delapan belas
Bryant sesekali mencuri pandang ponselnya yang mengeluarkan indikator lampu berwarna kuning. Ia segera menyalakan ponsel lalu membalas pesan Wanda yang masuk. Ia tidak bisa pergi menjemput Wanda sekarang karena jadwal rapat yang seharusnya diadakan jam tiga diundur menjadi hampir pukul empat karena keterlambatan klien yang baru datang dari luar negeri langsung ke kantornya. Penerbangan kliennya itu ditunda karena pesawat yang ditumpanginya bermasalah. Apa daya?
Proyek ini penting, tapi Wanda juga penting. Ditambah dengan ini adalah kencan pertama mereka yang sangat amat krusial. Ia telah menyiapkan cincin bertahtakan berlian merah gelap untuk Wanda. Bryant ingin agar janji pernikahan mereka diperbarui, bukan menikah karena kaburnya Selena lagi, tapi karena perasaan mereka terhadap satu sama lain.
Ia bahkan sudah meminta pegawai Kafe BlackBean untuk bertingkah biasa saja nanti, tapi tetap menyiapkan kue bertuliskan Be my lover? yang akan diantar saat Bryant selesai berpura-pura memesan makanan. Ia memilih Kafe BlackBean di antara semua kafe lain bukan karena kafe itu miliknya, namun karena perkataan Wanda yang pernah ia dengar. Wanda ingin memulai kisah cintanya di Kafe BlackBean, sama dengan pasangan yang selalu istrinya temukan di kafe.
Bukankah itu rencana yang sempurna dan romantis? Mungkin saja mood Wanda yang beberapa hari ini tidak baik dapat kembali normal. Dan membuat mereka memiliki kesempatan untuk mengulang semuanya dari awal tanpa ada alasan lain selain cinta.
Ia serius. Serius dengan perasaannya. Bryant menyukai Wanda. Ia nyaman bersama Wanda dan rasa nyaman itu perlahan berubah menjadi kepemilikan. Tapi, bagaimana ini sekarang? Ia tidak bisa pergi begitu saja. Bryant melirik jam tangannya, sekarang sudah pukul empat lewat. Seharusnya ia sedang dalam perjalanan menuju rapat terakhirnya.
Bryant melirik Tony, memberi tanda agar rapat ini segera diselesaikan karena mereka sudah tanda tangan kontrak sesuai rencana. Biasanya Bryant akan berbincang dulu dengan klien, namun kali ini tidak bisa lagi. Ia harus singgah menemui Wanda di Kafe BlackBean terlebih dulu. Setelah keluar dari ruang rapat, Bryant berjalan cepat menuju lift.
"Saya ambil dokumen rapatnya terlebih dulu, Pak," pamit Tony cepat. Ia berlari masuk ke dalam ruangan Bryant dan dalam waktu dua menit sudah kembali ke hadapan Bryant.
Mereka tidak berbicara sama sekali selama di lift dan beberapa menit perjalanan di dalam mobil.
"Sekarang kita akan ke kantor Bapak Riyadi, beliau ingin memperbarui kontrak ATM Center lalu menawarkan gedung baru miliknya sebagai lahan ATM Center yang baru. Tempatnya sudah saya survei dan sangat strategis, ada di antara lapangan parkir mall dan hotel bintang empat."
"Berapa lama perjalanan ke sana?" tanya Bryant.
Saat ini mereka hampir tiba di lampu merah perempatan jalan. Arah kanan adalah arah menuju Kafe BlackBean, sedangkan depan adalah arah menuju kantor Riyadi.
"Kurang lebih empat puluh menit, paling cepat tiga puluh menit. Ada apa, Pak? Harus singgah terlebih dulu?" tanya Tony sambil melirik jam tangannya untuk mengkalkulasi waktu.
Bryant mengangguk frustasi. "Aku harus pergi menemui Wanda, kami ada kencan di Kafe BlackBean."
"Perlu saya batalkan rapatnya?" tanya Tony sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas. Ia juga sudah menghentikan mobil tepat di belakang mobil lainnya, menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
"Jika bisa, tentu saja," jawab Bryant lumayan kencang. Bryant segera mengirim pesan kepada Wanda untuk berangkat terlebih dulu.
"Baiklah," Baru saja Tony mencari kontak Riyadi, ia dikejutkan dengan panggilan masuk dari orang yang sedari tadi ia cari nomornya. "Sore, Pak Riyadi. Iya, kita ada rapat pukul lima." Tony mengangguk-anggukkan kepalanya, namun matanya tetap terarah pada Bryant yang sedang menatapnya penuh perhatian, "Ingin dimajukan? Tapi kami baru berangkat sekarang, Pak. Kami malah bermaksud untuk mem—"
"Oh, bapak ada keperluan mendadak dan harus terbang ke luar negeri?" ulang Tony agar Bryant dapat mengerti arah pembicaraannya dan Riyadi.
Bryant ingin menjambak rambutnya frustasi.
Tony menanyakan persetujuan Bryant untuk memajukan rapat. "Bagaimana, Pak? Pak Riyadi ingin memajukan jadwal rapat karena harus berangkat keluar negeri selama dua minggu."
Bryant menganggukkan kepalanya cepat sebagai tanda persetujuan.
Ketika Tony memutuskan sambungan teleponnya, Bryant memintanya untuk membawa mobil lebih cepat. Bryant menutup matanya, mencoba mencari solusi yang cepat namun aman atas permasalahan yang dialaminya. Bryant memutuskan untuk menghubungi manajer Kafe BlackBean, meminta bantuannya untuk melayani, menjaga, dan mencegah Wanda pergi dari kafe sebelum dirinya datang.
Apa ia harus memberitahu Wanda secara pribadi? Bagaimana jika Wanda malah semakin marah?
Lebih baik ia segera menemui Riyadi untuk rapat, kemudian bergegas menemui Wanda. Rapat kali ini pasti tidak akan lama karena Riyadi sendiri dikejar waktu untuk keluar negeri.
***
Prediksi Bryant mengenai rapat yang berlangsung singkat sangatlah tepat, namun tidak dengan lalu lintas yang padat merayap. Sudah dua puluh menit ia habiskan di titik yang sama, tidak berubah sama sekali. Sedangkan saat ia mencoba untuk menghubungi Wanda, nomor ponsel istrinya itu tidak aktif. Begitu juga dengan nomor ponsel manajernya yang sibuk.
Lima menit terus berjalan hingga lima belas menit begitu juga dua puluh lima menit berlalu begitu cepat tanpa ada satu orang pun yang dapat dihubunginya. Bryant sudah berada di lampu merah dan sekitar seratus meter lagi ia akan tiba di Kafe BlackBean. Ia harap Wanda masih ada di sana.
Nyatanya, setibanya di sana, Wanda tidak ada. Bryant masuk ke dalam ruangannya lalu membuka data rekaman CCTV satu jam lalu. Ia mendapati sosok Wanda duduk menghadap dinding kaca yang menampilkan jalan raya. Wanda menunggunya! Menunggunya hampir tiga jam lamanya.
Bryant mengeluarkan ponselnya sambil mempercepat rekaman CCTV untuk mencari arah perginya Wanda. Ia kembali berusaha menghubungi Wanda dan berhasil! Terdengar nada sambung yang tidak lama berhenti karena Wanda menerima panggilannya. "Halo?"
***
Jantung Wanda berdegup kencang seperti baru pertama kali ditelepon kekasih. Tapi segera dihilangkannya, tidak boleh ada kontribusi perasaan lagi dalam hubungan mereka. Tidak boleh. Benar-benar tidak boleh.
Wanda menarik dan menghembuskan napas sebelum memberi tatapan datar ke depan, meskipun Bryant tidak bisa melihatnya. Ia tidak peduli dengan apa pun, lebih tepatnya mengendalikan dirinya sendiri agar tidak peduli. "Halo?" jawab Wanda ketika menerima panggilan telepon dari Bryant.
Kenapa suaranya terdengar aneh? Tidak cuek sama sekali? Malah seperti sedang mengeluh? Atau penuh kerinduan?
"Sayang!" panggilan Bryant membuat tubuhnya sedikit terkejut. Tubuhnya masih bereaksi atas Bryant, bagaimana ini? Si pengkhianat ini—jantungnya berdegup kencang.
"Kamu ada di mana? Maaf, aku berusaha menyelesaikan rapat lebih cepat namun ternyata terjebak macet. Aku juga sudah menghubungimu. Maaf." Suara rendah namun penuh penyesalan Bryant membuat Wanda sedikit lega. Isi dari kalimat Bryant juga membuatnya menemukan alasan lain untuk tidak kesal. Bryant bukannya sengaja untuk tidak datang menemuinya, tapi tidak bisa.
Pikirannya kembali menemukan pengecualian untuk memaafkan Bryant dan memadamkan api yang sedari tadi berkobar membakar hatinya. "Tidak apa," jawab Wanda. "Aku sedang ada di apartemen."
Wanda kembali menenangkan dirinya. Ia boleh saja memaafkan Bryant, tapi bukan berarti hubungan mereka bisa dilanjutkan seperti sebelumnya—seperti saat mereka saling membalas perasaan satu sama lain. Kesepakatan tetaplah kesepakatan, dan itu tetap harus dijalankan hingga akhir yang artinya perasaan tidak boleh diikut sertakan.
"Apa kamu menunggu lama? Kuyakin kamu merasa marah." tanya Bryant meskipun ia sudah tahu jelas jawabannya. "Aku akan ke sana menjemputmu. Bagaimana kalau kita makan malam? Ada yang mau kukatakan padamu."
"Cukup lama," jawab Wanda jujur, tapi masih terdengar datar. "Tenang saja, aku duduk-duduk santai, jadi tidak begitu membosankan. Aku tidak marah kok, untuk apa? Kamu tidak datang karena sibuk, bukan karena sengaja." Wanda menambahkan tawa yang malah terdengar sumbang di akhir.
Bohong. Kebohongan itu mengalir lancar dari bibirnya tapi terdengar mengerikan dalam telinganya. Sungguh. Meskipun menyakitkan dan munafik, Wanda harus tetap menjalankannya.
***
Bunyi bel terdengar.
Wanda segera berjalan menuju pintu untuk keluar dari apartemen. Ia menemukan Bryant sudah berdiri tegak di depan wajahnya dengan senyum tipis yang membuatnya terlihat tampan dan sedikit manis serta ramah.
"Hai, Sayang," sapa Bryant. Ia mengusap pipi Wanda penuh perasaan sebelum mengecup pipi Wanda.
Wanda langsung menutup pintu di belakangnya. "Ayo."
"Kamu tidak persilakan aku masuk ke apartemenmu dulu untuk lihat-lihat?" tanya Bryant. Ia meraih kedua tangan Wanda untuk menggenggamnya erat. Ia tahu Wanda marah, dan sudah sewajarnya. Tapi, melihat dan merasakannya secara langsung terasa menyesakkan.
"Jangan," tolak Wanda halus. Ia tersenyum tipis pada Bryant, "Apartemenku kotor, penuh debu, dan berantakan."
Bryant balas tersenyum tapi tidak berkata apa-apa.
"Lain kali saja, ya?" kata Wanda sambil menarik tangan Bryant menuju lift.
"Janji?" pancing Bryant.
"Tidak," jawab Wanda masih dengan senyum yang sama. Ia tidak ingin memberi harapan palsu pada Bryant, karena tidak ada lain kali.
Mereka turun dari lantai atas menuju basement, setelahnya berangkat menuju restoran yang menghidangkan menu hewan laut. Mereka makan dalam diam sambil mengamati sekitar, tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan.
Bryant memainkan kotak cincin dalam sakunya, tidak tahu apakah ini saat yang tepat untuk melamar Wanda. Ia takut ditolak. Soal apartemen tadi saja sudah menciutkan beberapa persen nyalinya. Ia tetap berusaha mencairkan suasana, "Apa yang kamu lakukan di kafe tadi?"
Wanda mengangkat kepalanya dari udang besar di atas piring, ia memiringkan kepala, seperti sedang berpikir, "Melihat-lihat?"
"Apa yang kamu lihat?"
Wanda tersenyum tipis, "Aku menemukan anak kecil dan mamanya lagi, yang pernah kuceritakan sebelumnya."
"Apa yang terjadi?" Bryant melihat perubahan sikap Wanda menjadi sedikit lebih ceria.
"Oh, mereka? Anak kecil itu menangis karena ayahnya terus menanyakannya apakah dia sudah siap punya adik atau belum."
Bryant terkekeh, "Menangis karena takut punya adik?"
Wanda mengangguk antusias, "Iya. Dia benar-benar takut sekali sampai tidak mau bicara dengan ayahnya hingga pulang. Ayahnya juga ditinju beberapa kali hingga akhirnya mengaduh kesakitan," jelas Wanda dengan nada yang jauh berbeda dari tadi.
"Kasihan sekali ayahnya," sahut Bryant. Ia meminum air putihnya hingga habis.
"Ayahnya memang kasihan. Tapi, anaknya lebih kasihan." Setelah mengucapkan kalimat itu, Wanda tersenyum tipis. Ia kembali meraih udang di atas piring bulat.
Keheningan kembali melingkupi mereka hingga Wanda kembali berbicara. "Ayahnya memang baik karena menanyakan pendapat anaknya terlebih dulu mengenai keinginan memiliki adik atau tidak." Wanda menggantungkan kalimatnya karena menyuapkan potongan tubuh udang ke dalam mulut. Setelah kunyahan terakhir, Wanda melanjutkan, "Tapi, memaksa anaknya untuk menerima yang memang tidak ingin anaknya terima, bukankah itu tidak bijak?"
Bryant masih diam.
"Jika memang ayahnya ingin memiliki anak lagi, sebaiknya tidak usah menanyakan pendapat anaknya. Tapi langsung saja diskusi pribadi dengan istrinya." Secara tidak sadar, suara Wanda mengeras. Mimik wajahnya juga.
"Begitukah?" Bryant bertanya sambil tersenyum.
"Tentu."
Bryant melepaskan genggaman tangan dari kotak cincin dalam saku celananya. Ia menatap Wanda, melihatnya lekat-lekat. "Maafkan aku yang terlambat tadi," kata Bryant penuh penyesalan.
"Tidak apa." Wanda menjawab dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca Bryant sama sekali. Wanda menjawab dengan ringan seolah keterlambatan dan gagalnya kencan mereka tidak berpengaruh apa-apa. Tapi, lanjutan kalimat Wanda bagaikan bom besar yang kembali membuat perasaannya sesak.
"Semua urutan jadwal kegiatan tergantung seberapa penting orang yang bersangkutan bagi kita," kata Wanda santai. Ia menatap Bryant, dengan kedua tangan yang sudah terlipat rapi di atas meja. "Kamu seorang pebisnis, tentu saja rapatmu lebih penting dan tidak bisa ditunda apalagi dibatalkan. Kencan sederhana kita bisa dilakukan lain kali. Aku mengerti itu."
Kata-kata Wanda tidak menenangkannya, itu malah terdengar seperti sindiran halus yang malah terasa sangat amat tajam.
Kata prioritas menyadarkannya. Ia tidak pernah memiliki pikiran seperti apa yang dikatakan Wanda. Ia hanya menjalankan jadwal yang menurutnya masih bisa dilakukan dan memakan waktu singkat.
Bryant mengeluarkan cincin dari saku celananya. Malam ini, dengan cincin ini, Bryant akan menjadikan Wanda prioritasnya.
Wanda kembali meraih sendok dan garpu untuk menyantap hidangan di depannya. Ia melakukan ini semua agar tidak terlihat tengah menahan kekecewaan besar dan malah mengambil tingkah bodoh untuk kembali menyindir Bryant.
Sendok yang dipegang Wanda jatuh ketika sikunya disenggol secara tidak sengaja oleh anak kecil yang berlari ke sana kemari. Ia sempat dilarang Bryant untuk menunduk, mencari sendiri sendok yang jatuh sebelum diganti dengan sendok yang baru.
"Aku saja," kata Bryant. Namun, kalah cepat dengan Wanda yang sudah turun ke bawah meja untuk meraih sendok yang jatuh.
Bryant baru sadar, tangannya masih menggenggam kotak cincin di bawah meja, terbuka malah! Bryant segera menutupnya, tapi hal itu tidak terlewat dari pandangan Wanda.
Wanda merasa denyut sakit di dadanya. Bukankah itu cincin? Untuknya? Apa ini yang ingin dikatakan Bryant padanya? Kenapa Bryant tidak mengeluarkan cincin itu sedari tadi jika memang untuknya? Apa pria itu ragu?
Baiklah, Wanda akan mengakhiri keraguan pria itu. "Ayo, kita pulang. Aku lelah."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro