Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 01

"Kalau warna mayornya kuning, menurut kamu mending pakai merah, atau hijau?" pertanyaan itu terlontar dari bibir Leana yang tengah terpaku menatap layar di depan matanya. Sesekali ia menyesap Caramel Coffee Jelly yang tersedia di atas meja. Dua detik gadis itu menanti jawaban, namun laki-laki yang sejak satu jam lalu ada di depannya itu tak memberi respons apapun. "Ck. Kal, kamu mau kerjain tugas atau cuma numpang wifi, sih?!"

Sekilas, Kallan menengadah dari layar ponselnya, lalu kembali menatap permainan yang sedang ditekuninya tersebut. "Aku masih nyari inspirasi, Ya—yah, mati!"

Leana melotot mendapati pacarnya kembali terdistraksi dengan game-nya. "Main apa, sih?!" omel Leana. Selanjutnya, ini adalah kabar buruk campur kesalahan yang seharusnya tidak Kallan ciptakan saat Leana sedang datang bulan. Fatal akibatnya. "Sini HP-nya!"

Ketika tangan Leana tergerak untuk merebut ponsel yang miring sembilan puluh derajat tersebut, secepat kilat Kallan menarik ponselnya hingga tidak tergapai. Kabar buruk lagi bagi Kallan, yaitu aksinya membuat Leana jauh lebih marah daripada sebelumnya.

Gadis berambut pendek sebahu itu kini tak segan beranjak dari kursinya hanya untuk merebut ponsel Kallan. Dan, hap! Leana mendapatkan apa yang diincarnya, dan bisa melihat tampilan permainan yang sedang Kallan tekuni. Sesaat Leana memerhatikan layar ponselnya, sampai mendapati satu hal yang jadi bahan omelan selanjutnya.

"Oh, main sama Thania lagi?" ujar Leana. Dalam sebulan terakhir, Leana sudah dua belas kali memergoki Kallan bermain dengan Thania, seorang mahasiswi baru yang baru genap sebulan duduk di kampus yang sama dengan keduanya. Apa-apaan Kallan?! Gadis itu baru sebulan mengenalnya, dan dalam sebulan itu pula Kallan sesering itu bermain game dengannya?

"Kan cuma main game, apa salahnya, sih?" balas Kallan tanpa punya rasa bersalah. "Aku nggak kayak kamu, ya, Ya, yang masih jalan sama cowok lain di saat aku punya pacar."

Mata Leana terbelalak. "Hah?! Aku jalan sama siapa, Kal?! Aku waktu itu ke Fatmawati sama Andre dan Bagas buat beli peralatan lukis, loh, Kal. Kepentingan kuliah. Apa game juga kepentingan kulia—ah, terserahlah."

Leana tidak peduli lagi kalau ada yang menoleh ke meja mereka sebab keributan ini pecah. Setelah hampir meneriaki Kallan, Leana membanting ponsel Kallan di atas meja, membuat hampir seisi Starbucks Pondok Indah Mall betulan menoleh ke meja mereka.

Masih dengan ekspresi tak berdosa, tangan Kallan terulur untuk mengambil ponselnya. Namun Leana lekas-lekas menangkis tangan Kallan, bahkan memukulnya sekeras yang ia bisa. Sebelum Kallan kembali mencoba merebut ponselnya, Leana lekas membuka aplikasi WhatsApp, mencari kontak Thania yang ia yakin Kallan simpan.

Awalnya Leana hanya berniat mengirimkan pesan kepada Thania untuk tidak mengganggu kelancaran hubungannya bersama Kallan dengan cara menerima ajakan atau mengajak Kallan bermain game, tapi begitu tiba di chatroom bersama Thania, niatnya berbelok. Tepatnya ketika Leana mendapati kabar buruk bahwa sebenarnya, selama ini Kallan dan Thania berkomunikasi secara intens melalui chat.

Ini adalah kabar paling buruk yang baru Leana temui. Satu kabar yang membuatnya betulan terbakar amarah. Sekali lagi, ponsel malang itu membentur meja kayu yang memberi jarak antara Leana dan Kallan.

Gadis itu menghela napasnya, menutup laptopnya rapat-rapat, lalu mengajukan pertanyaan, "Kenapa sih, Kal, kamu main game sama dia terus?"

Dengan wajah tengil, Kallan membalas dengan mudah, "Terus kenapa sih, Ya? Aku cuma main game doang sama Thania. Apa salahnya? Toh kamu kuajak main game juga nggak pernah bisa main game."

"Apa salahnya, kamu bilang?" balas Leana dengan mata melotot. Suaranya kecil namun tajam. "Kamu main game sampai nggak balas chat dan angkat teleponku, Kal. Demi main sama cewek lain, kamu nggak respons aku, Kal? Yang pacarmu itu aku, atau Thania, sih, Kal?"

Kallan diam. Satu-satunya reaksi yang ditampilkannya kini hanyalah ekspresi memelas. Entah memelas, entah pura-pura memelas. Kallan merunduk, kemudian menggerayangi tengkuknya, sambil memalingkan pandangannya ke tiap sudut ruangan, asal tidak terarah ke Leana.

"Kamu suka sama Thania?" tembak Leana tanpa saring. Kallan semakin bisu dibuatnya. "Iya, Kal?" tanya Leana sekali lagi, memastikan.

Lamat-lamat, Kallan menggeleng, menyangkal pernyataan Leana. "Nggak gitu, Ya."

Mendengar jawaban seperti itu membuat Leana justru semakin sebal. Hampir satu tahun menjadi pacar Kallan membuatnya bisa sangat memahami bagaimana ekspresi dan gerak-gerik Kallan ketika laki-laki itu sedang berkata tidak jujur.

Seperti sekarang ini contohnya. Kallan bicara dengan nada rendah, dan matanya tak balik menatap Leana.

"Bohong," tukas Leana penuh keyakinan.

"Astaga, Leana." Kallan mengacak-acak rambutnya, bereaksi selaiknya orang frustrasi. Padahal tanpa Kallan sadar, Leana tahu laki-laki ini sedang berakting. Melihat gerak-gerik Kallan yang sudah sangat dipahaminya, Leana lebih memilih untuk diam dan terus memandangi Kallan. Keduanya sama-sama diam. Leana tetap memandangi Kallan, sementara laki-laki ini terus mencari arah untuk dipandanginya. Ke mana saja asal tidak kepada Leana.

Dalam hati Leana menghitung detik demi detik yang berlalu. Hingga tepat di angka tiga puluh, senyum Leana mengembang ketika akhirnya Kallan menyerah. "Iya deh, maaf," tuturnya. Kali ini nada memelasnya tidak dibuat-buat.

"Iya apa? Iya suka sama Thania?" tanya Leana.

Hening. Kallan tidak memberi jawaban apapun. Kini laki-laki itu menggigit bibir bawahnya. Leana tahu Kallan sudah tidak punya pembelaan apapun. Laki-laki itu sudah tertangkap basah dan terbukti bersalah.

"Tapi bukan berarti aku mau Thania gantiin posisi kamu, Ya," aku Kallan. Masih saja berani bersuara dan memperkeruh suasana. "Bukan juga aku punya maksud selingkuh atau apa. Ya cuma ... suka aja. Kayak kamu suka sama cowok lain, gimana sih?"

Sebelah alis Leana terangkat, mulutnya menganga. Apa yang baru saja didengarnya dari mulut Kallan? Pengakuan macam apa itu? Dan kenapa Kallan bisa-bisanya menuduh Leana begitu?

"Aku? Aku suka sama siapa, Kal? Apa kamu pernah lihat aku jalan sama cowok lain? Chat sama cowok lain? Main game sama cowok lain? Semua akun sosial mediaku aja kamu pegang, apa kamu pernah lihat aku komunikasi sama cowok lain kayak kamu komunikasi sama Thania?" tanya Leana bertubi-tubi.

Leana jelas menolak tuduhan Kallan yang sangat tidak terbukti. "Sebelum jadian sama kamu, memang iya aku suka sama cowok lain. Tapi, setelah jadian, apa kamu pernah pergoki aku sama cowok lain?" satu pertanyaan terakhir dari Leana meluncur, semakin memojokkan Kallan bersama rasa bersalah berlapis.

Tidak ada jawaban dari Kallan. Laki-laki itu terus menunduk. Sudah tidak ada argumen yang tersisa di dalam benaknya. Satu-satunya keputusan yang akan Kallan ambil ialah pasrah dengan apapun yang akan Leana tentukan.

Lima menit keduanya sibuk masing-masing dengan pikiran sendiri. Kallan memainkan jari di pangkuannya sambil memandang ke luar jendela, mengamati satu per satu mobil yang berlalu-lalang di jalan raya. Sementara gadis di depannya sibuk membaca chat-nya dengan Thania sambil menampilkan berbagai macam ekspresi yang bisa Kallan pahami maksudnya.

Kallan tahu, Leana muak membaca percakapan tersebut. Kallan juga tahu, meski bersikap kesal begitu, sebenarnya Leana hanya menyembunyikan rasa sakit hatinya yang tidak terbaca.

"Kal, putus aja, yuk." Meski pandangannya terus terpaku pada layar ponsel Kallan, ujaran itu tetap keluar dari mulut Leana dengan begitu tegas. Kallan yang sedang tadi tengah dilanda bingung, kini semakin bingung. Respons apa yang harus Kallan berikan?

Hanya dua pilihan yang Kallan punya: pertama, mengiakan permintaannya, yang kemungkinannya adalah Leana langsung menyimpulkan kalau Kallan memang menyukai Thania. Lalu pilihan kedua, menolak permintaannya, yang pasti akan membuat Leana bertanya untuk apa hubungan ini tetap berjalan kalau Kallan saja sudah tidak mencintainya.

Pada akhirnya, Kallan memutuskan untuk diam saja. Kallan tahu Leana sedang datang bulan. Jadi, ketimbang harus semakin mengacaukan harinya, Kallan lebih memilih untuk diam saja dan pasrah atas apapun yang terjadi selanjutnya.

Termasuk ketika Leana bilang, "Tuh, kan, diam aja. Berarti emang mau-mau aja, kan, putus? Supaya kamu bisa dekat sama Thania?"

Kallan kehabisan ide sepenuhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro