Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 02

"Ya," panggil Kallan dengan nada begitu lembut. Kini mata Kallan menyorot lurus menatap gadis di hadapannya. Leana merespons dengan cara balik menatap Kallan, dengan raut superkusut yang tampak begitu tegas di wajahnya sawo matangnya. "Kupikir, jatuh hati sama orang lain sewaktu kita udah punya status itu sesuatu yang lumrah. Ini terjadi tanpa kita rencanakan, dan tanpa kita bisa tolak. Tapi, bukan berarti kita mau orang itu menggantikan posisi kamu. Lagi pula, dibanding kamu, Thania nggak selalu ada."

Dengan usaha maksimal, hanya itu yang sanggup Kallan katakan kepada Leana. Sebuah pembelaan terhadap dirinya sendiri.

Namun tepat seperti dugaan Kallan, usahanya tetap berakhir sia-sia. Leana tetap tiak mau mempertimbangkan keputusannya. Satu-satunya hal yang gadis itu inginkan hanyalah menyudahi hubungannya, sekarang juga.

"Nggak bisa, Kal," katanya. "Aku ini orangnya pelit. Jadi aku nggak mau berbagi pacarku sama cewek lain."

Tertegun Kallan mendengar jawaban tersebut. Pelit? Nggak mau berbagi? Memangnya sejak kapan Kallan bilang kalau Leana harus berbagi dengan Thania? Dasar anak perempuan aneh. Sulit sekali dimengerti cara pikirnya.

"Satu kesempatan, ya?" pinta Kallan sambil mengacungkan satu jarinya.

Leana menggeleng.

"Aku janji." Kallan menambah satu lagi jarinya.

Leana kembali menggeleng.

"Kalau gitu aku buktiin kalau kamu cuma satu-satunya," pinta Kallan masih tak kehabisan ide. "Aku buktiin sampai kamu percaya."

Satu kali lagi, Leana menggeleng. Kali ini diikuti pertanyaan, "Bukti apa, Kal? Buktiin kalau kamu setia sama aku?" menanggapi tanda tanya tersebut, Kallan mengangguk. Tapi Leana tertawa. "Membuktikan kesetiaan itu butuh waktu seumur hidup, Kal."

Sekakmat. Kallan tidak punya pilihan apapun lagi selain bilang, "Iya juga ya." Dengan nada pasrah yang Leana tahu, sudah tidak dibuat-buat lagi. Leana tahu calon mantan pacarnya ini sudah tidak punya argumen apapun di dalam otaknya untuk memenangkan debat.

"Aku bantuin deh, Kal. Anggap aja sebagai imbalan karena aku ingkar sama janji kalau kita nggak akan saling meninggalkan," ujar Leana. Senyumnya mengembang tipis. "Aku bantu kamu sampai jadian sama Thania. Tapi harus timbal balik dan saling menguntungkan."

"Saling menguntungkan gimana?"

Telapak tangan kanan Leana terayun, memanggil Kallan untuk mendekat sebab LEana ingin berbisik. Kallan yang memahami isyarat tersebut langsung mendekat hingga jarak di antara telinganya dan mulut Leana tersisa beberapa sentimeter.

Leana menarik napas, lalu berucap, "Aku bantu kamu sampai jadian sama Thania, tapi kamu bantu sebaliknya aku sama Bang Arras."

Dalam tiga detik pertama, Kallan masih diam. Keduanya saling tatap tanpa suara. Kallan sibuk berpikir, sementara Leana terus menantikan persetujuan dari Kallan.

"Pilihanku lebih baik, kan, ketimbang kita tetap pacaran tapi perasaan kamu nggak sepenuhnya ke aku, dan perasaanku pun selalu gelisah karena pacarku naksir cewek lain," ujar Leana. "Betul, nggak?"

Kallan diam. Ia tahu ini pernyataan dan pertanyaan jebakan. Tuh, kan, betul ternyata kalau Leana juga menyukai laki-laki lain. Kallan yakin, selama sebelas bulan berpacaran dengannya, Leana belum sepenuhnya melupakan Arras yang pernah disukainya saat baru masuk kuliah.

"Kenapa cara pikirmu begitu, sih?" tanya Kallan. Sebatas pertanyaan tanpa terlebih dulu menyetujui atau menolak tawaran dari Leana. "Kamu sebenarnya sayang aku nggak sih, Ya?"

Leana mengerlingkan matanya. Itu bukan pertanyaan yang harus Leana terima. Justru, seharusnya itulah pertanyaan yang Leana berikan untuk Kallan, kan? Sebenarnya Kallan sayang tidak, sih, dengan Leana?

"Kal, bisa nggak sih, fokus sama satu topik? Aku lagi tanya, kamu mau tawaran ini atau nggak, bukannya bahas aku sayang kamu atau nggak," balas Leana. Amarahnya kembali tersulut. Kallan menyebalkan sekali.

"Ya aku harus tau, lah, Ya. Kalau kamu sayang sama aku, nggak mungkin kamu minta kayak begini walaupun kamu maunya putus," balas Kallan. Ikut naik pitam. Pecah lagi pertengkaran keduanya.

Tanpa sadar, Leana memukul meja dengan kepalan tangannya. Ponsel Kallan yang masih tergeletak di atas meja jadi korban lagi, kena hantam pukulan Leana. Malang sekali nasibnya. Kallan sekarang yakin kalau Leana sebenarnya sedang menyakiti ponsel Kallan sebab Leana baru saja memergoki Kallan chat dengan Thania.

"Kamu, tuh, Kal, yang harusnya kutegur begitu. Kalau kamu sayang aku, nggak mungkin kamu suka sama cewek lain!"

Di pertengkaran ronde kedua ini, jelas Leana kembali mendapatkan skor. Selain karena ia jauh lebih galak, juga karena Kallan memang sebodoh itu dalam berargumen.

"Kok kembali lagi ke aku, sih? Kan kamu, Ya, yang memancing semua ini," balas Kallan tidak terima. "Kamu tuh berlebihan, tau nggak? Cuma karena aku komunikasi sama adik tingkat aja kamu udah mikir yang aneh-aneh."

Leana benar-benar geram dibuatnya. Laki-laki ini sebenarnya kenapa bodoh sekali, sih?! Kenapa juga Leana bisa berpacaran dengannya sampai sebelas bulan? Sudah jelas Kallan salah, tapi tetap saja tidak mau mengakuinya. Padahal kesalahannya sudah terbukti.

"Udah, deh. Kelamaan kalau debat nggak jelas sama kamu," potong Leana pada akhirnya. Tangan gadis itu terulur di depan mata Kallan. "Jadi kamu deal atau nggak buat saling bantu sama aku?"

Kallan bengong memandangi tangan kanan Leana yang terulur. Perlahan, amarah laki-laki itu surut. "Kamu serius, ya?" tanya Kallan dengan hati-hati. Leana mengangguk mantap. "Kalau salah satu dari kita gagal, gimana?"

Leana berdecak sebal. Tangannya yang semula terulur kini kembali ditarik. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas laptop yang sudah tertutup. Mungkin Kallan masih butuh sesi tanya jawab sebelum sama-sama deal dengan tawaran ini.

"Ya itu kan nggak bisa diprediksi dan nggak bisa dipaksa, ya. Kalau ada yang gagal dengan alasan yang, misalnya, dianya betul-betul nggak mau, itu kan nggak bisa diganggu gugat. Ya berarti harus ikhlas. Atau cari incaran lain, lah. Cewek dan cowok bukan cuma Thania dan Bang Arras."

Kallan terlihat berpikir sesaat. Sebelum akhirnya ia mengulurkan tangannya. "Oke. Aku setuju. Targetku Thania."

Kallan sangat mudah ditebak. Leana tersenyum. "Targetku Bang Arras, angkatan 2016. Aku nggak mau tau, kalau aku sukses bikin kamu jadian sama Thania, kamu pun harus sukses bikin aku jadian sama Bang Arras."

Kallan sangat ingin merespons soal kelanjutan percakapan ini, soal Thania ataupun Arras. Namun jauh di lubuk hatinya, ada yang lebih mengganjal. Cengkeramannya pada tangan Leana merenggang. Leana yang menyadari perubahan ekspresi Kallan pun turut merenggangkan cengkeraman tangannya hingga keduanya terlepas.

"Kok kamu jadi excited banget, sih, Ya?" tanya Kallan. "Selama sebelas bulan ini sama aku, kamu sayang sama aku atau Bang Arras, sih?"

Senyum kemenangan yang tercetak di wajah Leana perlahan-lahan luntur. Jantungnya berdebar-debar ketika mendapatkan tanda tanya seperti itu. Meskipun hatinya punya satu jawaban. Leana hanya sedang menampik fakta bahwa ia sangat sangat sangat bersedih sebab akan kehilangan Kallan.

"Aku sayang sama kamu, Kal," aku Leana. "Tapi sayangnya adalah kamu nggak sayang balik sama aku."

Kallan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak nyambung, Ya, sumpah," balasnya. "Selama ini kamu bohongin aku? Selama sebelas bulan ini, Ya? Berarti harusnya dari dulu aku nggak perlu ngelakuin segalanya buat kamu, ya, kalau akhirnya percuma begini?"

Leana diam. Kenapa sekarang keadaannya jadi berputar balik begini? Seharusnya, kan, Leana yang bersedih karena Kallan menyukai Thania. Sial. Kallan pintar sekali memutarbalikkan fakta.

"Aku excited bukan karena selama ini aku sayang sama Bang Arras, Kal," jawab Leana dengan usaha keras untuk tetap tenang. "Tapi aku bener-bener kecewa sama kamu."

"Nggak ada hubungannya, Ya." balas Kallan masih tidak mau kalah. Entah tidak mau kalah berargumen, entah tidak mau kehilangan Leana. Atau keduanya, mungkin?

"Ada, Kal!" balas Leana dengan nada yang lebih tinggi. "Aku tau ujung dari hubungan ini nggak bakal bagus kalau kamu aja udah kayak gini ke aku. Itulah kenapa aku semangat, Kal. Aku pengin lepas sebelum kamu jadi lebih toxic dari ini. Pengin lepas sebelum kamu kecewain aku lebih dari ini."

Kallan diam. Ia sadar tidak ada argumen lagi untuk membela dirinya ataupun menyalahkan Leana. Kallan tau ia telah membuat kesalahan terbesar yang seharusnya tidak ada di dalam sebuah hubungan, yaitu berkhianat.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya lagi. "Ya udah. Deal."

Mulai detik ini mereka sama-sama berjanji untuk saling membantu satu sama lain. Tidak ada yang boleh menyerah. Tidak ada yang boleh curang. Keduanya harus sama-sama memperoleh kemenangan.

Kerjasama mereka tentukan dimulai dari detik ini. Hubungan keduanya benar-benar mencapai titik akhir, namun siap menyambut awal yang baru.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro