Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

delapan

"Mana Bryant?"

Pintu terbuka seiring dengan suara kencang wanita memasuki pendengaran Tony. Tony mengangkat pandangannya dari layar monitor dan mendapati Selena berdiri di hadapannya sambil bertopang kaki. "Pak Bryant? Tidak datang sejak tiga hari yang lalu."

"Si Bodoh itu benar-benar sudah menikah?" tanya Selena dengan sebelah alis terangkat tinggi. Ia menatap Tony, meminta jawaban. Melihat bungkamnya Tony, Selena dapat menyimpulkannya sendiri, "Baguslah jika dia sudah benar-benar menikah."

"Jika si Bodoh yang Anda maksud adalah Pak Bryant, maka benar. Pak Bryant sudah resmi menikah dengan Ibu Wanda," jawab Tony jujur.

"Bagus." Selena menatap Tony dengan senyum riang yang terlihat alami, tidak terlihat seperti senyum yang dipaksa karena patah hati saat seorang pria yang harusnya menikah dengannya malah menikah dengan wanita lain.

"Anda tidak masalah?" tanya Tony. Ia berdiri dari kursinya lalu membimbing Selena untuk duduk di sofa di seberang meja kerja.

"Untuk apa?" Selena mendengus lalu duduk sambil menatap Tony dengan pandangan menyelidik, seolah-olah bertanya apa maksud dari pertanyaan Tony tadi. Apakah dirinya terlihat apa-apa? Tidak terlihat bahagia?

Jujur saja, dirinya bahagia sekali saat ini. Keputusannya untuk pergi dari pernikahannya dan Bryant benar-benar tepat. Bryant adalah pria yang terlalu penuh akan dirinya sendiri, tidak cocok sama sekali dengan Selena. Dan yang paling penting, mereka tidak saling mencintai dan tidak akan pernah saling mencintai.

"Karena seharusnya Anda yang menikah dengan Pak Bryant," jawab Tony. Ia memandang Selena, mencoba mencari reaksi yang menunjukkan kekecewaan. Namun, nyatanya tidak ada sama sekali. Hanya ada raut kebebasan di wajah Selena.

"Dia tidak pernah ada di hatiku, jika kau mau tahu," kata Selena sambil menatap Tony dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah itu ia bangkit berdiri sambil membawa tas tangannya keluar dari ruangan Tony, membiarkan satu teka-teki berkecamuk dalam pikiran Tony.

Tony berpikir cukup lama, menganalisis tatapan Selena yang baru saja ia lihat tadi kemudian segera berdiri. Tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk meraih pergelangan tangan Selena yang masih berada begitu dekat dengannya.

Ditariknya pergelangan tangan Selena, mencegahnya untuk pergi. "Nona Selena."

Selena tidak membalikkan badannya sama sekali. Ia masih berdiri menghadap pintu dengan tangan kirinya yang digenggam oleh Tony, tidak erat namun terasa begitu posesif.

"Apa Anda menyukai saya?" tanya Tony.

Pertanyaan itu menimbulkan sensasi dingin dan hangat yang bersamaan menjalar di tubuh mereka berdua. Perasaan asing namun terasa nyata dan memang harus ada di sana untuk mereka rasakan. Apakah ini adalah perasaan yang baru mereka rasakan? Atau perasaan yang sudah lama ada namun berusaha mereka redam?

***

"Kita akan datang ke pesta pernikahan ini, kan?" tanya Wanda sambil menunjukkan kartu undangan yang ada dalam genggamannya. Ia benar-benar buntu, sehingga butuh ide untuk melanjutkan ceritanya dan kebetulan hal yang berkemungkinan menjadi sumber idenya datang begitu saja.

"Bukankah itu sudah pasti dalam perjanjian kita berdua?" Bryant malah balas bertanya kepada Wanda. "Aku tidak bisa berkata tidak, bukan?"

"Tentu, kalau begitu, jemput aku di rumah? Atau kita bertemu di hotel tempat pernikahan ini dilaksanakan?" tanya Wanda, ia sibuk menatap pemandangan di luar melalui balkon, mencoba menyegarkan pikirannya yang terasa penat.

"Bertemu di hotel lalu membiarkan berita tentang kita berdua kembali naik ke permukaan? Kemudian kemungkinan kita berdua untuk berpisah akan menjadi semakin lama?" tanya Bryant. Ia menatap Wanda dari posisi duduknya saat ini. "Sebegitu tidak ingin berpisah denganku?"

Wanda menghela napas. Bagaimana bisa ada pria yang begitu narsis di dunia ini? Lama-kelamaan, meskipun terbiasa dengan sikap narsis Bryant, tetap saja Wanda merasa asing. Pria yang diinginkannya adalah pria yang dingin dan tidak banyak bicara dan Bryant adalah kebalikannya. "Tidak ada orang yang berpikiran seaneh dirimu," Wanda memutar kedua bola matanya, "ternyata kamu cukup narsis juga."

Bryant terkekeh geli. Apakah ia sudah berhasil membuat Wanda kesal? Biasanya dirinya yang dibuat kesal oleh wanita itu. "Kurasa itu tidak bisa dibilang narsis, tapi percaya diri karena memang benar adanya seperti itu."

"Lelah bicara denganmu, bisa tidak kamu bersikap cool?" Wanda membalikkan badannya, lalu menyandarkan pinggang pada pagar balkon. "Bertemu di hotel tidak ada salahnya juga. Zaman sekarang, koreksi, zaman now, sudah biasa bagi pasangan untuk bertemu di tujuan. Tidak perlu saling jemput-menjemput lagi. Sekarang semua orang sudah mandiri."

"Baiklah, Nyonya yang mandiri. Tapi suamimu ini tetap akan jemput di rumah," kata Bryant dramatis. "Bisa siapkan pakaianku juga? Aku rasa kita harus memakai pakaian yang senada."

"Baiklah. Tapi, seleraku tidak begitu bagus."

Bryant berjalan mendekati Wanda setelah menaruh lipatan koran di atas meja. "Tidak apa, karena meskipun seleramu buruk sekali, pilihan di dalam lemari sudahlah pakaian terbaik yang kumiliki."

Wanda menatap Bryant datar. Seminggu tinggal bersama dengan Bryant membuatnya sadar, bahwa pria ini, pria yang menikahinya ini memiliki tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Kata-kata yang keluar dari bibirnya selalu berupa pujian terhadap dirinya sendiri. "Sumpah, kamu benar-benar comel. Kamu yakin tidak melambai?" tanya Wanda sambil melambai-lambaikan tangannya dengan lugas.

Bryant menatap Wanda tajam, tidak berbicara sama sekali.

"Kembalilah menjadi pria yang jual mahal seperti yang kutemui untuk pertama kalinya," pinta Wanda.

"Aku hanya suka menggodamu," jawab Bryant, kembali datar seperti semula. "Dan sedikit nyaman."

"Tidak perlu, tetaplah menjadi pria yang terlihat tampan dan cool dari jauh maupun dekat. Oke?" pinta Wanda sambil membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Kenapa kamu taruh meja di sini?" tanya Bryant sambil duduk di kursi yang ada di balkon.

"Untuk duduk sambil minum teh. Pemandangan di sini terlalu indah untuk dilewati begitu saja," jawab Wanda sambil menyembunyikan fakta bahwa ia lebih sering bekerja di sini daripada minum teh.

"Seharusnya kamu bilang dari awal. Akan kusiapkan meja dan sofa untukmu," kata Bryant cepat. "Bukannya meja seperti meja belajar anak-anak ini."

Wanda menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya di depan wajah sebagai tanda penolakan, "Tidak perlu, meja dan kursi ini bisa dimasukkan dengan mudah olehku ketika hujan sedangkan sofa tidak."

Bryant berdecak tidak percaya atas jawaban Wanda, "Kamu benar-benar tidak bisa bersikap manja, seharusnya kamu minta fasilitas yang lebih baik."

"Tidak perlu," tolak Wanda dengan bibir yang dibuatnya berkerut, seolah-olah tengah mengolok Bryant.

"Ada yang kamu butuhkan lagi?" Pertanyaan ini mengundang keinginan Wanda dari dalam hati. Bukannya ingin perabotan, ia malah ingin dipeluk Bryant dari belakang, tepatnya di posisi mereka saat ini. Ia butuh deskripsi jelas dari perasaan tokoh wanita saat dipeluk dari belakang.

"Sebenarnya ada satu hal yang aku inginkan," sahut Wanda malu-malu. Ini pertama kalinya ia meminta Bryant untuk melakukan hal yang sudah tercantum sebagai salah satu syarat dalam perjanjian mereka, dan seharusnya ia tidak perlu merasa malu. Namun bagaimanapun juga ini adalah kali pertamanya, bukan, ini kali keduanya melakukan kontak fisik dengan pria. Setelah pertama kalinya Bryant membiarkannya duduk di atas pangkuan pria itu.

"Apa? Katakan saja, akan kukabulkan dalam sekali jentik," sombong Bryant.

"Peluk aku dari belakang," kata Wanda cepat, seperti kereta bawah tanah yang melaju cepat.

"Apa?" Bryant mencoba memastikan kembali apa yang ia dengar.

"Peluk aku dari belakang."

Bryant menelan ludah. Entah mengapa, ini sulit sekali. Bryant mengangkat kedua tangannya berulang kali dari balik tubuh Wanda, namun tidak pernah berani merengkuh Wanda dari belakang. Dia tidak pernah memeluk wanita dari belakang, sebelumnya. Ini yang pertama kali baginya. Astaga!

Tidak pernah ada wanita yang memintanya untuk memeluk mereka. Mereka semua selalu melemparkan diri mereka sendiri ke dalam pelukan Bryant. Tidak pernah ada orang yang berani meminta sesuatu darinya. Contohnya Selena, dia yang akan selalu memeluk Bryant dari depan, kiri, kanan, dan belakang, tidak pernah Bryant yang berinisiatif terlebih dulu!

Dan hari ini, Wanda meminta pelukan darinya!

Apa mau wanita ini sebenarnya? Kenapa sangat berbeda dengan wanita yang sebelumnya pernah ia kenal? Kenapa sulit sekali ditebak? Apakah memeluk mudah bagi para wanita?

Bukannya seharusnya para wanita menjaga tubuh mereka? Bukannya tubuh mereka adalah harta paling berharga bagi mereka?

Wanda mengerutkan wajahnya, menunggu Bryant memeluknya dari belakang sungguh lama. Bryant memakan waktu yang terlalu banyak hanya untuk satu pelukan sederhana dari belakang. Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya? "Hei, apa yang kamu lakukan?" protes Wanda, ia hendak membalikkan tubuhnya namun ditahan oleh Bryant. Bryant memegang kedua bahunya erat, mencegahnya untuk berbalik.

"Tunggu! Aku sedang membalas pesan," dusta Bryant. Ia tidak boleh ketahuan sedang kebingungan. Bryant melepas pegangannya pada bahu Wanda, lalu kembali mengangkat kedua tangannya untuk mencoba memeluknya lagi.

"Apa? Kenapa kamu sibuk balas pesan? Di saat seperti ini? Tidak bisa nanti saja?" protes Wanda sekali lagi. Ia memilih mendengar permintaan Bryant untuk tidak berbalik, namun ia menopangkan kaki, terlihat bosan. "Tidak bisakah kamu memelukku terlebih dulu baru melakukan hal yang lain?"

"Kenapa begitu?" Bryant memicingkan matanya pada punggung Wanda. "Kamu harus tahu kalau aku adalah orang sibuk, mau peluk kamu dari belakang saja sebenarnya harus dijadwalkan agar tidak bentrok dengan jadwalku yang lain."

"Seperti itulah kenyataannya, Shortest Job First," jelas Wanda, "kamu harus memprioritaskan pekerjaan yang singkat terlebih dulu, supaya paling tidak, tugasmu lebih banyak yang selesai dikerjakan daripada terbengkalai. Aku rasa, orang sepertimu seharusnya tahu prinsip ini."

Bryant diam. Ia kembali fokus mempersiapkan dirinya untuk memeluk Wanda dari belakang sesuai permintaannya, daripada berdebat tidak jelas dengan Wanda yang tentunya akan menghancurkan konsentrasinya. Shortest Job First? Tentu dia tahu! Jangan remehkan dirinya.

"Kamu sudah selesai belum?" tanya Wanda, "buruan. Bukannya kamu harus ke kantor? Katanya orang sibuk. Peluk aku dari belakang hanya butuh se per sekian detik saja."

Kenapa harus memeluk dari belakang? Ada-ada saja.

"Iya, iya, sebentar lagi selesai. Tunggu," Bryant menghembuskan napasnya perlahan-lahan, kemudian kembali mengangkat tangannya ke udara berulang kali, dan tetap saja gagal.

Sungguh, pelukan itu tidak bisa dipaksakan. Pelukan itu harus berasal dari hati. Jika pelukan berasal dari hati, maka pelukan akan terasa hangat, bukannya terasa menyulitkan seperti ini! Seperti buang angin, jika dipaksa, akan terasa menyakitkan dan tidak nyaman serta memalukan.

"Tunggu sebentar," Bryant membawa kedua tangannya tepat di samping tubuh. Ia harus mencari alasan agar tidak memeluk Wanda seperti permintaannya. "Kenapa aku harus memelukmu? Ckck, merepotkan saja. Aku tidak mau."

Wanda membalikkan badannya kali ini. Ia menatap Bryant kesal. "Karena itu kewajiban kamu. Kamu harus tepat janji. Kamu pria sejati, kan? Seorang pria sejati selalu menepati janji!"

"Janji bisa disepakati jika kedua belah pihak setuju," elak Bryant.

"Kamu sudah setuju! Kita sudah tanda tangan hitam di atas putih!" Hampir saja Wanda memekik memarahi Bryant, untungnya berhasil ia tahan.

"Belum, Sayang. Kita belum tanda tangan kontrak kita. Itu hanya kontak sementara," goda Bryant sambil mengangkat kedua alisnya berulang kali.

"Aduh, aku tidak tahan lagi!" Wanda berteriak frustasi, tidak bisa menjaga emosinya lagi melihat kedua alis Bryant yang sangat mengganggu. "Kamu tidak ada sikap keren, pendiam, dan cuek seperti karakter yang kuharapkan. Kenapa lama-kelamaan kamu keluar dari karakter awal? Harusnya kamu konsisten pada karaktermu!"

Bryant menutup mulutnya erat-erat, mencoba mengerti maksud dari perkataan Wanda.

"Tidak bisakah kembali menjadi pemaksa, pendiam, keren, dan cuek? Serta menjengkelkan? Seperti awal pertemuan kita? Seperti saat kamu memaksa aku untuk masuk ke dalam pesta pernikahanmu sebagai pengantin wanitamu?"

"Kamu suka tipe pria yang seperti itu?" tanya Bryant. Sebelah alisnya terangkat tinggi.

"Tentu!" Wanda menatap Bryant pasti, "Semua wanita suka karakter seperti itu."

"Baiklah, jika itu maumu," jawab Bryant singkat. Ia berdeham lalu mengubah tatapannya menjadi tatapan tajam, seperti dirinya sebelum bertemu dengan Wanda.

Wanda mengembuskan napas lega, "Tapi kenapa karaktermu bisa berubah seperti tadi? Maksudku, dari cuek menjadi jahil?"

"Pikirkan jawabannya sendiri, aku sudah mengatakannya tadi," jawab Bryant malas, "bukannya wanita juga suka pria yang penuh misteri?"

Ia ingat perkataan Bryant tadi. Apa benar karakter seorang pria berubah karena dia merasa nyaman di dekat wanita itu? Wanda malu.

Bryant membalik tubuh Wanda dalam sekali putaran, lalu memeluknya erat dari belakang. Ia menempatkan wajahnya tepat di perpotongan leher Wanda lalu berbisik. "Karena aku sudah setuju untuk melakukan hal-hal romantis yang kamu inginkan sekarang maupun ke depannya, itu artinya kamu juga harus tidur di kamarku mulai hari malam ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro