Bab 25
"Maaf, maksud Bapak apa?" tanya Wenda setelah beberapa saat mengumpulkan keberanian.
Gunawan melipat tangan di depan dada lau menarik salah satu sudut bibir. Pandangan pria baya itu masih tertuju pada Wenda yang duduk dengan kedua tangan bertumpu di atas paha.
"Persiapkan acara Kimmy. Lagipula Saga tidak pernah berkontribusi dalam keluarga," ujar Gunawan kemudian. "Kita pulang."
Mendengar perintah dari sang suami, Bianca bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Gunawan. Sementara itu, Wenda ikut berdiri sambil membungkukkan badan sebagai rasa hormat.
Mata Wenda masih melihat Gunawan dan Bianca hingga punggung mereka menghilang dari balik pintu. Pantas saja Saga merasa asing dalam rumahnya sendiri. Gunawan seolah tidak pernah menghargai usaha yang selama ini dilakukan oleh Saga untuk perusahaan. Pria itu sering mengesampingkan diri sendiri demi pekerjaan.
Ponsel Wenda yang berdering di dalam tas membuatnya merogoh cepat. Nama Saga muncul dari layar ponsel.
["Kamu dimana? Aku jemput."]
"Ah, nggak usah. Ini aku mau ke kafe sama Tika, ada urusan dikit."
["Urusan apa?"]
"Urusan cewek," jawab Wenda seraya mengalungkan tasnya.
["Iya urusan seperti apa?"]
"Urusan cewek, Saga. Kamu nggak boleh tahu."
["Hm gitu, jadi aku nggak boleh tahu? Kalau gitu aku ikut ke kafe ya, kita ketemu di sana."]
"Nggak! Nanti kita 'kan bisa ketemu di apartemen. Lagian emang acaranya udah selesai?" Kaki Wenda mengayun keluar dari kafe.
["Belum, masih pada ngobrol. Tapi aku udah males."]
"Saga kamu harus memperbanyak relasi demi bisnis kamu. Jangan dikit-dikit males gitu dong. Lagipula bentar lagi rapat saham."
["Iya."]
"Ya udah aku tutup dulu ya, nanti aku kabari kalau sampai apartemen."
["Oke, kamu hati-hati ya."]
"Kamu juga."
["Wen."]
"Apa?"
["Aku sayang kamu."]
Mendengar kalimat sederhana itu, jantung Wenda bergetar diikuti senyuman tipis terulas di wajah. Hati Wenda seperti disiram air dingin setelah tadi berhadapan dengan ayah dan ibu tiri Saga.
"Aku juga. Bye." Panggilan mereka terputus, Wenda yang melakukan.
Tarikan dari kedua sudut bibir Wenda kembali tercipta saat melihat potret yang dijadikan Walpaper pada layar ponsel. Wajah kaget Saga ketika mendapatkan kecupan dari Wenda di pipi membuatnya terlihat menggemaskan. Wenda sangat menyukai foto itu.
"Saga," ucap Wenda dengan nada lirih.
Suara hentakan kaki yang setengah berlari membuat Wenda menoleh dan langsung terjingkat kaget saat Tika merangkul pundaknya.
"Lo kok langsung ninggalin gue sih? 'Kan gue cuma pipis bentar," ujar Tika seraya mengatur napasnya yang terengah.
"Astaga, gue hampir lupa kalau ada lo," gurau Wenda yang membuat Tika mengerucutkan bibir.
"Eh tadi bokap Saga ngomong apa ke lo? Gue mau dengerin tapi keburu sakit perut," ujar Tika mengayunkan langkah sejajar dengan Wenda.
"Dia kasih izin gue sama Saga buat ngurus ulang tahun, Kimmy," terang Wenda sewajarnya. Ia tidak berniat untuk menceritakan secara detail ucapan dari ayah Saga.
"Serius? Wah, baik juga bokap Saga," sahut Tika. Lantas ia melepaskan rangkulan pada Wenda untuk masuk ke kursi kemudi. "Ini berarti kita langsung nemuin kakek Cipto?"
"Iya, sekalian katanya lo mau buat konten di kafe?" Wenda merendahkan tubuh untuk masuk ke dalam mobil.
"Yoi. Semoga aja hari ini mood Kakek Cipto lagi baik." Setelah dinyalakan, mobil Tika melaju dengan kecepatan rata-rata dan menelusuri jalanan perumahan yang masih lengang kala itu. "Lo bener-bener nggak berubah ya. Kalau udah cinta sama orang selalu kasih 100 persen hati lo ke dia. Ulang tahun Saga yang masih lama aja udah lo persiapkan kadonya."
"Karena gue nggak tahu butuh berapa lama buat bisa bujuk Kakek Cipto," tukas Wenda sembari melihat pepohonan pinggir jalan yang seolah mengikuti laju mobil mereka.
Saga sudah memiliki segalanya, hingga Wenda sempat bingung untuk memilihkan hadiah. Namun, ada satu keinginan Saga yang ingin diwujudkan oleh Wenda. Mengambil kembali salah satu tempat yang memiliki banyak kenangan bersama sang ibu. Kafe sepenggal kenangan tentu memiliki banyak kenangan hingga Saga bersikeras untuk mengambil alih.
Telunjuk Tika menekan tombol power pada setir mobil untuk membunyikan salah satu lagu favoritnya. Beberapa saat kemudian lirik lagu galau dari salah satu penyanyi western yang sedang trending topic menyeruak.
"Gue suka banget lagu ini," seru Tika bersiap menarik napas dan mulai menyanyi. "I've been drinking more alkohol, for The past five day. Do you check on me."
Wenda menoleh sekilas pada Tika lalu tersenyum tipis. Ia memilih untuk menggulirkan jemari pada layar ponsel dan mencari konsep ulang tahun yang cocok untuk Kimmy nanti.
Ada beberapa konsep yang ada di benak Wenda, seperti safari, dan kartun yang disukai oleh Kimmy. Well, bocah seumuran Kimmy lebih banyak menyukai hal seperti itu bukan?
Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk tiba di Kafe sepenggal kenangan. Tika memanjangkan leher untuk mencari tempat parkir yang hanya diisi beberapa kendaraan saja. Seperti biasa, pengunjung Kafe sepenggal kenangan tidaklah banyak. Kebanyakan pengunjung kafe adalah pelanggan yang sudah sering datang untuk mengerjakan tugas kuliah atau pekerjaan mereka. Hampir semua pelanggan Sepenggal Kenangan akan datang lagi karena nyaman dengan suasana tenang tempat tersebut.
"Lo serius nggak mau gue temenin?" tanya Tika setelah melepaskan seat belt-nya.
"Nggak usah. Lo buat konten aja dulu, nanti gue samperin ke kafe kalau udah kelar." Wenda ikut melepaskan seat belt lalu turun dari mobil dan menuju ke rumah Kakek Cipto yang berada tepat di depan kafe.
Tangan Wenda mengerat pada selempang tas lalu berulang kali mengembuskan napas kasar untuk mengusir rasa gugup.
"Wen!" panggil Tika di ikutin desisan.
"Kenapa?" Wenda menoleh.
"Semoga berhasil. Semangat!" ucap Tika seraya mengepalkan tangannya dan menarik ke arah perut.
"Oke." Wenda kembali mengembuskan napas kasar. "Oke, lo pasti bisa Wen.
Perlahan buku tangan Wenda mengetuk pada pintu pagar yang sudah terbuka separuh. Suara kucing yang mengeong seolah memberitahu tuan rumah jika ada orang asing yang masuk.
"Permisi. Kakek Cipto," ujar Wenda sambil melangkah masuk.
Pekarangan rumah Kakek Cipto teduh dengan pohon kelengkeng yang tumbuh subur. Di bawah pohon itu ada beberapa tanaman plum mini dalam pol yang berjajar rapi. Pun ada juga tanaman anggrek yang sudah memamerkan kelopak bunga indahnya.
Suara lonceng yang sengaja dipasang depan pintu terdengar saat angin meniupnya. Kakek Cipto memang terlihat sekali menggemari tanaman.
"Siapa kamu?" Suara berat yang mengintimidasi membuat Wenda menoleh cepat. Pribadi Kakek Cipto dengan kacamata yang bertengger di tulang hidung membingkai kedua matanya yang mengamati Wenda tajam.
"Per-permisi, Kek. Saya Wenda temannya Tika," ujar Wenda memperkenalkan diri.
"Ngapain kamu kesini?" tanya Kakek Cipto ketus. Tangannya yang memegang tongkat untuk menopang tubuh terlihat bergetar. Pun wajah Pria lanjut usia itu sangat pucat. Tampak dari warna bibirnya yang memutih.
"Astaga, Kakek!" Spontan Wenda berlari menghampiri Kakek Cipto saat tubuh renta itu terjatuh di lantai. "Kakek kenapa?"
Dengan sigap, Wenda mengalungkan lengan Kakek Cipto ke pundak dan membawanya ke dalam rumah untuk duduk di sofa.
Tubuh Kakek Cipto terkulai lemas tanpa daya. Sejak kemarin Kakek Cipto sibuk membersihkan gudang hingga kelelahan.
"Kakek pucat banget, mau saya panggilkan dokter saja?" tanya Wenda dengan raut wajah panik.
"Tidak usah. Tolong ambilkan teh hangat di meja itu." Tangan Kakek Cipto terjulur ke arah meja di ruang tengah. Ada cangkir dan juga teko keramik dengan motif senada.
"Baik." Wenda bangkit lalu mengambil cangkir keramik itu setelah menuang teh hangat ke dalamnya. Segera ia memberikannya pada Kakek Cipto. "Pelan-pelan, Kek. Ini panas."
Perlahan Kakek Cipto meneguk minuman hangat itu dan menghangatkan lambungnya. Ia menghela napas dan menyandarkan punggung pada sofa.
"Terima kasih," ucap Kakek Cipto lemah. "Ada keperluan apa kamu kesini?"
Melihat Kakek Cipto yang terkulai lemas, mengurungkan niat Wenda sebelumnya. Ia tidak tega jika harus membujuk Kakek Cipto untuk menjual kafe Sepenggal Kenangan untuk Saga.
"Ah enggak ada, Kek. Saya cuma mau mampir saja." Wenda membuat alibi sambil meringis.
Netra Kakek Cipto menatap Wenda lamat-lamat. Ia membenarkan letak kacamatanya dan mengingat wajah wanita yang sering berkunjung ke kafenya itu.
"Kamu sering ke kafe," ujar Kakek Cipto.
"Iya, kok kakek tahu?"
"Saya selalu mengamati semua pengunjung kafe dari balkon rumah. Ada beberapa wajah yang saya hafal." Kakek Cipto menjeda ucapannya sebentar, lalu melanjutkan. "Salah satunya anak muda berwajah pucat itu."
Ciri-ciri yang diucapkan oleh Kakek Cipto mengingatkan Wenda pada sosok Saga. Pria berwajah pucat dengan ekspresi datar.
"Oh, Saga," gumam Wenda lirih tetapi masih bisa didengar oleh Kakek Cipto.
"Kamu mengenalnya?" tanya Kakek Cipto.
"Iya, Kek."
"Apa kamu juga disuruh sama dia untuk menawar kafe itu?" tebak Kakek Cipto yang tidak sepenuhnya meleset. Bukan Saga yang meminta, tetapi keinginan Wenda sendiri.
"Eng-enggak kok Kek," jawab Wenda sambil menggelengkan kepala untuk meyakinkan.
"Anak itu sangat aneh. Untuk apa membeli kafe yang sepi dan letaknya jauh dari keramaian. Padahal banyak tempat potensial untuk berbisnis," terang Kakek Cipto.
"Karena tempat itu adalah salah satu peninggalan dari mendiang ibunya, Kek. Ada banyak kenangan yang tertinggal di sana," tukas Wenda yang membuat Kakek Cipto menoleh.
"Banyak kenangan yang terbentuk saat dia kecil bersama sang ibu di sana. Setiap sudut ada cerita manis tentang ibunya," tambah Wenda seraya mengorek kembali kisah yang pernah disampaikan oleh Saga. Matanya hampir berkaca-kaca saat mengingat kisah sedih itu.
Mungkin kehidupan Wenda tidak semujur Saga yang bergelimang harta. Tetapi ia masih punya keluarga yang sangat menyayanginya. Tidak ada harta yang harus diperebutkan antar saudara. Mereka bisa hidup tenang dengan uang seadanya dan saling bercengkerama setiap waktu.
"Dia tidak pernah mengatakan itu," ujar Kakek Cipto meluruskan punggung. Ia menghela napas kasar lalu tersenyum saat melihat lukisan berbingkai yang tergantung besar di depannya.
Wenda mengikuti arah pandang Kakek Cipto. Seorang perempuan lanjut usia dengan rambut yang hampir keseluruhan memutih membuat kedua mata Kakek Cipto berlinang.
"Dulu, istri saya selalu mengajak untuk mengunjungi kafe itu. Tetapi saya lebih memilih bekerja dan selalu beralasan besok. Setiap liburan saya lebih memilih beristirahat karena lelah." Kakek Cipto kembali menghela napas. "Sampai akhirnya tidak ada lagi kata besok, karena istri saya meninggal."
Mata Wenda terbeliak ketika mendengar cerita tersebut. Ternyata ini alasan Kakek Cipto langsung membeli kafe itu dan enggan menjualnya.
"Meskipun saya sudah membeli kafe itu, nyatanya tidak bisa menebus kesalahan yang sudah dibuat. Hanya keinginan sederhana yang tidak bisa saya penuhi," tukas Kakek Cipto yang hanya bisa membuat Wenda bergeming.
***
Senyum mengembang di wajah Tika dilemparkan pada pribadi Wenda yang baru saja masuk ke kafe sepenggal kenangan.
"Wen!" Tika melambaikan tangan agar sang sahabat bisa melihatnya duduk di sudut ruang.
Wenda berjalan menghampiri Tika dan meletakkan bokong di kursi berhadapan dengan sang sahabat.
"Gimana?" tanya Tika penasaran. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Wenda.
Embusan napas kasar lolos dari bibir Wenda. "Ternyata Kakek Cipto beli kafe ini karena nggak sempat kesini sampai istrinya meninggal."
"Hah? Serius?"
"Iya, jadi dia sampai sekarang masih ngerasa bersalah. Hah!"
"Terus rencana lo apa sekarang?"
"Entahlah. Gue nggak tega kalau harus bujuk Kakek Cipto." Wenda menaikkan kedua bahunya lalu mengetuk layar ponsel.
Jemari Wenda bergulir ada layar ponsel untuk mencari potret ibu Saga yang pernah didapatkan. Seorang wanita dengan rambut panjang yang membingkai senyuman hangat itu terlihat sangat bahagia berada dalam rengkuhan sang putra.
"Lihat deh, Saga bahagia banget pas sama ibunya." Wenda mengulurkan ponselnya untuk menunjukkan wajah ibu Saga pada Tika.
Kelopak mata Tika terbuka lebar saat melihat wajah wanita dalam layar tersebut. Perutnya yang membuncit mengingatkan Tika pada kejadian kelam beberapa tahun silam. Ia berusaha melupakannya, tetapi sulit.
Malam itu Wenda kalut karena melihat Dion selingkuh. Ia berlari tanpa memerhatikan langkah dan membuat satu mobil menabrakkan diri pada pembatas jalan. Wanita itu sedang hamil tua dan dinyatakan meninggal setelah bayinya lahir secara caesar. Tika sempat melihat wajah wanita itu saat dibawa ke rumah sakit untuk diberikan pertolongan.
"I-ini nyokap Saga?" Tika memastikan dan kedua matanya semakin membulat saat mendapatkan anggukan kepala Wenda sebagai jawaban.
Ternyata wanita yang meninggal itu adalah ibu Saga. Selama ini Tika menyembunyikan dengan rapat jika wanita itu sudah meninggal. Namun, ternyata takdir memberikan kejutan yang tidak terduga. Wanita itu adalah ibu Saga. Sumber kebahagiaan terbesar dari Saga, pria yang juga memberikan kebahagiaan pada Wenda.
TO BE CONTINUED...
Halo, teman-teman Saga dan Wenda sudah menjelang tamat di Karyakarsa. Selamat membaca^^
SPOILER :
Setelah berkutat selama satu jam di dalam ruang rapat, Saga menarik tangan Wenda sebelum keluar. Pun ia memastikan peserta rapat keluar dari ruangan terlebih dahulu.
"Sa-saga!" Wenda terkesiap sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Meskipun para karyawan sudah tahu jika mereka merajut kasih, tetap saja bermesraan di dalam kantor akan memperlihatkan ketidakprofesionalan mereka.
Pintu ruang rapat tertutup. Sementara Saga memeluk tubuh Wenda dari belakang. "Ah, aku kangen banget sama kamu."
"Saga! Ini di kantor loh!" seru Wenda seraya menepuk tangan Saga pelan.
"Bentar aja," ujar Saga yang enggan melepaskan pelukannya.
"Saga." Wenda menghela napas pasrah. Ia tersenyum sambil mengusap kepala Saga yang bersandar di pundaknya.
"Kamu akhir-akhir ini sibuk banget ya? Melebihi aku," protes Saga. "Kamu nggak nyiapin pesta Kimmy sendirian 'kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro