9. Karma ⚘
𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Day 5.
Entah lah waktu itu pukul berapa, yang jelas, saat Dolores membuka matanya setelah melewati malam yang teramat panjang, dia disambut oleh kabut yang begitu tebal.
"Mungkin para monster itu sekarang sedang bertumbuh. Tumbuh teramat mengerikan hingga gak lagi masuk akal."
Meski pun sejak awal, semuanya memang sudah tak masuk akal.
Kini, Dolores kembali memperbaiki mentalnya yang tercerai-berai setelah semua hal mengerikan yang dilewatinya.
Karena dia ingin mengembalikan tujuan awalnya pada tempatnya, yakni mencari gedung tertinggi untuk menunggu tim evakuasi menjemputnya, dan walau Dolores kini telah menentukan tempat yang pasti, namun dia kembali sendirian.
Seakan takdir memang tak mengizinkannya memiliki teman bersandar.
Dolores beranjak dari reruntuhan bangunan yang dijadikannya tempat bersembunyi selama sisa malam, hingga dia akhirnya terlelap dalam ketakutan dan menjemput paginya dengan jantung berdebar. Seakan menunggu-nunggu, tapi juga enggan bertemu, tentang apa lagi yang selanjutnya akan Dolores temui?
"Mungkin kali ini pocong berkaki seribu?" Dolores terkikik dengan lelucon sampahnya.
Pocong adalah setan asal Indonesia yang paling Dolores benci.
"Aku lebih baik bertemu seribu vampir atau zombi daripada pocong."
Dolores menyusuri bahu jalan dengan kaki terpincang-pincang, bekas gigitan Gueni semalam kini benar-benar bengkak dan terasa amat menyakitkan hingga sulit digerakkan. Walau begitu, Dolores tetap melanjutkan perjalanan.
Tak ada tempat aman yang bisa dia temukan, dan berdiam diri seorang diri terlalu lama di tempat terbuka dalam kabut tebal seperti ini cuma akan memudahkan monster-monster itu menemukan sarapannya.
Hingga sesuatu yang teramat ganjil menarik perhatikan Dolores.
Itu hanyalah ratusan atau bahkan ribuan monster yang sedang berjalan beriringan di sebuah jalan raya, sekilas terlihat seperti sebuah pawai untuk merayakan Halloween.
Sambil bersembunyi di sebuah pohon yang rimbun buahnya. Dolores menyaksikan apa yang terjadi pada monster-monster itu.
"Apa sejak beberapa saat lalu mereka semua sudah seperti itu?"
Maka itu masuk akal karena dalam tidurnya, dan selama dia berjalan-jalan beberapa saat lalu, Dolores tak diganggu atau melihat satu pun monster.
Tak seperti biasanya di mana Dolores hanya melihat beberapa ekor monster atau bahkan satu ekor, itu pun tak begitu jelas - akibat kabut yang menghalangi pandangan - hingga dia diserang. Kini Dolores melihat mereka semua dengan teramat jelas bahkan dengan jarak yang cukup jauh.
Yang paling menyita perhatian Dolores adalah monster mermaid tingginya mungkin sekitar tiga meter, gara-gara itu Dolores jadi teringat dengan cerita Kirana tentang monster seperti apa yang membunuh Jonathan.
Dolores yakin itu cuma kebetulan, karena setelah dia memikirkannya, Dolores melihat mermaid itu menenteng beberapa orang laki-laki, termasuk mayat Jonathan.
Itu membuat Dolores syok, tapi dia justru semakin penasaran.
Ada pula kerbau yang memiliki beberapa kepala berbeda-beda seperti kucing, babi, anjing, kadal, kelelawar, hingga ular.
Dolores tak yakin berapa besar dan tingginya, tapi itu sangat tinggi, hingga kepala-kepala yang dijadikan mata cincin pada sepuluh jarinya juga kalung yang terbuat dari puluhan kepala manusia itu terlihat sangat kecil.
Di belakang rombongan monster-monster yang sebelumnya sudah pernah Dolores lihat seperti monster kursi, monster kelabang, kumpulan monster tak berbaju yang dikiranya telah mati, monster kera berbadan dua dengan manusia, ada pula Azizah Mattheo Gueni Agus dan Yuni yang telah menyatu sebagai monster, hingga Agni.
Dolores melihat puluhan pocong yang seakan baru bangkit dari dalam kubur, kini turut mengikuti pawai. Yang menjadikannya lebih menarik adalah pocong-pocong itu mengangkat sepuluh keranda berisi tumpukan manusia yang masih hidup.
Dolores menelan salivanya ngeri. "A ... apa-apaan itu semua?"
Dolores takut, tapi disaat bersamaan dia juga teramat penasaran.
Maka diam-diam, Dolores mengikut ke mana arah tujuan dari pawai tersebut. Terutama tentang monster seperti apa yang memimpin semua monster-monster ini di depan sana.
Mungkin ini hanya iseng semata, seperti sesuatu yang dijadikan pelampiasan atas tak puasnya keinginan seseorang.
Semakin kuat adrenalin yang terpacu, rasa tak puas hati itu perlahan akan melebur menjadi rasa takut yang mirip dopamine. Seperti itu lah yang saat ini sedang coba Dolores lakukan.
"Yah gak ada ruginya juga, barang kali aku akan mendapatkan sebuah jawaban tentang pandemi monster ini dan mengakhirinya?"
Tentu saja semuanya asal tidak ketahuan.
"Wow. Berimajinasi memang begitu mudah."
Lantas ketika Dolores sudah semakin dekat dengan ujung dari pawai itu, sosok monster yang memimpin ribuan monster-monster itu akhirnya terlihat.
Dolores tertegun. Dikarenakan rupa monster itu tak seperti bayangannya.
"Dia sungguh kah berwujud monster?"
Sosok yang dilihat Dolores adalah seorang laki-laki kisaran usia 27. Dia sungguh berbeda dari kebanyakan monster yang telah Dolores lihat, bahkan Agni sekali pun.
Sosok itu sekilas terlihat seperti manusia biasa, namun siapa pun juga tahu bahwa mereka seakan hidup di dunia yang jauh berbeda.
Bagaimana Dolores mendeskripsikannya.
Yang jelas dia memiliki rupa teramat tampan, wajahnya putih bersih seperti seseorang yang sungguh peduli dengan penampilannya. Rambutnya teramat panjang nan lebat dengan warna merah menyala selayaknya kobaran api yang tak pernah padam.
Juga dia mengenakan setelan hitam berjubah hitam panjang yang menjuntai. Tiap kali dia berjalan, jubahnya pasti akan terseret di tanah.
Perasaan Dolores tak karuan. Dia seakan memiliki memori dengan monster berambut merah yang baru dilihatnya ini. Tapi sungguh! Semakin lama Dolores melihatnya meski hanya dari samping dari kejauhan seperti ini, Dolores seakan telah lama mengenal sosok itu.
Mungkin sekitar setahunan?
Tapi siapa yang mau mempercayainya?
Dolores mengenal monster yang memimpin pawai ribuan monster-monster ini?
Setidaknya akan lebih masuk akal jika Dolores telah teracuni kabut-kabut di sekelilingnya ini, hingga otaknya bisa sekacau ini sekarang.
"Aku yakin aku gak lagi berhalusinasi."
Dolores coba mencubit lengannya, terasa sakit. Lalu dia memungut kerikil di sekelilingnya dan menjatuhkan ke tanah, kerikil tersebut jatuh seperti semestinya. Sayangnya Dolores terlalu sibuk untuk mencari jam analog dan - sebentar!
Apa yang sedang Dolores pikirkan sekarang?
Tanpa berpikir matang-matang, gadis itu menerobos masuk ke dalam rombongan pawai para monster. Dia berusaha mendekati laki-laki asing yang dilihatnya barusan itu.
Padahal Dolores tahu bahwa 100% laki-laki itu pastilah seekor monster, tapi dengan bodohnya dia tetap menerobos masuk ke tengah-tengah mereka seperti seekor tikus yang masuk ke sarang ular.
"Aku hanya ingin memastikan ingatanku!"
Hanya itu lah satu-satunya kata yang Dolores tinggalkan sebelum kakinya berlari.
Saat Dolores akhirnya muncul di hadapan monster itu, Dolores hanya terpaku terbengong menatap wajah rupawannya.
Seketika pawai berhenti sejenak kala pria berambut semerah api itu berhenti berjalan. Dia menatap bingung perempuan berambut sehijau pucuk daun itu di depannya.
"Aku yakin kamu tak seharusnya berada di sini." Dia berucap dengan senyum tertahan. Seperti senyum ejekan.
"Apa aku mengenalmu?" tanya Dolores sambil mendongakkan kepala guna menatap ekspresi sosok itu.
"Apa kamu mengenalku?" Dia bertanya balik. "Bagaimana jika kamu mengingat-ingat namaku dulu, Sayang?"
Dolores frustasi, dan kini perutnya mulai terasa teraduk akibat bau busuk yang monster-monster itu keluarkan, terlebih mereka semua mulai mengerubunginya seperti kerumunan lalat yang melihat buah.
"Jangan coba-coba mempermainkan ku-"
Punggung Dolores terdorong maju bersamaan dengan semakin riuhnya monster yang mengerubunginya, disaat bersamaan Dolores mempertahankan posisi berdirinya dengan kaki cenat-cenut menahan nyeri, dan tangannya tak sengaja mencengkram lengan laki-laki itu sebagai tumpuan.
Seketika ingatan Dolores seperti ditarik mundur ke belakang, ke dalam ratusan tahun silam, ke sebuah masa yang teramat tua hingga sejarahnya tinggal tersisa kepingan-kepingan hitam-putih yang saling berkesinambungan.
.
.
"Nama hamba adalah Karma Scarlett."
Pemuda berambut semerah api itu bersimpuh di hadapan seorang nyonya cilik - yang bersembunyi di dalam tandu - yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
"Sebagai tanda rasa terima kasih hamba lantaran Nona telah bermurah hati menyelamatkan nyawa hamba, hamba memohon izin agar Nona menerima hamba sebagai seorang budak."
Sosok yang berada di dalam tandu itu mengulurkan tangannya keluar, kepada seorang pemuda yang hampir dibakar hidup-hidup oleh penduduk lantaran dituduh sebagai penyihir.
"Tegakkan kepalamu," perintahnya, dan Karma pun segera memenuhi keinginannya. "Mulai sekarang jadilah abdi yang selalu setia melindungiku."
Itu adalah ucapan mutlak, bagaimana mulai saat ini dia menerima pemuda itu sebagai bagian dari sehari-harinya.
"Hamba sungguh berterima kasih atas kemurahan hati Nona hingga mau menerima hamba yang hanya rakyat jelata ini."
Gadis itu melongokkan sedikit wajahnya keluar tandu, tampaklah wajah ayu nan kecilnya yang seputih awan di langit cerah. Juga helaian rambut panjangnya yang bagaikan bulir salju berjatuhan di atas langit.
Gaun ungunya yang dijahit dengan rapi serta dari bahan berkualitas terbaik, segera memberitahukan pada siapa pun yang melihatnya bahwa gadis itu bukan berasal dari keluarga sembarangan.
Sesaat, dalam pandangan pertama Karma yang singkat. Nonanya bagai seorang Dewi.
Dia tersenyum tulus penuh haru. Sekali lagi, Karma menunduk, merasa tak pantas menatap nonanya berlama-lama.
"Hamba sungguh berterima kasih, hamba akan mengabdi pada Nona dan melindungi Nona walau nyawa hamba adalah taruhannya."
Tapi gadis itu justru tertawa kecil.
"Jangan mengatakan hal yang mengerikan seperti itu," katanya tak suka, "dan berhenti memanggilku nona, panggil saja aku Elise."
Karma tak pernah begitu terkejut hingga hari ini. "E-Elise?"
Lidahnya begitu kelu saat menyebut nama yang begitu indah itu.
Elise mengangguk pasti. "Benar seperti itu. Elise. E. L. I. S. E. Elise ... semua abdiku memanggilku Elise, jika tidak, aku akan membenci kalian selama dua hari."
Dan begitulah bagaimana Karma dan Elise bertemu, yang perlahan-lahan status abdi dan majikan itu melebur menjadi sahabat.
Namun selayaknya apel yang akan segera membusuk setelah digigit, keindahan Elise perlahan-lahan layu setelah penyakit menular yang sangat langka menggerogoti tubuhnya semakin parah.
Semua tabib dan dukun menyerah mengobati Elise. Bahkan tak sedikit dari dukun-dukun itu yang menyebut jikalau Elise telah terkena kutukan.
Bagaimana tidak. Penyakit itu menyerang sistem kekebalan tubuh Elise, dengan munculnya bercak-bercak kecokelatan mirip akar pohon disekujur tubuh Elise - termasuk wajahnya - yang terus-menerus menyerap nutrisi di dalam tubuh.
Bahkan bagi Karma sekali pun yang selama belasan tahun telah lihai meracik obat-obatan untuk dijadikan ramuan, penyakit Elise begitu sungkar untuk disembuhkan.
Kedua orang tua Elise bagai tak lagi memiliki harapan untuk kesembuhan putri keempat mereka. Terlebih setelah seorang dukun kepercayaan memberi usulan untuk mengasingkan Elise jauh dari saudara-saudaranya agar penyakit itu tak semakin menular.
Maka diusia Elise yang masih begitu belia. Dia diasingkan ke sebuah hutan - yang begitu jauh dari rumah - yang telah dibangun sebuah rumah mewah bersama 200 budak yang akan merawat Elise selama dalam pengasingan hingga sembuh.
Tak terkecuali Karma yang telah mengucap janji setia pada Elise.
𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Author notes.
Next chapter masih untuk ngelanjutin flashback ini.
24 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro