Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua puluh

Harapan Wanda kembali melambung tinggi membuatnya kembali menahan senyum yang ingin terbit karena bahagia.

"Bisa kamu tutup matamu dulu?" kata Bryant.

Wanda mengangguk patuh.

Bryant menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Wanda, memastikan bahwa Wanda tidak bisa melihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Setelah itu, Bryant berjalan menuju meja kerja dengan langkah seringan kapas sambil sesekali melihat ke belakang, memastikan Wanda tidak mengintip.

Bryant membuka laci pelan-pelan dan menjulurkan tangannya dalam-dalam namun malah meraih angin. Bryant menarik laci itu lagi hingga paling akhir, kemudian mengobrak-abrik segala isi di dalamnya namun malah tidak menemukan apa-apa. Bryant beralih pada laci-laci meja lainnya, tetap nihil. Cincin yang sudah ia siapkan, lenyap begitu saja tidak berjejak. Ia tidak memindahkan cincin itu ke tempat lain.

Seakan takut keliru, Bryant berjalan mendekati nakas di samping tempat tidur untuk mencari cincinnya juga. Tapi tetap saja nihil. Begitu juga dengan tas kerja serta saku jas serta celana yang ia kenakan saat ini. Ke mana perginya cincin itu?

Wanda yang masih menutup mata, perlahan-lahan buka suara, "Apa yang kamu cari? Kenapa berisik sekali?"

"Tidak. Tidak ada apa-apa."

"Aku boleh buka mataku sekarang? Aku akan bantu kamu cari."

"Jangan!" tolak Bryant cepat. "Tetap tutup matamu erat-erat."

Lima belas menit berlalu begitu saja. Kamar juga sudah tidak serapi sebelumnya. Bryant juga mulai berkeringat meskipun ada di dalam ruangan yang sejuk. Apalagi Wanda, ia mulai berkunang-kunang dan kehilangan keseimbangan. "Apa sudah? Kepalaku mulai pusing," kata Wanda.

Bryant melupakan segalanya kemudian berjalan cepat mendekati Wanda yang sudah oleng. Ia meraih Wanda ke dalam pelukannya. "Sudah. Kamu boleh buka matamu sekarang."

Wanda membuka dan menutup matanya berulang-ulang kali hingga terbiasa dengan cahaya yang masuk ke mata. Ia dikejutkan dengan Bryant yang basah dengan keringat. "Ada apa?"

Bryant memilih untuk jujur. Ia tidak ingin Wanda marah lagi. "Cincin yang kusiapkan tidak tahu hilang ke mana," jawab Bryant. "Sebenarnya aku ingin melamarmu, saat kita kencan di Kafe BlackBean."

Wanda mendengarkan dengan seksama. "Sudah kamu cari dengan teliti?" tanya Wanda penuh curiga.

"Sudah. Kamar kita saja sudah berantakan. Di laci tempat terakhir aku menaruhnya juga tidak ada," jelas Bryant sambil membawa Wanda ke balik meja kerja kemudian menarik laci meja kerja hingga ujung. Hanya ada beberapa buku jurnal, selebihnya kosong.

Saat itu juga Wanda teringat sesuatu. Ia tersenyum tipis dan canggung pada Bryant. "Aku baru ingat." Wanda meraih tasnya kemudian mengeluarkan kotak cincin yang dicari Bryant sedari tadi.

"Bagaimana bisa ada denganmu?" tanya Bryant. Ia tidak menyangka cincin yang disembunyikannya di bagian terdalam laci bisa ada di tangan Wanda.

"Aku menemukannya saat ingin menaruh bukuku di lacimu karena laciku sudah penuh," jawab Wanda. Ia berusaha menjaga ekspresi dan nada bicaranya agar terdengar biasa saja.

"Lalu?"

"Aku juga melihatmu membawa cincin itu saat kita makan malam."

"Dan kamu takut jika cincin ini akan kuberikan pada wanita lain? Hingga kamu mendiamiku selama ini?" tebak Bryant, senyum jahilnya terbit lagi.

"Tentu tidak," bantah Wanda,"aku bukan wanita yang berpikir sesempit itu."

Padahal nyatanya, iya. Namun ia tahu semua itu keliru saat dirinya melihat nama Bryant terukir di lingkaran dalam cincinnya, dan namanya di lingkaran dalam cincin Bryant. Yang kemudian berubah menjadi kesal setelah seminggu cincin itu ada di dalam laci, tidak dikeluarkan Bryant untuk diberikan kepadanya. Dan secara tidak sadar, Wanda memasukkan cincin itu ke dalam tasnya tadi pagi, mungkin karena buru-buru ke kantor penerbit untuk mengumpulkan dan mendiskusikan naskah terakhirnya.

Bryant meraih telapak tangan Wanda. "Maukah kamu menjadi istriku?" tanya Bryant, ia memerangkap Wanda dalam tatapannya.

Wanda terdiam. Hidungnya mulai perih, matanya mulai berkaca-kaca, serta jantungnya yang berdetak kencang dan dada yang terasa penuh. Ternyata ini rasanya, dilamar oleh pria yang disukainya. Wanda menangis pelan kemudian menganggukkan kepalanya.

Bryant memasang cincin itu pada jari manis Wanda setelah mengeluarkan yang lama, begitu juga sebaliknya. Setelah itu Bryant meraih Wanda ke dalam pelukannya dan ikut menangis terharu. Ia tidak menyangka bahwa ia akan merasakan momen ini.

"I love you, My Wife," kata Bryant. Kalimat itu jugalah yang kembali membuat hati Wanda penuh, membuatnya kembali menangis. Kata-kata yang ditunggunya, diucap oleh Bryant di saat yang tepat, terlalu tepat malah.

"I love you too," balas Wanda.

***

"Bagaimana kelanjutan novelmu?" Di tengah-tengah perbincangan mereka, Bryant menanyakan hal itu. Pertanyaan yang dianggapnya penting untuk saat ini, untuk kelanjutan rencananya. Rencana yang Bryant yakini akan semakin mendekatkan mereka berdua sebagai suami-istri. Bryant benar-benar berharap banyak.

Wanda mengangkat wajahnya dari kungkungan Bryant. Bryant memeluknya erat di atas kasur, menunggu kantuk menjemput mereka tidur. Tapi, bagaimana mereka bisa tidur jika Bryant terus memulai pembicaraan? Mata Wanda yang sedari tadi sudah mulai sulit untuk dibuka pun perlahan-lahan mulai nyalang lagi. Dasar Bryant!

Nyatanya bukan hanya wanita saja yang sulit dimengerti, Bryant juga sulit dimengerti!

"Naskah terakhir sudah kuserahkan ke penerbit, tinggal sunting akhir, setelah itu cetak dan tanda tangan halaman pertama. Siap dipasarkan, deh," jelas Wanda. Ia melihat senyum Bryant perlahan-lahan terbit. "Ada apa? Aku rasa ada suatu hal aneh yang sedang kamu rencanakan, aku betul kan?"

Bryant menggeleng masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Bahkan matanya sudah membentuk lengkungan bulan sabit. Benar-benar sulit disembunyikan, karena bibirnya dan matanya bergerak sendiri seiring dengan perasaannya yang berbunga-bunga.

Wanda memberinya tatapan memicing, menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bryant.

"Berapa lama lagi kira-kira semua proses itu selesai?" tanya Bryant setelah berhasil menghilangkan ekspresi bahagia yang tidak tahan untuk muncul. Ia harus bersikap biasa saja agar tidak terlihat seperti tengah merencanakan sesuatu.

"Kurang lebih dua bulan, karena harus antri cetak dengan novel penulis lain yang sedang diproses," jelas Wanda. "Ada apa sih sebenarnya?"

Bryant berdehem sebelum menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Tidak apa-apa."

Wanda mengerutkan keningnya. Pasti ada apa-apa, tidak bisa tidak ada apa-apa. Kecurigaan Wanda semakin menjadi-jadi karena kalimat terakhir Bryant sebelum mengajaknya untuk kembali berusaha tidur.

"Kosongkan jadwalmu setelah proyek ini, oke? Kira-kira satu bulan."

***

Bryant menepuk kedua tangannya berulang-ulang kali, memuji dirinya sendiri atas keberhasilannya memesan tiket pesawat menuju London sebagai awal dari segala proses menyambut bulan madunya. Ia sudah berhasil mengetahui jadwal Wanda dan memintanya untuk mengosongkan jadwal. Wanda sudah setuju dan memberikan tanggal pasti promosi novelnya, bukankah ini hal yang bagus? Kurang lebih satu minggu lagi, mereka akan berangkat, bulan madu pertama mereka.

Hari ini benar-benar hari yang membahagiakan. Ditambah dengan akhir-akhir ini dirinya dan Wanda juga sudah kembali dekat dan semakin terbuka kecuali Wanda yang tidak ingin menceritakan segala hal bahkan secuil hal tentang novel yang ditulisnya.

Wanda bahkan melarang Bryant untuk membaca novel-novelnya yang sudah dipasarkan secara bebas di berbagai toko buku. Dan sebagai suami yang baik, Bryant mematuhinya. Bagaimanapun Wanda pasti malu dan merasa tidak nyaman jika Bryant membaca novel yang ditulisnya di depan dirinya sendiri. Kata Wanda, itu menggelikan sekali mendengar orang berkomentar atas novelnya.

Awalnya Bryant merasa aneh, bukankah seharusnya Wanda bangga dengan karyanya? Tidak semua orang bisa menulis novel dan mendapat kesempatan hingga karyanya diterbitkan. Bukankah risiko juga bagi seorang penulis, ketika novelnya diterbitkan, ia akan terus mendengar komentar setiap orang?

Sudahlah~ Lupakan saja, yang penting saat ini adalah merencanakan segala hal yang berkaitan dengan bulan madunya sesempurna mungkin. Haruskah Bryant memulainya dengan memesan beberapa restoran terlebih dulu? Agar mereka selalu sarapan, makan siang, dan makan malam romantis?

Baru saja Bryant menyentuhkan kesepuluh jarinya ke atas keyboard laptop, pintu kantornya diketuk. "Masuk," kata Bryant. Ia masih memfokuskan pandangan pada layar laptop sambil mencari beberapa nama serta informasi restoran terkenal di London.

"Hai, aku boleh masuk?"

Suara lembut nan merdu Wanda masuk ke dalam pendengaran Bryant sehingga secara reflek, Bryant menutup layar laptopnya dengan kasar, "Hai, Sayang." Bryant berusaha tenang. Hampir saja rencananya terbongkar sebelum dimulai.

"Kamu sibuk? Kenapa buru-buru tutup layar laptop? Sudah simpan dokumenmu?" tanya Wanda bertubi-tubi sambil berjalan mendekati Bryant yang juga langsung berdiri untuk berjalan mendekatinya.

Bryant berjalan dengan cepat mendekati Wanda agar Wanda tidak melihat apa yang sedang ia kerjakan. Bryant memegang kedua bahu Wanda erat kemudian berkata. "Sudah. Sudah kusimpan."

"Sungguh?" tanya Wanda. Pandangan matanya terus terarah ke laptop Bryant, "Aku khawatir jika data pentingmu tidak tersimpan, karena biasanya meskipun dataku sudah kusimpan dengan baik, selalu saja ada celah di mana ketikanku belum tersimpan di saat terakhir kali kutinggal."

Bryant tersenyum. "Sudah, tenang saja. Ada apa kamu ke sini?"

Wanda cemberut. "Aku tidak boleh ke sini?"

Senyum Bryant makin lebar, ia meraih kedua tangan Wanda kemudian menggenggamnya erat, "Boleh. Aku suka. Kamu harus sering-sering datang ke sini. Mau bekerja juga boleh di ruanganku."

Wanda hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat tingkah Bryant.

"Ayo kita keluar makan siang," ajak Bryant sambil menggandeng Wanda keluar dari ruangannya. Ia juga memperkenalkan Wanda kepada setiap pegawai yang ditemuinya membuat Wanda tersipu malu dan lebih sering bersembunyi di balik badan Bryant.

Setelah tinggal mereka berdua di dalam lift, Wanda mengajukan protesnya. "Kenapa kenalin aku ke setiap orang yang kamu temui? Aku malu."

"Aku ingin agar semua orang tahu kalau kamu istriku."

Jawaban itu normal. Jawaban yang terlalu sering Wanda baca dari dalam novel. Tapi, ia baru pertama kali mendengarnya dengan telinga sendiri. Dan pipinya bersemu karena malu serta bahagia. Ternyata seperti ini, perasaan para wanita di dalam novel.

Wanda langsung menjinjitkan kakinya kemudian merangkulkan tangan pada leher Bryant. Ia menatap Bryant dengan kedua matanya, seolah memerangkap Bryant agar tidak ke mana-mana. Dalam hitungan ketiga di dalam hatinya, Wanda mendekatkan bibirnya pada bibir Bryant kemudian menyentuhkan bibirnya ringan. Tidak seperti ciuman yang biasa ia tonton di film, berlatar belakangkan Menara Eiffel. Hanya ciuman biasa anak kecil yang ia tonton saat hari Natal.

Sepuluh detik, dua puluh detik berlalu. Tidak ada yang menggerakkan tubuh mereka hingga kaki Wanda bergetar karena kehilangan tenaga. Wanda melepas ciuman mereka dengan mata yang tertutup rapat karena malu.

Baru saja telapak kaki Wanda bisa menapak sempurna di lantai, Bryant sudah meraih pinggangnya, kemudian menundukkan kepala hingga bibirnya dan Wanda bertemu. Bryant mencium Wanda sangat amat dalam, kemudian menggerakkan kepala untuk lebih memperdalam ciuman mereka. Ia juga mengangkat tubuh Wanda hingga kaki Wanda melingkar erat di atas pinggulnya.

Sekali lagi, Wanda sadar. Ciuman di film, di bawah Menara Eiffel yang biasanya terlihat vulgar dan penuh nafsu, ternyata bukan seperti itu. Ini bukanlah penyaluran nafsu tubuh, tapi penyaluran kasih sayang yang lebih baik dari ucapan kata-kata cinta. Ini adalah ungkapan bahwa mereka saling mengingini masing-masing dalam hidup mereka.

Saat itu juga, air mata Wanda jatuh karena bahagia. Ia juga membisikkan kata cinta di sela-sela ciuman mereka.

Dentingan bunyi ringan terdengar, membuat Wanda segera melepas ciuman mereka kemudian menyeka bibirnya yang lembab. Memalukan. Wanda menundukkan kepala, dirinya terlalu malu untuk mengangkat kepala satu senti pun.

Rasa dingin langsung menjalari tubuhnya saat pikiran mengenai CCTV memasuki benaknya. Bagaimana jika ada CCTV di lift ini seperti lift pada gedung-gedung pencakar langit lainnya! Astaga! Wanda mengangkat wajahnya dengan panik namun ditutup dengan telapak tangan pada kening, diedarkan pandangannya ke setiap sudut atas lift, mengecek apakah ada CCTV yang terpasang.

Ada! Astaga! Titik-titik merah melingkar itu menyadarkan Wanda.

Wanda kembali menundukkan kepalanya, kali ini lebih dalam dari sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari pandangan Bryant, tapi Bryant tidak berbuat apa-apa selain terkikik geli.

"Kuberitahu, CCTV ini diawasi 24 jam tanpa henti oleh pegawai yang benar-benar kompeten. Mata mereka tidak pernah lepas dari layar monitor, berkedip pun tidak, memeriksa setiap detik dan jengkal sudut lift maupun tiap lantai gedung agar tidak ada satu pun hal atau masalah yang lewat dari penglihatan mereka."

Wanda membelalak kaget. Benarkah? Sungguh, tenggelamkan dia!

Bryant membawanya keluar dari lift sambil menggandeng tangannya.

"Apa kamu bisa minta mereka hapus rekaman CCTV tadi? Aku malu sekali?" tanya Wanda dengan cicitan kecil, masih dengan pandangan yang mengarah ke lantai.

Bryant tampak berpikir serius, ditambah dengan Bryant yang sudah menghentikan langkah mereka. "Aku tidak yakin bisa meminta mereka untuk menghapus rekaman tadi, bagaimanapun juga hasil rekaman adalah milik mereka. Meskipun aku bosnya, aku tetap harus bertindak profesional. Sama seperti mereka yang bertindak sesuai aturan. Paling tidak, mereka tidak akan melihat rekaman CCTV tadi dengan pandangan yang sama seperti film porno."

Wanda makin panik. "Tidak membantu sama sekali! Aku tidak ingin datang ke kantormu lagi. Aku benar-benar malu."

Saat Wanda hendak kabur dengan berjalan cepat melewati pintu utama, Bryant mengeratkan genggaman tangannya. "Tunggu."

Wanda mengangkat wajahnya sedikit, menunggu kelanjutan kalimat Bryant.

"Sebagai suami yang baik, akan kupertimbangkan untuk melunturkan sedikit sikap profesionalismeku."

Wanda menghela napas. "Bisakah langsung ke inti pembicaraan? Aku benar-benar tidak sanggup mendengar kata-katamu yang selalu berputar dalam lingkaran yang sama."

"Oh, tidak mau dengar? Padahal aku ingin membantu--"

Kalimat Bryant kembali disela Wanda. "Cepat!" geramnya, "kalau tidak bisa cepat, lebih baik bicara di dalam mobil saja."

"Aku akan minta video itu dari mereka, dihitung-hitung sebagai kenang-kenangan kamu menciumku terlebih dulu."

Godaan Bryant malah membuat Wanda semakin malu. Wajahnya benar-benar merah. Tanpa pikir dua kali lagi, Wanda langsung melepaskan genggaman tangan Bryant.

"Hei, istriku jangan kabur." Bryant berjalan cepat mengejar Wanda yang berlari keluar dari gedung masih dengan senyum konyol yang terpasang.

"Aku akan jadi istrimu lagi kalau kamu berhasil hapus rekaman tadi," ancam Wanda sambil melihat ke belakang, ke arah Bryant yang sedang menyusulnya.

"Meskipun itu tindakan tidak profesional yang termasuk kriminalitas?"

"Iya!" Wanda menghentikan langkahnya untuk memberi tatapan kesal dan serius kepada Bryant, tapi sepertinya Bryant tidak seserius dirinya.

"Hapus apa?" Goda Bryant lagi, suaranya makin mengeras. Mereka berdua juga sudah berada di dekat tempat parkir yang lumayan ramai karena jam makan siang.

"Video tadi! Kamu jangan jahili aku terus deh!"

"Video kita ciuman di lift?"

Bryant sengaja mengeraskan suaranya, dan sepertinya dirinya tidak perlu susah payah mengejar Wanda lagi. Dibuktikan dengan Wanda yang berlari cepat mendekatinya untuk membekap mulutnya. Bryant tidak peduli, ia malah tertawa semakin keras dan ringan dari balik telapak tangan kecil Wanda. Hal itu membuat Wanda mau tidak mau tertular oleh tawa Bryant.

"Dasar! Aku benci kamu," ketus Wanda.

"Aku cinta kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro