Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 36

Wenda berdiri di posisinya tanpa gerakan. Hanya embusan napas yang terdengar. Pun otak Wenda mendadak beku, tidak bisa memikirkan kata selain maaf. Well, sudah berapa kali ia mengucapkan kata itu. Mau seribu kali kata maaf tidak akan bisa mengubah segalanya. Lantas pandangan Wenda berpindah pada Kimmy yang menarik ujung blusnya sambil terus memanggil.

"Kakak, yuk kita main yuk!" ajak Kimmy dengan kedua mata bulat yang berbinar. Berulang kali bocah itu mengerjapkan matanya yang dibingkai bulu mata lentik. Cantik sekali.

Semakin menatap Kimmy, rasa bersalah Wenda bertambah. Ia sudah menyebabkan bocah tidak berdosa itu kehilangan seorang ibu. Bahkan tidak pernah merasakan hangatnya dekapan ibu, atau sekedar mendengar alunan suara nina bobo dengan tepukan lembut di paha setiap malam.

Rasa panas langsung terasa di kedua mata Wenda. Ia kembali mengubah posisi jongkok untuk menyamakan tinggi dengan Kimmy. Perlahan mengusap wajah Kimmy dengan sangat lembut.

"Maafin Kak Wenda ya, Kim," ujar Wenda dengan suara parau. Rasa hangat terasa melindas pipi.

Kimmy yang melihat Wenda menangis lantas menyeka air matanya dengan jemari kecil itu. "Kakak kok nangis, siapa yang nakal? Hm? Bilang ke aku, siapa yang nakal? Nanti bial dimalahin Saga."

Celetukan Kimmy membuat Wenda terkekeh. Namun, tidak serta merta menyurutkan air matanya, malah semakin mengalir deras. Astaga, betapa Wenda sudah sangat bersalah dalam kehidupan bocah itu.

"Kimmy kita pulang." Suara berat Saga lantas menginterupsi rasa sesal Wenda. Ia menoleh sekilas pada Saga yang menunjukkan ekspresi dingin tanpa sudi melihat padanya.

"Tapi tapi, aku mau main sama Kak Wenda." Kimmy merengek sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kimmy, kita nggak akan ketemu sama Kak Wenda lagi. Sekarang pulang sama Kak Saga." Tanpa meminta persetujuan bocah itu, Saga kemudian menggendongnya.

"Kenapa? Kak Wenda emang mau pergi?" desak Kimmy sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Iya." Saga menjawab asal lalu membalikkan tubuh dan melenggang pergi. Sementara itu kepala Kimmy bersandar di pundak sang kakak sambil melambaikan tangan lemas pada Wenda. Ia tidak merengek meskipun ingin.

Melihat Saga yang berjalan semakin jauh, Wenda berlari untuk mengejarnya. Lalu ia berdiri di hadapan Saga dan Kimmy seraya menundukkan kepala.

"Maaf, aku akan melakukan apapun demi menebus kesalahan aku," tutur Wenda masih menundukkan kepala sembari mengepalkan kedua tangan. Butuh keberanian yang tinggi untuk mengucapkan hal tersebut di depan Saga.

"Pergi dari hadapan kami," tukas Saga tanpa basa-basi. Setelah itu ia melewati Wenda dan menjauh.

Air mata yang mengumpul lalu terjatuh di lantai tempat Wenda berpijak. Ia masih menunduk untuk menyembunyikan tangisnya di antara banyak orang yang berlalu lalang. Suasana sekitar yang riuh terasa hampa di rungu Wenda. Ia hanya bisa mendengar isak tangis berbalut penyesalan tanpa arti.

Sambil menyeka air mata, Wenda menoleh pada Saga yang berjalan menjauh. Merapalkan doa dalam hati agar Saga menoleh sekali saja. Namun, Saga terus berjalan hingga bayangannya tidak terlihat. Pria itu tidak menoleh ke belakang, seolah menegaskan jika hubungan mereka benar-benar selesai.

Bersamaan dengan embusan napas, air mata Wenda kembali terjatuh. Cintanya kandas sekali lagi. Kali ini bukan karena pengkhianatan, melainkan keadaan yang membuat mereka harus berpisah agar tidak menyakiti satu sama lain. Well, lebih tepatnya menyakiti Saga. Siapa yang mampu memiliki hubungan bersama wanita yang sudah menghancurkan hidupnya?

***

Baru saja selesai mencuci muka setelah berpanas-panasan di busway, dering ponsel Wenda menyita perhatian. Ia membuang napas sebelum menerima panggilan dari sang ibu. Sesekali berdeham untuk menghilangkan suara sumbang sebab terlalu lama menangis tadi.

"Halo, Bu."

["Nduk, lagi apa? Sehat-sehat to?"]

"Wenda sehat, Bu."

["Kamu ngirimin uang ke ibu banyak banget. Kebutuhan kamu di sana apa udah cukup?"]

"Sudah, Bu. Jangan khawatir," terang Wenda.

["Makasih ya, Nduk. Oh ya, soal pernikahan kamu."]

Wenda menelan saliva saat sang ibu mengutarakan kalimat tersebut. Ia belum sempat memberitahu mereka mengenai hubungan bersama Dion. Karena terlalu lama menunda, sekarang sudah hampir 8 bulan sejak perpisahan mereka.

"Bu, itu yang mau Wenda ceritakan sama ibu." Wenda terdiam sesaat sembari mengumpulkan keberanian. "Sebenarnya Wenda udah putus dari lama sama Dion."

["Loh? Kok kamu nggak cerita sama ibu?"]

"Ini Wenda lagi cerita, Bu."

["Maksud ibu kok kamu baru cerita? Kamu ada masalah apa sama Dion?"]

Kembali Wenda meneguk saliva. "Di-Dion selingkuh, Bu."

["Oalah Nduk Nduk, apa ibu bilang. Dari awal lihat itu ibu udah nggak srek. Kamu nggak apa-apa To?"]

"Nggak apa-apa, Bu. Emang seharusnya pisah."

["Syukur alhamdulillah. Apa jangan-jangan cowok yang kamu bawa ke rumah itu pacar barumu ya? Ibu malah setuju sama dia, kelihatan penyayang."]

"Maksud ibu Saga?" Wenda terbeliak.

["Iya yang ganteng dan sopan itu. Ibu merestui kalian kalau sampai bener."]

Napas Wenda terbuang sia-sia ke udara. "Nggak ada hubungan Bu. Wenda lagi nggak mau mikirin cowok."

["Nduk, cari cowok yang bener sayang sama kamu. Ibu sama Bapak akan lebih tenang."]

"Iya Bu, tapi sekarang Wenda lagi nggak mau pacaran dulu."

["Iyo wes, kamu tenangin diri dulu. Udah makan belum?"]

"Sampun, Bu." (Sudah) Setelah beberapa saat kemudian, panggilan terputus karena pulsa Wenda habis. "Yah, pulsanya habis lagi."

Mengetikkan jemari di layar keyboard untuk mengisi pulsa dari m banking. Lantas seutas ucapan sang ibu kembali teringat oleh Wenda. Saga memang baik, hanya Wenda yang tidak baik bagi Saga.

***

Sabiru melenggang dengan dada yang membusung pongah. Ia sangat yakin rapat pemegang saham kali ini akan berpihak dengannya. Well, meskipun hanya pertemuan rutin dan belum final, tetapi Sabiru sudah sangat yakin. Sebab salah satu syarat tidak bisa dipenuhi oleh Saga.

Ketika memasuki ruang meeting dengan kursi yang ditata berhadapan terpisah oleh meja, pandangan Sabiru lantas menyapu ke sekitar. Namun sosok yang dimaksud belum terlihat batang hidungnya.

Beberapa jajaran pemegang saham memasuki ruangan. Ada 6 pemegang saham di luar keluarga Gunawan, 4 di antaranya sudah berpihak pada Sabiru. Kemarin ia sempat mengirimkan jam tangan mahal kepada 6 pemegang saham sebagai buah tangan. Well, lebih tepatnya sogokan. Empat menerima dan dua menolak karena ingin membuat pilihan tanpa intervensi.

"Selamat pagi, Pak Sabiru," sapa Malik, salah satu pemegang saham yang menolak hadiah dari Sabiru.

"Pagi, Pak."

Suara ketukan berikutnya menyita atensi Sabiru, Saga mengayunkan kaki dengan percaya diri. Sesekali ia mengulas senyum kepada anggota inti perusahaan. Beberapa detik kemudian, ketukan sepatu Gunawan tertangkap oleh rungu.

Masing-masing petinggi Gunawan grup duduk di kursi yang sudah disediakan, ada tulisan nama di setiap meja sebagai petunjuk posisi mereka.

"Saga." Mendengar nama Saga disebut, Sabiru lantas menoleh ke sumber suara. Ia menelisik pada pribadi Tama dan Saga yang berdiri di ambang pintu sambil mengobrol.

"Om," sahut Saga.

"Gimana kabarnya?" lanjut Tama seraya menepuk punggung Saga.

"Baik, Om."

"Ayo duduk," ajak Tama.

Saga duduk di kursi berhadapan dengan Sabiru. Pria itu tampak menyeringai tipis ke arah Saga. Sementara Gunawan baru saja meletakkan bokong berjarak tiga kursi dari Saga bersama pemegang saham yang lainnya.

Saga tidak banyak bicara. Seperti biasa ia memberikan tatapan datar dan dingin. Dugaan mengenai hubungan Bianca dan Sabiru kembali muncul di benak. Lantas pandangan Saga terlempar pada Sabiru, memindai wajahnya sambil menerka. Apakah mungkin Bianca berselingkuh dengan Sabiru?

Obrolan serius saling bersahutan di dalam ruangan dengan dinding kaca tersebut. Beberapa orang mulai membicarakan penerus Gunawan grup.

"Tentu saja Sabiru yang akan memenangkan keputusan ini. Dia memenuhi semua syarat, persentase saham lebih tinggi dan kita tidak perlu khawatir dengan kelangsungan perusahaan. Dia sudah memiliki keturunan," celetuk Herman yang merupakan pendukung utama dari Sabiru.

"Belum tentu, Pak. Kita belum bisa memastikan besar persentase saham," timpal Malik. "Lagipula kita belum tahu Pak Gunawan dan Anggita akan memberikan sahamnya kepada siapa."

"Tentu saja pada Sabiru, suaminya," jawab Herman percaya diri. Kemudian disusul senyuman tipis dari Sabiru. Ia merasa berada di atas awan.

"Menurut saya memiliki pasangan tidak bisa lagi digunakan sebagai patokan. Perusahaan ini akan bertahan jika dipimpin seseorang dengan kemampuan yang bagus." Kali ini Tama menyuarakan pendapatnya.

"Pak Tama, kemampuan yang bagus itu bisa digerus usia. Manusia tidak akan hidup selamanya, kalau Saga sudah tidak bisa memimpin perusahaan ini, siapa yang akan melanjutkan?"

Hening menyelimuti ruangan tersebut sesaat. Beberapa pendukung Sabiru saling melemparkan tatapan dan memberikan anggukan kepala, setuju dengan pendapat Herman.

"Masih ada Kimberly," jawab Saga kemudian. "Kimmy juga anak kandung keluarga Gunawan."

"Yah, saya rasa alasan tidak memiliki pasangan itu terlalu remeh," sambung Malik. "Kemampuan Saga perlu dipertimbangkan, tanpa mengesampingkan Sabiru. Mereka berdua sama-sama kompeten. Jadi mari bersaing secara sehat. Kita bisa memilih yang terbaik untuk kelangsungan perusahaan ini."

Ucapan bijak Malik membuat Sabiru melemparkan tatapan bengis pada Saga. Ia seperti dijatuhkan dari langit ke tujuh hingga dasar laut. Rasa bahagia yang sempat terasa tadi berubah menjadi kesal dalam waktu cepat.

Tangan Sabiru mengepal di atas pangkuan diikuti dua bagian gigi yang menggeram. Salah satu sudut bibir Sabiru terangkat ke atas. Saatnya ia melakukan langkah terakhir untuk menyingkirkan Saga dari perebutan kekuasaan ini.

"Aku akan menghabisimu, Saga," geram Sabiru dalam hati.

TO BE CONTINUED.... 

Selamat pagi, Lovelies. Apa kabar? Buat penggemarnya Saga dan Wenda yuk merapat. Baca cerita ini sampai tamat di Karyakarsa yak. Selamat membaca ^^ 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro