Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

lima

Bryant tampak tidak setuju. "Pernikahan bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."

"Kalau kamu tahu, kenapa tidak kamu lakukan lebih awal? Lebih baik keluarga kita malu karena pernikahanmu dibatalkan daripada kita merusak masa depan orang lain, Bryant!" Lina terlihat frustasi sambil mengusap keningnya yang berkeringat, "Seharusnya kamu diskusikan masalah besar ini dengan kami sebelum mengambil keputusan sendiri!"

"Bukankah dengan permintaan Mom tadi, Mom sedang mengacaukan masa depan kami?"

"Mom tidak mengacau atau merusak masa depan kalian berdua, namun memperbaiki kerusakan itu agar lebih baik lagi. Seperti nasi menjadi bubur yang kemudian ditambah suwiran daging ayam dan bawang goreng," ketus Lina. Ia meminta bantuan Rudi melalui tatapan mata, namun Rudi hanya tertawa tanpa suara.

"Terdengar sangat lezat, Nyonya Besar," puji Tony di tengah ketegangan membuat Rudi tidak tahan untuk tidak menyemburkan tawanya.

"Kamu benar-benar bisa menyelamatkan suasana, Tony. Kamu tidak pernah mengecewakan saya," puji Rudi.

"Mom harap kamu dan Wanda bisa mendapatkan solusi yang lebih baik jika memang benar kalian tidak setuju untuk merealisasikan pernikahan yang Mom anjurkan. Mom harap, keputusan kalian tidak akan merugikan satu pihak pun."

"Tentu, Mom. Kami akan menyelesaikan masalah kami tanpa mengecewakan Mom dan Dad," jawab Bryant. Ia meraih tangan Lina untuk digenggamnya lembut.

"Tidak perlu pikirkan kami, pikirkan kalian berdua saja dan utamakan Wanda," Rudi memperingatkan Bryant. "Saat ini, yang berkemungkinan rugi lebih banyak adalah Wanda."

"Maaf sudah menimbulkan masalah untuk tante dan om," kata Wanda.

"Masalah terbesar dalam hidup tante adalah tante terlalu peka untuk segala hal yang terjadi di sekitar tante," Lina terlihat santai saat mengucapkan kalimat itu, dan diakhiri dengan tawa ringan saat menerima usapan dan ciuman pada kepala dari Rudi.

"Apa pendapatmu tentang solusi dari ibu saya tadi?" tanya Bryant setelah kedua orangtuanya pamit pulang.

Mereka sudah duduk diam kurang lebih sepuluh menit sibuk dengan pikiran masing-masing. Otak mereka bekerja lebih keras dari biasanya untuk mencari solusi agar mereka tidak perlu menikah seperti apa yang telah disarankan.

Bagi Wanda pernikahan belum pernah terbesit dalam benaknya barang sedetik pun. Saat ini ia lebih fokus pada karir daripada percintaan. Baginya terlalu sulit mengurus seorang pria ketika ia bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Apalagi, ketika ia harus bekerja, ia juga harus mengurus rumah tangga, mengurus suami yang pulang bekerja, lalu memasak untuk mereka berdua. Masalah itu memang bisa selesai dengan asisten rumah tangga, jika sang suami mengizinkan. Dan jarang sekali ada pria yang berpikiran seterbuka itu.

"Lebih baik kita bahas masalah ini di tempat lain tanpa—" Wanda menghentikan kalimatnya sambil melirik sekilas pada Tony yang berada di samping Bryant.

Tadinya Bryant ingin langsung menolak keinginan Wanda, namun dipikir sekali lagi, lebih baik hal ini dibahas tanpa kehadiran Tony. "Tentu," sahut Bryant sambil mengulurkan tangannya pada Wanda, membuat Wanda kebingungan. Kedua alisnya menyatu.

"Ponselmu." Bryant mengulurkan tangannya sekali lagi, sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Untuk apa?"

"Supaya Anda bisa menghubungi saya untuk memberi tahu alamat dan waktu temu," jelas Bryant kepada Wanda. "Tidak mungkin kita berbicara saat ini juga, bukan? Terlalu cepat, otak kita belum bisa memikirkan solusi yang tepat."

"Oh," Wanda terkekeh datar, "ini."

Hanya dalam sepersekian detik ponsel Wanda berada di tangan Bryant. Sebelum Bryant mengembalikan ponselnya, Bryant berkata, "Hubungi saya segera mungkin."

"Tentu, saya akan segera menghubungi Anda," Wanda menghentikan kalimatnya, tampak berpikir untuk sesaat, "segera mungkin." Wanda sedikit ragu jika ia bisa menghubungi Bryant sesegera mungkin karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan itu tidak akan selesai dalam waktu semalam. Menyelesaikan bab terakhir memang bisa untuk malam ini, tapi tidak dengan revisi.

"Apa kalian akan bertemu lagi besok? Tidak bisa," sela Tony secara tiba-tiba. Ia mengeluarkan buku cokelat bersampul kulit dari saku dalam jasnya kemudian membuka secara acak halaman buku itu lalu membuka beberapa halaman lagi hingga berhenti di halaman penuh tulisan rapi.

"Kenapa?" tanya Wanda.

"Jadwal Pak Bryant penuh dari pagi hari hingga malam," jelas Tony.

"Jadwal saya juga penuh untuk tiga hari ke depan," kata Wanda cepat. Memangnya hanya Bryant saja yang sibuk? Ia juga sibuk mengejar naskah!

"Kalau begitu, kita bertemu empat hari ke depan. Tony akan mengosongkan jadwal saya begitu juga Anda."

Wanda menganggukkan kepalanya mantap. Semoga!

***

"Kafe BlackBean pukul sepuluh pagi," kata Wanda sambil mengetikkan pesan itu pada ponselnya kemudian mengirimkannya pada kontak Bryant yang ia dapat minggu lalu. Mereka tidak benar-benar bertemu empat hari setelah pesta pernikahan mereka karena nyatanya mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada jadwal yang bisa undur.

Bryant sibuk dengan urusan kantor yang mengharuskannya terbang ke Singapura meresmikan ATM Center baru di pusat perbelanjaan, sedangkan dirinya sendiri harus menyelesaikan revisi akhir naskahnya. Naskah yang butuh perjuangan besar karena bagian akhir naskah yang ia ketik selama enam jam tanpa henti selagi ide mengalir dengan deras seperti air terjun perlu direvisi karena terlalu panjang dan rinci. Terima kasih kepada Bryant atas segala ide yang secara tidak sengaja diberikan oleh pria itu padanya!

Wanda menarik charger laptop dari slot lalu menggulungnya rapi sebelum memasukkannya ke dalam tas laptop bersama dengan laptop dan buku tebal yang terlihat rapuh dari luar. Buku yang penuh dengan catatan ide-ide yang ia dapatkan selagi berjalan maupun saat duduk di kafe favoritnya.

Ia mendapat pelajaran berharga bahwa setiap kegiatan yang terjadi maupun ia lihat dengan kedua matanya harus segera dicatat ke dalam buku agar bisa ia gunakan saat mengalami kepenatan dalam pikiran. Wanda bisa melanjutkan novelnya dengan lancar tanpa perlu keluar dari zona nyaman untuk mencari ide baru, seperti hari di mana ia bertemu Bryant.

Wanda berencana datang ke Kafe BlackBean satu jam lebih awal dan akan pulang pukul lima sore. Di sela-sela waktu itu ia akan membahas rencana selanjutnya bersama dengan Bryant lalu kembali melanjutkan naskah barunya setelah pria itu pulang.

Kafe BlackBean yang beraroma kopi dan jeruk benar-benar menenangkan pikirannya, apalagi kafe itu cukup luas, sejuk, dan nyaman. Jarang sekali ada teriakan heboh dari para pelanggan atau anak yang menangis, karena kafe itu biasanya penuh dengan orang yang membawa laptop untuk bekerja tanpa sibuk mencoba mengintip layar monitor orang lain.

Benar-benar tempat yang sangat nyaman untuk minum kopi dan mengetik sepuluh ribu kata dalam sekali kunjungan. Pernah dalam waktu satu minggu, ia berhasil menyelesaikan satu novel karena mendapat ide besar dari pasangan yang duduk di depannya. Dan meskipun tiga tahun telah berlalu, entah mengapa Wanda belum pernah bertemu dengan mereka lagi. Wanda harap ia bisa bertemu dengan mereka hari ini, jika keberuntungan benar-benar berpihak padanya.

Wanda segera memikul ranselnya lalu berjalan keluar dari kamar. Taksi online pesanannya sudah menunggu di bawah sehingga ia harus segera turun, jika tidak ingin mendapat omelan, dan yang lebih parah adalah pembatalan dari sang sopir.

***

Bryant meraih ponselnya yang bergetar untuk mendapati pesan dari Wanda yang berisikan tempat dan waktu pertemuan mereka. Bryant sudah meminta Tony untuk mengosongkan jadwalnya, ia juga sudah memikirkan matang-matang hal yang akan diajukannya pada Wanda. Hal yang berkaitan dengan masa depan mereka berdua dan diharapkan tidak akan mengacaukan hidup mereka.

Bryant meraih amplop berisi dua rangkap perjanjian mereka untuk dibawanya turun bersama dengan kunci mobil. Hari ini ia akan pergi menemui Wanda tanpa Tony di sisinya sesuai dengan persetujuan mereka berdua sebelumnya. Bryant benar-benar penasaran dengan hasil pemikiran Wanda. Wanda benar-benar tidak bisa ditebak, dilihat dari pesan yang baru saja ia baca. Salah satunya adalah tempat pertemuan mereka.

Dari sekian banyak kafe yang ada di kota besar seperti ini, Wanda memilih kafe yang membuatnya tidak tahan untuk tertawa kecil lalu segera menghubungi orang yang bertanggung jawab atas kafe itu. Hal sederhana namun sungguh menarik.

Di lain sisi, Wanda menggoyang-goyangkan kakinya gelisah. Ia tidak bisa konsentrasi melanjutkan naskahnya meskipun ide terus berterbangan di sekitar kepalanya, meminta untuk segera dituang dalam bentuk tulisan. Alasannya adalah waktu pertemuan mereka sudah semakin dekat dan itu menyebabkan Wanda merasa panik.

Bagaimana caranya ia mengajukan segala hal yang sudah berusaha ia pikirkan matang-matang agar seimbang dengan kerugian yang akan ia alami seumur hidup? Apakah Bryant akan menertawakannya atau langsung setuju? Atau malah marah besar karena dianggap memanfaatkannya terlalu banyak?

Ah! Ia bisa gila!

Wanda menyimpan dokumennya lalu menutup laptopnya begitu saja tanpa mematikan mesin terlebih dulu. Wanda lalu memasukkan laptopnya ke dalam tas dan memilih untuk mengamati keadaan sekitar kafe. Sepertinya ini adalah keputusan yang tepat. Senyum merekah di bibirnya saat mendapati pasangan di depannya itu! Pasangan yang ia nantikan tiga tahun terakhir ini.

Ada satu hal yang membuat senyum Wanda semakin lebar. Bocah kecil yang tampan namun lebih sering cemberut dan terlihat nakal itu kini tengah bergelayut manja pada wanita yang dulu tidak dia sukai dan pernah dia tusuk kakinya dengan garpu!

Astaga! Wanda benar-benar tidak bisa menahan senyumnya sekarang! Mereka bertiga terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia tanpa beban. Apalagi pandangan pria itu terhadap wanita di depannya. Benar-benar tulus dan penuh cinta. Ditambah dengan kecupan di kepala dan rengekan bocah kecil itu! Kapan ia bisa seperti itu?

Deheman pelan terdengar di depannya, membuat Wanda langsung memfokuskan pandangan pada asal suara itu. Ia mendapati Bryant berdiri di depannya dengan satu alis terangkat tinggi.

"Saya tidak terlambat, bukan?" tanya Bryant sambil duduk di depannya kemudian melirik jam tangan pada pergelangan tangan kirinya.

"Tentu, saya yang datang lebih dulu karena ada hal yang harus saya lakukan di sini."

"Begitu," respon Bryant tanpa bertanya lebih lanjut. "Bagaimana? Apa keputusanmu?" lanjut Bryant sambil meletakkan amplop cokelat di atas meja.

"Bagaimana jika Anda memesan minuman terlebih dahulu? Tidak sopan jika Anda duduk tanpa memesan apa pun apalagi minuman saya juga sudah habis setengah jam yang lalu," kata Wanda sambil menunjuk cangkirnya yang sudah kosong.

"Baiklah," Bryant mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan.

Pelayan yang senggang segera berjalan mendekat dan terkejut melihat Bryant ada di dalam kafe, namun ekspresinya berubah tenang setelah menganggukkan kepala singkat dan mendapat balasan dari Bryant.

"Air mineral," pesan Bryant singkat. Ia menunggu Wanda yang sedang sibuk melihat-lihat menu sebelum menyebutkan pesanannya.

"Kopi jeruk," kata Wanda, "dengan susu tanpa gula." Wanda mengangkat pandangan dari buku menu, "Tidak ingin memesan minuman yang sama? Itu menu favorit dan kopi paling enak yang pernah saya minum di kafe ini."

"Jika itu saranmu, tentu saja."

"Air mineral diganti dengan pesanan yang sama dengan saya, Mbak Tita," pesan Wanda sambil memberi senyum termanisnya pada pelayan yang selalu melayaninya setiap kali ia datang. Wanda sudah mengenalnya dari tiga tahun yang lalu. Mereka bertambah akrab seiring waktu dan sering duduk bersama untuk mengobrol sesaat saat kafe sepi.

"Baik, Mbak Wanda."

"Tunggu, pesanan saya tanpa gula dan susu," koreksi Bryant.

"Anda akan ketagihan setelah mencoba minuman itu. Tiga tahun lalu, setelah minum itu, saya kembali terus-menerus. Rasanya yang segar namun pahit membuat ketagihan."

"Oh, ya?"

"Tempat ini juga nyaman ditambah dengan minumannya yang enak," Wanda menghentikan kalimatnya untuk bernapas sebelum mengecilkan suara dan memajukan tubuhnya mendekati Bryant. "Sebenarnya, yang berpikiran seperti itu bukan hanya saya saja. Pasangan yang ada di belakang Anda juga sudah ketagihan untuk selalu ada di sini dan menikmati waktu santai mereka. Saya bisa tahu karena tiga tahun yang lalu adalah pertama kali saya bertemu mereka di sini," jelas Wanda penuh dengan rasa bangga.

"Oh begitu. Saya akan sering datang."

Wanda menatap Bryant penuh rasa percaya diri dan senyuman lebar yang menunjukkan lesung pipinya. Matanya melengkung membentuk bulan sabit, didukung dengan sinar matahari yang menyinari dari belakang membuat rambut cokelatnya berkilau. Hal itu menimbulkan debaran aneh dalam diri Bryant sehingga perlahan tanpa disadari ia ikut tersenyum.

Minuman sudah diantar oleh Tita lima belas menit yang lalu. Begitu juga dengan Bryant yang sudah mencoba kopi jeruk yang disarankan oleh Wanda dan bahkan memujinya. Padahal Bryant kenal rasa itu dengan sangat jelas, minuman favoritnya. Hanya saja Wanda tidak tahu fakta itu.

Tidak ada dari mereka berdua yang berusaha untuk mulai membahas permasalahan mereka. Keduanya malah duduk dan mengamati keadaan jalan raya dari dalam kafe lekat-lekat. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing, bingung harus memulai dari mana.

Bryant dan Wanda berdeham secara bersamaan kemudian melemparkan senyum kikuk.

"Saya rasa kita berdua harus menikah sesuai dengan saran orang tua saya," mulai Bryant. Didorongnya amplop yang sedari tadi ada di atas meja. "Tapi jika Anda tidak setuju, kita akan tetap pada pilihan waktu itu, yaitu Anda melanjutkan studi di luar negeri."

Wanda menelan ludah lalu membasahi bibirnya sebelum menatap Bryant dan meraih amplop yang diserahkan oleh Bryant. "Saya juga sama. Saya juga merasa kita berdua harus menikah."

Wanda ingin keputusannya untuk terikat lebih lama dengan pernikahan ini bersama Bryant dapat memberinya lebih banyak inspirasi, baik untuk novel yang sedang berusaha dirampungkannya maupun novelnya yang akan datang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro