapa balik Arrasya Guntara.
Sementara Leana berpikir, Arras sudah telanjur berlari kecil ke arahnya, dan Kallan akhirnya berdecak sebal sebelum akhirnya berlari meninggalkan keduanya. "Lo mau ke kelas, kan, Lea?" tanya Arras begitu Leana menoleh.
"Iya. Kenapa, Bang?" tanya Leana dengan begitu gugup. Gadis itu terus-terusan mencengkeram rok hitam selututnya. Jantungnya berdetak. Pikirannya benar-benar tertuju pada malam kemarin di saat Arras mengunggah fotonya tanpa konfirmasi. Apa yang Arras pikirkan, sih?
"Nah pas banget. Bareng gue, yuk. Tapi temenin gue dulu ambil kamera di ruang dosen," kata Arras dengan begitu santai. Laki-laki itu berbalik badan, menuju tangga. Leana hanya bisa mengangguk samar-samar kemudian mengekori langkah Arras menuju ruang dosen sampai menuju ke ruang fotografi di lantai tiga gedung.
Semua orang berbisik-bisik. Setelah beberapa dari mereka sudah berpapasan dengan Leana pagi ini dan bertanya kenapa Arras mengunggah fotonya di Instagram, sekarang pasti bisikan-bisikan mereka telah berubah, jadi kenapa Arras dan Leana datang ke kelas berbarengan?
Leana abai meski banyak mata memandangnya, termasuk Kallan. Gadis itu lebih memilih untuk lantas duduk di antara tiga teman perempuannya, yang seperti dugaan Leana, langsung mengajukan pertanyaan, "Kok lo sama Bang Arras?"
Padahal gadis berambut pendek itu baru saja mengistirahatkan dirinya di kursi. Belum ada satu menit di dalam ruangan.
Lebih menyebalkannya lagi, sebelum pertanyaan itu sempat Leana jawab, salah satu lainnya mengajukan tanda tanya lain. "Semalam juga ya, Bang Arras upload foto lo di Instagram. Semua orang kayaknya nge-tag lo deh, Ya, tapi kok lo nggak komen?"
Leana mengerlingkan bola matanya. Ia seakan-akan utang penjelasan pada semua orang. Padahal menurut Leana pun, tidak ada yang perlu tahu kalau Kallan dan Leana putus, kalau Kallan sedang dekat dengan Thania, dan Leana sedang dalam usahanya untuk mendapatkan Arras. Tidak ada yang perlu tahu. Cukup Kallan, Leana, dan Tuhan.
Lagi pula, Leana tidak pernah memiliki teman dekat perempuan di kampus yang menjadi lahan curhatnya. Selama ini, selama kurang lebih satu tahun kuliah ini, Leana selalu ke mana-mana dan bercerita apapun dengan Kallan. Selain Kallan, paling-paling Leana sesekali hangout bersama Kila dan Gigi.
Tapi Kallan sudah tidak ada.
"Lo sama Kallan ... nggak apa-apa, Ya?" satu pertanyaan pertama dan terakhir dari satu-satunya perempuan yang belum bertanya pada Leana. Keduanya bersitatap. Leana diam, dan gadis yang dipandanginya turut diam, menantikan jawaban. "Soalnya ... gue lihat Kallan juga repost story-nya adek tingkat itu."
Senyum Leana mengembang tipis. "Nggak apa-apa, kok. Gue nggak ada masalah apa-apa sama Kallan," dalihnya. Setelahnya, dua gadis lainnya saling salah menyalahi dengan isyarat. Seolah bilang lo harusnya jangan nanya gitu, bego.
Tapi Leana tetap tidak memilih peduli. Gadis itu mengembalikan perhatiannya ke depan kelas, menyaksikan Arras yang sedang mempraktikkan bagaimana prosedur memotret dengan teknik freezing.
Perhatiannya jatuh pada Arras di depan. Akan tetapi Leana tidak bisa berbohong, pikirannya membawanya ke mana-mana. Hatinya hancur ketika pertanyaan tentang Kallan ia dapatkan barusan. Dan bahkan jauh lebih hancur ketika otaknya tidak bisa menolak untuk menghadirkan nama Kallan di dalam pikirannya.
Pertanyaan-pertanyaan ini harus Leana jawab dengan cara apa?
"Oke, jadi ini untuk tugas selanjutnya. Dikumpulkan minggu depan ke Leana, ya. Nanti Leana kirim ke saya." Suara Arras menyita perhatian Leana dalam sekejap. Namanya yang disebut-sebut membuat lamunannya buyar dalam waktu kurang dari dua detik. Arras memandang ke arahnya, seperti meminta persetujuan.
Senyum Leana mengembang tipis, menandakan ia setuju untuk menyimpan sementara tugas seluruh temannya. Di sisi lain ruangan, ada Kallan yang juga memandang ke arah Leana laiknya Arras. Lama Leana balik menatap Arras, sampai pandangannya akhirnya teralihkan pada laki-laki satunya, Kallan.
Kallan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Sementara Leana memasang wajah datar kepada laki-laki tersebut. Kenapa sih, dia?
Detik selanjutnya, keadaan kelas tidak kondusif lagi. Satu per satu mahasiswa beranjak dari kursinya untuk mulai mengerjakan tugas dari Arras di dalam maupun luar ruangan. Leana termasuk dalam grup yang keluar dari ruangan, dan entah kabar baik atau buruk, ia bersama Kallan.
Di tengah kesibukan tersebut, Arras berulang kali mengitari satu per satu grup, menerima pertanyaan demi pertanyaan dari adik tingkatnya, lalu memberikan arahan lagi dan lagi. Termasuk ketika Kallan bertanya kepada Arras, "Bang, kok nggak dapat-dapat ya waktu airnya naik? Malah ketangkepnya pas udah tumpah."
Menanggapi pertanyaan tersebut, Arras mengambil alih kamera yang sedang Kallan genggam. Laki-laki itu menjelaskan kepada Kallan dan yang lainnya untuk mengatur segalanya sesuai dengan yang tadi Arras jelaskan di depan kelas. Pun, laki-laki itu memberikan contoh untuk mengambil satu gambar.
Semua menyimak. Termasuk Leana. Gadis itu memandangi Arras bersama dengan kamera dan sederet penjelasannya. Tipis-tipis, bibir gadis itu melengkung menciptakan senyuman. Sampai Arras menyadari dirinya tengah diperhatikan.
Begitu Arras menoleh kepada Leana, gadis yang tertangkap basah itu langsung memalingkan pandangannya. Namun Arras terkekeh pelan. "Oh iya, kemarin Jumat nggak ketemu lo," ujar Arras sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan liptint dari sana. "Nih liptint-nya."
Leana mati kutu. Semua orang menyaksikan pemandangan ini. Pemandangan dua orang yang saling bersitatap, dengan Arras bersama senyumnya dan tangan yang terulur, sementara Leana dengan wajah merah padam saking malunya.
Seperti tidak ada waktu lain untuk bicara saja!
Sambil menerima pemberian dari tangan Arras, Leana tersenyum tipis. "Iya, Bang. Makasih," tuturnya pelan. Arras hanya merespons dengan senyum dan anggukan, lalu pergi ke grup lainnya untuk memantau pekerjaan yang lain.
Kallan yang menyaksikan paling dekat langsung terkekeh. "Cie," ujarnya dengan nada meledek sambil menyikut lengan Leana. "One step closer." Laki-laki itu melanjutkan, kini menyanyikan nukilan lirik lagu A Thousand Years milik Christina Perri. "I have died everyday, waiting for you."
Melihat Kallan meledeknya begitu, tanpa berpikir panjang Leana menoyor kepala mantan pacarnya itu. "Lo kali tuh, yang waiting for Thania," ejeknya balik.
"Yee ... bukannya lo, ya, yang waiting-nya dari sebelum jadian sama gue? Cocok, kan, lagunya buat lo?" Kallan tetap tak mau kalah. Suaranya pun semakin terdengar oleh tiap-tiap telinga yang ada di selasar ruang fotografi.
Leana jadi pusat perhatian lagi. Rasanya ingin sekali langsung menghilang di balik pintu ke mana saja milik Doraemon. Akan tetapi, sadar itu mustahil terjadi, Leana jadi memilih untuk diam, tidak merespons Kallan lebih lanjut sebelum ejekan laki-laki itu jadi semakin jauh. Selasar mendadak hening selepas Kallan tidak ada bahan omongan lagi.
Perlahan-lahan, kegiatan semua orangkembali seperti semula. Meski Leana merasakan atmosfer yang benar-benarterbalik dari sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro