Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 03

"Ketemu di sini setiap Rabu di jam yang sama, ya," usul Kallan sambil melihat arloji di tangan kanannya. Mereka sudah duduk di sini selama kurang lebih satu jam, dan ini pukul empat sore. Itu artinya, mulai pekan depan, Kallan dan Leana harus tiba di Starbucks Pondok Indah Mall pada pukul tiga. "Weekly meet up. Buat bahas rencana-rencana selanjutnya, sekaligus kita bakal laporan gimana perkembangan pendekatan kamu sama Bang Arras, dan aku sama Thania."

Sudah lima menit Leana menahan tawanya. Laki-laki di hadapannya ini merancang rencana seolah-olah ini adalah idenya, dan ia sudah memikirkannya dengan begitu matang. Padahal ini adalah ide yang Leana gagas.

"Sebentar, Kal," potong Leana di tengah orasi Kallan yang penuh kematangan. Kontan Kallan berhenti bicara, laki-laki itu meraih Asian Dolce Latte-nya untuk dinikmati. Gantian kini Kallan menaruh perhatian kepada Leana yang akan bicara. "Aku mau ketawa dulu."

Gelas plastik berukuran grande yang Kallan genggam kini kembali ia taruh di atas meja. Kallan berdecak dengan sebal. Ia pikir Leana akan bicara dengan serius. Tapi gadis itu ternyata hanya meminta izin untuk tertawa, lalu betul-betul tertawa setelahnya.

"Bercanda mulu," gerutu Kallan sambil menjitak Leana pelan.

Tetapi gadis itu tidak menghentikan tawanya. "Ya habisnya, lucu. Ini kan ide punyaku. Kenapa jadi kamu yang lebih mantep ngatur?" balas Leana. "Kamu pasti semangat, ya, karena ini menyangkut Thania?"

"Kaleana Arsyka."

Leana berhenti tertawa mendengar nama lengkapnya disebut. Leana tahu Kallan akan marah kalau sudah begitu. Jadi Leana memilih untuk tidak membahasnya lagi. "Iya, sori-sori. Lanjutin."

"Tapi aku nggak mau kasih tumpangan ya dari kampus ke sini. Jalan masing-masing, ketemuan di sini," kata Kallan. "Kan, nanti ke depannya, siapa tau aku bisa sempatin antar Thania pulang sebelum datang ke sini. Jadi kamu tau, kan, siapa yang harus aku prioritaskan duluan nantinya?"

Kedua mata Leana menyipit. Leana mau marah mendengarnya, tapi sebenarnya tidak ada salahnya juga. Sebab Kallan benar. Setelah ini, prioritas mereka pasti perlahan-lahan akan berubah. Sama halnya dengan Leana yang mungkin akan lebih menomorsatukan Arras.

"Oke, oke. Aku terima," ucap Leana. "Jadi, rencana pertama dariku adalah kamu harus tetap dekatin Thania dengan cara ajak main game. Sambil chat, mungkin? Walaupun basi, tapi menurutku ini efektif, sih. Apalagi kalau dia belum punya cowok incaran. Pasti dengan habisin waktu sama kamu, dia merasa ada yang isi waktunya."

Kallan mengangguk. Itu adalah rencana paling mudah yang sebenarnya sudah Kallan putuskan untuk jalani sejak lima menit sebelum Leana mengusulkannya. Namun, demi menghormati usulnya, Kallan tetap mengangguk dan bilang, "Iya. Aku setuju kalau mulai dari ngelakuin itu."

Senyum Leana mengembang. Gadis itu masih memandangi Kallan sebagaimana ia selalu memandanginya selama sebelas bulan terakhir ini. Kallan bisa melihat sorot yang berbeda dari matanya yang hitam legam dan bulat.

Sadar sudah terbengong memandangi Leana, Kallan lantas menggeleng, mengusir pikiran itu. Laki-laki itu berdeham tanpa tujuan apapun. Matanya kembali bertemu dengan kedua bola mata Leana.

"Kalau menurutku, kamu harus coba ngobrol sama Bang Arras," usul Kallan. "Selama ini, aku nggak pernah lihat kamu ngobrol sama Bang Arras selain waktu masih semester satu."

Leana mengangguk. "Ya iya lah aku nggak pernah ngobrol sama Bang Arras. Gimana caranya aku ngobrol sama Bang Arras di saat aku punya pacar? Bisa-bisa aku jadi suka sama dia lagi kayak waktu semester satu."

Kallan mengdikkan bahunya. "Jadi, kamu mau tuduh aku sebagai penghalang di antara kamu sama Bang Arras?" tanya Kallan. Di luar dugaan Kallan, Leana mengangguk. Meski tahu Leana hanya mengetesnya, namun timbul juga rasa kesal.

Sebelas bulan lamanya dan Leana belum bisa melupakan rasa sukanya kepada Arras. Kallan merasa begitu menyesal sudah memutuskan untuk merebut hati Leana yang semula berlabuh pada nama Arras.

"Ih, fokus. Aku harus ngobrolin apa sama Bang Arras? Kan nggak mungkin random ngajak ngobrol. Nanti pasti kesannya sok asyik." Leana menjentikkan jarinya di depan wajah Kallan. "Desain grafis, kali ya, Kal?"

Kallan mengangguk setuju. "Yang aku tau, selain desain grafis, Bang Arras juga punya minat besar sama fotografi. Berhubung semester ini kita lagi ambil kuliah fotografi, kenapa nggak coba basa-basi soal fotografi juga?"

Kedua mata Leana melebar. Baru kali ini Leana merasa Kallan pintar. Gadis itu mengacak-acak rambut Kallan sambil tersenyum begitu lebar. "Pintarnya mantan gue!" pekiknya penuh semangat.

Kemudian baik Kallan maupun Leana terdiam secara tiba-tiba. Keduanya saling tatap, seakan tengah menyadari ada yang salah. "Kita harus ganti ke lo gue, ya?" tanya Kallan.

Tidak bisa dimungkiri, itulah yang juga sedang Leana pikirkan di dalam benaknya. Gadis itu mengangguk pelan. "Kayaknya sih iya, Kal," katanya. "Tapi awkward banget, nggak, sih?"

"Banget," balas Kallan sambil menggerayangi tengkuknya. "Tapi, ya masa iya kita masih aku kamu padahal udah putus?"

Leana diam. Sebenarnya ini sangat tidak penting untuk didiskusikan, tapi lama-lama, pasti akan terasa aneh kalau Kallan dan Leana tetap saling memanggil dengan sebutan aku kamu, sementara mereka kini hanya sebatas teman.

"Ah, nggak penting. Udah, sekenanya aja. Mau lo gue, mau aku kamu, nggak mau tau. Aku cuma mau tau kamu nggak bakal ingkar sama perjanjian ini sampai aku dan Bang Arras beneran jadian, dan sebaliknya. Deal, nggak?" ujar Leana.

"Ya udah, iya. Kan lo duluan yang gue gue," balas Kallan.

"Tapi lo yang bilang kita harus ganti lo gue." Leana tetap tidak mau kalah.

Pokoknya hari ini, bagaimanapun, tetap Kallan yang salah, apapun yang diucapkan dan dilakukannya. Leana sudah pernah menekankan kepada Kallan selama beberapa bulan terakhir ini, bahwa perempuan yang sedang datang bulan itu tidak bisa dilawan dengan cara apapun.

Sore itu, pertemuan mereka usai ketika langit di atas Pondok Indah Mall menggelap. Bulan sudah berganti posisi dengan matahari, dan jalan raya kini padat dengan lampu merah dan putih yang memanjang.

Keduanya meninggalkan Pondok Indah Mall dengan arah yang berbeda. Leana pulang, sementara Kallan pergi lagi entah ke mana. Leana tidak mau mempertanyakannya. Selain karena tidak penting, Leana sadar kalau Kallan sudah bukan lagi urusannya.

Leana bukan lagi perempuan yang bisa membatasi segala kegiatan yang Kallan lakukan.

-=-=-=-

Sudah tiga puluh menit Leana duduk di kursi panjang yang tersedia di depan ruang dosen. Gadis itu menantikan Pak Hisyam keluar dari ruangannya untuk mengembalikan harddisk yang beliau pinjam kepada Leana sejak tiga puluh menit silam.

Sudah tiga puluh menit juga Leana melihat Kallan dan Thania yang duduk tidak jauh dari tempatnya. Dua insan tersebut tengah sibuk-sibuknya menatap ponsel mereka yang miring sembilan puluh derajat. Tak tertinggal suara mereka terdengar, saling menyusun strategi untuk permainan yang tengah mereka tekuni.

Leana salut, pergerakan Kallan bisa secepat ini. Beberapa kali teman seangkatan mereka berlalu-lalang, dan tidak satu pun dari mereka yang tidak menyempatkan diri melihat Kallan bersama Thania. Leana bisa menebak apa yang tercetus di benak mereka ketika melihat Kallan bersama Thania.

Bingung, mungkin? Bingung sebab Kallan sedekat itu dengan Thania, padahal sepuluh meter dari tempat mereka duduk, ada Leana yang bisa menyaksikan keduanya.

Tak sedikit pula yang mencoba bertanya kepada Leana apa yang sedang terjadi di antara Kallan dengan dirinya. Namun tidak satu pun yang Leana respons. Tidak ada sepatah kata pun penjelasan yang Leana berikan. Jangankan mau menceritakannya, mendengar semua orang bertanya saja ternyata rasanya menyakitkan.

Mengingat Leana belum melakukan pergerakan apapun atas usul Kallan tempo hari. Pergerakan Kallan cepat sekali.

"Oh, kamu dari tadi nunggu di sini, ya? Saya sudah selesai. Mau langsung diambil?" suara berat khas orang dewasa membuyarkan pikiran-pikiran yang mengitari kepala Leana. Gadis itu menoleh, mendapati Pak Hisyam berdiri di depan pintu ruang dosen. Pria tersebut berbalik lagi untuk masuk, dan Leana melangkah mengekorinya hingga tiba di meja dengan nama beliau.

"Saya sekalian minta tolong, ya. Kamu kenal Arrasya?" tanya Pak Hisyam yang sudah memegang dua harddisk di tangan kanannya. Salah satunya milik Leana. Mendengar nama itu, jantung Leana langsung berdegup tak keruan. Namun kepalanya tergerak untuk mengangguk. "Ini punya Arrasya. Tolong kembalikan, ya. Bilang Pak Hisyam sudah ambil file-nya. Kalau ada apa-apa, nanti ke saya aja."

Hah?! Ini punya Arrasya. Tolong kembalikan, ya.

Leana meneguk ludahnya sendiri. Apakah semesta memang sudah mendukung atas berakhirnya hubungan Leana dengan Kallan dan rencananya untuk dekat dengan Arras?

+

halo!

udah tiga bab, kayaknya kansa belum pernah cuap-cuap di sini, ya? ehehe. anyway, sebenarnya cerita ini belum selesai ditulis, tapi buat ngisi waktu kalian (ciah pede banget) biar nggak bosen dan ada bacaan baru, kansa akhirnya memutuskan buat publish cerita ini.

sejauh ini kansa udah nulis sampai bab 15 sih. semoga aja bisa sambil nulis sambil update, ya. kali ini kansa udah atur reminder di hp buat update setiap hari rabu-sabtu :) jadi bakal rutin 'beneran'. hehe.

bisa nebak nggak, leana bakal jadian sama arras, atau bakal balikan sama kallan karena mereka malah gagal move on? :p

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro