Bab 7
Stiletto hitam Wenda terus mengetuk lantai mengikuti entakan kaki diikuti gerakan tangan yang terus menggores dalam buku catatan. Ia merekam setiap ucapan yang terlontar dari mulut Saga. Wenda memastikan tidak ada satu kata yang terlewat dari rungunya.
Kegiatan inspeksi ke setiap hotel merupakan rutinitas Saga untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Well, Saga bukanlah tipe pemimpin yang hanya akan percaya pada laporan. Ia ingin memastikan secara langsung dengan kedua matanya.
"Pak Gian, saya rasa harus ada peningkatan untuk bagian resto. Saya amati selama beberapa bulan ini tidak ada perubahan yang signifikan. Jangan terlalu nyaman dengan zona yang sekarang," terang Saga setelah memindai promo yang tercetak di papan restoran hotel Lovey Inn, salah satu hotel bintang 4 di kawasan Jakarta Pusat. "Bebek hitam Madura, Iga Bakar, bukankah ini menu sudah dipajang 4 bulan ini? Sangat membosankan."
Pria dengan kacamata bingkai tipis samping Saga menelan ludah, satu butir peluh tampak menetes dari kening. Ia lantas menyekanya dengan buru-buru.
"Baik Pak, akan segera saya komunikasikan," terang pria paruh baya tersebut.
"Saya dapat laporan, tim F&B di sini kurang kompatibel. Kalau tidak bisa diajak berlari ...." Saga menjeda ucapannya sambil melipat tangan. Hawa dingin seketika mencubit kulit Wenda sebab mata Saga yang memicing berang. "Pak Gian tahu harus melakukan apa. Banyak orang yang butuh pekerjaan dan bisa bekerja dengan sungguh-sungguh. Saya nggak suka sama pegawai yang terlalu santai."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf," tutur Gian.
Kaki Wenda kembali mengayun mengikuti langkah lebar Saga. Sesekali ia mengernyit karena rasa tidak nyaman di kaki. Baru bekerja selama dua minggu di Gunawan group, kaki Wenda harus diplester di beberapa tempat sebab lecet. Setiap pulang bekerja ia harus mengompres kakinya yang terasa pegal. Well, setiap hari ia harus melakukan mobilitas yang tinggi di atas sepatu cantik penuh siksaan itu.
"Ke ruangan saya setelah ini. Saya minta rekapan laporan semua hotel budget hotel kita," pinta Saga dari kursi penumpang. Fokusnya masih tersita penuh pada layar ipad tanpa memberikan tatapan pada Wenda yang duduk di kursi samping kemudi.
"Baik, Pak." jawab Wenda lalu kembali mengatur napasnya yang terengah. Mengikuti langkah Saga sama dengan berlari di treadmill.
Helaan napas keluar dari bibir Wenda, sesekali manik matanya melirik Saga dari spion mobil. Pria dengan rambut yang senantiasa diikat ke belakang itu masih sibuk dengan grafik pada layar ipad. Tampak meneliti dengan seksama perubahan garis tersebut. Kantung mata yang tercetak jelas menjelaskan jika Saga kurang tidur.
"Bukankah dia terlalu keras sama dirinya sendiri?" batin Wenda ketika irisnya dipenuhi dengan pribadi Saga.
Pria itu selalu sibuk setiap waktu, bahkan ketika di apartemen, Wenda tidak pernah melihat lampu ruangan kerja Saga padam. Well, ini memang tidak sopan. Setiap duduk di balkon apartemen sambil menikmati secangkir matcha, Wenda selalu bisa melihat Saga sibuk dengan layar ipad atau macbook. Tampak tenang dan sulit terganggu. Jika ada yang bilang Saga mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pekerjaan, jelas itu tidak salah.
Namun, pernyataan jika menyibukkan diri bisa melupakan sakit hati itu benar adanya. Selama bekerja di Gunawan grup, Wenda bisa perlahan melupakan pengkhianatan dari Dion. Ia tidak lagi memantau akun media sosial Sofia yang selalu over sharing. Wenda terlalu sibuk mempelajari semua pekerjaan dan rutinitas Saga. Cukup menyenangkan.
"Wen, bisa minta tolong buatkan minuman buat tamu Pak Saga." Ucapan Hesti terhenti. Tangannya terus memegangi perut sambil meringis menahan sakit. "Pe-perutku sakit banget. Aku mau ke toilet dulu."
"Iya Mbak. Cepetan ke toilet aja, biar aku yang buatin minumannya," jawab Wenda yang pernah merasakan betapa tidak enaknya perut mules.
"Makasih banyak ya, Wen," Hesti langsung berlari sambil terus memegangi perutnya.
Tangan Wenda meraih stiletto lalu menarik bagian belakang untuk memasukkan tumit. Sesekali ia mengenyit karena rasa perih di area tersebut. Gesekan pada sepatu baru cukup menyiksa Wenda setiap kali berjalan.
Tidak ingin membuang waktu, Wenda berjalan ke pantry untuk menyeduh satu cangkir teh. Ia lantas membawanya ke dalam ruangan Saga.
"Permisi, Pak." Kepala Wenda menyembul dari balik pintu diikuti tubuhnya. Seorang wanita dengan setelan rapi serta rambut yang digelung, tampak duduk di sofa dan melemparkan tatapan kepada Wenda sekilas.
Kaki Wenda tiba-tiba saja kebas dan tidak bisa digerakkan. Ia berusaha menarik paksa, tetapi justru tersandung kakinya sendiri. Cairan panas dalam cangkir langsung menyiram tubuh salah satu klien penting Saga.
"Aw!" pekik wanita paruh baya tersebut saat bajunya menyerap cairan panas yang mencubit permukaan kulit.
"Bu Selena," seru Saga ikut terkejut.
Kepala Wenda yang semula menunduk langsung menengadah. Ia menyeret tubuhnya sebab sulit untuk berdiri. Sambil menarik tisu, Wenda terus melontarkan permintaan maaf.
"Ma-maaf Bu, saya tidak sengaja. Maafkan saya." Wajah Wenda merah madam diikuti raut penuh rasa salah. "Maafkan saya Bu Selena."
"Ti-Tidak apa-apa, biar saya bersihkan sendiri. Selena sedikit menghindar karena tidak nyaman dengan sentuhan Wenda pada noda baju yang mengenai area dada. Lalu ia melemparkan tatapan pada Saga. "Pak Saga, sepertinya saya harus ke toilet sebentar."
Saga lantas bangkit dari duduknya. "Di sebelah sini Bu Selena. Sekali lagi saya minta maaf atas keteledoran staf saya."
Suara ketukan sepatu Selena diikuti pantofel Saga yang semakin menjauh, membuat Wenda menyugar rambutnya frustrasi. Lalu ia memukul salah satu kakinya yang sekarang sudah tidak mati rasa.
"Kenapa harus di saat kaya gini sih! Aduh Wenda!" Wenda terus merutuki diri sendiri atas kesalahan tidak terduga itu.
Sepertinya memang takdir tidak akan membiarkan Wenda cepat bernapas lega. Selalu saja ada kejadian yang membuat frustrasi setiap hari.
Wenda berjalan sambil menyeret kaki. Ia mengambil kain pel dan memungut pecahan cangkir yang berserakan di lantai ruangan Saga. Rasa bersalah kian menyelimuti diri Wenda, hingga ujung keramik yang menusuk di jemari tidak terasa. Darah yang perlahan menetes pun dibiarkan begitu saja.
Suara pintu yang dibuka membuat Wenda membalikkan wajah dan menunduk pada Saga. Pribadi Selena tidak tampak ikut masuk.
"Pak Saga, sekali lagi saya minta maaf, Pak," ucap Wenda berulang kali. "Saya tidak sengaja tadi, Pak. Sekali lagi maafkan saya."
Sebelum menjawab, Saga membuang napas kasar dan menatap Wenda lurus-lurus. "Bawakan rekapan laporan hotel budget sekarang juga."
"Ba-baik Pak," tutur Wenda yang lantas berjalan keluar ruangan dengan langkah pincang.
Wenda membolak-balikkan beberapa map yang tersusun di meja kerjanya. Ia sangat yakin jika sudah menyelesaikan rekapan itu beberapa jam yang lalu. Namun sekali lagi ia lupa menaruh benda penting itu.
"Please, jangan sekarang. Di mana sih tadi aku nyimpennya?" ujar Wenda sedikit panik. Rupa berang Saga sudah terbayang jelas di benak, jika ia melakukan satu kesalahan lai hari ini. Helaan napas lega terlontar ketika maniknya mendapati satu map sampul biru laut. "Hah! Syukurlah."
Pribadi Saga sudah menunggu kedatangan Wenda dari balik meja kerja yang terbentang. Ia hanya melihat ke arah Wenda sekilas tanpa memedulikan raut menahan sakit, takut dan bersalah yang bercampur menjadi satu.
"Ini, Pak." Wenda menyodorkan map bersampul biru laut tersebut pada Saga.
Tanpa kata, Saga lalu membuka dan meneliti setiap lembar. Awalnya ekspresi Saga biasa, hingga di lembar ketiga, pria itu menaikkan salah satu alis lalu menggerakan bola mata ke arah Wenda. Detak jantung Wenda langsung bergemuruh diikuti tegukan saliva saat mendapatkan tatapan tersebut. Bulu kuduk Wenda seketika ikut meremang, seolah menyambut kedatangan Dementor yang siap menyerap kebahagiaan seseorang.
"Berapa lama kamu kerja di sini?" tanya Saga dengan suara beratnya.
"Masuk tiga minggu, Pak," jawab Wenda.
Saga membuang napas kesal. "Apa aja yang kamu pelajari selama tiga minggu ini, Wenda! Sejak kapan Crown 8 jadi hotel bintang 2? Saya minta kamu buat rekap laporan hotel budget bintang 2! Bintang 2 Wenda! Apa kamu belum cukup jelas?"
"Ma-maaf, Pak," ujar Wenda dengan bibir bergetar.
"Kamu pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa cukup dengan kata maaf?" bentak Saga diikuti raut wajah berang. Ia melemparkan map tersebut ke sembarang arah. "Kalau kamu tidak bisa diajak kerja cepat, silahkan angkat kaki dari perusahaan ini. Saya sudah memperingatkan kamu untuk tidak bawa kecerobohan kamu ke kantor!"
"Maaf, Pa—"
"SAYA NGGAK BUTUH MAAF KAMU!" Wenda terkesiap dengan bentakan dari Saga. Ia hanya bisa menundukkan pandangan sambil terus mengeratkan jemari satu sama lain. Sekali lagi Saga membuang napas untuk menguraikan rasa kesal yang bercokol dalam dada. "Saya butuh laporan itu besok, sebelum jam 7 pagi."
"Ba-baik, Pak." Suara Wenda terdengar semakin lirih. Rasa panas mulai menjalari kedua mata. Ia bersusah payah menahan tangis yang siap diledakkan. "Saya permisi, Pak."
***
Setelah semua kejadian buruk dalam satu waktu, Wenda masih berkutat di depan layar monitor meja kerjanya. Ia terus mengetik sambil meneliti dengan seksama data setiap hotel dalam naungan Gunawan grup. Tidak ada suara ketikan keyboard dalam ruangan tersebut selain milik Wenda. Semua kursi kosong tanpa tuan, sebab memang sudah lewat dari jam kerja.
Berusaha meregangkan otot punggung, Wenda mengambil waktu sekejap untuk istirahat. Ia meraih ponsel dan menggulirkan jemari di layar. Membuka status setiap kontak yang membagikan keseharian mereka. Lalu beberapa detik kemudian kedua mata Wenda membola ketika jemarinya berhenti pada satu unggahan.
Jari Wenda bergeser pada kontak dan segera melakukan panggilan. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan sahutan dari penerima telepon.
"Pradipta, kamu lagi di mana?" tanya Wenda menahan amarah.
["Baru sampai rumah, Mbak. Ada apa Mbak?"]
Wenda melirik waktu pada arloji yang melilit tangan, jarum panjang sudah menunjukkan angka 10 malam.
"Dipta, Mbak udah bilang berkali-kali, tugas kamu itu cuma sekolah. Kamu nggak perlu kerja. Cari uang itu tanggung jawab Mbak," tukas Wenda menahan rasa sesak yang semakin menghimpit dada.
["Mbak, aku cuma bantu di warung bakso Mas Dahlan. Lagian aku juga bantuinnya setiap pulang kuliah."]
"Pradipta jangan bantah. Selesai kuliah kamu bisa istirahat sama bantu ibu aja. Kamu nggak perlu kerja sampai jam segini. Tugas kamu cuma belajar, nanti ada waktu sendiri buat kerja."
["Mbak, tapi–"]
"Dipta! Kamu bisa dengerin Mbak aja nggak sih? Jangan bantah! Mbak nggak mau sekolah kamu ke ganggu. Kamu harus lulus tepat waktu dan jangan ngurusin masalah uang. Semua biar Mbak yang ngurus."
Hening. Pradipta tampak bergeming tanpa memberikan respon dari balik ponsel Wenda, Suasana ruang kantor di lantai 3 juga semakin sunyi. Hanya terdengar isakan Wenda yang sesekali tercipta. Buliran bening yang sedari tadi ditahan dengan susah payah akhirnya melindas kedua sisi.
"Dipta, kamu dengerin Mbak 'kan?"
["Mbak Wenda juga harus mikirin diri Mbak sendiri. Aku masih jadi tanggung jawab Bapak sama Ibu. Jangan terlalu ngelarang aku, Mbak. Aku nggak mau Mbak Wenda terbebani."]
"Kamu bukan beban buat Mbak. Keluarga kita bukan beban buat Mbak." Tangan Wenda menyeka air mata dengan segera. Ia lantas menghirup oksigen dalam lalu mengembuskannya pelan, berusaha menguraikan rasa sesak yang bertumpuk dalam dada. "Besok Mbak kirim uang untuk semesteran kamu, jangan khawatir, besok Mbak gajian. Istirahat sana." Panggilan mereka terputus, Wenda yang melakukan.
Tidak bisa menahan tangis lagi, Wenda akhirnya menumpahkan segala rasa yang menghimpit dada. Ia meraung dalam ruangan tanpa penghuni itu. Menangis memang bukan solusi, tetapi setidaknya bisa melegakan.
Suara tangisan Wenda masih bergema. Ia merasa bebas untuk menangis dalam keheningan dan tidak ada satu pun orang yang melihatnya. Tetapi Wenda salah, ada sepasang mata yang tengah mengamatinya dari kejauhan. Pribadi itu sedang berdiri dengan salah satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Pemilik wajah dingin itu sudah cukup lama berdiri di sana dan merekam semua percakapan Wenda secara tidak sengaja.
TO BE CONTINUED ....
Selamat pagi, Lovelies. Selamat merayakan natal untuk teman-teman yang merayakannya. Minggu siang kali ini ada Wenda dan Saga yang akan nemenin kalian. Selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro