Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

enam

"Tidak untuk selamanya," lanjut Wanda cepat, takut membuat Bryant salah paham. Ia menelan ludah dengan susah payah.

"Kenapa?" tanya Bryant dengan kening berkerut, harga dirinya sebagai pria sedikit tersentil oleh perkataan Wanda tentang tidak selamanya. Apa ia seburuk itu hingga tidak bisa dijadikan pasangan hidup untuk selamanya? Ia berubah sensitif tentang pernikahan semenjak kaburnya Selena.

"Tentang kita harus menikah? Lebih aman bagi saya, apalagi ada hal yang ingin saya mintai to—" kalimat Wanda disela oleh Bryant membuatnya kebingungan.

"Tunggu," kata Bryant sambil melepas kancing jas yang ia kenakan agar bisa duduk lebih nyaman dan tidak begitu sesak.

"A-a-ada apa?" tanya Wanda terbata-bata, ia semakin gugup, "apa lebih baik kita memutuskan bahwa saya studi di luar negeri?"

"Bukan, bukan seperti itu," Bryant memijat keningnya dengan mata tertutup, "kenapa tidak selamanya?"

Saat itu juga Wanda langsung bisa bernapas, ia kira ada masalah besar, namun nyatanya tidak, "karena kita berdua tidak saling suka satu sama lain dan pernikahan yang saya impikan selama ini bukanlah seperti ini."

"Apa maksud Anda dengan seperti ini?" tanya Bryant sebelum menyesap kopinya untuk menutupi hal aneh yang merasuki hatinya.

"Menikah tanpa ada landasan cinta."

Oke, jawaban yang singkat dan sedikit picisan namun bisa dimengerti oleh Bryant. Wanita dan perasaannya. Itu sudah alasan yang cukup. Tidak ada seorang pria pun di dunia ini yang bisa mengerti dan memahami wanita dan perasaannya secara baik.

"Tentu. Karena kesepakatan kita sama, selanjutnya adalah kita memeriksa ketentuan-ketentuan yang diajukan masing-masing pihak," jelas Bryant sambil menunjuk amplopnya yang ada dalam genggaman Wanda.

"Kalau begitu, saya juga akan memberikan Anda ketentuan yang sudah saya pikirkan sebaik mungkin," kata Wanda sambil mengeluarkan amplop dari dalam tasnya kemudian menyerahkannya pada Bryant. Mereka berdua sibuk membaca ketentuan yang diajukan sebelum Wanda membuka suara, "Hm."

"Ada apa?" tanya Bryant. Ia mengangkat pandangan dari kertas yang ia baca, keningnya berkerut cukup dalam, sebelah alisnya juga terangkat tinggi.

"Boleh saya coret beberapa ketentuan yang menurut saya tidak sesuai?" tanya Wanda sambil menunjukkan bolpoin dalam genggamannya.

"Silakan. Kalau begitu saya juga akan melakukan hal yang sama, setelah itu kita bahas kembali," tutup Bryant.

Mereka berdua kembali sibuk membaca serta memperbaiki bahkan menambahkan beberapa ketentuan menurut mereka masing-masing. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Hanya ada bunyi ketikan dari keyboard dan tamu yang memesan makanan sebagai latar belakang, itu pun tidak terlalu berisik.

"Saya sudah selesai," kata Wanda sambil menaruh bolpoin dan kertas yang sudah sedikit penuh dengan perbaikan di sana sini.

"Sebentar, masih ada satu hal yang perlu saya perjelas sebelum saya selesai," kata Bryant tanpa mengangkat pandangannya sama sekali, begitu juga dengan tangannya yang masih menambah keterangan.

"Kalau begitu saya permisi ke toilet sebentar," kata Wanda cepat. Sebenarnya itu hanya alasannya saja. Ia tidak benar-benar pergi ke toilet karena ia tidak begitu suka dengan toilet umum. Ia lebih memilih untuk menunggu hingga tiba di rumah.

Wanda berjalan menuju kasir untuk membayar tagihan mereka. Ia tidak bisa membiarkan Bryant membayar tagihan mereka untuk pertama kalinya, ia yang harus membayar. Wanda adalah wanita mandiri dan independen. Ya, begitulah dirinya.

Saat menyebutkan nomor mejanya, Ani, kasir di Kafe BlackBean, melihat ke sana kemari lalu berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan sebelum keluar dari sana sambil menatap Wanda dengan tatapan segan, "Mbak Wanda gak perlu bayar, kata Pak Manajer sudah diurus sama suami mbak."

"Siapa? Orang yang duduk sama saya?" tanya Wanda tidak percaya, "gak mungkin, Mbak Ani. Soalnya dari tadi dia belum berdiri sama sekali untuk bayar."

"Saya juga gak tahu, Mbak Wanda, kata Pak Manajer gak boleh ditagih. Kalau Mbak datang bayar, saya harus bilang kalau sudah dibayar sama suami mbak."

"Saya tetap bayar, Mbak," tegas Wanda sambil mengulurkan kartu debitnya.

"Jangan, Mbak, nanti saya kena marah," tolak Ani. Ia tidak menerima kartu debit Wanda sambil melihat cemas ke arah Bryant dan pintu ruangan secara bergantian. Saat itu juga pintu terbuka dan menampilkan seorang pria yang diperkirakan oleh Wanda seumuran dengan Bryant, "Tidak usah bayar, Mbak. Bryant sudah pesan jika dia yang akan bayar. Istrinya gak boleh bayar."

"Saya yang tetap akan bayar," kata Wanda tegas.

"Saya yang bayar," Suara Bryant mendadak muncul dari belakang punggung Wanda, membuat Wanda langsung membalikkan badannya menatap Bryant. "Jangan buat harga diri saya terluka, saya yang bayar. Kita suami istri, kalau kamu lupa," bisik Bryant tepat pada telinga Wanda.

"Baiklah kalau begitu," pasrah Wanda. Ia mengikuti Bryant kembali ke meja mereka.

Bryant langsung berdeham dan menyerahkan kertas Wanda kembali pada Wanda, kemudian meraih kertasnya sendiri.

"Saya ingin agar Anda tinggal bersama saya dalam satu rumah, pernikahan kita juga akan didaftarkan secara sah. Hanya dua hal itu saja yang tidak bisa diperbaiki dari perjanjian kita," kata Bryant sambil melihat perubahan dari kertasnya. "Untuk masalah tidak sekamar, tidak dimasakkan makanan, dan segala sesuatunya, saya tidak masalah."

"Bagus jika Anda setuju bahwa kita bisa hidup dalam kegiatan kita masing-masing dan tidak mengurus satu sama lain. Tapi," Wanda menghentikan kalimatnya, membaca kembali ketentuannya yang paling utama, "saya harap Anda setuju untuk menemani saya dan menerima serta menghadiri setiap pesta pernikahan yang undangannya kita dapatkan berdua." Wanda menunjuk ketentuannya yang dilingkari besar-besar oleh Bryant.

"Bukannya saya tidak setuju, tapi saya hanya ingin penjelasan yang lebih rinci," jawab Bryant. "Mengapa kita harus pergi ke semua pesta pernikahan yang kita dapatkan undangannya? Lalu mengapa saya harus melakukan semua hal romantis yang Anda mau?"

Wanda kembali menelan ludah dengan susah payah sebelum menatap Bryant serius, "Anggap saja bahwa kita seimbang. Seperti ketentuan yang Anda tulis, Anda juga meminta saya untuk menemani Anda pergi ke acara yang berhubungan dengan pekerjaan kantor, serta meminta saya berpura-pura menjadi istri yang baik bagi Anda di mata semua orang."

Bryant menganggukkan kepalanya setuju. "Baiklah, kita anggap impas."

"Bagaimana dengan panjang waktu perjanjian? Kapan kita akan menghentikan perjanjian ini?" tanya Wanda saat melihat ketentuan mengenai waktu yang dikosongkannya sendiri, seingatnya, Bryant juga mengosongkan bagian itu.

"Kita akan berpisah saat berita mengenai kita berdua reda, sehingga perceraian kita juga akan dilakukan secara diam-diam," jelas Bryant.

"Kapan kita berdua akan memulai ini semua? Dan kapan perjanjiannya akan ditandatangani?" tanya Wanda, "saya rasa kita berdua butuh bukti yang lebih spesifik yaitu hitam di atas putih."

Bryant menggunakan permukaan putih bersih di balik kertas perjanjian mereka lalu menuliskan ulang pembahasan mereka di atas kertas itu. "Tanda tangan di sini untuk sementara waktu, ini membuktikan bahwa dokumen ini sudah disetujui. Besok saya akan jemput Anda untuk pindah ke rumah saya sekaligus menandatangani dokumen resmi yang sudah dicetak."

"Baiklah," Wanda menganggukkan kepalanya. Wanda segera memasukkan segala barang bawaannya ke dalam tas. Ia rasa ia tidak bisa melanjutkan kembali naskahnya karena harus segera berkemas. Ia akan pindah besok sesuai dengan kesepakatan mereka.

Wanda berdiri diikuti Bryant, mereka berjalan keluar dari kafe dengan Bryant yang berdiri di depan. Ada hal aneh yang terjadi pada Bryant yang tidak kunjung membuka pintu. Hal itu membuat Wanda kebingungan. Wanda segera berjalan di depan Bryant lalu bertanya, "Kenapa tidak keluar?"

Bryant mengangkat dagunya tinggi-tinggi menunjuk ke arah pintu, menandakan agar pintu itu dibukakan untuknya. Kejadian yang baru saja terjadi, terasa tidak asing bagi Wanda. Sepertinya, Wanda pernah mengalami kejadian itu sebelumnya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk ingat bahwa Bryant pernah bertingkah seperti ini agar Tony membukakannya pintu. Enak saja!

Wanda menampilkan ekspresi kesal lalu membuka pintu itu untuk dirinya sendiri kemudian menutupnya rapat, meninggalkan Bryant yang masih ada di dalam kafe menatapnya kebingungan.

Wanda berteriak dari luar, "Saya bukan asisten Anda, jadi Anda harus buka pintu itu sendiri."

***

Wanda mendorong masuk kopernya ke dalam rumah Bryant setelah dibukakan pintu oleh pria itu. Wanda masuk sambil melihat seisi rumah yang sangat rapi dan sederhana, tidak ada begitu banyak perabotan di dalamnya, hanya perabotan dasar.

Bryant menutup pintu sambil menatap barang bawaan Wanda yang hanya berupa satu koper ukuran besar yang bagi Bryant masih terlalu kecil untuk pindahan selama waktu yang tidak bisa ditentukan. "Sedikit sekali?" tanya Bryant sambil berjalan mendahului Wanda, menaiki tangga.

"Kamar saya ada di lantai atas?" tanya Wanda sambil mendongakkan kepala, memandang Bryant yang sudah berada sedikit jauh dan tinggi dari posisinya saat ini. Pria itu menyandarkan pinggulnya pada pegangan tangga.

"Iya, kamar Anda ada di atas," jawab Bryant sambil memandang Wanda. "Perlu saya bantu untuk bawa koper Anda ke atas?"

"Tentu, jika Anda tidak keberatan," jawab Wanda cepat. Ia tidak yakin bisa membawa koper sebesar ini menaiki tangga melingkar yang cukup tinggi karena memang jarak antara lantai bawah dan atas cukup jauh.

Bryant mengangkat koper Wanda dengan mudah. Bahkan dirinya sendiri juga terkejut akan koper Wanda yang jauh lebih ringan dari perkiraan. "Apa saja yang Anda bawa? Apa sudah semuanya?"

"Sudah, secukupnya dan seperlunya," jawab Wanda. Ia menyusul langkah Bryant yang sudah tiba di lantai atas. Wanda mengambil alih pegangan kopernya untuk didorong menuju kamar di lorong kiri. Wanda terperangah dengan lantai atas Bryant, benar-benar luas dan bersih.

Pada lantai atas terdapat dua lorong, kanan dan kiri, sedangkan di seberang anak tangga terakhir terdapat satu ruangan yang cukup luas dengan sofa dan meja panjang berwarna putih. Yang paling indah adalah pemandangan di luar sana yang bisa langsung dilihat karena dinding ruangan itu terbuat dari kaca dan hanya tertutup oleh lapisan gorden putih dan abu-abu tipis.

Wanda dapat melihat dengan jelas langit mendung di luar sana, serta daun-daun dari pohon yang bergerak ke sana kemari mengikuti arah angin. Benar-benar indah! Apalagi balkon luas yang tidak dihiasi apa pun, benar-benar polos dan sederhana.

Wanda sudah menemukan tempat favoritnya untuk menulis. Ia sudah bisa membayangkan dirinya yang membawa meja setiap pagi ke balkon itu untuk menulis atau bahkan sekedar mengecap secangkir teh maupun kopi.

"Di sebelah sini," kata Bryant dari pintu yang terbuka. Hanya kepalanya saja yang terlihat.

Wanda bergegas ke sana lalu menatap kamarnya yang benar-benar putih bersih seperti ruangan lain. Benar-benar kamar idamannya, apalagi gorden putih tipis itu! Astaga, Wanda jatuh cinta pada kamar ini!

"Jika ada perabotan yang Anda perlukan, segera beritahu. Akan saya minta Tony untuk memesannya," kata Bryant cepat sembari mengedarkan pandangan pada kamar Wanda.

"Sebenarnya, saya sudah tahu apa yang saya perlukan saat ini," jawab Wanda saat itu juga.

"Apa?"

"Saya butuh meja portable yang bisa ditinggikan dan direndahkan, kalau bisa, ada roda di keempat kakinya," kata Wanda cepat.

"Apa lagi?"

"Hanya itu yang saya perlukan," jawab Wanda sambil tersenyum kepada Bryant.

Bryant berjalan keluar kemudian berhenti di pintu kamar Wanda. "Jangan sungkan untuk beritahu saya apa yang Anda butuhkan lagi. Dan ada tambahan yang harus saya beritahukan pada Anda. Setiap hari akan ada ibu yang membantu mencuci pakaian dan merapikan rumah. Ada juga bapak yang merapikan kebun dan kolam renang. Untuk makanan, kita urus masing-masing. Pakaian kita juga harus ditaruh di tempat yang sama agar mereka tidak curiga. Untuk masalah kamar, saya sudah meminta mereka untuk tidak membersihkan lantai atas lagi, hanya lantai bawah saja."

Wanda menganggukkan kepalanya. "Di mana orangtua Anda?" tanya Wanda sambil mengedarkan pandangan, mencoba mencari kamar yang mungkin ditempati oleh kedua orangtua Bryant.

"Kami tinggal terpisah," jawab Bryant singkat sambil mengangkat kedua bahu, "bagaimana dengan Anda sendiri? Sudah izin dengan orangtua Anda?"

"Kedua orangtua saya sudah meninggal dunia dan tidak ada kerabat lain. Keluarga kami terlalu kecil dan sederhana."

Bryant hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Kekurangan dari anak tunggal."

"Ya begitu."

"Oh satu lagi, lebih baik kita mulai akrabkan panggilan kita. Dimulai dari panggilan sayang, karena bapak dan ibu yang bekerja di rumah ini sudah saya anggap seperti keluarga saya sendiri. Saya tidak ingin mereka kebingungan."

"Saya harus memanggil Anda dengan apa?" tanya Wanda.

"Aku-kamu, dan panggil saya Nathan saja, supaya terasa lebih akrab karena teman-teman saya tidak pernah memanggil saya dengan nama itu, begitu juga dengan orangtua saya."

"Baiklah, kalau begitu Anda juga bisa memanggil saya—"

"Saya akan memanggil Anda dengan nama Anda, kalau mendesak saya akan panggil dengan panggilan sayang," sela Bryant.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro