Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sepuluh

Wanda menerima uluran tangan Bryant dari pintu mobil yang terbuka, menyambutnya turun dari mobil. Bryant benar-benar berbuat lebih dari yang Wanda inginkan. Pria itu benar-benar berubah menjadi pria pemaksa, pemaksa akut, yang tidak menerima masukan sama sekali dari Wanda.

Dimulai dari Wanda yang mengenakan gaun halter-neck putih dan high-heels cokelat sewarna kulit tubuhnya. Wanda juga mengenakan anting rantai kecil sepanjang bahu serta rambutnya yang disisir rapi ke belakang lalu diikat tepat di tengkuk, menunjukkan bahunya yang lebar dan bertulang.

Kebetulan saat itu Bryant masuk ke kamar, memanggil Wanda untuk kesekian kalinya, memberi tahunya agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama lagi jika masih ingin menghadiri pesta pernikahan. Pria itu langsung berdecak kemudian berjalan masuk ke dalam walk in closet tanpa berkata apa-apa. Bryant berjalan keluar sambil membawa gaun pesta yang lebih kerlap-kerlip namun tertutup—lengan panjang brukat hingga telapak tangan dan di bawah lutut. Gaun yang dipilih oleh Bryant jugalah gaun berpotongan A, membuat Wanda memicingkan matanya kesal.

"Pakai ini," kata Bryant singkat. Wanda hanya menggelengkan kepala dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.

"Pakai," Bryant mengangkat gaun itu tepat di depan wajah Wanda, "kamu bukan wanita lajang lagi yang bisa mengenakan pakaian seterbuka itu. Gaunmu juga tidak cocok dengan setelanku. Kutunggu di mobil lima menit lagi, jangan membantah."

"Pakaian ini tidak terbuka seperti apa yang ada dalam pikiranmu," protes Wanda tidak terima. Bagaimana bisa pakaiannya dibilang terbuka? Hanya bahunya saja yang terlihat. Jangan-jangan pikiran Bryant yang memang sudah dari sananya yang mesum. "Hilangkan pikiran mesum itu dari otakmu."

"Aku tidak mesum. Aku hanya tidak ingin orang-orang memperhatikan istriku dan membayangkan yang tidak-tidak. Kecuali kamu lebih dulu membiarkanku merealisasikan pikiran tidak-tidaknya mereka, apa kamu setuju?"

"Tidak! Dasar mesum! Berani-beraninya kamu mengorbankan aku untuk jadi objek seksual. Tidak ada yang menguntungkan diriku sama sekali dari pilihanmu."

"Kalau kamu sadar, cepat pakai pakaian ini, dan hanya jadilah milikku, karena aku tidak suka berbagi."

Dengan wajah cemberut, Wanda mengenakan apa yang disuruh oleh Bryant. Selera pria itu tidak buruk memang, tapi pakaian ini membuat Wanda terlihat sedikit lebih gemuk dari biasanya, dan sebagai wanita sejati, Wanda tidak suka terlihat gemuk sedikit pun. Dan jujur saja, karakter yang paling Wanda benci dari dirinya sendiri adalah suka menghabiskan waktu untuk membantah namun pada akhirnya tetap menurut.

Wanda berjalan menuruni tangga dengan sangat amat berhati-hati, tersisa dua anak tangga lagi maka ia akan aman, namun ia malah terpeleset karena hak sepatunya yang ternyata belum turun sempurna dari tangga sebelumnya. Wanda sudah menutup matanya erat-erat, siap merasakan sakit pada pergelangan kaki atau bagian tubuhnya yang lain, namun yang ia dapatkan adalah pelukan dan omelan dari Bryant. "Dasar ceroboh."

Wanda semakin mengerucutkan bibirnya kemudian mendorong Bryant agar ia bisa kembali berdiri di atas kakinya sendiri. "Terima kasih."

Bryant hanya bergumam lalu berjalan keluar dari rumah. Wanda mengikuti langkah kaki Bryant dengan patuh sampai di dalam mobil dan tiba di hotel di mana pesta pernikahan diadakan.

Bryant mengulurkan tangan, menyambut Wanda keluar dari mobil. Wanda segera menyambut tangan pria itu sehingga mereka berjalan beriringan masuk menuju ruang pesta, meninggalkan mobil bersama dengan sopir.

"Kenapa kamu ingin sekali datang ke pesta pernikahan?" tanya Bryant dengan tangan yang melingkupi pinggang Wanda.

"Hanya ingin saja," jawab Wanda singkat, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.

"Aku rasa ini bukan keinginan semata, karena kamu juga datang ke pesta pernikahanku tanpa diundang." Bryant menatap Wanda, mencoba mencari gerak-gerik gugup ataupun yang lainnya, namun Wanda malah hanya menatapnya tanpa ekspresi.

"Privasiku tidak bisa diganggu gugat," elak Wanda cepat. Ia benar-benar tidak ingin identitasnya sebagai penulis diketahui orang lain, baik suaminya sendiri. Astaga! Entah mengapa Wanda selalu mengatakan Bryant sebagai suaminya!

Diketahui oleh beberapa staf penerbit saja sudah membuatnya cukup merasa tidak nyaman. Sebenarnya tidak ada yang perlu ia takutkan atau cemaskan, ia hanya merasa tidak nyaman jika saat berjalan di tengah keramaian tiba-tiba ada yang mengenalinya dan berteriak, menyebabkan kerumunan lain yang mengenalinya maupun tidak mengenalinya tetap mengerubunginya seperti semut yang menemukan gula.

"Baiklah, itu keputusanmu untuk tidak menjawab. Tapi, tidak ada salahnya jika aku mengetahui informasimu dari orang lain, bukan? Yang penting kamu sudah berusaha sebaik mungkin untuk menutupinya sendiri." Bryant mengangkat kedua bahunya acuh lalu menarik Wanda untuk keluar dari lift. Mereka sudah tiba di ballroom hotel tempat pesta pernikahan diadakan. Pesta pernikahan ini sama mewahnya dengan pesta pernikahan Bryant, namun sedikit lebih mewah lagi dan bernuansa lebih modern, alias berisik.

"Apa hubunganmu dengan pemilik pesta ini?" tanya Wanda.

"Anak salah satu rekan bisnisku," jawab Bryant sambil berjalan menuju tengah ruangan, tempat di mana banyak rekan bisnis lainnya berkumpul.

"Apa pekerjaanmu? Bagaimana bisa kamu mengenal orang yang mengadakan pesta semewah ini?" tanya Wanda lagi. Ia berusaha mengikuti langkah Bryant yang begitu cepat. "Pastinya kamu bukan orang biasa juga. Aku lupa jika aku belum mengenal anggota keluargamu yang lain selain orangtuamu serta pekerjaanmu. Aku takut sekali jika mendapat suami yang pengangguran, namun untungnya tidak, karena kamu selalu berangkat kerja dengan setelan rapi ala-ala kantoran. Mewarisi perusahaan orangtua juga tidak buruk," kata Wanda panjang lebar, mengungkapkan spekulasinya.

"Rahasia."

Wanda geram, "oke. Baiklah. Aku tidak akan tanya lagi."

"Buat sederhana saja, kamu tahu, aku tahu. Kamu tidak, aku juga tidak," kata Bryant sambil menghentikan langkahnya untuk menatap Wanda, memberi tahu bahwa ia serius.

"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan tanya lagi, jadi kita berdua harus berjanji satu sama lain untuk tidak mengorek informasi masing-masing," putus Wanda cepat. "Privasi adalah nomor satu dalam pernikahan kita."

Bryant segera menganggukkan kepala tanda setuju lalu berjalan mendekati rekan bisnisnya untuk memperkenalkan Wanda sebagai istrinya. Wanda hanya bisa tersenyum kikuk ketika mereka terlihat begitu memujanya dan menghormati Bryant, padahal kebanyakan dari mereka terlihat jauh lebih berumur dari Bryant. Penasaran memang. Namun apa daya, ia tidak bisa menanyakan hal itu pada Bryant karena itu adalah salah satu bagian dari privasi mereka. Biarlah rasa penasaran ini menggerogoti tubuhnya perlahan tapi pasti hingga ia menjadi kurus karena kekurangan informasi.

Wanda sesekali tersenyum saat Bryant mengenalkannya kepada orang lain, sedangkan sisanya lebih sering mengamati dekorasi dan beberapa pasangan yang menarik perhatiannya karena romantisme mereka. Sungguh, tempat ini adalah surga ide bagi Wanda. Ada satu hal yang tidak disadari oleh Wanda yaitu Bryant yang terus mengamatinya dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.

***

Wanda bernapas lega ketika akhirnya bisa merealisasikan semua ide yang sudah berputar-putar dalam kepalanya sejak tadi malam. Sepulangnya dari pesta ia tidak bisa langsung mengeluarkan laptop dan mengetikkan segala idenya secara acak-acakan karena Bryant memiliki prinsip untuk tidak bekerja jika sudah bukan waktunya untuk bekerja.

Apalagi pria itu langsung mematikan lampu tepat pukul sebelas malam dengan alasan bahwa mereka berdua sudah harus tidur, dan ya... pria itu tidak bisa tidur dengan lampu menyala. Wanda juga sudah diam-diam menyalakan laptop untuk mengetik naskahnya, namun Bryant langsung menutupnya dengan alasan suara ketikan Wanda cukup mengganggu tidurnya karena suaminya itu peka dengan suara sekecil apa pun.

Demi apa pun! Wanda sampai harus mencatat itu semua ke dalam bukunya secara acak dengan tulisan yang tertimpa satu sama lain karena sulit melihat dalam gelap. Ia juga menulis dengan tulisan ala-ala dokter yang membuatnya sekarang kesulitan untuk membaca kembali kumpulan ide itu!

Bryant benar-benar egois, tidak berperasaan, self-oriented, dan segala hal buruk lainnya yang cocok untuk pria itu.

Waktu berlalu begitu lambat, membuat Wanda perlahan-lahan merasa bosan dan lelah. Ditambah lagi dengan naskahnya yang tidak bergerak maju sama sekali. Entah kenapa, tumben sekali Kafe BlackBean sangat ramai dan ribut sekali. Mungkin mereka pendatang baru sehingga tidak tahu aturan tidak tertulis di sini—dilarang ribut.

Wanda menelungkupkan wajahnya pada tangan yang diulurkan panjang di atas meja. Ia memilih untuk menutup matanya sebentar dengan tas yang terapit di antara perut dan meja. Ia mengantuk, tapi lumayan malas untuk pulang. Tidur di kamar Bryant membuatnya terus-menerus mencium aroma pria itu dengan sangat amat jelas.

Aroma Bryant mirip dengan aroma yang pernah ia cium sebelumnya, tapi ia lupa di mana. Aroma jeruk yang segar dan kopi yang begitu dalam. Padahal jarang sekali ia melihat Bryant menyeduh kopinya sendiri maupun meminum beberapa gelas kopi dalam sehari sehingga tidak mungkin tubuhnya tertempel wangi itu secara alami.

Memikirkan Bryant tanpa sebab seperti ini membuat Wanda sedikit merindukan pria itu. Bukan karena suka, tapi karena terlalu sepi. Jika ia berada di dekat Bryant, suasana akan selalu ramai, penuh dengan perdebatan mereka berdua.

Wanda mendesah kasar.

Setelah mengistirahatkan dirinya selama kurang lebih beberapa menit, Wanda mengangkat kepalanya kemudian mengedarkan pandangan. Ia memutuskan untuk menatap satu per satu tamu yang berisik dengan pandangan mematikan agar mereka segera diam. Namun saat pandangannya bertemu dengan salah satu dari mereka, Wanda langsung menurunkan pandangannya. Astaga! Derita introvert!

Wanda mengedarkan pandangannya lagi, kali ini lebih luas. Ia sudah pasrah, nanti saja ia bekerja di luar kamar saat Bryant tidur. Ia akan menyelinap keluar seringan bulu.

Wanda mendapati beberapa kumpulan anak muda dengan pakaian SMA mereka serta beberapa pasangan yang duduk berdempetan. Tidak bisakah mereka duduk jauh-jauh? Yang semakin parah adalah ada yang mulai menyuapi sesendok kecil kue kepada kekasihnya, menyeka sudut bibir kekasihnya, mencubit pipi, dan mencium pipi kekasihnya!

Apa mereka tidak malu melakukan hal itu di depan umum? Maksud Wanda, memegang satu sama lain dan interaksi yang mulai mengarah ke intim.

Anak muda. Anak muda. Giliran mereka dewasa nanti, mereka akan berpikiran sama seperti Wanda, menatap anak muda dengan sarkas. Tunggu saja waktunya.

Wanda kembali meluruskan pandangannya, menatap dinding kaca yang ada di depannya. Langit sudah berubah mendung, berbeda dari beberapa jam lalu yang terik.

Perlahan-lahan rintik hujan mulai turun, namun belum begitu lebat. Masih ada orang yang berjalan dengan santai sambil mendengarkan lagu. Sedangkan pengendara motor mulai melajukan motornya dan bergerak bebas menyalip padatnya lalu lintas.

Mata Wanda memicing kesal, melihat sepasang kekasih yang berjalan cepat dengan tawa di bibir berpayungkan jas tebal dan panjang. Tubuh mereka terlihat begitu dekat karena harus menghindar dari hujan yang mulai turun.

Melihat itu semua, Wanda segera meraih ponselnya untuk menghubungi Bryant. Ia ingin dijemput pria itu dan merasakan apa yang dirasakan oleh pasangan-pasangan tadi, didukung dengan sekarang yang sudah mendekati jam pulang kerja Bryant.

Wanda menelepon Bryant dan langsung dijawab olehnya. "Halo," Wanda memulai pembicaraan dengan menyapa Bryant. "Sibuk?"

"Sibuk," jawab Bryant singkat sambil melanjutkan pekerjaannya. Ia membiarkan mode speaker pada ponsel agar dapat bekerja dan menjawab panggilan secara bersamaan.

"Bukannya sudah waktu pulang kerja?" tanya Wanda, bermaksud untuk berbasa-basi sebelum mengatakan tujuan utamanya. "Kamu biasanya pulang tepat waktu."

"Yang lain sudah pulang," jawab Bryant. "Ada apa?" Bryant melepas genggaman tangannya pada mouse, mencoba untuk memfokuskan pikiran pada Wanda yang terdengar berbelit-belit. Lucu sekali, istrinya itu bahkan hafal waktunya pulang kerja. Sudah tertarik dengannya, heh?

"Hm," gumam Wanda, "bisa tolong jemput aku?"

Akhirnya Wanda mengucapkan kalimat itu. Apakah Bryant akan menolaknya? Wanda penasaran setengah mati! Jika Bryant tidak seketus tadi malam, mungkin Wanda tidak akan penasaran dan gugup.

"Di mana?" Bryant menutup layar laptopnya lalu memasukkannya ke dalam tas kerja. Ia akan melanjutkan pekerjaannya sesampainya di rumah, setelah Wanda tidur tentunya. Agar istrinya itu tidak menjadikan pengecualiannya kali ini sebagai alasan untuk bermain laptop tengah malam.

Sesungguhnya, Bryant tidak suka membawa pekerjaan pulang ke rumah, terasa seperti orang yang tidak bisa mengatur dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia juga harus menyesuaikan diri dengan tempat. Kantor untuk bekerja. Rumah untuk istirahat.

"Sempat? Aku ada di Kafe BlackBean."

"Di sana lagi?" Tidak disadarinya, Bryant terkekeh kecil.

"Iya, sudah kubilang kalau ini adalah kafe favoritku," Wanda mengerucutkan bibirnya karena sebal. Memangnya kenapa? Ia tidak boleh datang lagi? Tempat ini menyenangkan ditambah dengan karakternya yang setia. Jika sudah nyaman di satu tempat, ia akan datang terus-menerus, tanpa berusaha mencari tempat yang baru. Begitu juga jika pada kunjungan pertama ia tidak mendapat pelayanan yang baik, maka ia tidak akan pernah datang lagi.

"Tidak ada taksi yang lewat?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro