Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sembilan belas

Lamarannya gagal. Benar-benar gagal.

Cincin yang dibeli untuk Wanda hanya teronggok rapi di dalam laci meja kerja mereka bagian paling dalam. Tidak ada keberanian yang begitu besar untuk mengeluarkannya dari sana. Wanda masih sama seperti dua minggu lalu. Terlihat baik-baik saja, terlalu baik malah sehingga anehnya malah terlihat tidak baik-baik saja bagi Bryant.

Berkali-kali Bryant memberanikan diri mengajak Wanda untuk keluar kencan agar ia bisa mencoba melamar Wanda lagi, tapi selalu saja ditolak dengan alasan harus menyelesaikan naskah sesegera mungkin. Menjadi seorang penulis benar-benar sibuk ternyata. Wanda selalu menghabiskan waktu di depan laptop dan buku tebal lusuh miliknya. Menarikan kesepuluh jari di atas keyboard. Ataupun dari pagi sekali hingga sore pergi untuk rapat di kantor penerbit. Belum lagi, Wanda meminta ijin untuk keluar mencari ide.

Kenapa tidak mencari ide di rumah? Atau sekedar bertanya kepadanya? Mungkin saja Bryant bisa membantu.

Pengalaman percintaannya yang minim membuat Bryant menanyakan diamnya Wanda pada ibunya. Dan yang didapatkannya adalah omelan panjang dari ibunya yang mengatakan bahwa ia tidak peka dan telah membuat Wanda marah. Dari jumlah hari yang ia beritahukan kepada ibunya, Lina menyimpulkan bahwa taraf kemarahan Wanda sudah cukup tinggi.

Aneh.

Bukannya kata Wanda dirinya tidak marah? Tapi kenapa ibunya berkata bahwa Wanda marah? Bryant coba memikirkan segalanya lebih teliti lagi. Ia mengeluarkan semua ingatannya untuk dianalisis kembali.

Jarak yang sebelumnya sudah dekat mendadak merenggang kembali seperti awal pertemuan mereka. Bahkan, jika dipikir lebih lanjut, awal pertemuan mereka masih lebih baik dari ini.

Saat ini, Wanda selalu menghindari pelukannya, apalagi ciuman dan malam bersama mereka. Tidak usah dipikir seribet itu, dari pembicaraan mereka yang biasanya sebenarnya juga sudah terasa. Wanda selalu menjawab perkataannya singkat, lalu menghindari setiap kata romantisnya.

Positif sudah dugaan ibunya. Wanda marah.

Tapi bukankah seharusnya Wanda jujur? Agar mereka dapat memperbaiki hubungan mereka dengan cepat. Mungkin harus dimulai dari dirinya, karena ia yang sudah menyebabkan kemarahan Wanda. Bryant memanggil Tony, "Tolong singgah di toko bunga."

Bryant tidak boleh mengikuti keterdiaman Wanda lagi, ia harus memperbaiki hubungan mereka. Akuisisi harus berjalan lancar. Anggap saja Wanda adalah klien yang sangat sulit untuk dibujuk rayu dengan proposal normal. Iya, anggap saja begitu. Wanda adalah klien terpenting dan paling killer. Klien yang menjamin masa depannya. Klien yang memegang peranan paling penting dalam hati dan hidupnya.

"Sudah sampai. Saya akan tunggu di sini," kata Tony sambil mengerem pelan mobil tepat di depan pintu toko bunga.

Bryant masuk ke dalam toko bunga untuk mendapatkan bunga yang bisa mewakili perasaannya, setelah itu keluar dengan bahu yang cukup ringan karena menerima pujian dari pegawai. Pegawai itu mengatakan bahwa Bryant pria yang amat romantis sehingga ingin mengungkapkan maaf dan cinta menggunakan bunga. Pegawai itu juga menjamin bahwa Wanda akan memaafkannya dalam sekejap mata.

Oke.

***

Bryant mengelilingi seluruh sudut rumah dengan buket bunga dalam genggaman. Saking antusiasnya, ia bahkan tidak melepas jas yang masih membungkus rapi tubuhnya kecuali tas kerja yang ia letakkan di atas sofa. Tidak ada Wanda di mana-mana. Kamar, dapur, bahkan toilet juga tidak ada. Di mana Wanda?

Bryant mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Wanda, mungkin saja Wanda sedang keluar untuk jalan-jalan atau bekerja. Tiga panggilannya tidak dijawab, selalu dikatakan bahwa nomor Wanda sedang sibuk. Paling tidak, panggilannya tidak ditolak.

Bryant masuk ke dalam kamar. Ia melepas jas kemudian menaruh buket bunga ke atas meja kerja. Ia berjalan menuju kasur lalu duduk di atasnya sebelum kembali menghubungi Wanda. Masih sibuk, seperti terakhir kali. Mungkin perbincangannya belum selesai.

Bryant menghela napas. Di saat yang bersamaan, pintu kamar terbuka, menampilkan Wanda dari balik pintu dengan ponsel yang menempel di telinga. Wanda juga sibuk berbicara tanpa menyadari bahwa Bryant ada di dalam kamar. Wanda tidak menyalakan lampu karena kedua tangannya yang penuh. Ia meletakkan semua barang di atas meja hingga buket bunga mawar merah menarik perhatiannya. Secara tidak sadar ia tersenyum kemudian meraih buket itu untuk dihirup.

Apa Bryant membelikannya buket bunga ini? Pertanyaannya dijawab langsung oleh kartu ucapan yang menyembul di antara mahkota bunga. Wanda menarik kartu ucapan dengan tulisan tangan Bryant.

Love you.

Dua kata sederhana yang membuat jantung Wanda kembali berdetak kencang. Lalu di mana Bryant sekarang? Lagi-lagi, pertanyaannya terjawab dengan cepat. Pertanyaan dalam hati Wanda terjawab dengan pelukan erat dari Bryant. Hanya dalam sekali hirup, udara halus yang dibawa Bryant membuatnya langsung mengenali suaminya. Wangi kopi dan jeruk yang menunjukkan aroma pria yang menyegarkan.

Wanda diam, berusaha mengendalikan perasaannya yang sudah kembali berbunga-bunga karena perlakuan sederhana Bryant. Ia memfokuskan pikirannya untuk membalas perkataan lawan bicaranya. Lagipula ia juga masih sedikit marah dengan Bryant, tapi ia tetap membiarkan Bryant memeluknya.

Jujur saja, ia merindukan Bryant. Tapi, tidak boleh lemah.

Ia harus konsisten dengan keputusannya waktu itu. Hubungan mereka hanyalah hubungan sementara yang tidak akan dibawa ke masa depan.

Wanda mematikan sambungan telepon setelah obrolannya berakhir. Ia melepas rengkuhan Bryant dengan berat hati. Ia memutar tubuh menghadap Bryant yang sedang menatapnya dengan senyum lebar nan polos.

"Hai, Sayang." Bryant hendak mengecup bibir Wanda, namun Wanda menghindar. Sikap itu memunculkan denyutan nyeri di dadanya.

Mereka diam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Bryant yang kecewa. Wanda yang menyesal.

Bryant memberanikan diri untuk memecah keheningan. Ia kembali tersenyum meski tidak selebar dan seceria tadi. "Kamu sudah lihat bunganya?"

Wanda menganggukan kepala.

"Ada banyak sekali yang ingin kukatakan padamu," lanjut Bryant. Ia berusaha terdengar senang, meskipun gugup setengah mati.

"Apa?" tanya Wanda. Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Ada hal yang harus kukerjakan lagi."

Ini bukan ekspresi yang diharapkan Bryant, membuatnya kembali berusaha memikirkan langkah selanjutnya karena apa yang sudah direncanakannya sedari tadi tidak cocok lagi untuk sekarang. Bryant memberanikan diri meraih tangan Wanda untuk digenggamnya, namun hanya berselang beberapa detik kemudian, Wanda menjauh.

"Kenapa diam? Bukannya katamu, banyak sekali hal yang ingin kamu bicarakan padaku malam ini?" tanya Wanda lagi.

Bryant menghembuskan napas. Namun, sepertinya itu hal yang salah.

"Kamu menghela napas? Sebegitu sulit? Apa kamu ingin mengatakan hal yang tidak baik?"

Bryant menatap Wanda. Tidak tahu apa yang salah dan apa yang diinginkan Wanda. "Aku diam karena aku berpikir. Aku butuh waktu untuk berpikir agar kalimat yang keluar dari mulutku tidak memicu pertengkaran yang lebih dalam, tidak ambigu," jelas Bryant. "Agar kamu bisa langsung mengerti maksud perkataanku tanpa membawanya menuju arah negatif."

Ia kembali meraih tangan Wanda lalu diremasnya erat-erat. Wanda hanya diam. Tapi matanya berkaca-kaca kemudian perlahan-lahan memerah seperti tengah menahan tangis.

"Kenapa diam?" tanya Bryant lembut. Ia mengarahkan jari tangannya untuk mengusap air mata Wanda, "Kenapa menangis?"

Tangisan Wanda tumpah. "Aku diam karena aku marah!" Kalimat itu keluar juga dari mulutnya. Kalimat yang dua minggu ini selalu Wanda tahan untuk keluar. Pertahanannya hancur dan ia kembali masuk ke dalam pesona Bryant, dimulai dari hal sederhana. Yaitu meringkuk masuk lebih dalam ke dalam pelukan Bryant saat pria itu memeluknya, kemudian mencium puncak kepalanya lembut.

"Jangan marah lagi," kata Bryant lembut. Ia mengusap puncak kepala Wanda sambil menatapnya lekat. Pelukan mereka belum lepas meski sudah renggang. Bryant mendekatkan wajahnya. Namun Wanda memundurkan kepalanya. Bryant menunjukkan ekspresi protes. "Hm," gumamnya.

"Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Wanda was-was. Dari kalimat yang pernah didengarnya, sentuhan fisik dari pasangan adalah hal yang paling berbahaya. Karena, semarah atau sekecewa apa pun, akan padam begitu saja. Sentuhan tangan, pelukan, ciuman kening, dan parahnya bibir, serta kegiatan di atas ranjang dari pasangan tentunya. Itu semua adalah obat paling mujur dari segala penyakit marah wanita.

"Aku?" Bryant balas bertanya. "Apa yang ingin kulakukan?"

"Iya, kamu," jawab Wanda, kepalanya masih berada jauh di belakang, meskipun anggota gerak bagian bawahnya masih menempel erat dengan Bryant.

"Sedang berusaha meredakan kemarahan istriku," kata Bryant tegas, tidak didukung dengan ekspresi wajahnya yang penuh kejahilan.

Mau tidak mau, senyum tipis Wanda hampir terbit. Baru saja sudut bibirnya bergerak, Wanda segera mengulum kembali senyumnya. Ia menepuk dada Bryant kemudian melepas paksa pelukan mereka. Bukan hal mudah. Bryant malah memeluknya semakin erat. Bryant juga memegang bagian belakang kepalanya lalu diarahkan pada bahunya.

"Aku merindukanmu, sungguh."

"Tapi aku selalu ada di sini," jawab Wanda. Ia menatap jendela di hadapannya dengan penuh perasaan kacau.

"Kamu memang ada di sini, di dekatku," kata Bryant. "Seperti saat ini."

Wanda mengarahkan pandangan pada punggung Bryant, karena ia rasa, Bryant tengah menggantungkan kalimatnya.

"Tapi kamu menghindariku."

Hati Wanda mencelos. Apakah terlihat begitu jelas bahwa ia sedang menjaga jarak dengan Bryant? Bodoh. Tentu saja! "Aku tidak menghindarimu," bantah Wanda. Ia melepas pelukan mereka, kali ini dituruti Bryant. Wanda balas menatap Bryant lekat-lekat, "Aku hanya sibuk."

"Aku tahu kamu sibuk, dan itu benar adanya." Bryant terkekeh sesaat sebelum kembali serius. "Tapi kamu juga menjaga jarak dariku. Apa yang salah dariku? Karena aku terlambat kemarin? Sehingga kamu marah?" tanya Bryant bertubi-tubi. Ia mengamati ekspresi Wanda hingga istrinya itu cemberut pada akhirnya.

"Aku marah! Kamu bukannya terlambat, tapi tidak datang," koreksi Wanda. Ia mengerutkan kening.

Bryant tersenyum canggung. "Aku benar-benar salah prediksi waktu," elak Bryant. "Kukira, setelah rapat selesai, aku bisa langsung pergi menemuimu untuk kencan."

"Seharusnya kamu tidak pergi rapat, kalau begitu! Kamu berbuat seolah-olah rapat ada di atas segalanya!" Suara Wanda mulai naik karena kesal. Kedua tangan sudah terlipat di depan dada.

"Sayang," panggil Bryant sambil meraih kedua tangan Wanda ke dalam genggamannya. "Maaf."

"Seharusnya kamu jadikan aku prioritasmu! Bukannya menyelesaikan segala pekerjaanmu baru kencan. Jika memang tidak bisa, katakan saja tidak bisa." Wanda mengeluh sepenuh hati.

Hal itu membuat Bryant perlahan-lahan tersenyum lalu meraih Wanda ke dalam pelukan. "Aku lebih suka kamu yang seperti ini. Kamu yang terbuka benar-benar lebih baik daripada kamu yang diam karena marah."

Wanda memutar bola matanya. "Dasar gombal."

"Aku tidak gombal," protes Bryant.

"Jadi, kalau bukan gombal, untuk apa bunga itu?" kata Wanda sambil menunjuk bunga yang ada di atas meja kerja mereka.

"Permintaan maafku dan permohonan untuk baikan," jawab Bryant, terdengar nada bangga di dalam ucapannya.

"Ini namanya," Wanda mengeja dengan tegas, "Gom-bal!"

"Masih ada satu hal penting yang ingin kukatakan," kata Bryant. Ia kembali serius.

"Apa?" Jantung Wanda mulai berdetak kencang. Apa Bryant akan memberinya cincin seperti yang ia lihat waktu itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro