
Bab 43
"Wah, sepertinya kamu sudah banyak tahu semua rahasiaku." Sabiru mendekati Saga. Rahangnya mulai mengetat diikuti pembuluh darah yang tercetak jelas di pelipis.
Saga menatap Sabiru dengan santai. Salah satu tangannya dimasukkan ke dalam saku tanpa rasa gentar. Lalu ia menoleh pada Ferdi yang jatuh tersungkur dengan darah berlumuran di wajah.
"Lepaskan dia," pinta Saga.
Sabiru menoleh pada Ferdi sekilas lantas berdecih. Ia menaikkan salah satu sudut bibirnya pada Saga. "Untuk apa aku mengikuti perkataanmu?"
"Jangan melibatkan orang yang tidak tahu urusan kita, Sabiru." Saga menatap Sabiru lekat. "Bukankah aku yang kamu cari? Lepaskan dia!"
Tidak berniat mendebat, Sabiru memberikan isyarat kepada salah satu anak buahnya untuk melepaskan ikatan Ferdi. Kemudian mereka menyeret Ferdi untuk keluar dari gudang kosong tersebut.
"Bawa dia keluar, karena Andaru Saga Gunawan dengan senang hati akan menggantikan posisinya." Sabiru menjeda ucapannya sambil memutar tubuh dan menunjuk kursi yang tergeletak di tengah ruangan. "Di sana!"
Alih-alih marah dengan ucapan Sabiru, Saga justru terkekeh. "Kamu ini sangat menyedihkan."
"Menyedihkan?" Sabiru melemparkan tatapan tidak suka pada Saga.
"Yah, sangat menyedihkan," ucap Saga sambil menghela napas. Kemudian ia berjalan mengitari Sabiru sambil sesekali memindai penampilannya. Kemeja dan celana kain merk ternama melekat erat di tubuh pria itu. Beberapa saat kemudian, langkah Saga terhenti. Melemparkan tatapan dengan kerutan di dahi dna berkata, "apa ada kalimat lebih tepat dari itu? Ehm, apa kalimat yang tepat untuk seseorang yang tidak tahu malu dan menginginkan harta orang lain?"
Serentetan kalimat dari mulut Saga, berhasil memprovokasi Sabiru. Segera ia mencengkram rahang Saga lalu mendorongnya hingga membentur tembok.
"Harta orang lain katamu?" Raut garang tercetak jelas di wajah Sabiru. Otot rahang Sabiru menguat diikuti sorot mata tajam penuh amarah.
Dengan susah payah Saga melepaskan cekalan tangan Sabiru. Ia berusaha mengais oksigen setelah berhasil menghempaskan tangan Sabiru. Kemudian ia kembali menatap Sabiru dengan garang. "Yah, lebih tepatnya harta kedua orang tuaku."
Tangan Sabiru yang mengepal kuat tidak bisa ditahan lagi. Dengan cepat ia menjatuhkan pukulan mengenai wajah Saga hingga jatuh tersungkur. Ia memberikan isyarat lirikan mata kepada dua anak buahnya untuk mengangkat tubuh Saga. Tanpa ampun, Sabiru kembali menjatuhkan pukulan di wajah Saga yang tidak kuasa melawan sebab kalah jumlah.
"Kamu yang tidak berhak atas semua ini, Saga!" Satu pukulan berhasil mendarat di pipi kanan Saga, disusul satu pukulan mengenai perut dari tongkat yang diayunkan oleh Sabiru. "Kalian yang mengambil semua hak keluargaku dan menghancurkan semuanya!"
Hantaman demi hantaman diterima oleh Saga hingga akhirnya ia terjatuh tanpa daya. Darah segar tersembur dari mulut Saga. Tangannya yang bergetar sesekali memegang perut yang terasa nyeri itu.
Sabiru jongkok dengan bertumpu pada satu kaki. "Kamu harus menanggung semua dosa yang dilakukan oleh Papamu! Keserakahannya akan menghancurkan kalian satu per satu." Rahang Sabiru masih menegang. "Tanpa terkecuali."
Tepat saat Sabiru berdiri, Saga menarik pergelangan kakinya dan membuat pria itu jatuh terlentang. Pukulan Saga tertahan oleh anak buah Sabiru yang dengan siaga langsung menghampiri sang tuan.
"Selama aku masih hidup, tidak akan kubiarkan kau menyentuh mereka!" seru Saga.
Sabiru bangkit dari posisi jatuhnya seraya membenarkan letak kemeja. Amarah semakin merangkak dan memenuhi ujung kepala. "Kalau begitu akan kubuat kau lenyap untuk selamanya! Ikat dia!"
Saga tidak mampu memberontak. Ia hanya bisa pasrah ketika tali berukuran sedang dililitkan untuk mengikat tubuhnya dengan kursi.
"Serahkan perusahaan itu dan keluargamu akan baik-baik saja," tutur Sabiru kembali mencengkeram rahang Saga.
Alih-alih memberikan jawaban, Saga justru meludahi Sabiru.
Sabiru terkekeh atas penghinaan yang didapatkan. "Kau sama menjijikkannya seperti Gunawan. Pandai membodohi orang lain dan melakukan pengkhianatan." Kedua bagian gigi Sabiru beradu saat teringat rasa sakit sepeninggal sang ayah. "Aku akan membalaskan semua dendamnya."
"Aku juga akan melakukan hal yang sama, Sabiru. Aku akan melindungi milik keluargaku, apapun yang terjadi!" ujar Saga tanpa gentar.
Sabiru bersungut-sungut mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Saga. Satu tendangan kembali dijatuhkan pada Saga. Suara berisik kotak yang berjatuhan memenuhi ruangan kala tubuh Saga menghantam tumpukan kardus di sisi ruangan tersebut.
"Kau akan tamat, Saga!" geram Sabiru.
***
"Wenda, mau pulang?" Suara penuh wibawa dari Narendra membuat Wenda mendongakkan wajah. Ia baru sadar jika sudah tiba di lantai satu.
"I-iya, Pak," jawab Wenda terkejut. Hari ini pikirannya terfokus oada Saga yang tidak ada kabar. Nomornya tidak bisa dihubungi. "Pak Narendra belum pulang?" tanya Wenda sambil tersenyum pada Kamaniya, kekasih Narendra yang senantiasa menggenggam erat tangan pria itu.
"Ada barang yang tertinggal," jawab Narendra.
"Oh, kalau begitu saya permisi, Pak," ujar Wenda. Kemudian mereka bertukar posisi, Wenda keluar dari lift sementara Narendra dan Kamaniya masuk ke dalam lift.
"Oh ya, Wen. Aku juga akan mengundangmu ke pernikahanku," kata Narendra. "Yah, meskipun aku tahu kamu akan datang dengan Saga."
Seutas senyum tipis terulas di wajah Wenda. Lalu ia mengangguk santun, "ah, baik Pak. Terima kasih untuk undangannya."
Pintu lift tertutup, Wenda kemudian membalikkan tubuh dan melenggang keluar lobi. Rasa khawatir yang semakin bercokol hebat di hati, memaksa Wenda untuk berbalik arah menuju ke apartemen Saga.
Hanya dalam waktu 15 menit, Wenda tiba di apartemen Saga. Karena memiliki kunci kartu yang sempat diberikan oleh Saga, Wenda bisa langsung masuk menuju ke unit sang kekasih.
Jantung Wenda berdebar saat menyusuri lorong menuju ke apartemen Saga. Berulang kali ia menggelengkan kepala untuk mengusir dugaan buruk yang terbesit di benak.
Sesampainya di depan unit, Wenda menghela napas kasar sebelum menempelkan kartu di gagang pintu. Dalam sekali coba, pintu terbuka.
Aroma lavender lantas menusuk indera penciuman kala Wenda menginjakkan kaki masuk ke dalam unit. Lampu berwarna putih langsung menyala otomatis setelah membaca kehadiran Wenda. Apartemen itu tidak banyak berubah.
"Saga," panggil Wenda yang tidak kunjung mendapatkan balasan.
Wenda mengedarkan pandangan ke setiap penjuru ruang apartemen. Lalu gerakan matanya berhenti pada sebuah kanvas dengan banyak coretan warna car air disandarkan pada tembok.
Kaki Wenda lantas mengayun untuk merapatkan jarak dengan benda yang memiliki tinggi melebihi Wenda itu. Beberapa saat memandang lukisan tersebut, sudut bibir Wenda tertarik ke atas. Potongan memori indah yang sempat mereka rajut kembali menyatu di kepala. Satu momen yang sempat terekam dalam ingatan Wenda. Well, tepatnya sebelum mereka sempat berpisah sebab kecelakaan di masa lalu.
Tangan Saga merengkuh pinggang ramping Wenda. Ia menggenggam tangan Wenda sambil menyapukan kuas di kanvas yang kosong.
"Saga, geli!" seru Wenda ketika sesekali Saga mencuri ciuman di belakang telinga atau leher Wenda.
Di saat sang kekasih kegelian, Saga justru semakin menggodanya. Siang tadi tiba-tiba Wenda memiliki ide untuk memeriksa kemampuan melukis Saga. Ia cukup penasaran apakah Saga juga mewarisi sisi kreativitas mendiang ibunya.
"Saga, lukisan apa yang kita buat?" tanya Wenda setelah menyadari hanya ada coretan banyak warna yang tidak menggambarkan objek jelas.
"Lukisan yang memiliki harga jual yang tinggi," celetuk Saga asal. Ia masih memeluk Wenda dari belakang sambil menggoreskan kuas ke segala sisi kanvas.
Dahi Wenda berkerut tidak paham, "mahal? Kenapa bisa?"
"Ya karena hanya kita yang tahu arti dari lukisan ini," jawab Saga asal. Lantas mereka terkekeh bersama. Hanya dengan humor receh itu, Saga dan Wenda bisa tergelak tawa. Well, mungkin bukan karena candaannya, tetapi lebih ke siapa orang yang mengajakmu bercanda. Sungguh, Wenda tidak akan keberatan untuk bercanda seumur hidup dengan Saga. Ia akan dengan sukarela menjadi pendengar setia lelucon Saga yang sama sekali tidak lucu. Pun akan menjadi orang pertama yang mendengarkan segala kegundahan dalam hidup Saga.
Embusan angin malam yang menyelinap dari celah jendela, membuat Saga semakin mengeratkan pelukan. Ujung hidung mancung Wenda kemudian menyentuh hidung Saga ketika menoleh. Sepersekian detik mereka saling beradu pandang lekat-lekat. Seolah ada sengatan listrik yang mengalir di sekujur syaraf. Pun jantung Wenda semakin berdebar saat Saga semakin mengikis jarak tanpa arti di antara wajah mereka.
Bibir Saga yang terbuka sedikit sambil memiringkan kepala untuk menjangkau bibirnya, membuat jantung Wenda semakin bertalu tidak karuan. Tangannya mulai meremas pundak Saga seraya melihat bibir dan iris gelap pria itu secara bergantian.
"Saga! Aku mau pipis!"
Suara renyah Kimmy yang ikut masuk dalam putaran memori Wenda seketika membuyarkannya. Senyuman Wenda masih mengembang kala mengingat salah satu momen manis tersebut.
"Saga, kamu dimana?" gumam Wenda yang disusul dengan suara ketukan heels yang beradu dengan lantai marmer.
"Aku akan mengantarkanmu pada Saga," ucap Bianca yang tiba-tiba berdiri di ujung ruangan sambil memasukkan kunci kartu apartemen Saga ke dalam tas. Rupanya apartemen Saga sudah tidak lagi aman, sebab banyak orang yang bisa keluar masuk sesuka hati.
TO BE CONTINUED....
Selamat siang, Lovelies. Saga dan Wenda kembali lagi. Baca ceritanya sampai tamat di KARYAKARSA dengan judul yang sama yak! Selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro