Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Happy Family ⚘

𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘

“Happy birthday to you~ happy birthday to you~ happy birthday, happy birthday. Happy birthday to you~~!”

Semua orang yang memakai gaun dan kemeja bagus bertepuk tangan meriah untuk ulang tahun Dolores yang ke-16.

Tepat setelah gadis berambut hijau sebahu yang kini dikepang samping berhiaskan sebuah bunga melati itu, meniup lilin di atas kue tart Teddy Bear sebesar setengah badannya dengan senyum merekah bahagia, yang jelas terpatri sempurna pada wajah putihnya.

Dolores mengambil potongan kue pertamanya, sambil memamerkan deretan giginya yang baru dipasangi behel, dia memberikan potongan pertama itu dengan menyuapi Raama, laki-laki yang menjadi cinta pertamanya alias ayahnya sendiri.

“Selamat ulang tahun, Putriku Tersayang.” Raama mencium kening Dolores.

“Ah, Pah. Jangan mencium ku sembarangan, nanti teman-temanku melihatnya.”

Dolores merengek sambil melindungi keningnya dari Raama, dengan sebelah kiri tangannya yang bebas.

Raama tersenyum tipis, putri pertamanya itu sudah tumbuh besar dan semakin cantik, padahal rasanya baru kemarin dia mengendong Dolores yang berusia lima tahun sambil berjalan berkilo-kilo meter, untuk sampai ke rumah ini dari rumah lama mereka dulu.

“Kenapa? Papah, kan, hanya ingin memperlihatkan rasa sayang Papah pada putri kesayangan Papah?”

Kemudian Raama memicingkan matanya.

“Apa jangan-jangan putri Papah ini sudah memiliki pacar, ya?”

Dengan pipi memerah, Dolores membuang wajahnya, dia memang menyukai seseorang sih tapi, hubungan mereka belum sampai ditahap seperti itu.

“A-apaan, sih!” Ayahnya memang sangat suka menggodanya. “Udahan, ah!”

Lalu Dolores bergeser untuk memberikan suapan berikutnya kepada Amber, ibunya yang kini 62 tahun, tapi masih terlihat begitu cantik dan bugar, terutama ketika wanita itu tersenyum lebar, rambut panjang hitam-kehijauannya sangat pas ketika dikuncir kuda.

“Selamat ulang tahun yang ke-16, Putriku Tercinta.”

Amber memeluk Dolores dan mencium kedua pipinya, Dolores tak akan protes, karena Amber sangat wangi dan dia mengaguminya.

“Thank you so much, Ma. Aku sayang banget sama Mama.”

Dolores lalu menyuapi Amber dengan kue yang dibawanya.

Raama merasa tak adil, karena putri mereka tak memberi perlakuan yang sama untuknya.

“Dolores, hati Papah terasa perih sekali.”

Laki-laki itu berkata demikian sambil menyentuh dadanya dramatis.

Amber memutar bola matanya malas, lalu wania itu mengandeng tangan suaminya tersebut.

“Jangan nge-drama, Suamiku. Ini hari istimewa putri kita.”

Sambil tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang penuh behel, Dolores segera memberikan suapan berikutnya untuk neneknya yang paling suportif dengannya, nenek Rinjani.

“Ohh, selamat sayang, kamu kini sudah tumbuh besar dan semakin terlihat cantik.”

Nenek Rin memeluk Dolores.

“Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan kesehatan mu, Cucuku.”

Dolores membalas senyum neneknya. “Nenek Rin, aku juga akan mendoakan untuk kebahagiaan dan kesehatan mu.”

“Ouh, terima kasih banyak, Cucuku.”

Lalu suapan terakhir untuk Damian serta Lami, saudara kandungnya yang paling Dolores benci sekaligus sayangi.

“Selamat atas ulang tahunmu, Cewek Manja.” Lami menyalami Dolores malas.

Dolores tersenyum miring, sambil menyuapi Lami agak kasar. “Thanks untuk ucapannya, Cebol. Ku tunggu hadiah darimu.”

Lami menyilangkan kedua tangannya, seakan menantang.

“Yeah, kamu pasti akan sangat menyukai selera ku.”

“Ku harap begitu, karena aku tahu kamu mengharapkan hadiah balasan dariku untuk ulang tahunmu empat bulan itu lagi, 'kan.”

Kemudian Dolores berganti menyuapi Damian malas-malasan, kakak laki-lakinya yang paling menyebalkan, Dolores bahkan memutar bola matanya ketika dia lagi-lagi harus berhadapan dengan wajah tengilnya itu sambil mendongak.

“Hey, suapi aku dengan benar.”

Dia berkata seperti itu sambil membungkuk, yah karena perbedaan tinggi badan mereka yang menyebalkan.

Tanpa ambil pusing dengan pandangan tamu undangan, Dolores menyerahkan pisau kue yang dipegangnya begitu saja pada Damian dan dengan sengaja, dia menabrakkan gaun kuning semata kakinya pada Damian ketika melewati laki-laki itu.

“Aku bukan istrimu, Kepala Bayam. Oh, dan aku sama sekali gak mengharapkan hadiah darimu, sekali pun kamu memberikannya, aku gak akan membukanya seumur hidupku.”

“Hey, tenanglah, Manja. Kamu bukan tipeku.”

“Diam lah, jangan coba-coba merusak hari bahagiaku, Kepala Bayam!”

Seorang fotografer yang Raama sewa mengambil foto mereka dari segala sisi, terutama mengabadikan foto kebersamaan keluarga besar mereka dipesta ulang tahun Dolores, ada juga teman-teman sekolahnya yang datang.

Setelah mengambil beberapa foto keluarga yang dibutuhkan, Dolores memisahkan diri dari keluarganya dan menghampiri sahabatnya.

“Aku tahu kamu pasti akan datang.”

Begitu Vina menyadari kehadiran Dolores, mereka berdua langsung saling berpelukan erat sambil berputar-putar.

“Mana mungkin aku tidak datang? Ini pertama kalinya kamu mengundangku ke rumahmu, bahkan setelah empat tahun kita berteman!”

Vina terlihat begitu bersemangat.

“Oh, akhirnya kamu menghampiriku juga, hampir saja aku mati kesepian karena tak berani menghampirimu yang sedang bersama keluargamu."

Hari ini Vina memakai gaun hitam selutut yang memamerkan punggungnya, rambut panjang oranyenya dia cepol dan dihiasi bunga-bunga putih kecil.

“Jangan mengungkit-ungkitnya, kamu tahu, kan, aku agak introver,” Dolores membuat-buat alasan, “dan yeah, mereka adalah keluargaku.”

Keduanya pergi mengambil minuman dan kue prasmanan, kemudian duduk di bangku dekat dengan taman di depan halaman.

“Dolores, aku gak menyangka rumahmu begitu luar biasa," puji Vina takjub, “kalau dibandingkan dengan rumahku, rumahku hanyalah kandang ayam di rumahmu.”

Dolores tertawa. “Yah, jangan merendahkan dirimu sendiri hanya untuk menyanjung orang lain. Dasar kebiasaan.”

Vina menyuapkan kue ke mulutnya.

“Aku serius! Rumahmu terlihat seperti istana, sangat luas dan penuh dengan perabotan-perabotan yang kelihatannya berkelas, bahkan halamannya pun begitu luas, dan kamu tahu apa yang paling membuatku terpesona, Dolores?”

Dolores mendengarkan ocehan Vina dengan senang, yah dan sedikit iri, Vina punya wajah yang bersih dari jerawat, tidak berminyak, cerah, dan giginya putih rapi, berbanding terbalik dengannya.

Terkadang, Dolores membayangkan bagaimana jika dia punya semua hal yang Vina miliki. Pasti menyenangkan.

“Beritahu aku,” kata Dolores.

“Rumahmu tepat berada di tepi jurang di pinggir laut! Oh my God! Sunset dan sunrise di sini pasti akan terlihat begitu indah.”

Vina meminum minumannya terburu-buru, lalu setelah itu dia kembali berceloteh.

“Omong-omong, aku tadi sempet melihat Sarah di sini, tapi hanya sebentar, lalu dia pergi."

Meski begitu, Vina orangnya agak ceroboh dan apa adanya, alasan yang cukup mengapa Dolores menyukai gadis bermata monoloid itu.

Dolores yang memakan kuenya dengan anggun menoleh pada teman sekolahnya itu.

“Mungkin disuruh Si Nenek Lampir itu untuk memata-mataiku, mereka pikir aku pembohong.”

Dolores dan Vina memiliki musuh yang sama di sekolah, dan Sarah adalah anggota gengnya Kirana, musuh mereka, gadis itu masuk ke circle setelah Dolores dan Vina ditendang keluar.

Vina hampir tersedak ludahnya sendiri karena tertawa.

“Terus—uhuk!—terus setelah mendapatkan bukti foto rumahmu, mereka sekarang pasti gak akan bisa mengolok-olokmu lagi, Dolores. Sekarang Geng Nenek Lampir itu sudah kalah!”

Dolores tersenyum. “Padahal aku mengundang mereka semua, padahal dulu kita semua berteman, sayang sekali kita berdua justru berseberangan dengan mereka.”

Dolores benar-benar menyayangkan dia ikut menjadi target kebencian mantan teman-temannya itu, hanya karena alasan Dolores terlalu akrab dengan Vina yang ternyata saat itu diam-diam dia sedang dekat dengan Sandi, cowok yang ditaksir Kirana. Gara-gara itu, mereka mengira Dolores berada dipihak Vina.

Tidak masuk akal, kenapa dia ikut dibenci? Andai saja jika target mereka hanya Vina. Pasti Dolores tak harus melewati kehidupan sekolah yang menyebalkan.

Vina meletakkan piring kosongnya. “Udah lah, gak perlu dipikirin, lagian main dengan mereka gak seru, sekarang ada yang jauh lebih penting, Dolores."

“Apa itu?”

“Dolores, kamu mau gak mengenalkan aku pada kakakmu yang tinggi dan tampan itu?”

Vina memasang puppy eyes-nya dengan tangan memohon.

“Sepertinya aku terkena cinta pada pandangan pertama.”

Seketika Dolores langsung memasang wajah jijik ketika tahu sahabatnya menyukai kakaknya.

✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘

Pesta ulang tahun Dolores digelar dari pukul sembilan pagi hingga pukul setengah lima sore. Sebenarnya acaranya sudah selesai pada pukul tiga sore namun, para tamu undangan bersikeras untuk tetap tinggal, karena mereka ingin menyaksikan sunset di tepi jurang yang langsung menghadap ke laut lepas.

Mereka semua menyaksikan pemandangan indah itu dengan mengambil banyak foto, termasuk dengan Dolores beserta keluarganya yang kembali mengambil foto keluarga dengan bantuan fotografer, mereka semua tersenyum bahagia.

Rasanya sore itu angin berembus sangat lembut dan hangat, Dolores seperti tak ingin momen dihari ulang tahunnya berlalu begitu saja.

Ketika dia kembali memperhatikan setiap orang, Dolores melihat nenek Rin yang sedang berfoto ria dengan sahabat lamanya, Lami yang sedang melakukan siaran langsung, kemudian ada Vina yang sedang malu-malu berbincang dengan Damian, lalu Raama dan Amber yang sedang saling bergandengan tangan mesra sembari memandangi matahari tenggelam.

Dolores menyaksikan punggung bahagia mereka semua, dia lalu memejamkan matanya, merentangkan kedua tangannya, sambil menarik senyum terbaiknya.

Dolores berbisik pada dirinya sendiri, “Hidupku sempurna, semuanya sempurna. Aku gak membutuhkan apa pun lagi.”

Yah, jika pun ada yang dibutuhkannya mungkin itu wajah cantik dan pacar tampan yang super perhatian.

Ketika Dolores membuka matanya, langit telah lebih gelap dari sebelumnya. Orang-orang mulai pergi meninggalkan pestanya, lampu-lampu dihidupkan sangat banyak sampai-sampai bintang merasa tersaingi.

Hari ini telah berlalu dengan meninggalkan kenangan meriah yang akan abadi di dalam foto yang mereka ambil.

“Dolores....”

Dolores menoleh ke belakang ketika samar-samar dia mendengar namanya dipanggil seseorang tapi, tak ada siapa pun di belakangnya selain pohon-pohon besar yang rimbun daunnya.

Tapi ketika Dolores mengalihkan pandangannya, suara itu kembali berbisik lembut melewati telinganya.

“Dolores....”

Namun kali ini, Dolores melihatnya, seorang lelaki berkulit sangat pucat yang mengenakan jubah hitam panjang menutupi seluruh tubuhnya kecuali telapak tangan dan wajah, dia berdiri cukup jauh di antara rimbunnya pepohonan yang mengelilingi rumah Dolores, terutama rambutnya yang semerah api teramat panjang hingga menyapu tanah itu, seakan menjadi pertanda kehadirannya.

✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘

“Dolores? Kamu di mana?”

Raama ingin memanggil putri kecilnya masuk ke dalam rumah untuk makan malam, tapi Dolores tak berada di tempatnya semula.

Laki-laki berkepala lima yang masih terlihat begitu berkarisma, dengan rambut hitam tebal dan jenggot tipisnya itu menyuruh kedua anaknya untuk pergi mencari Dolores.

Lima belas menit kemudian, Damian dan Lami menemukan Dolores berada di halaman belakang rumah mereka, dia sedang asyik memakan apel.

Flashlight ponsel kedua saudara kandung itu menyorot punggung Dolores yang masih memakai gaun pestanya, juga deretan makam usang di samping mereka.

Lami bergidik merinding ketika melihat makam-makam tua yang sudah ada di sana, bahkan sebelum mereka tinggal di rumah itu.

“Cewek Manja, ngapain kamu makan apel di sini kayak tupai?”

Sementara gadis berambut panjang hijau sebokong yang selalu dikuncir dua itu masih bergeming di tempatnya, Damian maju beberapa langkah lebih dulu mendekati Dolores.

“Ngapain, sih, di sini? Papah manggil kita untuk berkumpul dan makan malam.”

Damian menyentuh pundak Dolores, aliran listrik terasa ditelapak tangannya untuk sepersekian detik, tapi laki-laki tinggi dengan badan dan wajah kecil itu tak begitu mempermasalahkannya ketika Dolores langsung menoleh padanya sambil mengunyah apel.

“Apa, sih, pegang-pegang,” jawab Dolores senggak, sambil menyingkirkan tangan Damian dari pundaknya.

Lami kemudian maju mendekati kedua kakaknya itu, dia ikut-ikutan memetik apel di depannya.

“Lidahmu sudah rusak, ya? Apel ini, kan, rasanya gak enak.”

Dia lalu menggigitnya.

“Wow!”

Lalu rasa manis itu segera meleleh dilidahnya seperti madu.

“Aku gak pernah tahu kalau apel ini seenak ini?”

Damian ikut penasaran, dia segera memetik satu dan menggigitnya dengan gigitan yang besar.

“Manis banget,” komentarnya tak percaya, “manisnya mirip banget sama madu yang biasanya om Hasan bawa.”

Dolores berjinjit dan memukul kepala Damian dengan apel yang dipegangnya.

“Jangan sebut-sebut nama orang itu lagi.”

Damian meringis sambil mengusap-usap kepalanya, dia menatap Dolores kesal.

“Gak usah pakai mukul segala kali.”

“Bodo amat, kamu emang pantas dipukul.”

“Aku akan memukulmu, anggap saja sebagai balasan.”

Damian mengejar Dolores yang melemparinya dengan dedaunan.

Mengabaikan kedua kakaknya, Lami segera memetik lebih banyak apel. Damian dan Dolores yang melihatnya pun ikut-ikutan dan menaruh belasan apel dibaju depan mereka.

“Segini udah cukup, kita bisa petik lagi besok,” kata Damian pada kedua saudarinya.

“Petikin satu lagi dong, yang di sebelah sana, yang paling merah,” minta Lami sambil menunjuk dengan sebelah tangannya yang bebas.

“Yang ini?”

Lami menggeleng gemas. “Bukan, Bodoh! Yang sebelah itu!”

“Yang mana, sih? Yang ini?”

“Aduh! Andai aku lebih tinggi, pasti aku gak perlu meminta bantuan cowok bodoh kayak kamu.”

“Aku akan mengadukanmu pada mama, Cebol.”

“Ck, dasar cowok tukang ngadu.”

Lami dan Damian sibuk beradu argumen, hingga tak sadar bahwa sejak beberapa menit lalu pandangan Dolores terus menatap ke atas langit.

Bahkan ketika Damian dan Lami sudah berjalan pulang, Dolores masih bergeming di tempatnya hingga Lami lebih dulu sadar ada yang tak beres dengan kakaknya.

Mereka mulai dikepung kegelapan malam dan Lami kembali menghampiri Dolores dan bertanya apa kakaknya itu sudah gila tapi, Dolores bilang kalau dia sedang melihat Bulan dan Matahari menari.

“Hah? Kamu sudah gila, ya?”

Pada akhirnya, mau tak mau Dolores diseret pulang oleh Lami dan Damian.

Anehnya, tak ada satu pun dari ketiga remaja itu yang menyadari keberadaan seorang pria berambut semerah api, yang sejak tadi terus menatap tajam ke arah mereka bertiga dari atas genteng rumah besar itu.

“Bukankah mulai sekarang semuanya akan menjadi semakin meriah.”

Rambut panjangnya berkibar diterpa angin, ketika disaat yang sama dia tersenyum tipis berlatarkan tenggelamnya matahari.

“Benar, kan, Elise?”

𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘✿𖤣.𖥧.𖡼.⚘


Author notes.

I hope you enjoy reading the story.

13 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro