11. Black Day ⚘
𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Kalimat singkat yang dipenuhi kekecewaan yang bergumpal-gumpal itu seakan mencekik leher Dolores, menariknya ke dalam ruang tanpa oksigen yang sekelilingnya dipenuhi kaca setinggi satu meter.
Dolores menarik kesadarannya yang kian menipis, sekuat tenaga dia menarik tangannya yang mulai kesemutan dan mati rasa.
Seketika, Dolores kembali kekenyataan di mana saat ini dia sedang berada di tengah-tengah pawai monster. Para makhluk menjijikkan itu mengerumuninya bagai sekeleton lalat menemukan segunung sampah.
Laki-laki yang sejak tadi berada di depan Dolores itu mengulas senyum tipis.
“Apakah sekarang kamu sudah mengingat namaku? Do-lo-res?”
Dia bertanya dengan santai. Suaranya amat lembut, namun penuh nada ejekan.
Dolores menatap laki-laki itu waspada.
“Karma!" ucapnya menyebutkan nama sosok di hadapannya itu.
Kali ini senyum Karma lebih lebar dari sebelumnya. “Terima kasih telah mengingat namaku—”
“Siapa kamu sebenarnya?”
“Iya?”
“Kamu bukan manusia, 'kan?”
Karma lagi-lagi tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit.
“Saya merasa sedih mendengarnya . Saya ini terlahir sebagai bayi manusia, dan akan mati sebagai manusia juga—”
“Pembohoooong! Dasar monster pembohong! Kamu pembohong!”
Dolores mengayunkan arit yang digenggamnya pada wajah Karma dengan membabi-buta. Gadis itu benar-benar ingin melenyapkan wajah tersebut dari ingatannya. Crack! Crack! Warna merah menciprat ke mana-mana, mengotori pakaian dan sebagian wajah Dolores.
Crack!
Tak ada perlawanan apa pun dari laki-laki pemilik surai semerah lahar panas Merapi itu. Namun, kala Dolores hendak mengayunkan aritnya lagi demi menumbangkan Karma yang tak kunjung tumbang, seluruh darah laki-laki itu melebur menjadi ribuan makhluk sekecil dan sewarna biji salak.
Makhluk-makhluk itu mengerubungi kaki Dolores sambil menggigitnya, mereka naik ke kaki Dolores hingga sebatas dada.
Dolores berjingkrak-jingkrak demi merontokkan makhluk-makhluk itu dari tubuhnya.
“Kecoak sialan!”
Tubuh Karma yang setengahnya telah hancur perlahan-lahan turut melebur menjadi ribuan kecoak yang terbang mengelilingi Dolores, kemudian menempel pada tubuh gadis itu sambil mengigitnya sangat kuat hingga sulit untuk dirontokkan.
“Kecoak-kecoaaaaak brengsek—mmhh!”
Kala Dolores mengumpat, mulutnya dimasuki oleh puluhan kecoak yang sejak awal telah menggerayangi wajahnya. Masuk ke dalam mulut dan tenggorokannya, ribuan kaki-kaki terasa sedang berjalan-jalan ditenggorokan Dolores. Kemudian berkumpul di dalam perut sambil terus berjalan-jalan di dalam ususnya.
Kecoak-kecoak itu merayap dengan sangat cepat dipermukaan wajah dan lehernya, menutupi seluruh badan Dolores seperti parasit.
Panik, jijik, sakit, dan takut bergumpal menjadi satu. Dolores berusaha melepaskan makhluk-makhluk itu dari tubuhnya, namun apa daya yang bisa dia lakukan hanyalah terus berlari sambil membentur-benturkan tubuhnya sendiri pada benda apa pun sambil berharap kecoak-kecoak itu akan rontok dengan sendirinya.
Hingga bau menyengat bensin tercium oleh Dolores. Dolores berjalan terhuyung-huyung membawa beban berat jutaan kecoak di atas tubuhnya, matanya yang tertutup rapat dan wajahnya yang ditutupi puluhan kecoak membuatnya buta seketika. Lantas dia meraba-raba benda apakah yang ada di depannya ini.
Sebuah mobil.
Bau bensin itu berasal dari mobil ini. Seseorang mungkin sedang mengisi bahan bakar dan malah meninggalkannya, mungkin si pemilik mobil tiba-tiba diserang oleh sekawanan monster dihari pertama terjadinya pandemi.
Lantas Dolores berjuang keras untuk menghidupkan mesin mobil tersebut, kemudian membuka bagian depan mobil itu dan menghancurkannya dengan arit yang masih dipegangnya.
Dak! Dak! Dak! Bunyinya seperti itu saat Dolores membenturkan besi dengan besi sebelum akhirnya dia terpental akibat ledakan dari mobil tersebut.
Punggung Dolores membentur sebuah tembok. Brak! Lehernya bahkan sedikit terkilir karena rasanya begitu panas. Tapi, idenya berhasil karena kecoak-kecoak itu sebagian besar telah hangus terbakar dan berjatuhan dari atas tubuhnya.
Dolores hendak bangun, sampai saat dia menyadari bahwa itu adalah SPBU. Di sekeliling mobil yang telah terbakar itu ada belasan mobil-mobil lainnya yang ditinggalkan.
Dolores bangun dengan susah payah, dia harus segera pergi dari tempat itu sebelum dia ikut terpanggang. Malangnya, tepat di depan mukanya yang telah babak belur, ratusan monster telah menunggunya sejak tadi.
Dengan wajah-wajah mengerikan penuh penasaran, mereka menyeret Dolores ke dalam barisan pawai. Satu kuntilanak bergaun merah muda memegangi tangan kanan Dolores, sementara satu sundel bolong memegangi tangan kiri Dolores.
Di bawah kaki mereka, ada puluhan tuyul putih dan hijau dengan mata hitam sedang berlarian riang memeriahkan pawai.
Duarrrr!
Di belakang pawai, mobil-mobil itu satu per satu meledak.
Dolores sempat menoleh ke belakang punggungnya, tampak lah ledakan besar itu membumbung tinggi sampai ke langit. Membentuk pusaran yang mirip kepala jamur.
“Manusia~ ♪
manusia tak tahu diri~ ♪
tak tahu diuntung~ ♪
makhluk berhati dengki~ ♪
seperti gelandangan yang diberi tempat tinggal, tapi malah mencuri tanah~ ♪
manusia, manusia tak tahu diri~ ♪
tak tahu diuntung~ ♪”
Monster-monster itu mengarak Dolores keliling kota Wonogiri sambil menyanyikan nyanyian aneh. Yang dipikirkan Dolores saat itu hanyalah, segera kabut dari tempat tersebut.
Namun kala terik matahari semakin meninggi, sesuatu yang semakin aneh kembali terjadi.
Keranda-keranda berisi manusia hidup yang sejak awal Dolores lihat dipanggul oleh pocong-pocong itu kini dikeluarkan. Kemudian diambil oleh masing-masing dari pocong itu untuk disantap. Dolores dapat mendengar jeritan suara hati mereka yang minta diselamatkan.
Selamatkan aku! Selamatkan aku!
Selamatkan aku! Selamatkan aku!
Selamatkan aku! Selamatkan aku!
“Tidaaaaaaak!”
Dolores melihat adiknya. Lami. Dengan wajah pucat pasi, gadis itu bersama setumpuk manusia lainnya dikeluarkan dari dalam keranda, ditumpuk seperti sedang memanen buah. Lalu, satu per satu manusia itu diambil kemudian dikunyah oleh para pocong.
Termasuk juga Lami yang kini tinggal tersisa sebelah kakinya saja.
Mata Dolores jelalatan mencari orang lain yang mungkin dia kenal, malangnya nasib seakan tak berpihak padanya, karena kini Dolores kembali melihat salah satu anggota keluarganya berada di tengah-tengah pawai.
Ayahnya. Raama.
Raama menatap Dolores dengan tatapan kosong penuh keputusasaan.
Dolores, selamatkan papa!
Dolores, selamatkan papa!
Dolores, selamatkan papa!
Dolores, selamatkan papa!
Dolores, selamatkan papa!
Satu per satu kaki dan tangan Raama dipatahkan sebelum akhirnya kepalanya digigit dan dikunyah seperti permen tusuk.
Mata Dolores membelalak.
“Papaaaaaaaaah!”
Dolores memberontak. Terus memberontak. Ingin mengambil daging-daging ayah dan adiknya yang telah tercerai-berai di dalam perut makhluk-makhluk itu.
Dolores, selamatkan mama!
Dolores, selamatkan mama!
Dolores, selamatkan mama!
Dolores, selamatkan mama!
Dolores, selamatkan mama!
“Tidaaaak! Jangan mama! Jangan mamaaaaa!”
Dolores menangis. Air matanya sudah seperti air terjun yang dikuras habis dan tinggal menyisakan darah yang menetes-netes dari kelopak matanya.
“Jangan nenekku juga! Neneeeek!”
Suara Dolores mulai parau, akibat terlalu banyak berteriak. Pandangannya pun kabur, gara-gara kebanyakan manangis.
“Bukankah kalian semua telah dievakuasi.”
Pandangan Dolores kabur tatkala melihat isi perut Damian dikoyak.
“Ku harap ini cuma mimpi....”
Sayangnya Dolores sama sekali tak berdaya. Cengkraman kuntilanak dan sundel bolong pada kedua lengannya benar-benar kuat, bahkan tak peduli sekuat apa pun Dolores memberontak, pundaknya sendiri lah yang malah rasanya seperti akan putus.
“Ku harap semua ini cuma mimpi buruk....”
Dolores pingsan, di tengah-tengah ratusan monster yang kapan pun siap mencabiknya hidup-hidup.
Gadis berambut hijau pudar yang selalu membiarkan mahkotanya tergerai itu, kini menutup matanya dengan ribuan luka patah hati yang sungkar untuk disembuhkan.
𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Ketika Dolores sadar dari tidur panjangnya, langit telah gelap.
Dolores segera terbatuk-batuk hebat begitu membuka mata, seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya dan membuatnya gatal. Lantas Dolores teringat dengan apa yang terjadi pagi sebelumnya, bahwa ada puluhan kecoak yang masuk ke dalam mulutnya.
Sambil merangkak. Dolores memasukkan satu tangannya ke dalam mulut, dia coba memasukkan jari-jarinya menjangkau ke dalam rongga tenggorokan.
Seketika, batuk Dolores semakin parah. Dia mual, jijik, merinding.
Sesuatu dari perut terasa panas dan naik ke tenggorokannya.
“Huwek! Huwek! Huwek!”
Dolores memuntahkan cairan kental yang berbau mirip darah, juga sesuatu yang terasa agak kasar dengan ukuran kecil-kecil.
Malam itu rembulan seakan lebih dekat ketimbang lampu taman yang ada di samping Dolores. Cahayanya begitu menyilaukan hingga membuat sakit mata. Berkat itu, Dolores dapat melihat dengan jelas apa yang barusan dia muntahkan.
Segumpal darah.
Juga belasan kecoak yang telah mati dengan sebagian tubuhnya terpotong-potong.
“Huwek! Huwek!”
Dolores kembali muntah.
Malam itu. Alih-alih pergi ke gedung Mall Kusuma Wijaya untuk menunggu dievakuasi seperti rencana awal, yang jaraknya tinggal 50 kilometer dari tempat Dolores saat ini. Gadis itu justru memilih untuk pulang.
Pulang ke rumahnya.
Karena dia merindukan keluarganya.
Meski pun Dolores tahu, bahwa di rumah, dia tak akan menemukan mereka.
Deburan ombak terasa jelas ditelinga kala angin tepi laut yang kencang menerpa wajah. Saat telah sampai di halaman rumahnya. Dolores melihat ke atas langit.
Rembulan seperti mengikutinya, atau mungkin lebih tepat jika disebut menemani Dolores berjalan di gelapnya bumi pada malam hari.
Untuk sesaat, Dolores tersenyum. Ayahnya selalu suka bercerita tentang hal-hal seperti itu, bahwa seakan-akan semua benda di sekeliling kita itu sebenarnya hidup dan berpura-pura mati saat kita di dekatnya.
Dolores melihat ke sekeliling rumahnya. Tak ada penerangan seperti biasanya. Sudah berapa lama dia tak pulang? Saat terakhir kali meninggalkan rumah, Dolores pergi dengan hati bersungut-sungut.
Kreaaak~
Pintu tak terkunci ketika Dolores mendorongnya.
Dia masuk ke dalam rumah yang gelap, sekilas sempat melihat ke luar rumah di mana kabut mulai menebal.
Dolores cuma iseng ketika dia menekan saklar lampu di sampingnya, namun ternyata listrik di rumah tersebut masih berfungsi dengan baik.
Dolores sempat memandangi rumah mewah itu senang, tapi sejurus kemudian dia menarik kembali senyuman diwajahnya.
Suasana di rumah itu malam ini terasa begitu asing, padahal Dolores telah tinggal di sini selama 10 tahun lebih.
Semua barang-barang masih terpanjang rapi di tempatnya seperti semula, hanya saja ada beberapa barang yang ditempatkan tak seperti biasanya, ada pula barang-barang yang tak Dolores kenali.
Ketika Dolores menapaki anak tangga, dia menemukan banyak sekali bingkai foto orang-orang yang tak Dolores kenal terpajang di sepanjang dinding di samping tangga. Padahal setahunya, dibagian dinding ini tak pernah dipasangi foto apa pun.
Keanehan di dalam rumah itu tak cukup sampai di sana, ketika Dolores seperti samar-samar mendengar suara langkah kaki orang yang sangat banyak, juga obrolan-obrolan singkat yang amat riuh dilakukan oleh puluhan bahkan mungkin ratusan orang di lantai dua rumah tersebut.
Dolores segera meraih tongkat baseball di samping tangga di dalam keranjang payung. Sambil mengendap-endap, dia mendekati sumber keributan itu.
“Ini pasti cuma halusinasi, dan di dalam sana pasti ada monster yang sesungguhnya.”
Ya. Itu lebih masuk akal. Jika mereka bisa masuk ke dalam gedung sekolahnya, bukan tak mungkin mereka juga bisa menguasai rumah penduduk sekitar.
Terlebih Dolores menemukan rumah dalam keadaan tak terkunci, padahal keluarganya selalu mengunci seluruh pintu rumah rapat-rapat saat sedang bepergian, agar ketika mereka pulang, mereka tak mendapati ada orang lain yang tiba-tiba telah masuk ke dalam rumah.
Di lantai dua rumah tersebut, dengan mata kepalanya sendiri, Dolores melihat ada banyak sekali pelayan dengan pakaian ketinggalan zaman yang sedang mondar-mandir.
Ada yang sedang riuh masak, ada yang sedang membersihkan perabotan rumah, ada pula yang sedang mengepel, bahkan mengangkat kasur.
Anehnya Dolores tak merasa asing. Terlebih ada beberapa wajah yang dia kenal: Zulia, Yulianis, Rora.
Dolores merasa, dia seperti pernah melihat mereka di suatu tempat.
Meski begitu Dolores tahu, bahwa mereka semua adalah monster. Karena Dolores tak dapat mendengar isi hati mereka.
Sayup-sayup terdengar ketukan tuts piano yang begitu merdu. Arahnya dari lantai tiga, lantai terakhir di rumah itu.
Seakan terhipnotis oleh lagu yang dimainkan, tanpa sadar, Dolores berjalan menghampiri sumber suara tersebut.
Dia ingat, di rumah ini memang ada sebuah piano yang telah usang. Namun, piano tersebut diletakkan di dalam gudang lantaran telah lama rusak dan lagipula, tak ada satu pun orang di rumahnya yang berbakat memainkan piano tersebut.
Tiap kali mereka menyentuhnya, suaranya pasti sumbang, padahal piano-piano lain suaranya baik-baik saja. Saat itu, Dolores hanya berpikir mungkin karena mesin piano itu memang sudah rusak.
Setidaknya hingga hari ini.
Karena apa yang dilihatnya di depan matanya ini benar-benar sesuatu yang menakjubkan sekaligus menakutkan.
Perempuan yang sedang duduk di depan piano itu sungguh luar biasa cantik meski pun Dolores hanya melihatnya dari samping. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan putih yang hampir serupa dengan warna kulitnya, dengan lihai memainkan tuts-tuts piano itu.
Rambutnya seputih salju dan panjang sebatas pinggang itu dihiasi dengan mahkota bunga berwarna-warni. Dia menggenakan gaun putih tulang dengan renda-renda, lengannya dibuat panjang dengan sedikit menonjolkan bagian pundaknya agar menggunduk bulat, lalu bagian dada dibuat rendah dan punggungnya dibiarkan terbuka.
Dolores sungguh penasaran ingin melihat wajahnya.
Dolores tak tahu lagi apa yang sedang dimainkannya ini. Karena nada lagunya terasa begitu menyayat hati, seperti seseorang yang tengah jatuh cinta sekaligus patah hati. Ketukan-ketukan ceria yang bermanja dengan nada-nada panjang nan sumbang.
Lagunya penuh akan nada kesepian, namun disaat bersamaan seperti menikmati kesepian tersebut.
Seperti seekor burung jantan yang mengeluarkan nyanyian-nyanyian pemikat hati demi mencari burung betina sebagai istri, tanpa sadar bahwa burung jantan itu adalah satu-satunya spesies burung tersebut yang tersisa.
Dolores terlalu terbuai dengan lagu yang dimainkan hingga lupa akan tujuan awalnya naik ke lantai ini, begitu dia tersadar dinada terakhir lagu, sosok perempuan yang Dolores lihat itu sudah lebih dulu berubah menjadi puluhan apel berwarna silver.
Apel-apel itu jatuh di atas tuts piano, seketika mengeluarkan bunyi dung dung dung dung yang menyakitkan telinga.
Dolores coba mundur sambil melindungi kedua telinganya, disaat yang bersamaan puluhan apel-apel silver itu menggelinding di bawah kakinya.
Dolores terus menunduk melihat apel-apel aneh yang tampak bergerak mendekatinya, wajah Dolores yang penuh luka serta berlumur darah terpantul jelas seperti sebuah cermin.
“Aku adalah karma mu, Do-lo-res.”
Dolores terperanjat kala seseorang tiba-tiba berucap lembut di samping telinganya dengan suara seseorang yang sebelumnya telah dia cabik-cabik, ketika Dolores menoleh ke arah sumber suara, dia langsung memutar tongkat baseballnya, mengincar kepala sosok berambut merah itu.
Bakk!
Dolores menghancurkan kepala orang itu. Lagi.
Namun, begitu Dolores terbebas dari adrenalinnya. Orang yang awalnya dikiranya sebagai Karma itu tiba-tiba berubah menjadi sang sahabat.
“Vina?”
Dolores hendak menolongnya hingga sosok Vina itu tiba-tiba menoleh sambil berucap dengan mulut setengah hancur, “Dolores. Kamu pantas mati. Dolores. Kamu pantas mati. Dolores. Kamu pantas mati. Dolores. Kamu pantas mati.”
Kata-kata itu diulang terus-menerus seperti kaset rusak.
Dolores mundur.
Dia menutup kedua telinganya dengan frustasi, dan bahkan jika pun dia menghancurkan gendang telinganya, Dolores akan tetap dapat mendengar kata-kata itu karena sosok yang ada di depannya ini benar-benar manusia. Benar-benar Vina. Di mana Dolores dapat mendengar isi hatinya.
Tekat Dolores semakin pekat berwarna hitam. Dia menghampiri sosok Vina dengan tangan berada di atas kepalanya sambil mencengkram tongkat basketball itu erat dengan kedua tangannya.
“Kalau kamu begitu inginnya mau mati. Mati saja sendiriiii!!”
Bak! Bak! Bak! Bak! Bak!
Dolores akhirnya menghancurkan kepala sahabatnya sendiri. Dia menyaksikan bagaimana isi otak Vina berceceran keluar dan mengotori lantai.
Mengotori apel-apel silver yang sebelumnya menggelinding di bawah kaki Dolores. Lalu perlahan-lahan menyatu menjadi satu.
Dengan mata kepalanya sendiri, Dolores melihat bagaimana tubuh Vina yang telah hancur menyatu dengan apel-apel silver itu. Kemudian berubah menjadi ribuan telur kodok yang lengket dan menjijikkan sebelum akhirnya mewujud serupa manusia dewasa.
Sosok itu berdiri bergelayut-gelayut. Matanya yang kosong seakan tengah menatap Dolores.
“Halo, Do-lo-res.”
𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘
Author notes.
Aku yang nulis, aku pula yang merinding 😭 setelah adegan mandi cicak, muncullah adegan dicium kecoak 😭 stay di dalam cerita aja please!!!!
26 Oktober 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro