Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Nomor Ponsel🤳

Junot dan Ahmad selaku teman sebangku 9C masa SMP saling berangkulan erat. Senyum semringah Ahmad menular bagi beberapa orang di sekitarnya. Junot menjabat dan mendekap sebagian orang yang duduk di meja yang sama dengan Navy dan Ahmad. Kunjungan Junot tentu saja jauh lebih menggembirakan, terutama karena cowok itu tidak pernah bisa meluangkan waktu untuk acara reuni SMP setiap bulan puasa.

Navy tidak bisa berkata-kata saat kontak mata dengan Junot. Dia tersenyum canggung akibat kegugupan yang melanda. Kala kursi di sisi kirinya diduduki oleh Junot, Navy menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Pergerakan angin yang lewat menyebabkan seluruh darah Navy berdesir. Hangat campur dingin, membuat Navy ingin kabur.

Dia memang aneh. Jatuh cinta pada Junot kedua kalinya pada pandangan pertama reuni tidak terduga, tapi terlalu takut untuk mengekspresikan perasaannya.

Leher Navy semakin kaku saat menoleh ke kiri. Dia duduk sambil memangku Jihan. Lengannya melingkar protektif di pinggang bocah itu, memastikan supaya tidak jatuh. Sangat bahaya kalau Navy bersikap sembrono. Bisa-bisa dirinya kena gorok Windy jika Jihan bercucuran air mata. Namun, Jihan tidak mau diam. Bocah itu lebih tertarik dengan satu cup es krim stroberi di tangannya. Bibir dan pipinya belepotan lelehan es. Khawatir jika gaun Jihan kotor, Navy segera mengelap penuh sayang.

Interaksi Navy dan bocah perempuan itu tentu saja menarik perhatian Junot.

"Anakmu, Nav?" sapa Junot kalem.

Navy cuma menyengir tidak jelas. Dia kembali menundukkan kepala, senang diajak bicara dengan Junot.

Mantan pacarnya glowing, sedangkan Navy cuma bola bowling menggelinding tidak tentu arah.

Dia melirik gaun yang terlalu sederhana. Jika tahu Junot muncul, mestinya Navy tadi luluran dan maskeran lebih dahulu. Riasannya terlalu sederhana. Cuma maskara tipis dan ink crayon lipstick sebagai polesan wajah.

"Halo, namamu siapa?" sapa Junot, sengaja menowel pipi gembul Jihan.

Menyadari mamanya tidak ada, Jihan meringis. Dalam dua detik berikutnya, dia mewek sambil mendekap Navy.

"Mamaaaaa......" teriaknya heboh.

Junot membuka mulut tidak percaya. Tidak hanya Jihan yang selalu menangis tiap disentuhnya. Tangan ajaibnya selalu menyebabkan belasan balita menangis.

"Kamu apain dia?" Navy mendelik ke arah Junot.

Dia panik karena tangisan Jihan semakin kencang. Navy segera menimang Jihan dan mengajaknya keliling sampai tangisnya mereda. Jihan kembali tertawa karena Navy sengaja menerbangkan anak itu sebagai wonder woman.

Setelah punggungnya nyeri, tidak kuat menahan berat badan Jihan, Navy kembali duduk ke tempatnya tadi dan sedikit memiringkan badan ke kanan. Dia sengaja memunggungi Junot dari penglihatan Jihan. Bisa gawat lagi kalau menangis.

"Eh, Jun, coba kamu sama Navy dulu enggak putus. Mungkin kalian udah punya lima anak kali, ya?" komentar Ahmad. Tatapan Junot saat Navy mengusap wajah Jihan sangat jelas menarik atensi mempelai pria itu.

Junot dan Navy menoleh dengan kompak ke arah Ahmad. Junot mengedikkan bahu, sementara Navy sudah merah padam membayangkannya keduanya saling memanggil mama dan papa dengan anak-anak super lucu di pangkuan masing-masing.

"Kamu kira Navy sapi perah yang kerjaannya beranak mulu?" tandas Junot.

Tawa berderai di mana-mana, terutama karena banyak yang tahu jika Navy dan Junot pernah pacaran. Sedangkan subjek yang dibicarakan sudah ingin kabur dari sini. Dia terlalu senang dibela cowok semacam Junot bisa membela seperti itu. Navy suka anak kecil, tetapi tidak terlalu suka dibuat repot mengurus banyak anak.

Tak lama kemudian, suara kursi kosong di sisi kanan ditarik oleh Windy yang baru merampungkan urusannya. Dia hendak menarik Jihan ke pangkuannya, tetapi Jihan malah bergeming. Kesempatan itu membuat Windy lebih santai. Dia mengobrol dengan tamu lain.

"Nggak capek gendong bayi terus?" tanya Junot penasaran.

"Nggak."

"Eh, Navy, gimana kabarmu? Lama nggak ketemu juga."

Navy sekali lagi tersenyum kikuk. Lidahnya tergulung dengan sendirinya. Dia kesulitan menjawab dengan benar.

"Kan kamu udah lama tinggal di kota lain. Ya wajar nggak ketemu," balas Navy.

"Iya. Kamu susah dihubungi. Facebook sama Instagram kamu nggak ada."

Iya. Kamu kan kublokir, mantan pacar, batin Navy bergemuruh menjawab.

"Cie, ketahuan stalking ya," Windy ikut terlibat percakapan. Tatapannya penuh sindiran dan tidak bersahabat dengan Junot.

Teknisnya, Windi benci Junot muncul di depan Navy. Tidak lama lagi, cerita tentang Junot bakal mengusik hidup Windy jika Navy yang bicara.

Bagaimana pun, Navy menunggu bisa CLBK-an bareng Junot, tapi segala akun media punya Junot diblokir. Navy memang sosok yang aneh. Hatinya berharap, mulutnya berdusta.

"Nggak ada salahnya kalo sambung komunikasi. Eh, boleh minta nomor kamu, Win?" pinta Junot.

"Kagak ada kepentingannya." Windy ogah-ogahan menyahut.

"Win, mantan Junot itu kamu apa Navy sih? Judes tenan," oceh Ahmad sembari menggelengkan kepala.

"Biasa aja tuh," Windy mencibir.

"Mad, dikasih diskon berapa nih sama Navy? Gaunnya bagus?" celetuk Santoso.

Percakapan kecil mereka teralihkan dengan pertanyaan Santoso, sang wakil ketua kelas 7A. Suara Santoso sangat menarik perhatian, menggelegar ingin diajak carok massal.

"Lha, emang itu gaunnya Navy?" timbrung yang lainnya penasaran.

"Iya. Pesen di aku, kok." Navy menganggukkan kepala.

"Navy, ujubku (istriku / bahasa walikan) puas. Ntar kalo ada sodara nikah, kurekomendasikan butikmu ya," Ahmad ikut menimpali, tidak lupa acungan jempol sebagai penghargaan atas kerja keras Navy. "Tapi mbok yo, rego konco to lah (tapi ya, harga teman dong)!" sungutnya setengah bercanda.

Dekorasi pernikahan penuh dengan sepuhan emas, jadi Navy memilih desain ball gown dengan detail laces cantik agar mempelai wanita terlihat stunning di momen istimewa. Konsep putri kerajaan pas, terutama karena sosok Ahmad sendiri sangat memuja sang istri. Penampilannya sangat klasik dan anggun, terutama dengan tiara di atas hijab berlapis laces emas. Tentu saja harganya disesuaikan dengan tingkat kesulitan membuat gaun, berikut harga kainnya.

"Good!" Navy balas mengacungkan jempolnya dan memainkan jari telunjuk, isyarat bayaran gaun harus terlunasi segera mungkin. Dia mengedik nakal dan Ahmad mencibir.

"Siap, Bos!" tanggap Ahmad.

"Lho, Navy desainer gaun pengantin?" tanya Junot penasaran.

Navy menganggukkan kepala. Dia malu-malu kucing menatap wajah rupawan Junot. Hatinya mau meledak, tidak kuasa atas pesona Junot yang berlebihan.

"Boleh dong minta kontaknya."

Windy ikut menimpali, "Buat apaan?"

"Ya, siapa tahu aja aku bisa bantu buat larisin gaun pengantinnya Navy."

"Ngebaperin temenku lagi, awas aja kamu." Windy melayangkan tinju ke Junot sebagai peringatan.

"Emangnya Junot punya calon?" terka yang lain penasaran.

Junot mengulum senyum, lalu melirik Navy sekilas.

"Punyalah." Junot berhenti sesaat, lalu tertawa, "Manusia tercipta kan berpasangan. Pasti aku punya, tapi nanti menikahnya. Kayak yang Ahmad bilang, gaun dipesan bukan buat diri sendiri. Bantu usaha teman malah bagus dong. Bukan teman makan teman."

Navy melengos lega. Tadinya dia panik jika Junot mengiyakan pertanyaan itu. Diam-diam, dia membuang napas lewat mulutnya. Kemudian wajah Windy yang sengit menyebabkan Navy meringis malu.

"Oh, kirain buat pacar kamu gitu," seloroh Windy, sengaja ingin menciutkan mental Navy.

Banyak yang lainnya kecewa, termasuk Navy. Dia penasaran bukan main karena ucapan ambigu Junot yang terkesan menghidari pertanyaan itu.

"Jun, pesen aja gaunnya di Navy. Udah murah, bagus lagi. Dia sering menang kontes gaun sih. Juara harapan juga se-Asia Tenggara tahun kemarin," pancing Ahmad, yang sudah tahu beberapa prestasi Navy. "Makanya cepet kek nyari jodoh. Sama Navy juga bisa. Kamu nggak usah pesen. Dia yang bakal bikin sendiri. Enak dapat Navy. Gaunnya gratis!"

"Ya boleh aja sih," tanggap Junot.

Olala.....

Navy melayang ke langit-langit saking bahagianya. Dia mencium puncak kepala Jihan yang wangi, tetapi perasaan itu terhempaskan begitu saja karena Junot menambahkan, "tapi kan dia udah punya pasangannya sendiri sih."

WHAT? SIAPA PASANGANNYA? JUN, KAMU BICARA APA SIH?

Lirikan Junot mengarah pada Jihan. Navy kini paham artinya. Dia mengira Navy sudah menikah dan punya anak.

Mampus!

"Nav, bucin kesayanganmu Papa stroberinya Jihan mau ajak kalian rekreasi ke Batu minggu ini. Abis ini dia mau jemput kalian di sini. Motormu kubawa pulang ya?" Dengan sengaja Windy memamerkan isi chatnya ke Navy. Tidak masalah jika diberitahu, tapi kenapa harus sekeras itu sampai Junot menoleh penasaran.

Windy emang kampret ah. Nyebelin!

Ringisan Navy makin dalam. Dia menyesal karena harus menjaga Jihan saat Windy ke kamar mandi. Coba kalau sendirian dan bertemu Junot. Pasti dia tidak akan menolak jadi bulan-bulanan teman-teman satu SMP agar bisa CLBK-an dengan Junot.

"Gak jadi mampir ke rumahku?" todong Navy. "Kamu udah janji, lho, Win!"

"Urusan keluargamu lebih penting."

"Win!" bisik Navy, tidak mau membahas soal Gibran.

Justru Windy yang semakin jahil. Ekor matanya bisa membaca wajah Junot yang tidak terpengaruh. Kedua wanita itu kompak menoleh ke Junot, tetapi Junot malah berbincang dengan Ahmad.

"Tuh, yang kamu tungguin aja nggak peduli."

"Ih, tapi beneran deh, Win! Aku suka Junot yang sekarang," tegas Navy setengah berbisik di telinga Windy.

"Balik yuk! Jihan udah ngantuk nih!" ajak Windy menyadari mata putrinya mulai meredup. Tidak mau tahu cerita tentang Junot.

Navy tidak suka gagasan pulang lebih dulu. Padahal sebelum berangkat kondangan, dia paling malas datang. Sekarang, sampai tengah malam nanti pun, selama Junot belum meninggalkan gedung pernikahan, dia akan tetap bertahan meski punggungnya pegal menggendong Jihan.

"Lima menit lagi!"

"Nggak! Keburu hujan deras lagi!"

"Windy!"

"Kami pamit pulang ya, Gaes. Samawa buat Ahmad dan istrinya," pamit Windy, sengaja menarik Jihan dari pangkuan Navy.

Tidak cuma kehilangan Jihan, Navy kehilangan kesempatan bisa menikmati wajah Junot. Dia mengeluh penuh kekecewaan karena cuma tiga menitan melihat wajah Junot.

"Nav, minta nomormu." Junot mengeluarkan ponsel.

Navy gemetar menyambutnya. Dia bahkan dua kali salah tekan nomornya sendiri. Setelah 12 digit nomor terpampang di layar, Navy mengembalikan ponsel itu ke pemilik aslinya. Junot menekan ikon hijau untuk panggilan, lalu segera dimatikan.

"Simpan ya. Itu nomorku."

Senyuman Junot menyihir Navy. Seluruh tubuhnya lumer. Selama 12 tahun hilang kontak, takdirlah yang mengambil alih sekarang. Navy mau berteriak saking bahagianya.

Sosok Junot sesuai ekspektasi Navy.

Parasnya. Pakaiannya. Keramahannya. Menjadi tiga dasar penilaian pertama secara visual.

Jun, kita naik ke pelaminan abis ini ya. You are my destiny.

********

Kayang gak kalo kena ledek temen SMP?

Nih versi revisian, semoga pada suka ya. Hehehehe.

Banyuwangi, 28 April 2021
Ravenura

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro