Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Monsters ⚘

“Aku mau selamat, aku mau diselamatkan, jadi aku harus berjuang bertahan hidup. Kalau kamu juga punya pemikiran yang sama kayak aku, kita bisa pergi bersama.”

Kirana diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, “Oke. Tapi kalau kamu cuma jadi beban, akan langsung ku tinggal.”

“Kamu pikir aku NPC.”

Dolores tersenyum, Kirana membalas senyumnya, kemudian mereka tertawa kecil, memecah ketegangan.

𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘

Dolores dan Kirana telah memutuskan untuk pergi bersama-sama.

Dolores juga berencana untuk berkeliling sekolah demi mencari apa pun yang dapat berguna bagi perjalanan mereka.

“Mau ngapain, sih? Nanti kalau ketemu monster gimana?”

Kirana tak habis pikir dengan Dolores, mentang-mentang dia pernah lolos dari dua monster, tapi bukan berarti dia tokoh utama, kan?

“Terlebih, ngapain pakai ajak aku segala?!”

Dolores memutar bola matanya muak. “Lalu, kamu mau enak-enakan ngadem di sana, sementara aku mengelilingi gedung sekolah sendirian begitu?”

Dia menyebarkan pandangannya ke sekeliling.

“Kamu tahu, kan, ma-maksudku bukan begitu.”

Kirana menatap nanar sekelilingnya sambil berjalan membuntuti Dolores.

“Kalau kamu mau kembali ke sana, kembali saja, tapi jangan salahkan aku jika tiba-tiba ada monster yang menerobos masuk ke ruangan itu. Aku semalam sudah cerita, kan, tentang monster kera yang menyerang ku?”

Kirana takut mati, jadi untuk kali ini saja, dia percaya dengan Dolores.

Dolores membenarkan kalung sepatunya yang hampir melorot.

“Aku pernah lihat didrakor, para penyintas biasanya berkeliling untuk mencari benda-benda tajam dan kuat yang bisa membantu mereka melawan zombi, juga mencari perbekalan makanan. Aku coba terapin itu, karena kita gak tahu apa aja yang bakalan terjadi di luar sana.”

Dolores yakin, di luar sana keadaannya pasti jauh lebih berbahaya dibandingkan di dalam gedung.

“Tapi kamu yakin, kan, kita pasti bakalan diselamatkan?”

“Yakin gak yakin, sih. Yang penting usaha dulu, lagian yang dengar pengumuman diradio nya, kan, kamu.”

“Jangan bikin aku nyesel, ya, udah ngikutin kamu.”

“Berisik, ah.”

Mereka berdua berjalan cepat tanpa alas kaki, agar suara langkah kakinya tak mengundang para monster.

Mereka membuka pintu kelas satu per satu dengan hati-hati dan mencari alat komunikasi di dalam tas-tas siswa yang tertinggal, Dolores dan Kirana masing-masing mengambil satu tas punggung.

Mereka menemukan dua buah ponsel, sebuah gunting, dan lima roti layak makan.

Saat singgah di gudang, Dolores mengambil dua buah kapak untuk jaga-jaga, satu kapak dia masukkan ke dalam tas dan satunya lagi dia pegang, sementara Kirana memilih sebuah gunting rumput. Karena kedua gadis itu tahu, mereka harus bisa melindungi diri mereka sendiri.

“Kamu mau ke mana?”

“Lah?”

Kirana bingung ketika Dolores bertanya seperti itu saat dia hendak membuka pintu gudang.

“Katanya tadi setelah dari gudang, langsung ke kantin.”

Dolores malah duduk berselonjor di lantai. “Lihat ke bawah pintu.”

Kirana langsung mengambil langkah lebar menjauhi pintu, dia kira Dolores melihat monster di depan pintu gudang.

“A-apa?”

Dolores menunjuk bawah pintu depan dagunya. Dengan penasaran sekaligus waspada, Kirana berjongkok dan tengkurap untuk melihat ada apa di bawah pintu.

“Gak ada apa-apa, tuh?” Dia bicara dengan sangat pelan.

“Lihat asap tipis itu gak?”

Kirana mengangguk, masih bingung.

“Sejak tadi kita ke sana ke mari tanpa bertemu dengan monster, karena asap-asap itu sedang menghilang, aku sengaja memilih waktu yang tepat. Tapi sekarang, asapnya udah mulai datang lagi dan semakin tebal.”

Dolores membuka tas yang dibawanya, dia mengeluarkan roti yang ditemukannya tadi, sebuah botol air mineral, dan apel.

“Apa hubungannya monster sama asap-asap itu?” Dahi Kirana berkerut.

Dolores mengigit apelnya. “Monster-monster itu muncul dari dalam asap tersebut. Aku juga ragu pada awalnya, tapi disituasi kayak sekarang ini, bukannya semua hal yang gak masuk akal justru lebih masuk akal?”

Dolores bicara sambil terus mengunyah apelnya.

“Yang ku tahu, selain menjadi tempat keluarnya para monster, asap-asap itu juga menjadi kekuatan bagi mereka, tanpa asap-asap itu, monster-monster itu cuma kroco.”

Kirana duduk bersila di sebelah Dolores. “Jangan bilang, kamu berhasil lolos dari dua monster itu saat asap-asapnya sedang menipis, ya?”

Dolores menoleh pada Kirana. “Beruntung banget, kan, aku?”

Kirana memperhatikan kantung mata Dolores yang semakin menghitam, seakan dia telah terjaga selama berhari-hari.

“Kalau situasinya makin mendesak, mungkin kita bukan cuma harus kabur, tapi juga membunuh monster-monster itu.”

✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘

Selang tiga jam keduanya tidur bergantian dan saling menjaga, tiba waktunya untuk kembali memulai saat-saat paling berbahaya dalam hidup mereka.

Dolores menjadi orang pertama yang memeriksa keadaan sekitar. Asapnya sudah lebih tipis dan penglihatan di sekitar lingkungan sekolah semakin terlihat jelas. Dolores yang keluar dari gudang lebih dulu memberi isyarat dengan tangan pada Kirana untuk segera menyusulnya.

“Jangan membuat gerakan yang gak perlu dan jangan bicara terlalu keras,” bisik Dolores saat Kirana telah menempel di belakang punggungnya.

Keduanya berjalan cukup cepat menuju kantin, namun, karena tanpa alas kaki, suara langkahnya pun tak terdengar. Ini adalah idenya Kirana untuk melepas sepatu mereka dan menggantungnya dileher.

Tiba-tiba Dolores menghentikan langkahnya dengan waspada. Ada sesuatu di depan mereka, terlihat seperti sebuah kursi, tapi memiliki mulut bergerigi yang mengkilap seperti pisau yang baru diasah.

“Mons-monster—”

“Ssstt.”

Dolores menyiapkan kapak yang dipegangnya di depan badan, Kirana mengikuti Dolores dengan menyiapkan gunting rumput di depannya.

Mereka berdua berjalan melewati monster yang menyerupai kursi itu dengan sangat hati-hati, jika perhitungan Dolores tepat, maka saat ini monster itu sedang dalam kondisi lemah dan tak menyadari kehadiran mereka berdua.

Tapi membunuhnya cuma akan mengundang lebih banyak monster untuk mengerumuni mereka berdua.

Setelah jarak mereka cukup jauh dari monster kursi itu, Dolores mempercepat langkahnya, diikuti Kirana di belakangnya, dan tak memakan waktu lama, mereka akhirnya sampai di kantin.

Kantin terlihat sangat berbeda dari terakhir kali Dolores melihatnya, kini banyak kursi-kursi bergelimpangan dan piring-piring pecah. Pasti ulah monster-monster itu.

“Kita cari dan ambil apa saja yang bisa dimakan.”

Seharusnya kantin menjadi tujuan terakhir mereka di sekolah, sampai saat mereka melewati toilet.

Dolores mencium bau badannya sendiri, mencium bau badan Kirana, lalu berpikir, kapan terakhir kali dia mandi? Karena sekarang tubuhnya benar-benar sangat lengket dan bau badannya mirip kambing.

“Masih ada sekitar 10 menit lagi sampai asap itu kembali,” katanya.

“Kali ini kita mau sembunyi di mana—”

“Kita gak bakalan sembunyi.”

“Hah? Monsternya mau dilawan?”

“Aku rindu mandi.”

Dolores menaruh tas itu di samping pintu toilet. Matanya terus melihat pintu toilet yang tertutup, yang tepat berada di depan kedua gadis itu.

“Tubuhku juga sangat lengket dan bau, tapi Dolores come on, kita sedang di tengah-tengah pandemi monster dan bisa mati kapan aja. Terus tiba-tiba, kauy ngehalu mau mandi?”

Tapi Dolores tidak peduli. “Aku gak tahu kapan lagi bisa mandi, kalau kamu mau mandi juga, ya ayo bareng.”

Kirana belum memberi jawaban, namun, Dolores sudah mulai menanggalkan pakaiannya.

“Aku kasih kamu waktu lima—ah gak, aku kasih waktu tiga menit. Lewat dari itu, aku sendiri yang akan membunuhmu.”

Dolores tahu Kirana sedang mengancamnya.

Wajah cemberut Kirana dengan tangan bersedekap adalah hal terakhir yang Dolores lihat, sebelum akhirnya dia menutup pintu toilet.

Syukurnya wastafelnya masih menyala, air yang keluar masih sama segarnya seperti biasa.

Sambil bercermin Dolores membasuh wajahnya beberapa kali, berkumur-kumur, kemudian membasahi kepala sampai rambutnya yang berwarna seperti dedaunan muda itu basah.

Dolores memakai sebuah kain yang telah dibasahi untuk membilas seluruh badannya, karena tak ada sabun, jadi seperti ini saja sudah cukup.

Brak! Brak! Kirana menggedor-gedor pintu toilet, seakan menyuruh Dolores untuk cepat-cepat menyelesaikan mandinya.

“Padahal sudah ku bilang jangan membuat kegaduhan.”

Sambil membilas punggungnya, Dolores menghela napas, dia pikir dia memang harus segera menyelesaikan kegiatannya—

“Aaahhh!!”

Ribuan cicak jatuh dari atas plafon yang tiba-tiba jebol, dan seperti air shower, cicak-cicak itu menguyur tubuh bugil Dolores.

Saking banyaknya cicak-cicak yang berjatuhan di atas kepala Dolores dan memenuhi ruangan sempit itu, Dolores bahkan kesulitan bergerak walau hanya sekadar meraih ganggang pintu.

Dolores menutup mulutnya rapat-rapat ketika cicak-cicak itu mulai merambat ke wajahnya, dengan wajah memerah jijik, Dolores memutar ganggang pintu sekuat tenaga dan langsung melompat keluar dari dalam toilet.

“Kirana—”

Tak ada seorang pun di luar toilet.

Seketika cicak-cicak itu berlarian ke luar ruangan, Dolores berjingkrak-jingkrak jijik. Dia melebarkan pandangan, dan ketika menemukan tas berserta pakaiannya tergeletak di lantai, dia segera memungutnya dan lari dari tempat tersebut.

Dolores berlarian di sepanjang koridor tanpa berbusana dan hanya menutupi tubuh bagian depannya dengan tas dan pakaian. Sebagian cicak-cicak sialan itu masih mengejarnya, meski tak sebanyak ketika berjatuhan menimpa kepala Dolores tadi.

Kemudian Dolores tersadar akan hal mengerikan yang tak segera disadarinya sejak tadi, bahwa entah sejak kapan asap itu telah kembali lebih cepat dari dugaannya, dan dengan lebih tebal dari sebelumnya.

Lalu telinga Dolores menangkap sesuatu yang berjatuhan di belakangnya, sesuatu yang banyak dan cukup besar, mungkin seukuran orang dewasa?

Ketika Dolores menoleh ke belakang, sepasang matanya disuguhi puluhan orang — laki-laki dan perempuan kesemuanya orang dewasa — berjatuhan dari atas langit. Dolores maju melihat lebih dekat apa yang ada di atasnya dan apa yang ada di bawahnya. Langit kini terlihat mendung seperti jus darah, sementara di bawah Dolores, puluhan orang tanpa pakaian bergelimpangan seperti sarden.

Dolores merinding. Dia seakan sudah pernah mengalami hal serupa ini, rasanya seperti baru beberapa hari lalu saat dunia masih baik-baik saja.

Seharusnya Dolores segera pergi menjauh dari tempat itu, namun, kakinya terpeleset. Dolores jatuh dan tubuhnya menimpa orang-orang yang jatuh dari langit itu.

Dolores sadar mereka bukanlah manusia, mereka hanyalah monster yang menyerupai bentuk manusia. Dia hendak segera pergi dari tempat itu sebelum mereka menyadari eksistensinya, tapi kala sedang melangkah terseok-seok, pergelangan kaki Dolores dicengkeram erat dan dia jatuh terjerembab mencium tanah.

Memperlihatkan bentuk suci mereka, makhluk-makhluk itu tak berpakaian. Mirip seperti cicak-cicak yang berjatuhan di atas kepala Dolores tadi. Sama seperti mereka, Dolores pun memperlihatkan bentuk sucinya.

Dolores terkapar di atas tanah, dia ingin menghilang dari tempat itu. Namun, orang-orang yang bugil dengan wajah rata itu seakan tengah menatapnya bengis.

Meski tanpa mulut, mereka mampu berbicara dalam bahasa aneh yang tak Dolores mengerti atau pun pernah dengar, mulut mereka sangat cepat mengeluarkan kata demi kata pada satu sama lain, sekilas terdengar mirip seperti suara koloni nyamuk.

Dolores menyeret tubuhnya menjauh, dia mulai menangis, setiap detik seakan berjalan begitu lamban.

Kala Dolores berhasil menguasai tubuhnya dan mulai berlari pergi, orang-orang tanpa mata dan telinga itu mengejarnya seperti zombi dan langsung menyeretnya beramai-ramai. Tubuh Dolores ditarik ke sana ke mari, menjadi rebutan, bagai monyet-monyet yang sedang berebut satu buah pisang.

Dolores merasakan tubuhnya seperti tercabik-cabik, sakit. Telinganya terus berdengung hingga mengeluarkan darah gara-gara suara yang dikeluarkan makhluk-makhluk itu. Tubuhnya diangkat, lalu kembali terlempar ke tanah, ditarik dan kembali membentur tanah. Mungkin tinggal menunggu waktu hingga Dolores berjumpa dengan kematian.

Atau mungkin tidak? Dia jatuh tepat di depan tasnya yang tergeletak. Dengan cepat, Dolores meraihnya disaat yang bersamaan tubuhnya kembali diangkat dan dilempar sana sini menjadi rebutan.

Dengan kepayahan, Dolores membuka tas tersebut. Seketika barang-barang yang dikumpulkannya berjatuhan, tapi senyum asa Dolores terbit kala dia berhasil menemukan apa yang dicarinya. Sebuah kapak.

Dolores menggenggam kapak itu kuat, lalu ketika tubuhnya kembali dilempar seperti bola dari kaki kiri, Dolores merentangkan tangannya, membabat apa pun yang dilihatnya penuh dendam. Seketika, makhluk yang tadi disambit olehnya mengerang kesakitan. Menarik atensi makhluk-makhluk serupa itu pada Dolores yang tubuh bugilnya terciprat darah.

Makhluk-makhluk itu marah ketika melihat temannya ada yang mati.

Dolores membentuk tanda peace dengan tangan kirinya sambil menjulurkan lidah, sementara tangan kanannya telah bersiap menyambut mereka dengan kapaknya yang mengkilap berlumuran darah.

“Aku tidak akan pernah tunduk pada makhluk rendahan seperti kalian!”

Dolores menyambut serbuan makhluk-makhluk itu dengan menebas kepala mereka satu per satu. Menusuk perut mereka hingga keluar organ dalamnya, membelah kepala mereka hingga keluar isinya.

Perlahan, namun, pasti. Makhluk-makhluk itu mulai berkurang, rata-rata tergeletak mati mengenaskan, sementara sebagian kecil sisanya lari tunggang langgang.

Sambil menengadahkan wajahnya menyambut gerimis, Dolores berdiri tegak diantara mayat-mayat. Tubuhnya yang putih kini bermandikan darah.

“Papah... mama....”

Namun satu hal yang gadis itu tahu, kini dia tak perlu lagi merasa takut, karena dia telah mampu membunuh sumber ketakutannya.

𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘

Author notes.

Yeay akhirnya bisa update. Uh, chapter ini sebenarnya cukup disgusting, makanya aku kurang merekomendasikan kalian baca cerita ini sambil makan.

16 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro