Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6



Wenda menahan langkah lalu memutar tubuh, patuh akan permintaan dari Saga. Alih- alih memberikan tatapan tidak suka seperti pemain antagonis, wanita itu justru membuat lengkungan tipis di wajah. Lalu kembali melemparkan iris cokelatnya kepada obyek utama.

"Okay, kalau kamu masih sibuk aku bisa nunggu di sofa sana." Wanita itu menunjuk sofa kelabu yang ditata berhadapan di sudut ruangan berbeda. Belum juga mendapatkan tanggapan dari Saga, ia melirik waktu pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan dengan gelang bertabur swarovski.

Saga membuang napas jengah, ada gurat lelah menghadapi wanita dengan penampilan elok itu. "Sania, can you just go? Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."

"No, Saga. Terakhir kali aku menuruti perkataanmu, jadwal fitting baju pernikahan kita jadi tertunda. Tidak untuk sekarang." Sania meraih kotak makan yang sudah dipersiapkan sepenuh hati untuk Saga lalu melenggang. "Aku akan menunggumu sampai selesai."

Tubuh Wenda miring spontan, seolah memberikan ruang untuk Sania berjalan. Well, meskipun tanpa Wenda memiringkan tubuh pun, jalanan masih sangat lega. Lalu ia menundukkan pandangan. Gerakan spontan yang biasa dilakukan oleh Wenda ketika bersama orang kaya. Entah mengapa ia merasa segan untuk menatap wajah para konglomerat yang selalu hidup bergelimang harta itu.

"Hai, kamu pegawai baru di sini?" tanya Sania menahan langkah seraya memindai penampilan Wenda dari ujung kaki hingga puncak kepala. Setelah mendapatkan anggukan kepala dari Wenda sebagai jawabanya, Sania semakin mendekat dan berbisik di salah satu telinga, "Sabar ya ngadepin sikap Saga yang nyebelin. I feel you kok."

Kedua sudut bibir Wenda tertarik ke atas ketika Sania melenggang pergi sambil menahan kekehan. Ternyata tidak hanya ia yang berpikir jika Saga adalah salah satu spesies paling menyebalkan di dunia. Terbukti calon istri Saga juga merasakan hal yang sama. Bisa disebut Wenda lebih beruntung karena hanya akan bersama Saga selama jam kerja. Tidak bisa dibayangkan bagaimana hari-hari Sania harus dihabiskan bersama pria judes itu. Sungguh, jika ada penghargaan pria terjudes di Indonesia, Saga bisa berpeluang besar untuk menang.

Kembali membolak-balikkan file yang diberikan oleh Wenda, Saga menuangkan seluruh fokus pada lembaran tersebut. Iris hitamnya meneliti dengan sangat seksama dan penuh kehati-hatian. Saga memang terkenal sangat teliti ketika membaca sebuah dokumen, apalagi sebelum menandatangani kontrak kerja. Ia harus benar-benar memastikan jika kontrak tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak sebelum membubuhkan tanda tangan.

"Kamu sudah dapat semua jadwal saya dari Hesti?" tanya Wenda tanpa melemparkan pandangan pada Wenda.

"Sudah, Pak," jawab Wenda yang masih berdiri di depan meja Saga. Sedari tadi pria itu belum memintanya duduk, sampai kaki Wenda pegal sebab berdiri di atas sepatu berhak tinggi terlampau lama.

"Kamu harus perhatikan semua jadwal saya, dan mempersiapkan setiap pertemuan dengan sangat baik. Saya tidak menerima kesalahan sedikit pun." Gerakan membalikkan dokumen terhenti, lalu wajah Saga mendongak. "Termasuk kecerobohan kamu. Saya tidak akan mentolerir itu dalam pekerjaan."

Kalimat yang mengandung peringatan keras itu seketika membuat Wenda menelan ludah. Ia kembali teringat semua kecerobohan yang sudah dilakukan pada Saga. Menumpahkan dua gelas secara tidak sengaja, sampai memukulnya dengan sapu karena Mickey Mouse.

"Baik, Pak."

"Kamu bisa keluar dan lanjutkan pekerjaanmu," ujar Saga yang lantas dipatuhi oleh Wenda. Wanita berambut sebahu itu langsung melenggang dan melewati Sania yang sedari tadi memperhatikan Saga sambil sesekali tersenyum. Ada binar kekaguman yang tercetak di kedua matanya.

Dada Wenda yang semula terasa sesak seketika melonggar setelah keluar dari ruangan Saga. Rasanya seperti terlepas dari serangan guru di ruangan BK, beradu pandang dengan guru killer yang tidak segan memberikan surat peringatan kepada orang tua.

"Kenapa, Wen?" tanya Hesti dari balik layar monitor. Ia sempat mengamati Wenda yang beberapa kali menghela napas. "Mbak Sania, masih di dalam?" Hesti terlihat memastikan, karena memang sedari tadi pribadi Sania belum tampak keluar dari ruangan Saga.

"Masih, Mbak," jawab Wenda sambil berjalan ke kursinya.

"Ehm, ya udah kita makan dulu yuk! Udah jam istirahat nih," ajak Hesti setelah menoleh pada jam dinding yang tergantung di dinding. "Kita makan di kantin kantor, gratis."

Hesti lantas menggandeng tangan Wenda dan berjalan ke lift. Dalam gedung utama Gunawan group memang memberikan fasilitas makanan untuk para pegawai. Ketika jam makan tiba, semua pegawai bisa langsung bergegas ke kantin yang terletak di lantai dua. Mereka bebas menikmati semua makanan yang sudah disediakan di dalam atau luar ruangan sambil menyesap nikotin.

Memilih kursi yang dekat dengan jendela, Hesti dan Wenda duduk dengan nampan yang berisi makanan. Wenda memilih sayur sop dan ayam bakar klaten, tidak lupa es teh untuk menghilangkan dahaga.

"Mbak, gue ikut gabung ya," seorang wanita dengan rambut yang diikat ekor kuda meletakkan bokong di kursi samping Hesti. Wenda menanggapi dengan senyuman simpul. Benaknya kembali berputar ke masa lalu untuk mengingat sosok yang tidak asing itu.

"Boleh, Dev." Hesti menggeser bokongnya untuk memberikan ruangan kepada Devi. "Oh ya, kenalin ini Wenda, sekretaris barunya Pak Saga."

"Gue udah tahu. 'Kan pas wawancara sama Pak Saga, gue yang gantiin Mbak Hesti sementara." Devi tersenyum lalu mengulurkan salaman kepada Wenda. "Halo, gue Devi, departemen sosial media. Semua yang berhubungan sama promo semua hotel bintang 3 dan 2 di Gunawan group adalah tanggung jawab gue."

"Hai, aku Wenda," ucap Wenda menyambut salaman dari Devi.

"Ah, jangan terlalu formal, Wen. Lo bisa ngobrol santai sama gue." Devi menjeda ucapannya sambil meneguk es jeruk untuk menghilangkan dahaga. "Lo juga bisa curhat sama gue kalau lagi capek ngadepin sikap Pak Saga. Aduh!"

Devi memekik ketika dengan sengaja Hesti mencubit pinggangnya. Lalu Hesti melemparkan tatapan pada Wenda sambil meringis. "Nggak usah didengerin, Wen. Devi suka asal bicara."

"Nggak Wen, gue nggak asal bicara. Mbak Hesti jangan kasih gambaran yang terlalu indah sama Wenda selama jadi sekretaris Pak Saga. Dia itu super moody-an," tambah Devi sembari melahap makan siangnya.

"Tapi Pak Saga orangnya baik kok Wen, nggak semengerikan itu," balas Hesti lalu kembali melirik Devi dengan tajam. "Lo jangan bikin Wenda takut dong."

Wenda melukis senyum tipis. Ia sudah beberapa kali mendapatkan perlakuan dingin dari Saga, jadi tidak terlalu kaget. Sekali lagi Wenda memperingati diri sendiri jika ia harus fokus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Gaji yang ditawarkan oleh Gunawan group cukup besar jadi tidak masalah jika harus menghadapi sikap dingin Saga setiap hari.

"Ingat Wen, keluarga di rumah lagi butuh bantuan lo!" Kalimat tersebut kembali memperingati Wenda.

"Oh ya, pernikahan Pak Saga jadi nggak sih? Perasaan dari dulu mundur terus, kayak nggak niat nikah," celetuk Devi.

"Jadi kayaknya, tadi Mbak Sania datang ke kantor," jawab Hesti sembari mencampur saus bulgogi pada dagingnya dengan nasi.

Kepala Devi memutar ke arah Hesti. "Serius? Ck, gigih juga tuh cewek. Padahal Pak Saga keliatan nggak suka gitu sama dia."

"Jangan sotoy, dalamnya hati orang nggak ada yang tahu," ujar Hesti. Sementara itu Wenda yang tidak bisa ikut menimpali hanya memasang rungu dengan baik. Topik anak konglomerat seperti Saga yang misterius cukup menarik minatnya.

"Ih keliatan banget tauk, Mbak." Nada bicara Devi menjadi menggebu dan siap untuk bergosip lebih lanjut. "Pak Saga itu 'kan mau nikah karena dijodohin. Kadang kasihan ya kalau lihat, Pak Saga."

"Kenapa emang?" tanya Wenda ikut penasaran.

Devi menelan lumatan makanannya dengan bantuan es jeruk. "Pak Saga itu mulai nggak akur sama Pak Gunawan semenjak ibunya meninggal."

"Meninggal?" Wenda mengulang kata dari Devi.

"Iya meninggal karena kecelakan pas hamil Kimmy." Devi memajukkan tubuh sembari mengedarkan pandangan ke sekitar agar tidak ada yang mencuri dengar. "Pas itu Bu Lusi, mergokin Pak Gunawan lagi selingkuh. Sekarang selingkuhannya jadi RI 2."

Wenda cukup terkesiap dengan penuturan dari Devi. Balita lucu yang awalnya Wenda kira anak Saga ternyata adik dari pria itu. Masih belum puas dengan informasi mengenai Saga, Wenda masih memberikan fokus penuh pada Devi.

"Semenjak itu Pak Saga suka berantem sama Pak Gunawan, jarang ngomong bareng. Papasan aja nggak pernah nyapa, kayak orang asing deh," tambah Devi penuh semangat. "Sampai Pak Saga mutusin buat tinggal sendiri di apartemen. Muak kali sama tingkah RI 2 yang keliatan banget mau ambil harta Pak Gunawan."

"Hush, jangan sembarangan," peringat Hesti sambil menyikut lengan Devi.

"Emang bener, Mbak. Lihat kalau pas datang ke kantor, gayanya berasa jadi Ibu Negara yang bakal mewarisi semua harta Pak Gunawan. Ih jijik gue!"

Kedua mata Wenda masih melebar tanpa memberikan tanggapan. Tidak heran jika pria itu terlihat sangat dingin. Mungkin salah satunya karena kehilangan sosok yang biasa menghangatkan. Kedua mata Saga terlihat kosong saat tidak berkutat dalam pekerjaan. Pikiran pria itu seperti melanglang buana entah kemana.

"Kasihan juga ya," ucap Wenda dengan nada lirih.

TO BE CONTINUED....

Halo, Lovelies, yang kangen sama Saga dan Wenda boleh dong bagi like dan komennya. Selamat membaca ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro