Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 32

Panggilan yang terputus, membuat Wenda melepaskan ponsel diikuti buliran bening menetes dari kedua mata. Lantas ia mengembuskan napas lega. Rasa lega bercampur dengan nyeri yang merasuk di hati.

Respon yang diberikan oleh Saga persis seperti dugaan Wenda. Well, anak mana yang tidak akan marah mendengar pernyataan dari Wenda. Sikap Wenda yang ceroboh sudah menghilangkan satu nyawa.

Wenda menyeka air matanya dengan segera. Berulang kali ia mengembuskan napas kasar untuk mengurai rasa sesak yang bercokol di dalam dada.

"Aku mencintaimu," ucap Wenda seraya melihat potret dirinya dan Saga yang terpasang di layar ponsel. Butiran bening kembali melindas pipi. Hingga beberapa detik kemudian tangis Wenda pecah. Ia kembali merasakan patah hati untuk kesekian kalinya. Entah kesalahan apa yang dilakukan oleh Wenda hingga mendapatkan kutukan cinta seperti ini.

Tangan Wenda mengusap foto Saga yang mengulas senyuman lebar. Kedua mata pria itu menyipit membentuk satu garis. Foto berlatar belakang pantai itu diambil Wenda ketika mereka berkunjung ke Bali dalam rangka bisnis. Wenda tidak akan pernah melupakan setiap momen yang sudah dilewati bersama Saga. Semua terlalu indah.

Suara gemuruh di luar kost menyita atensi Wenda. Jarum jam menunjukkan angka 9 malam dan selama tiga hari tinggal di sana, Wenda jarang mendengar suara berisik di pertengahan malam. Kamar Wenda berada di lantai 4 dengan 4 kamar berjejer. Pun letak kamar Wenda berada di paling ujung sehingga jarang terdengar suara langkah kaki yang hilir mudik.

Wenda berjalan mengendap-endap untuk melihat keluar kamar. Ia meraih sapu untuk berjaga-jaga jika ada hal yang tidak diinginkan. Well, bagaimanapun juga tempat itu masih baru bagi Wenda. Meskipun pemilik Kost memastikan aman, tetap saja Wenda harus berjaga-jaga.

Wenda membuka pintu perlahan sambil mengayunkan gagang sapu keluar.

"Hey! Wenda! Lo mau bikin gue amnesia?" pekik Tika dengan napas terengah.

"Tika, lo kok nggak bilang kalau mau kesini?" tanya Wenda sembari mengembuskan napas lega. "Gue pikir siapa berisik banget di luar."

"Gue nggak berisik, baru juga datang. Tapi...." Tika menoleh ke arah tangga di ujung lorong lalu mendorong tubuh Wenda masuk ke kamar.

"Kenapa sih?" tanya Wenda.

Tika masih terdiam dan memastikan tidak ada orang di luar kamar Wenda kemudian masuk seraya meletakkan dua plastik makanan ringan untuk sang sahabat.

Tika meringis lalu menyenggol tangan Wenda. "Lo baikan ya sama Saga?"

"Baikan? Nggak," jawab Wenda kembali teringat pengakuan dosanya beberapa menit lalu.

"Ck! Lo jangan bohong, tadi gue lihat Saga kejar-kejaran sama cowok turun dari lantai kamar lo," terang Tika.

"Nggak mungkin, lo salah lihat kali." Wenda menghela napas kasar sebelum melanjutkan ucapannya. "Saga marah sama gue."

"Masa' salah sih? Emang sih tadi nggak keliatan jelas soalnya pakai hoodie sama topi." Melihat raut Wenda yang berubah muram, Tika langsung berinisiatif mengelus punggungnya. "Kenapa Wen?"

Mata Wenda kembali berkaca-kaca. "Gue udah bilang sama Saga, Tik."

"Terus?" Tika terkejut.

"Dia marah sama gue," jawab Wenda sambil menyeka air matanya.

"Ma-marah?" Tika mengulangi perkataannya Wenda kemudian diyakinkan dengan anggukan kepala. "Astaga."

Wenda terjatuh ke pelukan Tika. Air matanya seolah tidak bisa dibendung lagi. Haruskah kisah cinta mereka berakhir pilu seperti ini?

"Hari ini gue nginep sini ya?" Tika meminta izin karena merasa tempat tinggal baru Wenda kurang terjamin keamanannya. "Gue khawatir ninggalin lo sendirian. Lagipula lo sepertinya butuh temen."

"Makasih banyak, Tik." Wenda masih sesenggukan. "Gue nggak tahu harus menjalani hari seperti apa setelah ini."

"Wen, lo udah minta maaf sama Saga. Lagipula itu bukan sepenuhnya salah lo. Itu bukan kesengajaan."

"Tetep aja, Tik. Gue salah karena tindakan bodoh gue," ujar Wenda.

***

Masih terus berusaha, Wenda meminta solusi Sinta, salah satu tim HRD terkait surat pengunduran dirinya. Terasa berat jika harus menunggu satu bulan sementara Saga sudah tahu kesalahan Wenda. Well, bersikap profesional akan terasa sulit jika berada di situasi yang seperti ini.

"Wen, tetep harus 1 month notice. Kecuali dari Pak Saga approve, kamu bisa langsung keluar dari perusahaan ini." Sinta menegaskan kepada Wenda yang duduk sambil menghentakkan kakinya di bawah meja.

"Nggak ada cara lain ya, Mbak?" tanya Wenda putus asa.

"Hanya itu caranya, Wen. Kalau Pak Saga yang minta semua akan beres. Soalnya 'kan cari pengganti itu nggak gampang, perlu waktu. Terus kalau kamu asal keluar siapa yang bakal handle kerjaan kamu," tambah Sinta.

Wenda paham dengan ketentuan dari perusahaan. Namun, ia sudah tidak memiliki muka untuk berhadapan dengan Saga. Wenda terlalu pengecut untuk berani menunjukkan wajahnya di depan Saga. Ditambah sikap Saga sejak pagi tadi juga sudah berubah. Mengajak bicara Wenda jika butuh saja dan selalu menghindari bertatap muka.

"Biarkan dia keluar hari ini juga." Suara berat Saga membuat Wenda dan Sinta menoleh bersamaan. Pribadi Saga sedang berdiri di ambang pintu dengan satu tangan dimasukkan di saku celana.

Saga hanya melihat ke arah Sinta tanpa memperdulikan Wenda. "Urus pencarian karyawan baru yang niat kerja saja, Sin."

"Tapi, Pak. Nanti pak Saga yang bantu siapa?" tanya Sinta.

"Saya bisa urus sendiri. Jangan asal dapat, cari yang benar-benar bisa diandalkan," tambah Saga. Lantas ia melemparkan tatapan pada Wenda, "selesaikan pekerjaan kamu sebelum jam kerja habis."

"Baik, Pak," jawab Wenda sambil menganggukkan kepala santun. Ia melihat punggung Saga yang semakin berjalan menjauh.

Napas kasar kembali diembuskan oleh Wenda diikuti rasa nyeri di hati. Well, ini sudah semestinya terjadi meskipun menyakitkan.

Waktu berjalan begitu cepat hari ini. Seolah meminta Wenda untuk segera angkat kaki dari wilayah Saga. Setelah menyelesaikan semua tugasnya, Wenda segera membereskan semua barang-barang dan dimasukkan ke dalam kardus.

"Wen!" panggil Devi yang terengah sebab berlari menghampiri Wenda. "Wen, lo ngundurin diri?"

"Iya," jawab Wenda diikuti senyuman.

"Ada masalah apa? Gue denger lo juga putus sama Pak Saga?" Rasa ingin tahu Devi semakin memuncak setelah mendengar selentingan di seluruh kantor.

"Iya," jawab Wenda singkat.

"Jadi lo keluar karena ada masalah pribadi sama Pak Saga? Karena kalian putus? Astaga Wen, cuma gitu doang harusnya nggak perlu resign. Lo tahu cari kerjaan susah di Jakarta," ujar Devi.

Andai semua semudah itu, mungkin Wenda tidak akan mengambil langkah ini. Namun, masalah yang mereka hadapi terlampau rumit. Wenda terlalu malu untuk menikmati salary dari Gunawan group setelah semua yang terjadi.

"Gue mau pulang kampung," ucap Wenda berdusta. Well, tentu saja ia tidak akan pulang kampung dengan membawa kegagalan.

"Pulang kampung, lo yakin? Bukannya lo punya mimpi buat sukses dulu baru balik kampung, Wen?" tutur Devi.

"Gue tetep mau wujudin mimpi itu kok, Dev. Cuma mau istirahat sebentar saja," jawab Wenda.

"Dimana pun lo berada semoga selalu bahagia ya, Wen." Devi memeluk Wenda tanda perpisahan. "Jangan lupain gue."

"Pasti nggak lupa kok. Gue mau pamitan sama Pak Saga dulu," tukas Wenda yang kemudian membuat Devi melepaskan pelukannya.

Sebelum mengetuk pintu ruangan Saga, Wenda menghirup oksigen dalam-dalam untuk memenuhi rongga dada lalu mengembuskannya pelan.

Wenda membuka pintu setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Ia sedikit terlonjak kaget saat melihat pribadi Saga berdiri tepat di belakang pintu.

"Maaf Pak mengganggu waktu pulangnya," ujar Wenda dengan nada lirih. Ia lebih banyak menunduk dibandingkan melihat Saga. "Semua laporan sudah saya kirim ke email pak Saga. Lalu laporan crown seesaw dari mas Lucky juga sudah saya kerjakan."

Saga tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus ke arah Wenda dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Oke."

"Maaf sekali lagi, Pak. Saya mohon maaf untuk semua yang terjadi. Maaf." Wenda hanya bisa mengucapkan satu kata itu berulang kali. Jika bisa menebus kesalahannya di masa lalu, Wenda bersedia mengucapkan kata itu sebanyak apapun.

Respon Saga yang hanya diam, semakin membuat hati Wenda terasa nyeri. Sudah sepatutnya Saga bersikap seperti itu. Namun, entah mengapa Wenda belum siap menerima amarah dari Saga.

"Saya permisi, Pak." Wenda membalikkan tubuhnya lalu menghilang di balik pintu.

Ketika berada di balik pintu, Wenda tidak langsung pergi. Ia masih berdiri di sana sambil menangis. Suara tangis Wenda yang cukup keras mampu terdengar oleh Saga yang juga bertahan di posisinya. Saga sama sekali tidak beranjak sampai suara tangis Wenda lenyap.

"Maafin aku, Saga," lirih Wenda untuk kesekian kalinya. "Maaf."

TO BE CONTINUED.... 

Selamat malam, Lovelies. Ada yang kangen Saga dan Wenda? Baca cerita ini sampai tamat di Karyakarsa yak! Selamat membaca ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro