tiga belas
Sepeninggal Lina dan Rudi, Bryant dan Wanda membisu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Bryant juga terlalu malu untuk menarik tangannya yang ada di pinggul Wanda secara mendadak.
"Kamu—" Mereka berdua berbicara di saat bersamaan, membuat mereka kembali diam lagi.
"Apa yang mau kamu katakan?" tanya Wanda, "duluan saja." Ia gugup sekali, pembahasan tadi benar-benar tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Jujur saja, hubungan suami-istri tidak pernah memenuhi lebih dari lima persen otaknya. Meskipun pernah bertambah beberapa persen saat membaca novel dewasa, namun persentase itu turun kembali beberapa saat setelah adegan itu berakhir.
Terlalu lama sendiri, membuatnya tidak pernah berpikir sejauh itu. Dipikirannya hanya ada makan, berbelanja, naskah, dan tidur. Pengalaman cintanya benar-benar minim hingga ia harus survei terlebih dulu sebelum menulis.
"Jangan pikirkan kata orangtuaku. Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi," kata Bryant. Ia menatap Wanda yang juga tengah menatapnya.
Wanda tertawa, namun malah terdengar sumbang. "Iya, tidak kupikirkan karena jujur saja... aku tidak mengerti banyak."
Bryant tertawa. "Baguslah."
"Tapi kenapa kamu harus mandi air dingin sampai demam?" tanya Wanda. Ia memutar tubuhnya menghadap Bryant.
Bryant terkejut, tubuhnya membeku. Ini bukanlah hal yang ia harapkan ditanyakan oleh Wanda. Apa yang harus ia jawab? Ia memilih berpura-pura batuk. "Boleh tolong ambilkan aku minum di dapur? Aku harus minum vitamin."
Wanda menganggukkan kepalanya patuh lalu turun dari kasur. Ia juga memperbaiki selimut Bryant agar menutupi seluruh tubuh pria itu. "Tunggu sebentar," katanya. "Kamu juga harus habiskan buburmu."
Sepeninggal Wanda, Bryant baru bisa bernapas lega. Diraihnya vitamin dari laci nakas dan langsung diminum dalam sekali teguk. Sebenarnya, ia tidak perlu bantuan air lagi untuk minum vitamin bahkan beberapa butir sekaligus karena sudah terbiasa. Baru saja Bryant kembali membaringkan tubuhnya, Wanda sudah kembali ke dalam kamar mereka. Kenapa bisa begitu cepat?
"Ini minumanmu, vitaminnya ada di mana? Akan kuambilkan," tawar Wanda. Ia sibuk melihat ke sana kemari, mencoba mencari vitamin Bryant.
Bryant langsung meneguk air. "Sudah kuminum."
Wanda mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku suapi bubur, ya?"
Bryant ingin menolak, tapi gerakan tangan Wanda lebih cepat. Wanda menyuapinya bubur dari awal hingga akhir tanpa keluh sekalipun. Setelah selesai, ia juga kembali mengompres Bryant.
Saat Bryant menutup matanya untuk tidur, Wanda masuk ke dalam selimut lalu beringsut mendekatinya. Wanda juga menatapnya. "Kamu belum jawab pertanyaanku tadi."
"Pertanyaan apa?" Bryant pura-pura lupa, agar memiliki peluang Wanda ikut melupakannya juga. Tapi itu tidak terjadi.
"Kenapa kamu harus mandi air dingin? Apa benar kata Mom karena kamu gak lakukan hubungan suami-istri?" tanya Wanda. Ia benar-benar penasaran, kejadian ini pernah ia baca dari novel tapi tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa ini benar adanya, tidak direkayasa sama sekali. Tapi apa penyebabnya? Bagaimana bisa tidak melakukan hubungan suami-istri dapat membuat seorang pria harus mandi air dingin di tengah malam?
"Aku ngantuk," kilah Bryant. Ia menarik selimut hingga menutupi wajah agar tidak melihat wajah Wanda yang begitu dekat. Ia tidak sanggup mandi air dingin lagi hingga memperparah demamnya.
Wanda ikut masuk ke dalam selimut, lalu beringsut semakin dekat. "Tidak bisakah kamu jawab? Aku penasaran sekali. Novel yang kubaca ada adegan seperti dirimu, tapi aku tidak tahu kenapa bisa."
Bryant segera membalikkan badannya, memunggungi Wanda. Jika Wanda bertanya sekali lagi dan mendekat beberapa sentimeter lagi, ia tidak tahu apakah bisa menahan dirinya lagi atau tidak. Hanya ada dua pilihan, menjawab pertanyaan Wanda dengan tindakan atau bungkam.
"Hei—, ooops, Suamiku," koreksi Wanda cepat. Ia menatap punggung Bryant yang sedikit bergerak gelisah. "Boleh tolong jawab pertanyaanku dulu tidak sebelum kamu tidur? Aku takut tidak bisa tidur karena penasaran setengah mati."
Bryant mengeram. Astaga! Bagaimana bisa ada wanita sepolos ini? Dan sialnya wanita polos ini adalah istrinya dan tengah berbaring di belakangnya!
"Nathannn," Wanda mulai merengek lalu menggoyang-goyangkan lengan Bryant, "aku tahu kamu belum tidur, jadi tolong jawab pertanyaanku dulu. Aku penasaran."
Bryant menutup matanya erat-erat, masih bersikeras pura-pura tidur. Wanda yang tidak peka malah menggunakan jari telunjuknya untuk menusuk pipi Bryant dan membuka kelopak matanya. Tubuhnya juga sudah ia timpakan pada lengan atas Bryant.
Persetan dengan prinsipnya lagi! Bryant akan menjawab rasa penasaran Wanda dan tidak akan berakhir mandi air dingin lagi. Bryant membalikkan tubuhnya setelah memegang erat tubuh Wanda. Kedua lengannya memenjarai Wanda yang terbaring di bawahnya karena terkejut.
Bryant menundukkan wajahnya, mendekati wajah Wanda. Wanda menatapnya dengan mata bulat yang bergerak gelisah. Kedua tangan Wanda juga sudah terangkat menyentuh dada Bryant.
"Kamu sudah membangunkan singa yang tidur," kata Bryant tepat di depan wajah Wanda sebelum menciumnya. Mereka berdua melakukannya. Melakukan hal yang membuat Bryant sempat demam karena menginginkannya.
Wanda membiarkannya mengambil kuasa penuh atas hubungan suami-istri mereka. Tidak ada sepatah kata penolakan pun yang keluar, hanya Wanda yang tersipu malu dan mencengkramnya erat meminta topangan.
Bryant merasa brengsek karena meniduri Wanda di saat mereka sendiri belum memastikan hubungan mereka ingin dibawa ke mana. Tapi, ia tidak menyesal. Pengorbanan Wanda bukanlah hal yang pantas untuk disesalkan.
Kali ini, ia harus menjalankan hal yang tepat agar hubungan mereka berdua dapat berjalan ke arah yang benar yaitu memberi Wanda kepastian akan hubungan mereka.
Bryant menormalkan napasnya terlebih dulu sebelum membalikkan tubuh menghadap Wanda. "Hai," sapa Bryant. Ia mengangkat tangannya melewati tubuh Wanda untuk merapikan selimut agar menutupi tubuh Wanda dengan sempurna. Ia mengusap pipi merah Wanda dengan gerakan pelan yang terasa lembut, bukannya erotis.
Pipi Wanda bersemu merah, sewarna tubuhnya yang panas. Ia masih memandang ke langit-langit karena gugup, tapi tetap bisa melihat Bryant dari ujung matanya. "Hai," balas Wanda malu-malu, sebelum berdehem untuk mencairkan suasana yang kaku. Suaranya terdengar serak, tidak seperti biasanya.
"Apa terasa sakit?" tanya Bryant. "Ini kali pertama bagimu."
Wanda mengalihkan wajahnya ke arah lain, namun dibawa Bryant kembali menghadapnya karena tangan pria itu masih ada di pipinya. "Apa terasa tidak nyaman?" tanyanya lagi.
Pantang bagi Bryant untuk mengucap maaf meskipun ia ingin. Bukan maaf karena menyesal meniduri Wanda, hal ini tidak pernah ia sesali. Tapi, karena menjadi yang pertama bagi Wanda, meskipun Wanda bukan yang pertama baginya. Meskipun bukan kesekian kalinya juga, karena pengalaman pertamanya ia lewati karena rasa penasaran anak muda lalu tidak pernah dilakukannya lagi.
"Sedikit tidak nyaman," jawab Wanda jujur. Ia menarik selimut dengan kedua tangannya untuk menutupi wajah.
Bryant segera menarik tubuh Wanda mendekatinya, lalu memeluknya erat, "Terima kasih."
"Untuk apa?"
"Karena sudah memercayaiku," jawab Bryant tulus. Ia mendekatkan wajahnya pada pipi Wanda untuk mengecupnya sekilas. Jari tangannya juga ia gunakan untuk menyisir rambut Wanda sambil sesekali merapikan anak rambut yang menutupi wajah Wanda.
"Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat, tapi aku tidak ingin menyesal karena terlalu lambat mengutarakannya." Bryant menggantungkan kalimatnya. Ia mengamati Wanda yang tengah menatapnya intens, menunggu kelanjutan kalimat Bryant. "Aku merasa nyaman denganmu."
Jantung Wanda berdetak kencang. Mendengar kata nyaman dari bibir Bryant terdengar seperti pengakuan cinta! Terdengar seperti "aku cinta kamu"! Wanda mengedip-kedipkan matanya tidak percaya. Apa yang terjadi pada otaknya? Kenapa otaknya terasa seperti dikendalikan oleh hatinya? Apakah ini hal yang normal?
Tidak sadar bahwa jantung Wanda siap meledak kapan saja, Bryant kembali melanjutkan kalimatnya. "Aku ingin menjalani hubungan ini dengan sungguh-sungguh. Bukan karena Selena yang membatalkan pernikahan kami lagi."
Tangan Bryant beralih pada pinggang Wanda, kemudian menariknya agar mereka berhadapan satu sama lain. Bryant menatap Wanda tanpa berkedip, "Tapi karena kamu yang muncul di saat tepat dan langsung menjadi istriku. Bukankah ini takdir? "
Wanda mengedipkan matanya berulang kali. Jantungnya juga berdetak semakin cepat. Apakah ini mimpi?
"Apa kamu sependapat denganku?" tanya Bryant. Kali ini Bryant memeluk pinggangnya, meskipun masih dihalangi oleh selimut.
"Mengenai apa?" Suara Wanda bagai cicitan tikus.
"Apa kamu bersedia menjadi istriku yang sesungguhnya mulai saat ini?"
Kali ini jantung Wanda benar-benar meledak, begitu juga dengan air matanya yang mengalir turun seiring dengan rasa hangat yang menjalar dari ujung kaki hingga kepala. Ternyata seperti ini rasanya dilamar oleh kekasihmu! Pantas saja setiap wanita yang dilamar, akan menangis tersedu-sedu memeluk kekasih mereka.
"Kenapa menangis?" tanya Bryant lembut. Bryant mengusap air mata Wanda. "Apa kamu tidak ingin—?"
Pertanyaan Bryant terhenti ketika Wanda beringsut mendekatinya lalu memeluk Bryant erat-erat, membiarkan tubuh polos mereka menempel. Menimbulkan rasa intim yang dalam dan spesial. Kepalanya juga ia sandarkan pada dada Bryant yang hangat.
Ia dapat merasakan detak jantung Bryant yang juga terasa kencang. Apakah Bryant juga sama gugupnya dengan dirinya?
"Apa kamu bersedia menjadi istriku?" ulang Bryant.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro