3. Heard ⚘
"Aku mau tanganmu. Berikan aku tanganmu."
Kepalanya seperti diremas dan dijedotkan berkali-kali ke tembok, bahkan sekujur tubuhnya pun terasa kaku sulit tuk digerakkan.
Suaranya mendadak hilang tertelan ketakutan, dan Dolores tak henti berkeringat dingin kala makhluk sepanjang dua meter itu merangkak cepat mendekatinya, perlahan-lahan merambat ke atas tubuh Dolores yang berdiri kaku dengan ratusan tangan yang dimilikinya.
Makhluk berkepala wanita tua dengan tubuh kelabang itu mendekatkan wajahnya pada wajah Dolores, sepasang mata Dolores yang ditelan kepanikan tak henti mengikuti ke mana kepala makhluk itu bergerak, kemudian makhluk itu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi setajam gergajinya di depan wajah Dolores. Menguar lah ababnya yang bau bangkai disertai darah yang seakan menegaskan apa makanannya.
Perut Dolores teraduk, dia hampir memuntahkan makan siangnya yang naik ke kerongkongan, tapi kala lidah bergerigi makhluk itu menjilat pipinya penuh kenikmatan, Dolores menahan napas dan menelan muntahannya kembali.
"Ayo! Serahkan padaku tangan-tanganmu!"
𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Day 3.
Mungkin kah semesta sedang jatuh cinta padanya hingga semua keajaiban-keajaiban ini menghampirinya?
Dolores tidak tahu apa yang terjadi padanya. Setelah semua kecantikannya yang tiba-tiba, dan semua orang yang mulai menjadi terlalu baik padanya, kini Dolores mulai mendengar suara hati mereka yang bersentuhan dengannya.
Dolores pikir itu cuma halusinasi atau salah dengar semata, karena dia yang terlalu lelah beramah-tamah pada teman-teman barunya yang berjumlah seluruh sekolah.
Tapi setelah beberapa waktu berlalu, Dolores sepenuhnya sadar bahwa dia kini benar-benar mampu mendengar suara hati siapa pun yang dikehendakinya.
Itu benar-benar menakjubkan! Untuk sesaat Dolores hampir berpikir bahwa kini dia mungkin bisa menjadi dewa. Makanya, Dolores coba menguji kemampuannya.
"Hai," sapa Dolores.
Lalu tanpa izin, dia duduk di sebelah siswa itu.
Mattheo menarik bibirnya ketika melihat Dolores. "Aku merasa tersanjung disapa lebih dulu oleh gadis cantik sepertimu."
"Itu gombalan?"
Dolores mengerlingkan matanya genit.
Mattheo menyingkirkan piring buburnya dan memutar tubuhnya menatap Dolores, sambil menopang kepalanya dengan satu tangan, dia berkata, "Aku rasa gadis cantik sepertimu pantas mendapatkan lebih dari sekadar gombalan."
"Seperti?"
Dolores menempelkan tangannya pada lengan Mattheo.
"Seperti hmm."
Mattheo tampak berpikir sambil senyam-senyum sendiri, tapi Dolores tahu itu cuma trik murahannya.
"Seluruh cinta dan perhatianku, misalnya."
Dolores tertawa.
"Gila, kalau dipandang dari dekat gini makin kelihatan cantiknya, cuy! Ke mana aja aku selama ini. Harus cepat-cepat dipacarin sebelum keduluan."
"Wow, hebat," ucap Dolores refleks.
"Wow?"
Dolores mengangkat bokongnya, dia meninggalkan Mattheo yang memasang wajah kehilangan.
Dolores akan melakukan hal serupa kepada beberapa orang lagi. Yang menjadi target Dolores kali ini adalah sekumpulan siswi, mereka sedang membicarakan sesuatu di depan mading.
"Boleh aku bergabung?"
Dengan tangan terlipat di belakang punggung, Dolores memasang senyum ramahnya.
Gadis-gadis kelas 2 itu lantas tersipu, mereka segera membuat tempat kosong agar Dolores dapat bergabung. Mereka semua menyambut kedatangannya dengan ramah.
"Tentu saja."
"Bergabunglah kapan pun yang kamu mau, Dolores."
"Senangnya dapat berbicara dengan Dolores."
"Dolores merek skincare apa yang kamu pakai?"
Ketika tersenyum, mata Dolores akan menyipit seperti bulan sabit, seperti saat ini.
"Kalian sedang membicarakan apa?" Dolores maju mendekat.
"Kita sedang membicarakan kontes Halloween sekolah yang akan diikuti oleh seluruh siswa dari kelas 1 hingga kelas 3, kyaa!" jelas gadis berambut pop itu heboh sendiri.
"Oh, kontes itu, bukankah itu akan diadakan seminggu lagi?"
"Tepat sekali. Aku sungguh menantikan kosplay terbaik cowok-cowok itu," sambung lainnya.
"Aku pikir kak Bayu akan memenangkan kontes ini, dia sangat tampan seperti pria yang muncul dari anime."
"Aku pikir Sandi Gnay lah yang akan keluar sebagai juara," kata gadis lainnya, "aku harap dia cosplay menjadi vampir."
"Sandi Gnay? Si anak kelas 1 itu?"
"Yup, dia sungguh perpaduan tampan dan manis, kacamatanya membuatnya terlihat seperti nerd idaman."
Dolores sengaja menepuk pundak gadis dengan bando di atas kepalanya.
"Bagaimana dengan Haq Hzllm? Atau Aji Saka?"
"Ah, si ketua basket dan ketos itu?"
Dolores mengangguk.
"Haq? Saka? Sudah ku duga, selera Dolores memang tak main-main."
"Mereka bukannya homo, ya?"
Dolores hampir tersedak ludahnya sendiri.
"Yak! Jangan menyebarkan fitnah sembarangan seperti itu."
Untungnya, rasa kesalnya sudah terwakili oleh orang lain.
"Habisnya, setiap kali aku melihat mereka berdua sedang bersama, aku jadi teringat dengan karakter komik bl yang ku baca."
Dolores coba menempelkan lengannya dengan gadis itu.
"Kalau Haq dan Saka benar-benar homo, aku doakan mereka main series bl."
Sambil memasang senyum palsunya, Dolores berpikir untuk menyudahi pengujiannya hari itu.
✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Mampu mendengar kata hati orang lain adalah pisau bermata dua.
Di satu sisi, Dolores bisa memanfaatkan kemampuannya untuk keuntungannya sendiri, dan kini Dolores tak mudah tertipu mulut manis seseorang.
Namun di sisi lain, Dolores harus menahan sakit hati kala mendengar caci-maki orang-orang, sementara pada saat bersamaan mulut busuk mereka memuji Dolores habis-habisan.
"Dolores, hari ini kamu sangat wangi. Parfum apa yang kamu gunakan?"
"Memuakkan. Aku ingin muntah mencium aromanya."
"Hai, Dolores. Selamat pagi, hari yang bagus, ya, untuk beraktivitas."
"Hanya karena semua orang bersikap ramah padanya, aku juga harus ramah begitu? Sial."
Orang-orang munafik!
Pada akhirnya, Dolores sama sekali tak menganggap bahwa apa yang diterimanya saat ini adalah sebuah berkat. Karena semua yang dirasakannya sejak dia mendapatkan keajaiban itu hanyalah tekanan.
Mungkinkah semesta sedang menabur benih-benih kebencian padanya?
Dari semua itu, yang paling membuat Dolores sakit hati adalah keluarganya sendiri. Damian dan Lami. Dolores tahu kedua saudaranya itu memang bermulut busuk, tapi dia tak menduga bahwa ternyata mereka lebih busuk dari bangkai. Mereka berdua diam-diam bukan hanya menusuk Dolores dari belakang.
Lami lah yang ternyata selama ini menaruh racun ke makanan kucing yang dipelihara Dolores, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali sejak Lami baru berumur tujuh tahun hingga puncaknya, Dolores menemukan anak kucing kesayangannya mati dengan isi perut berceceran di atas kasurnya.
Saat itu, Dolores berteriak kencang dan demam selama dua hari dan sejak hari itu, Dolores trauma untuk memelihara kucing lagi.
Hebatnya, seluruh keluarganya termasuk ayah, ibu, dan neneknya tahu itu, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berani memarahi iblis kecil yang mereka pelihara dengan alasan, rasa iri hati Lami terhadap Dolores valid.
Memangnya siapa yang selalu membeda-bedakan mereka berdua jika bukan mereka sendiri?!
Ceritanya tidak sampai di situ saja. Kakak laki-lakinya, Damian, selama ini ternyata sering memfoto Dolores diam-diam dan menjual foto-foto itu disebuah forum mesum yang seluruh anggotanya adalah laki-laki. Damian melakukan hal tersebut selama lebih delapan tahun.
Malam itu ketika makan malam, ketika seluruh anggota keluarganya telah duduk rapi dikursi masing-masing, Dolores menjadi orang terakhir yang datang.
Tapi Dolores tak datang dengan tangan kosong, dia membawa sebuah ember cat berwarna biru berukuran 100ml dan menguyur kepala Lami dan Damian secara bergantian.
Semua orang terkejut, Lami sudah bersiap dengan sumpah serapahnya, dan Damian hendak mengangkat kursinya.
Tapi dengan santai Dolores berkata, "Aku menyayangi kalian. Lami, Damian. Kalian adalah saudara-saudaraku yang paling berengsek."
Kemudian, Dolores meninggalkan rumah begitu saja tanpa menjelaskan apa pun.
Malam itu, Dolores menginap di rumah Kirana. Gadis berambut ungu sepinggang yang sangat suka dicepol dua itu mendengarkan curhatan Dolores hingga pagi tanpa berkomentar macam-macam.
Dolores sangat lega, ada orang yang masih mau mendengarkan keluhannya. Jadi dia ingin mendengar reaksi jujur Kirana, maka Dolores pun menyentuh pahanya sejenak.
"Mau sampai kapan, sih, dia terus bercerita tentang omong kosong ini? Sial, aku mengantuk. Tapi aku tak bisa mengabaikannya begitu saja. Jika bukan karena dia yang tiba-tiba menjadi sangat populer, aku tak akan sudi memungut sampah yang sudah ku buang."
Day 4.
Dolores mengabaikan semua sapaan untuknya.
Bibirnya pucat, tubuhnya tak bertenaga, bahkan kantung matanya kini memiliki kantung mata tambahan. Tapi Dolores tak peduli, karena sejak semalam, dia bisa mendengar semua isi hati orang-orang tanpa perlu menyentuh mereka. Gembira? Tidak, Dolores sedang stres berat.
Kini, isi hati orang-orang bagai suara nyamuk yang terus berdengung dikepalanya.
"Selamat pagi, Dolores."
"Sial. Aku benci Dolores!"
"Hai, Dolores. Punya waktu luang gak? Aku mau ngajakin kamu nongkrong, nih, nanti sore? Datang, ya."
"Tenang, aku hanya memanfaatkannya demi keuntunganku."
"Pagi, Dolores. Mau bareng ke kantin sama aku gak? Kita duduk bareng, yuk."
"Semua orang tergila-gila dengan Dolores, cih padahal dia hanya sampah tanpa tampangnya."
"Dolores, aku ngefans banget sama kamu. Aku boleh minta foto bareng gak?"
"Aku pasti akan menyingkirkan Dolores dan membuatnya memakan kotoran."
"Hi, Dolores. Selamat pagi, hari ini kamu datangnya agak telat, ya? Kalau kamu perlu bantuan, bisa minta tolong aku ya, jangan sungkan."
"Si pembohong itu masih saja tebal muka, kalau bukan karena terpaksa, mana sudi aku bicara dengannya."
"Dolores, Dolores. Nih, ada surat titipan dari Sandi. Cieee, selamat yaa!"
"Dasar jalang, si Dolores itu pasti sudah mengirim foto-foto bugilnya pada cowok-cowok, makanya mereka semua jadi seperti itu!"
"Pagiii, Dolores."
"Badannya montok banget."
"Jalang rendahan!"
"Bajingan!"
"Brengsek!"
"Sialan!"
"Mati aja."
"Brengsek!"
"Bajingan!"
"Sialan!"
"Aku membencimu!"
"Muka tembok!"
"Dasar miskin!"
"Pembohong!"
"Pembual!"
"Penipu!"
-
"Dolores, kamu lagi ngapain?"
Dolores tersentak. Dia tak sadar telah berjalan sejauh ini demi menghindari orang-orang. Ketika seseorang memanggil namanya, Dolores sudah berada di area luar sekolah, di tepi jalanan rusak yang sedang dalam perbaikan.
"Vina?"
Dolores mundur beberapa langkah, dia lalu merapikan anak rambutnya.
Sudah tiga hari ini Vina tak masuk sekolah, termasuk hari ini, karena Dolores tak melihat tanda-tanda Vina akan masuk sekolah dari pakaian yang dikenakannya sekarang; serba tertutup bahkan memakai topi dan masker.
"Selamat, ya, udah temenan sama Kirana lagi." Tiba-tiba Vina membahas itu, dengan nada suaranya yang tak terdengar marah.
Dolores tersenyum sekilas ketika mendengar suara hati Vina.
"Makasih."
"Harusnya aku yang ada diposisinya."
"Aku gak minta mereka buat invite kamu, kok. Tenang aja," sarkasmenya.
"Oh."
"Berengsek!"
Vina hendak pergi begitu saja, tapi Dolores lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya.
"Ke mana aja kamu?" tanyanya, "gak mau sekolah lagi?"
"Bukan urusanmu." Vina berusaha melepaskan cengkraman tangan Dolores.
"Kamu buang aku?"
"Bukannya kamu yang buang aku duluan?"
Dolores tertawa. Dia lalu melepaskan cengkeramannya ketika mendengar suara hati Vina, tanpa basa basi, Dolores segera melepas masker yang Vina kenakan dengan paksa. Dari sana, dia melihat wajah Vina yang kini dipenuhi oleh jerawat besar-besar kemerahan yang telah mengeluarkan nanah.
Bau tak sedap yang sejak tadi Dolores cium ternyata bukan dari tempat sampah di sampingnya, melainkan dari wajah Vina.
"Muka kamu kenapa?" Dolores benar-benar jijik. Dia bahkan mundur dua langkah.
"Bukan urusanmu."
Langit terasa lebih mendung daripada hari-hari biasanya.
Ketika Vina merebut maskernya dari Dolores dan segera pergi meninggalkannya, Dolores diam-diam tersenyum senang.
Jika seperti ini, orang-orang tak akan membuat spekulasi bahwa Dolores yang meninggalkan pertemanannya dengan Vina demi berteman kembali dengan Kirana, karena Vina lah yang lebih dulu pergi menjauhinya.
Dolores merogoh tas sekolahnya dan mengambil airphone, dia menggunakan itu dan menyalakan musik dengan volume full.
Meski Kirana menyebalkan, tapi Dolores tak bisa melepaskannya begitu saja. Jadi, dia berniat untuk memberinya sedikit pelajaran.
"Setidaknya sampah harus tahu, siapa yang berkuasa atas dirinya."
Dolores melakukan apa yang dilakukannya pada Damian dan Lami kepada Kirana juga.
Terlalu mahal kalau harus membeli cat, jadi Dolores menggunakan air bekas pel-pelan. Dia membasahi tempat duduk Kirana beserta buku-bukunya tepat disaat Kirana baru masuk ke kelasnya - waktu itu juga ada Sarah, Puteri, dan Azizah yang sekelas dengan Kirana - ketika melihat si empunya buku, Dolores memasang senyum tak bersalah.
"Hai, pagi, Kirana."
Dolores melempar ember cokelat itu sembarangan, dia berjalan menghampiri keempat gadis itu.
"Aku seneeeeeng banget, tadi malam bisa nginep di rumahmu. Lain kali, kita bikin pesta piyama, ya."
Sebelum keempat orang itu sempat memberikan responsnya, Dolores lebih dulu pergi meninggalkan mereka dengan tangan terkepal.
Hari ini Dolores ingin membolos, Haq kemarin memberikannya rekomendasi tempat-tempat oke - yang masih berada di lingkungan sekolah - untuk melepas penat saat jam pelajaran.
Pagi itu baru pukul sepuluh pagi, ketika dengan nyenyak Dolores tidur siang dikasur bekas yang ada di atap sekolah hingga sore tiba.
"Aku mau tanganmu. Berikan aku tanganmu."
"Berikan aku tanganmu.
Berikan aku tanganmu.
Berikan aku tanganmu.
Berikan aku tanganmu.
Berikan aku tanganmu.
Berikan aku tanganmu-"
Hingga dia bermimpi buruk.
"Aahhhh!"
Dolores terbangun dengan peluh di seluruh wajahnya. Buru-buru dia melepas airphone yang masih terpasang ditelinga. Ketika memeriksa ponsel, angka telah menunjukkan pukul 16.05 WIB.
"Pantas, langitnya udah muncul semburat oranye."
Dolores memasang kembali airphone-nya, dia lalu turun dari atap melewati tangga, tujuannya adalah toilet.
Setelah menyelesaikan hajatnya, Dolores pergi ke kantin demi mengisi perut, anehnya Dolores tak menemukan siapa pun.
"Mpok Lastri?"
Dolores coba memanggil pemilik kantin, tapi ibu-ibu berkepala lima itu tak menyahut, padahal biasanya selalu siaga hingga sekolah usai. Bahkan dua anaknya yang biasanya bantu-bantu pun tak ada.
"Mpok Lastri -eh."
Airphone Dolores terjatuh ketika benda itu berdenging ngiing nyaring yang membuat telinganya sakit. Tanpa berpikir aneh-aneh, Dolores menyimpannya disaku baju.
Dia lanjut pergi ke kelasnya, seharusnya pelajaran selesai 15 menit lagi. Tapi, ketika Dolores sampai, di dalam kelasnya tak ada siapa pun. Dia cuma menemukan tas-tas milik anak-anak yang tergeletak begitu saja. Seakan ditinggalkan dengan buru-buru.
Dolores mengambil tasnya sendiri dan coba berkeliling ke kelas-kelas lain, tapi sayangnya dia masih tak menemukan siapa pun.
"Ada apa, sih, ini?"
Logikanya, sekolah kosong, para siswa dan guru sudah pulang, tapi mereka tak akan meninggalkan barang-barang mereka begitu saja, kan?
Tak mau terlalu ambil pusing, Dolores memutuskan untuk pulang.
Tapi baru beberapa langkah kakinya menuju gerbang sekolah, Dolores mendengar suara hati seseorang yang sedang asyik makan: hm ini enak, sangat segar. Makanan favoritku.
Ketika dia menyusuri sumber suara itu, Dolores melihat sesuatu yang tak dapat dipercayai oleh mata kepalanya sendiri.
Dia melihat seekor kelabang berukuran sebesar manusia sepanjang dua meter, sedang tertunduk mengunyah seseorang yang memakai seragam guru.
Perut Dolores terasa diaduk, bau anyirnya menusuk hidup. Dia menutup mulutnya menahan mual, sialnya kakinya tak sengaja menginjak daun kering di dekatnya, krekk.
Rasanya seperti memutar adegan slow motion ketika kepala makhluk mirip kelabang itu perlahan berputar dan menatapnya.
Makhluk itu mengulurkan salah satu tangannya pada Dolores.
"Berikan aku tanganmu."
𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Author notes.
Jangan ragu untuk memberiku kritik, aku sangat menghargai kritik dari kalian semua karena itu membantuku berkembang ke arah yang lebih baik.
13 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro