satu
"Aku tidak akan hadir."
Ponsel Bryant yang terletak di atas meja mengeluarkan suara bernada bosan itu. "Aku serius dengan perkataanku," lanjutnya yang diakhiri dengan putusnya sambungan telepon secara sepihak.
"Apa Nona Selena serius dengan perkataannya tadi?"
Bryant memainkan bolpoin di sela-sela jarinya, "Tentu tidak, Tony." Kalimat bernada tenang keluar dari bibirnya.
Lelaki bernama Tony yang bekerja sebagai sekretaris Bryant itu meraih ponsel Bryant kemudian sibuk memeriksa pesan masuk yang mungkin saja terlewat olehnya, pesan penting dari Selena mungkin. "Anda tidak khawatir?" tanya Tony tanpa mengangkat pandangan dari layar ponsel Bryant, jarinya juga masih bergerak bebas di atas layar.
"Selena tidak akan berani," kata Bryant sambil menatap Tony yakin. Sebenarnya, ia sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Tony menaruh kembali ponsel Bryant ke atas meja yang langsung diambil alih oleh Bryant. Ia membaca beberapa surel yang dianggapnya penting dari sekian banyak surel berisi ucapan selamat atas pernikahannya.
"Nona Selena selalu sulit diprediksi," tegas Tony.
Itu alasan dari setitik keraguan yang dialami Bryant. Bryant menatap Tony ketika mereka berdua memiliki pikiran yang sama. Ia menyandarkan punggungnya ke belakang dengan tangan yang terlipat di depan dada, menunggu kelanjutan kalimat Tony.
"Maksud saya, Nona Selena selalu hidup untuk dirinya sendiri. Dia tidak memedulikan orang lain sehingga selalu bertindak semaunya," jelas Tony.
Tepat sekali.
"Apalagi pernikahan Anda tidak akan luput dari media massa. Tidak akan menguntungkan Anda jika berita mengenai ketidakhadiran Nona Selena tersebar," lanjut Tony.
"Tidak ada wartawan," kata Bryant, "keluarga kami tidak membiarkan wartawan meliput tanpa persetujuan, jika kau lupa."
Tony kembali mengungkapkan pendapatnya, "Bagaimana dengan tamu dari pihak Nona Selena? Saya sudah menyerahkan kartu undangan pihak Nona Selena dua minggu sebelumnya."
Bryant menghela napas. "Sepertinya kau belum memperbarui database-mu kali ini, seluruh tamu undangan berasal dari pihakku, tidak ada yang diundang Selena, dia menolak kirimanmu. Dan kartu undangan itu ada di sana," Bryant mengarahkan kepalanya ke sudut ruangan yang terdapat dua tumpukan dus besar.
Tony mengikuti arah pandangan Bryant dalam diam.
"Sudah saatnya kita berangkat ke hotel," kata Tony sambil melirik jam tangan yang melilit di pergelangan tangan kanannya sekilas, "Anda tidak boleh terlambat."
"Secepat ini? Tidak terasa tiga jam ke depan aku akan melepas status lajang." Bryant berjalan mendekati dinding kaca besar yang menampilkan langit cerah berwarna biru terang.
Bryant mendengar samar Tony yang sedang meminta sopir untuk bersiap-siap melalui ponsel kemudian beralih mematut diri di depan kaca setinggi badan sambil merapikan anak-anak rambut yang berantakan.
"Di tempat resepsi sudah ada penata busana dan penata rambut yang menunggu. Mari kita berangkat sekarang," kata Tony yang sudah berada di samping pintu ruangan yang terbuka.
"Baiklah. Kita berangkat sekarang dan pastikan sendiri kehadiran Selena."
***
Mobil sudah terparkir rapi di depan lobi hotel saat Bryant dibukakan pintu oleh Tony. Ia keluar dari mobil sambil menarik jas yang dikenakannya agar terlihat rapi setelah duduk di dalam mobil kurang lebih satu jam lamanya karena terjebak padatnya lalu lintas.
Bryant melangkah masuk ke dalam gedung hotel lalu berdiri di depan pintu lift. Ia membiarkan Tony menekan tombol, memanggil lift untuk segera menjemput dan membawa mereka menuju lantai tujuan. Sesampainya di lantai tujuan, Bryant melangkahkan kakinya dengan pasti keluar dari lift menuju kamar di mana pengantin wanitanya sedang dirias.
Pintu terbuka dan Bryant langsung dihadapkan dengan pemandangan Selena yang sedang dirias. Riasannya tampak belum selesai. Selena juga belum mengenakan gaun pengantinnya melainkan gaun tidur tipis dan sandal bulu.
"Datang untuk memeriksa kehadiranku?" ejek Selena. "Kukira kau memiliki keyakinan yang cukup tinggi bahwa aku akan hadir."
Selena mengibaskan telapak tangannya, memberi tanda kepada penata rias dan staf lainnya untuk keluar dari kamar.
"Kau juga, Tony," kata Bryant kepada Tony, sehingga saat ini hanya dirinya dan Selena yang tersisa di dalam kamar.
"Ke mana perginya kepercayaan dirimu?" tanya Selena. Ia mendekatkan wajahnya pada kaca rias untuk menyisir pelan bulu matanya yang tebal dan lentik.
"Kukira kau tidak akan hadir," kata Bryant, mengabaikan tuduhan Selena. "Nyatanya kau ada di sini."
"Tenang saja, aku akan pergi satu detik sebelum pesta dimulai," ujar Selena sambil memperhatikan kuku jari tangannya yang terlapis cat kuku bening dengan beberapa permata kecil berkilauan di atasnya, lalu diakhiri dengan menyentuh cincin bermatakan berlian merah muda yang memeluk sempurna jari manisnya.
"Tidak perlu repot-repot menghabiskan waktumu." Bryant menatap Selena dari atas hingga bawah. "Kau menghabiskan terlalu banyak persiapan untuk hal yang tidak akan kau jalani."
"Kepanikanmu," Selena menatap Bryant sambil meraih lipstick merah dan dipulaskannya saat itu juga, "Itu yang ingin kucapai. Suatu kehormatan bagiku untuk bisa membuatmu panik."
"Tidak sama sekali."
Selena bangkit dari kursi yang didudukinya kemudian berjalan mendekati gaun pengantinnya yang sudah dipajang rapi di maneken, "Kita belum tahu pasti, mungkin saja efek ini akan terasa di lain kesempatan bukannya sekarang."
Bryant terkekeh ringan. "Bersiap-siaplah, sebentar lagi resepsinya akan dimulai."
"Sudah kukatakan, aku tidak akan hadir," kata Selena sekali lagi, masih dengan ketenangan yang sama, "hadir atau tidak, semua tetap sama, kita tidak tercatat sebagai suami istri. Tidak ada yang berbeda."
Baru saja Bryant menyentuhkan tangannya pada gagang pintu, Selena kembali berbicara. Dan kali ini, Selena berhasil menghentikannya untuk sesaat, "Aku harap akan ada wanita yang bisa membuatmu sadar bahwa kau tetaplah manusia yang akan merasa kehilangan cepat atau lambat."
"Kuharap begitu adanya."
"Love always comes with fear, remember."
Bryant menutup pintu yang ada di belakangnya, meninggalkan Selena sendiri. Bryant mengedarkan pandangannya sambil berbicara kepada para staf yang menunggu di luar kamar sedari tadi, "Segera masuk dan lanjutkan pekerjaan kalian."
"Sudah tenang, bukan?" tanya Bryant pada Tony, "Selena ada di sini."
"Iya. Anda benar," Tony menganggukkan kepalanya. "Saya antar Anda ke kamar."
"Kalau begitu, silakan jalan di depan," ketus Bryant sambil mempersilakan Tony untuk berdiri di depannya.
Tony berjalan mendahului Bryant, menunjukkan kamar tempat Bryant beristirahat sementara waktu menunggu pesta dimulai. "Anda dibuat kesal oleh Nona Selena?" tanyanya tanpa melihat ke belakang dan terus berjalan.
"Tidak, apa aku terlihat kesal?"
"Iya, Anda terlihat kesal," jawab Tony setelah menghentikan langkahnya dan berbalik memandang Bryant tanpa ekspresi. Ia membuka pintu kamar hotel lalu mempersilakan Bryant masuk, "Saya akan tunggu di luar dan memanggil Anda lima belas menit sebelum pesta dimulai."
"Entah mengapa kau selalu membuatku kesal tanpa sadar," gerutu Bryant sedetik setelah pintu tertutup.
***
Bunyi bel menyadarkan Bryant dari lamunan, namun tidak membuatnya bergegas membuka pintu. Ia tetap duduk tenang di atas sofa yang menghadap ke arah balkon. Rambutnya sudah selesai ditata rapi, begitu juga pakaiannya yang sudah diganti menjadi setelan pernikahan. Ia hanya perlu memakai jas putih yang tergantung di samping meja rias.
"Sudah waktunya untuk Anda turun, lima belas menit lagi pesta akan dimulai," kata Tony dari belakang sofa.
Bryant bangkit dari sofa kemudian berjalan mendekati tempat di mana jasnya digantung rapi. Tony meraih jas itu untuk membantu Bryant mengenakannya. Bryant mematutkan dirinya untuk sesaat di depan cermin sebelum berjalan keluar dari kamar hotel.
"Apa Anda ingin memeriksa keberadaan Nona Selena terlebih dahulu?" tanya Tony. Hanya tersisa jarak beberapa pintu antara kamar Selena dan posisi mereka saat ini.
"Tidak perlu," kata Bryant.
"Itu berisiko," ujar Tony sambil tetap mengikuti langkah Bryant melewati pintu kamar Selena yang tertutup rapat.
Mereka berdua tiba di ballroom hotel yang sudah ramai oleh tamu. Hal itu dikarenakan kebanyakan tamu memilih untuk datang lebih awal daripada terjebak macet dan malah berakhir terlambat tiba. Bryant berjalan melewati keramaian, lebih tepatnya antrian para tamu yang sedang mengambil lima belas hidangan utama yang tersedia. Bryant menunggu di dekat tangga seperti gladi bersih yang mereka lakukan tadi malam.
Lima menit menunggu, Selena tidak kunjung muncul sesuai rencana. Sejujurnya, Bryant membenci hal-hal yang terjadi di luar rencana. Ia tidak suka untuk memaksakan dirinya memikirkan jalan keluar saat waktu sudah dekat seperti ini. "Di mana dia?" tanya Bryant tanpa menatap Tony yang berdiri di belakangnya. Ia sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari kehadiran Selena.
Tony segera menghubungi staf wedding organizer yang bertugas. Tidak lama kemudian, Tony terlihat sibuk bertukar informasi dengan penerima telepon sambil sesekali menganggukkan kepalanya. Setelah itu, Tony memasukkan ponsel kembali ke dalam saku jas. Tatapan Tony berubah serius. "Tidak ada jawaban dari kamar Nona Selena."
"Pastikan sendiri."
Tony langsung berjalan cepat meninggalkan Bryant.
Entah datang dari mana keberanian Selena kali ini. Bukan satu atau dua kali Selena coba menggertaknya yang selalu berakhir hanya gertakan semata tanpa tindakan apa-apa, berbeda dengan kali ini.
Bryant menghentikan langkah kakinya ketika ponselnya berdering, telepon dari Tony. Bryant menepi ke arah pilar besar agar tidak menarik perhatian tamu yang sesekali mendekatinya untuk memberi selamat.
"Berita mengenai batalnya pernikahan Anda sudah tersebar di media elektronik dan sumbernya adalah Nona Selena sendiri," kata Tony cepat namun jelas.
"Nona Selena memberi informasi bahwa dialah yang membatalkan pernikahan," lanjut Tony. Terdengar nada samar pintu terbuka lalu suara Tony kembali terdengar, "Saya baru saja keluar dari kamar Nona Selena. Ada amplop putih di atas meja rias."
"Buka amplop itu, Tony," perintah Bryant. Tanpa disadarinya, ia menegakkan tubuh.
"Tulisan tangan Nona Selena," kata Tony, "akan saya bawa amplop ini untuk Anda." Suara Tony benar-benar jelas dan teratur. Tony bukan orang yang gegabah, hal itulah yang menjadi alasan utama kesabaran Bryant tetap mempertahankan Tony di sisinya. Tony yang sangat kaku dan menyebalkan karena terlalu jujur adalah pengecualian.
"Tidak perlu," potong Bryant cepat, "bacakan saja, sekarang!"
"Baik." Bola mata Tony bergerak cepat, membaca semua rangkaian kata yang tergores dengan tinta hitam di atas kertas hotel. "Dari yang saya simpulkan, meskipun Nona Selena tidak dapat membuat Anda merasa kehilangan, dia yakin Anda akan merasa malu atas batalnya pesta pernikahan Anda."
Bryant memasukkan ponsel ke saku di balik jas saat mendapati Tony berjalan mendekat. "Saya sudah pastikan sendiri, Nona Selena tidak ada di ruangan," lapornya.
"Dia bersungguh-sungguh ternyata," kata Bryant. "Kau tahu ada di mana dia sekarang?"
"Nona Selena sedang ada dalam perjalanan pulang," jawabnya, "menurut laporan yang saya terima, Nona Selena pergi setelah kita keluar dari kamarnya tadi."
"Biarkan para tamu menikmati hidangan terlebih dahulu, lalu tutup pesta pernikahan ini."
"Tapi—"
"Akan kuurus," potong Bryant. Setelah kalimat dingin itu meluncur keluar dari bibirnya, Bryant mengedarkan pandangannya sambil mencari solusi yang dapat ia gunakan.
Pandangannya terhenti pada seorang wanita bersetelan kerja yang sedang menyentuh bunga lavender yang memang dipesan khusus untuk menghias ruangan. Saat itu juga ia teringat halaman di salah satu majalah yang pernah dilihatnya saat menemani Selena memilih gaun pengantin. Pemotretan pernikahan yang sedang naik daun saat ini, di mana pengantin wanitanya mengenakan setelan kerja formal dan blazer!
Bryant berjalan dengan langkah lebar lalu menarik pergelangan tangan wanita di depannya ini. Ia meraih tas tangan wanita itu dan langsung diserahkan kepada Tony yang mengekorinya. Penampilan wanita ini juga terhitung rapi, sehingga Bryant segera menariknya masuk ke dalam pesta sambil memberi tanda kepada penjaga pintu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro