tujuh
Wanda tidak bisa tidur malam ini, pikirannya sibuk berkelana sejak Bryant meminta mereka untuk mengakrabkan diri dengan panggilan sayang. Adegan itu sangat manis jika dimasukkan ke dalam novel. Tapi otaknya terlalu lelah untuk membuka koper, meraih laptop, dan mengetik ataupun sekedar mengambil buku catatannya dari dalam tas.
Otaknya dengan tidak tahu diri mulai melebarkan adegan itu dan membuatnya menjadi semakin romantis lagi. Benar-benar sangat amat romantis, namun mengganggu di saat yang bersamaan karena imajinasi yang muncul di dalam pikirannya bukan lagi tokoh tanpa wajah namun wajahnya dan Bryant! Tidak-tidak, ini tidak boleh diteruskan.
Wanda harus segera menuangkan segala ide yang ada dalam pikirannya, jika tidak ingin menjadi gila dengan imajinasi dalam pikirannya. Wanda segera turun dari kasur kemudian meraih kopernya lalu membaringkannya. Ia mengeluarkan laptop dan mulai menyalakannya.
Ia mengetik dengan cepat secara acak bahkan lebih termasuk sembarangan dengan beralaskan koper. Memang seperti itulah dirinya, jika ia memikirkan kosa kata, idenya akan melayang begitu saja dan membuatnya buntu. Lebih baik ia mengetik dengan cepat, membiarkan segalanya mengalir dengan lancar lalu diperbaiki besok pagi.
Wanda tidak sadar bahwa hari itu ia mengetik hingga pukul dua belas malam, dan belum makan dari siang hari, sehingga ia mematikan laptopnya lalu turun ke dapur. Ia akan memasak sesuatu sebagai makan malamnya yang terlalu malam. Mungkin mie instan dan telur goreng adalah pilihan yang tepat.
Saat tengah mendidihkan air, Wanda mendengar suara langkah seseorang. Ia segera membalikkan tubuhnya ke belakang dan mendapati Bryant sedang menatapnya sambil membawa gelas di tangan kanan. "Makan malam? Apa tidak terlalu malam?" tanya Bryant.
"Iya, baru sadar jika sudah malam, dan terlalu lapar untuk tidak makan. Anda?"
"Kamu," koreksi Bryant.
"Kamu sedang apa?" Wanda mematuhi koreksi Bryant.
"Kehabisan minum," Bryant mengangkat tinggi gelasnya. "Omong-omong, airnya sudah mendidih."
Wanda sibuk memasak mie instannya, melupakan Bryant yang sudah mulai duduk di kursi tinggi, menghadap Wanda yang sedang memasak. Wanda membawa mangkuk berisi mie instan lalu ikut duduk di seberang Bryant, "Anda mau?"
"Kamu mau?" ulang Bryant. "Tidak, sudah terlalu malam untuk makan. Silakan makan saja."
"Tidak kembali ke kamar?" tanya Wanda sambil meniup mie yang tergulung garpu.
"Belum," jawab Bryant seadanya, setelah itu ia meneguk air dalam gelas hingga tandas.
"Kalau begitu aku makan terlebih dulu."
"Silakan." Meskipun mengatakan kata seperti itu, namun tatapan Bryant tidak terlepas dari Wanda yang terlihat begitu menikmati makan malamnya. Bryant tidak sadar telah menelan ludah dan ikut membayangkan rasa mie itu di dalam mulutnya.
"Aku ingin menambah ketentuan kita sebelum tanda tangan akhir," kata Bryant di sela-sela keheningan.
"Aku akan dengar dulu, jika setuju, boleh ditambahkan," kata Wanda. Ia menatap Bryant serius.
"Setiap makan, tolong masak dua porsi untukku juga. Lalu setiap paginya, ikatkan dasiku," kata Bryant dengan ringan, namun tatapannya menatap Wanda seolah berkata bahwa Wanda mau tidak mau harus menyetujuinya.
"Untuk makan, hanya ketika saya makan saja," jelas Wanda cepat. Ia bersyukur dapat berpikir cepat, mungkin dipengaruhi karena sudah ada makanan yang masuk ke dalam tubuh untuk diolah.
"Tentu."
***
Paginya, Wanda kira ia tidak akan bertemu dengan Bryant. Namun, nyatanya, sesiang ini pun Bryant masih ada di rumah—tengah duduk di sofa menghadap ke balkon dengan koran di kedua tangannya. Bryant menyadari kedatangan Wanda sehingga ia melempar senyum. "Baru bangun?"
"Tidak," jawab Wanda cepat. Harga dirinya bisa hancur jika Bryant tahu ia baru bangun tidur sesiang ini. Padahal, nyatanya ia memang bangun sesiang ini setelah mengetikkan cukup panjang naskah. "Tidak pergi bekerja?"
"Tidak," Bryant melipat koran lalu menatap Wanda, memberi tanda kepada Wanda untuk duduk di seberangnya, "ambil cuti supaya orang-orang tidak curiga. Aku sudah bekerja untuk satu minggu pertama setelah menikah, jadi paling tidak, sekarang saatnya untuk cuti."
"Keputusan yang bijaksana," sahut Wanda setelah tidak tahu apa yang harus ia berikan sebagai jawaban. "Tapi—"
Wanda menggantungkan kalimatnya sambil menimbang-nimbang apakah kalimat bodoh ini harus keluar dari bibirnya. Sebenarnya, kalimat bodoh ini berguna untuk menghilangkan rasa penasarannya akan sikap workaholic yang biasa dimiliki oleh pria dalam novel. Apakah Bryant seperti itu? Atau malah tokoh pria yang malas bekerja karena uang akan datang dengan sendirinya?
"Apa?" tanya Bryant. Ia mengangkat kedua alisnya.
"Apa pekerjaanmu?"
"Pekerjaan apa yang kamu harap untuk kukerjakan?" balas Bryant. Ia menatap Wanda dengan senyum tipis, namun penuh akan godaan.
"Kantoran?"
"Kalau begitu, kamu mendapatkan suami pemilik kantor."
Jawaban itu mendapat picingan mata dari Wanda. Bryant benar-benar pria yang percaya diri. Berarti, Bryant adalah tokoh CEO yang playboy, keras kepala, dan mungkin sedikit jahil jika ingin dimasukkan ke dalam novel.
"Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa pekerjaanmu?" tanya Bryant. Ia menatap Wanda tepat pada mata. "Cutimu belum selesai?"
"Tidak ambil cuti," jawab Wanda singkat.
"Kalau begitu kamu belum bekerja?" Bryant mengangkat tinggi kedua alisnya. Bryant tersenyum senang dalam hati karena ia yakin seratus persen tebakannya benar, dilihat dari Wanda yang tidak nyaman saat membahas pekerjaan. "Atau kamu punya bisnis pribadi?" tanya Bryant basa-basi. "Tidak apa jika memang benar kamu tidak beker—"
"Aku bekerja." Wanda memicingkan matanya, menatap Bryant yang tengah berniat merendahkannya. "Punya pekerjaan atau tidak, tidak bisa dilihat dari seberapa sering berangkat ke kantor. Kamu pasti mengerti, pekerjaan zaman now tidak perlu ke kantor, bisa bekerja di rumah dengan laptop."
"Dan kamu salah satunya?" tanya Bryant sambil terkekeh geli.
"Apa?" Wanda mengerutkan keningnya, mulai kesal.
"Orang zaman now? Yang memiliki pekerjaan zaman now?"
Wanda menghela napas kasar. "Pekerjaan mo-de-ren!"
"Oke. Oke, baiklah." Bryant tertawa, "Iya, modern. Padahal kamu sendiri yang bilang zaman now."
"Melelahkan," protes Wanda. Wanda memutar kedua bola matanya, sambil berkacak pinggang memandang Bryant yang mulai mencari posisi nyaman pada sofa.
"Tidak ada yang suruh kamu berdiri terus di sana," goda Bryant. Ia tahu betul maksud Wanda. Bukan lelah karena berdiri, namun lelah berdebat dengannya. Namun menggoda Wanda sudah mulai terasa menyenangkan baginya. Wanda terlalu serius, sehingga tidak pernah membalas candaannya dengan candaan lain.
"Den Bryant."
Seseorang memanggil Bryant, membuat Wanda segera memberitahu Bryant, "Ada yang panggil kamu. Siapa itu?" Wanda tidak berani berbalik ke arah datangnya suara.
"Oh, ibu yang kuceritakan kemarin. Ibu Lastri namanya," Bryant menjelaskan dengan santai sambil berdiri.
Wanda berjalan mengikuti langkah Bryant. "Yang bantu bersih-bersih?"
Ketika pertanyaannya hanya dijawab berupa anggukan oleh Bryant, Wanda kembali bertanya, "kamu gak jawab panggilannya?"
"Iya?" jawab Bryant agak keras, bermaksud agar terdengar hingga lantai bawah.
"Ibu naik ya? Mau ambil cucian. Spreinya mau dibersihkan juga, Den?" tanya Ibu Lastri dari bawah. Ia tidak berani naik tanpa izin karena Bryant sudah memintanya untuk tidak membersihkan lantai atas, hanya mencuci pakaian saja.
"Sebentar, pakaianku masih ada di kamar. Harus kupindahkan ke mana?" bisik Wanda. Wanda mencengkram lengan Bryant, mencegah pria itu untuk berjalan lebih jauh. Dirinya sendiri sudah mulai panik, mengingat perkataan Bryant yang sudah menganggap Ibu Lastri sebagai anggota keluarganya sendiri.
"Sebentar, Bu," teriak Bryant lagi. "Pakaianmu bawa ke kamar mandi kamarku," jawab Bryant tegas sambil berjalan menuju kamarnya.
Wanda mengikuti saran dari Bryant dengan cepat. Ia membawa baju tidurnya ke kamar Bryant, namun malah mendapati Bryant tengah melepas sprei dan selimut dari kasurnya lalu dibasahinya dengan air.
"Kenapa dibasahi?" tanya Wanda penasaran. Namun, ia tetap berjalan masuk ke dalam ruangan yang ia kenali sebagai kamar mandi lalu memasukkan pakaiannya ke dalam keranjang pakaian kotor.
Bryant terkekeh geli, "Tidak ada pengantin baru yang spreinya rapi dan kering di pagi hari."
Saat itu juga, pipi Wanda bersemu merah.
"Kenapa pipimu merah? Ayo keluar dari kamar, supaya ibu bisa ambil pakaian kotor," ajak Bryant dari pintu. Wanda segera mengikuti langkah Bryant untuk kembali ke ruang tengah lalu duduk di seberang pria itu. Tapi Bryant malah duduk di sampingnya dan menarik Wanda agar duduk di atas pangkuannya.
"Sudah, Bu, sudah boleh naik. Pakaian kotornya ada di keranjang biasa."
"Iya, Den!" Suara tua itu terdengar bersemangat, namun saat langkah kakinya berada di lantai yang sama dengan Bryant dan Wanda, bibir keriput itu terpekik kecil. "Astaga, Den! Sudah siang masih nempel begitu."
"Pengantin baru, Bu," kata Bryant sambil memberi senyum tidak tahu malunya itu. Berbanding terbalik dengan Wanda yang segera menyembunyikan wajahnya dan berniat turun dari pangkuan Bryant.
"Ibu ambil keranjangnya dulu," pamit Lastri cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, namun bibir keriputnya tetap menampilkan senyum ceria.
"Kenapa sih? Malu-maluin tahu," protes Wanda sambil berontak turun yang tidak dilepas Bryant. Bryant masih memeluk erat pinggangnya.
"Pengantin baru memang malu-maluin, iya gak, Bu?" tanya Bryant kepada Lastri yang sudah kembali sambil membawa keranjang.
"Iya, Den."
"Kenalin, Bu, ini istri saya. Panggil Wanda saja," kata Bryant cepat sambil mengenalkan Wanda.
Mau tidak mau Wanda mengangkat wajahnya serta menebalkan muka agar merasa tidak malu, "Wanda, Bu."
"Cantiknya istri, Aden," puji Lastri tulus sambil memeluk keranjang yang disanggahkan pada pinggangnya. Wanda mengamati Lastri lebih lama dan mendapati wajah penuh aura keibuan dan keramahan. Pantas saja, pria menyebalkan seperti Bryant tampak luluh.
"Iya, dong. Kalau gak cantik, gak dinikahin."
"Hush, kok Aden ngomong gitu?" tegur Lastri sambil mengibaskan tangannya ke arah Bryant.
"Iya dong, galak gi—" Ucapan Bryant terhenti karena Wanda mencubit pinggang Bryant kuat-kuat. Wanda merasa kesal karena Bryant terus saja menjelek-jelekkannya di depan Lastri. "Nah, kan! Galak. Bryant saja dicubit di depan ibu!" Bryant menunjuk Wanda, kemudian pandangannya beralih kepada Lastri seperti meminta pertolongan.
"Dianya genit, Bu."
"Kalian berdua cocok. Langgeng ya, Aden. Cepat punya momongan, nanti ibu bantu jaga." Setelah mengucapkan kalimat itu. Lastri turun ke bawah tanpa sadar bahwa ia telah meninggalkan pasangan itu dalam keadaan canggung.
"Kamu sih!"
"Kenapa? Didoain langgeng dan punya momongan. Langgengnya sih sudah tahu gak bakal lama," putus Bryant sambil menatap Wanda yang ada di atasnya. "Kalau momongannya gimana?"
"Di mimpimu," ketus Wanda. Ia mendengus sambil mendorong Bryant. "Lepas, jangan pegang-pegang."
"Kalau pegang-pegang gini gak bakal langsung hamil." Bryant melepaskan pelukannya pada Wanda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Wanda.
"Tetap saja gak aman, banyak anak muda yang hamil bahkan hanya lihat ponsel," kata Wanda ambigu. Ia berjalan menjauhi Bryant, berniat untuk turun ke bawah dan sarapan.
"Gara-gara lihat video porno lalu praktek?" Bryant mengikuti langkah Wanda.
"Tidak. Hamil online karena lihat roti sobek idolanya. Jadi, kamu jangan pegang-pegang aku, tingkat bahayanya lebih tinggi." Wanda melanjutkan langkahnya dengan cepat, sambil menyembunyikan kekehan gelinya. Ia yakin, pria kurang update seperti Bryant tidak akan mengerti.
"Hei! Apa maksudmu? Aku tidak mengerti! Hamil online? Apa sama seperti pekerjaan zaman now?"
Nah, kan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro