Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22


Tangan Saga bergerak nakal dan mulai menarik simpul tali pita di dada Wenda. Tetapi sebelumnya ia meminta persetujuan dari wanita yang sudah menjadi kekasihnya selama dua menit itu. Well, Saga tidak akan bertindak jauh tanpa persetujuan dari Wenda. Jika malam mereka berakhir di ranjang dengan baju yang dibuang sembarangan, pun harus atas keinginan dua pihak.

"Bolehkah?" tanya Saga dengan suara teramat lirih. Embusan napasnya menerpa wajah Wenda.

Sebelum menjawab, Wenda menoleh ke depan dan memastikan jika tujuan mereka masih jauh. Seperti bisa menebak isi kepala Wenda, Saga memberikan kecupan singkat di pipi.

"Masih lama," bisik Saga yang sontak membuat wajah Wenda merah padam seperti disiram jus tomat.

"Ish." Wenda mendesis seraya menggigit bibir bawah. Setelah itu ia memberikan anggukan kepala sebagai persetujuan.

Salah satu sudut bibir Saga tertarik ke atas. Tanpa membuang waktu, ia menarik simpul pita di blouse Wenda dan menampilkan belahan dari gumpalan padat yang mengintip. Saga menatap Wenda intens diikuti jemarinya yang berselancar liar.

"Ah!" desah Wenda ketika jemari Saga menelusup masuk ke dalam blouse dan memainkan butiran puncak dada yang mulai mengeras.

Ia menengadahkan kepala seraya menikmati sensasi geli yang ditimbulkan. Bulu kuduk Wenda kembali meremang diikuti tubuh yang menggeliat nikmat. Saga memperlakukannya begitu lembut dan sigap. Bahkan tangan Saga bergerak cepat saat Wenda mendongakkan kepala dan hampir terbentur kaca mobil. Ia menjadikan tangannya landasan agar kepala Wenda tidak terbentur.

"Oh!" Ketika lenguhan itu tercipta, Saga cepat-cepat memberikan kecupan dengan sedikit hisapan. Rasa manis vanilla terasa setiap Saga mengecup bibir merah jambu Wenda.

Malam itu, Saga seperti memanjakan Wenda dengan sentuhan yang membuatnya sedikit gila. Jilatan diikuti hisapan kecil juga diberikan Saga di bagian tertutup. Tentu ia belum hilang akal dan tidak ingin membuat Wenda malu dengan bekas keunguan yang dibuatnya.

Desahan Wenda terus memenuhi ruang dalam mobil, saat Saga dengan ahli mengecup mesra puncak dadanya yang sudah menegang.

"Mau kita lanjutkan di apartemen?" tanya Saga setelah menyadari sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi yang dituju.

Wenda membuka kedua matanya setelah larut dalam kenikmatan dunia yang dihaturkan oleh Saga. Ia menggigit bibir bawah. Gairah yang sudah menggulung liar tidak bisa tertahan lagi. Namun, Wenda tidak mau kembali bodoh seperti ketika bersama dengan Dion. Ia dan Saga baru saja mengikrarkan satu hubungan. Bukankah terlalu cepat untuk bercinta dan melewati malam bersama?

"Apa kamu keberatan kalau aku menolak?" Meskipun ragu, Wenda mengucapkan kalimat penolakan itu. Ia takut mendadak Saga marah seperti Dion. "Maaf"

Saga menyelipkan helaian rambut Wenda ke belakang telinga seraya menyunggingkan senyum tipis. Lalu ia mencium pipi Wenda dengan sangat lembut.

"Untuk apa minta maaf? Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak ingin," ujar Saga seraya melirik ke dada Wenda yang masih terbuka. "Aku nggak bisa buat pitanya. Cepat perbaiki."

Dengan wajah yang merona, Wenda membuat simpul pita di bajunya. Sesekali ia tersenyum. Hatinya mendadak dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran. Sementara itu, Saga masih melihat Wenda tanpa jeda. Ia memerhatikan wajah Wenda yang bersemu merah sambil tersenyum tipis.

Menyadari tatapan Saga yang intens, Wenda menoleh semakin malu. Ia kehabisan kata-kata saat beradu tatap dengan Saga.

"Ka-ka-kamu li-lihat apaan sih!" ujar Wenda dengan wajah memerah.

Mendengar ucapan Wenda yang tergagap, Saga terkekeh gemas. Ia tidak tahan untuk mencubit pipi Wenda. "Kenapa bicaranya gagap gitu coba?"

"Saga! Jangan godain aku!" seru Wenda.

Lantas Saga merengkuh tubuh wanita itu dan mencium keningnya. Rasa bahagia membuncah di dalam dada. Sejak sang ibu tiada, Saga belum pernah merasa sebahagia ini. Benar, jika Wenda berhasil menjungkir balikkan hati Saga.

***

Senyuman merekah senantiasa menghiasi wajah Wenda dan Saga ketika mereka keluar dari pintu apartemen. Pria dingin yang biasanya sulit tersenyum itu berdiri sambil memeta penampilan Wenda pagi ini. Celana kulot warna hitam dipadukan dengan blouse warna biru langit. Serasi dengan kemeja yang dipakai oleh Saga.

"Loh kok sama? Kita padahal nggak janjian," celetuk Wenda. Saga lalu melihat kemeja dan busana Wenda secara bergantian.

"Berarti kita sehati," ucap Saga sambil menghampiri Wenda.

"Ish apaan sih!" Wenda mendesis sambil memukul lengan Saga. Ia masih canggung untuk bersikap seperti pasangan kekasih sungguhan dengan Saga. Well, tentu saja ia masih malu untuk bermesraan dengan Saga. Meskipun semalam mereka sempat bercumbu penuh gairah.

Saga sedikit menunduk lalu berbisik di telinga Wenda, "kok nggak pakai yang model pita lagi sih?"

Wenda terdiam sesaat. Setelah sadar arah pembicaraan Saga, ia memekik sambil menutupi dadanya dengan tangan. "Ish! Dasar bos mesum!"

"Aduh! Sakit Wen! Kamu itu mantan petinju apa gimana sih? Pukulan kamu kuat banget." Saga mengusap lengannya saat rasa panas terasa.

Ekspresi wajah Wenda langsung berubah khawatir seketika. Lantas ia mengelus lengan Saga yang baru saja dipukulnya. "Sakit banget ya? Maaf."

"Nggak apa-apa, Sayang." Spontan Saga mengucapkan itu. Kedua pipi Wenda langsung merona, mempertegas warna blush yang disapukan. Jantung Wenda langsung berdebar mendengar panggilan tersebut. Rasa panas seketika merangkak ke wajah. Ia mengibaskan kedua tangan untuk mengusir rasa gerah, tetapi sia-sia.

Denting lift dengan pintu yang terbuka membuat Wenda langsung berjalan cepat masuk ke dalam. Saga mengikutinya sambil mengulum senyum. Astaga! Mereka seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta.

Tidak banyak bicara adalah langkah yang dipilih Wenda ketika mobil Saga berjalan dengan kecepatan rata-rata. Si hitam mercedes keluaran terbaru berjalan gagah membelah jalanan Jakarta yang tidak padat kala itu. Well, meskipun Saga sedikit berharap macet agar bisa tiba ke kantor lebih lama. Dengan mobil, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk tiba di kantor.

Setelah tiba di pelataran gedung Gunawan grup yang bersebelahan dengan The Eights hotel, Wenda mengedarkan mata awas sebelum keluar dari mobil.

"Kamu ngapain?" tanya Saga seraya melepaskan seat belt.

"Kita jangan turun barengan deh," ujar Wenda dengan wajah khawatir. Ia belum siap mengekspos hubungan mereka yang sekarang bukan pura-pura lagi.

"Ck! Apaan sih kamu! Kita turun bareng." Gerakan Saga yang mau turun dari mobil ditahan oleh Wenda.

"Ih kamu mah! Bentar dong, aku belum siap," cegah Wenda.

"Belum siap kenapa? Lagian kita udah beneran pacaran kok. Apa sih yang kamu takutin, Wen?" tanya Saga sambil memutar tubuh menjadi berhadapan dengan Wenda.

Saga memang tidak akan merasakan bagaimana khawatirnya Si miskin saat memiliki hubungan dengan Si kaya. Menjadi bahan pembicaraan dengan nada diremehkan itu tidak mengenakkan.

"Kenapa? Kamu takut orang-orang kantor pada ngomongin kamu?" tanya Saga seolah bisa membaca isi pikiran Wenda.

Kontan Wenda mengangguk dengan cepat. Lalu Saga merapikan poni Wenda yang berantakan karena anggukan kepalanya barusan.

"Ada aku, nggak perlu takut. Udah ayo turun, hari ini kita banyak pekerjaan." Saga segera mengayunkan kaki turun dari mobil. Sementara Wenda berulang kali mengembuskan napas kasar sebelum ikut turun dari mobil.

Tanpa basa-basi, Saga langsung meraih tangan Wenda dan menggenggamnya. Perilaku spontan Saga selalu membuat Wenda kewalahan. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rambut, tetapi semesta sekali lagi tidak mendukung Wenda. Rambut Wenda terbang karena embusan angin. Justru sekarang wajahnya terlihat secara jelas.

Seperti sebuah spotlight, langkah Wenda dan Saga menarik atensi beberapa karyawan yang baru saja masuk. Pun tidak lupa mereka menghaturkan anggukan kepala serta sapaan kepada Saga dan Wenda. Sekarang Wenda seperti ibu negara yang tengah mendapatkan salam dari rakyatnya.

Saga sesekali melirik ke arah Wenda dari ekor mata dan mengulum senyum. Wajah Wenda yang putih bisa memerah seperti tomat. Lebih menggemaskan dibandingkan Kimmy.

Dering ponsel memaksa Saga untuk merogoh saku dalam dan menerima panggilan dari Ruslan. Masih menggenggam tangan Wenda sambil masuk ke dalam lift. Beberapa pria dari departemen desain dan OTA (online travel agent) ikut masuk setelah menyapa Saga.

Melihat ruang lift yang berdesakan, Saga berdiri di depan Wenda dan merapatkan tubuh wanitanya di sudut. Wenda tersenyum kala aroma tubuh Saga terasa menggelitik hidung. Wangi musk yang bercampur dengan aroma Saga. Mulai detik ini, Wenda akan merindukan campuran wangi itu.

Keluar dari lift lalu Saga berjalan menjauh untuk menerima telepon. Netra Wenda hanya bisa menatap punggung sang kekasih yang semakin menjauh.

"Terima telepon dari siapa sih?" gumam Wenda sambil mengamati punggung Saga yang menghilang di balik pilar.

Jarum jam terus bergerak mengitari angka yang melingkar penuh dalam bingkai lingkaran. Jemari Wenda masih menghentak papan keyboard untuk memasukan angka pendapatan hotel dan menjadikannya grafik. Untuk performa hotel yang menurun akan menjadi fokus utama Saga agar tidak tertinggal jauh.

Dering ponsel yang memunculkan nama Saga menyita perhatian Wenda. Ia menunda sebentar untuk memasukkan dua angka lagi ke dalam kolom.

["Ke ruanganku, sebentar."]

"Iya." Setelah menyelesaikan penginputan, Wenda beranjak dari duduknya dan bergegas masuk ke ruangan Saga.

Pria itu mendongakkan kepala diikuti wajah yang lesu. Tidak biasanya Saga menunjukkan rasa lelah. Bibirnya sedikit manyun ketika melihat Wenda baru masuk ke dalam ruangan.

"Kamu kenapa? Kok lemes gitu?" Wenda mempercepat langkah untuk menghampiri Saga.

Tanpa menjawab, Saga menarik tangan Wenda dan membuatnya duduk di pangkuan. Lantas Saga merengkuh tubuh Wenda dalam dekapan.

"Saga! Nanti kalau ada yang lihat gimana?" Wenda menyapukan pandangan ke sekitar. Well, tentu saja tidak ada yang melihat karena mereka berada dalam ruangan terpisah.

"Nggak ada yang ngeliat." Suara berat Saga terasa mendebarkan hati Wenda. Ia semakin mengeratkan pelukan dan merasa sangat nyaman dengan posisi tersebut. "Sebentar aja, Wen."

Wenda menghela napas dan membiarkan Saga memangkunya sambil memberikan pelukan dari belakang. Pria yang di awal pertemuan mereka terlihat galak dan dingin sekarang seperti anak kecil yang sedang minta dimanja.

"Lusa, Kimmy ulang tahun," tukas Saga.

Wenda sedikit menoleh. "Ulang tahun? Ehm, kita mau buatin dia pesta? Atau ajak ke taman bermain aja kayak kemarin? Kimmy kelihatan seneng banget."

"Udah ada acara, Tante Bianca yang buat," jelas Saga dengan nada malas.

"Bagus dong. Kok kamu malah lemes gitu?" Tangan Wenda mengusap lembut kepala Saga yang kini menelusup di bawah ketiak Wenda.

Posisi Wenda berubah miring dan sekarang berhadapan dengan Saga. Ia merapikan rambut Saga dengan jemari.

"Haruskah aku datang?" tanya Saga meminta pendapat.

"Kenapa nggak? Ini ulang tahun Kimmy."

"Aku malas ketemu Papa, Sabiru dan semua tamu undangan yang nggak kenal sama Kimmy. Mereka nggak niat bikin acara ulang tahun Kimmy. Bukan teman Kimmy yang diundang justru teman-teman Papa sama Tante Bianca," terang Saga panjang lebar.

"Sabiru? Kakak ipar kamu?" Wenda memastikan. Tentu ia sudah tahu silsilah keluarga Saga sebelum pria itu bercerita. Pun Wenda juga mendengar jika hubungan Sabiru dan Saga tidak terlalu baik karena mereka berada di kubu berbeda dalam perebutan kedudukan perusahaan.

"Yah, Sabiru Rahardja," jawab Saga malas.

Wendam terdiam beberapa saat. Jemarinya masih memainkan helaian rambut Saga. "Ehm, gimana kalau kamu bilang sama Tante Bianca, tahun ini biar kita yang urus acara ulang tahun Kimmy."

"Aku malas bicara sama dia," jawab Saga singkat.

"Kalau gitu gimana kalau aku yang ngomong sama dia?"

Ide dari Wenda kontan membuat Saga mengerutkan keningnya. Bianca bukanlah orang yang bisa diajak berdiskusi. "Nggak usah deh."

"Ish, kamu meragukan keahlian aku meyakinkan orang ya? Aku ini pernah jadi sales terbaik loh. Kamu pasti udah baca curriculum vitae aku 'kan?" terang Wenda.

"Tapi Tante Bianca bukan orang yang bisa diajak ngobrol," ujar Saga.

"Shhh!" Jari telunjuk Wenda menyentuh bibir Saga. "Udah, biar aku yang urus semuanya."

Senyum Saga tercetak setelahnya. "Kalau ada apa-apa bilang aku."

Wenda menatap Saga lekat-lekat. Kedua tangannya kini mengalung di leher Saga. Ia merasa semua akan baik-baik saja asal bersama Saga. Mungkin ini terlalu cepat untuk menyimpulkan, tetapi begitulah rasa yang tercipta di hati Wenda.

"Aku rasa, aku akan baik-baik aja asalkan sama kamu," ujar Saga.

"Aku juga," balas Wenda sembari menjatuhkan satu kecupan di kening sang kekasih.

Semua masalah yang awalnya menyesakkan dada Saga, kini sementara membuyar. Sekarang Saga hanya ingin menikmati waktu bersama Wenda. Serentetan harapan dirapalkan dalam hati Saga. Wenda bagaikan heroin yang memberikan efek senang seperti mimpi yang penuh dengan kedamaian.

Dengan netra yang menatap Wenda lurus-lurus, Saga berbisik lirih, "semoga kamu selalu disisiku dan tidak pernah pergi."

TO BE CONTINUED....

Selamat siang, Lovelies untuk cerita Saga dan Wenda sudah sampai bab 31 di Karyakarsa. Disana update lebih cepat ya. Selamat membaca ^^

SPOILER :

Kakinya menapaki anak tangga untuk memberikan kejutan pada Wenda yang sedang mengambil tas. Pintu kamar terbuka sedikit dan Saga mendapati Wenda sedang memeriksa penampilan untuk kesekian kalinya.

"Sepertinya ada yang kurang," ujar Saga.

Wenda terlonjak kaget dan menoleh pada Saga yang menyandarkan tubuh di pinggiran kusen pintu. "Kamu ngagetin aja sih!" Lalu kembali bercermin, "apanya yang kurang?"

Saga mengayunkan kaki masuk ke dalam kamar Wenda dan merapatkan langkah. "Coba tutup mata kamu."

"Kamu mau ngapain?" tanya Wenda penuh curiga.

"Udah tutup aja," pinta Saga.

"Kamu nggak mau ngapa-ngapain aku 'kan?" tuduh Wenda sambil melirik tajam pada Saga.

"Astaga. Nggak, emang aku mau ngapain?" Saga tersenyum.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro