Bab 19
"Saga, kamu baik-baik saja?" Suara Ruslan membuat Saga tersentak. Kepalanya sedikit pusing karena semalam tidak bisa tertidur dengan lelap.
Kepala Saga mendongak ke arah Ruslan yang tengah menyesap es americano. Alunan musik Doja cat memenuhi cafe yang mengusung arsitektur industrial.
Suara musik bersatu dengan riuh percakapan beberapa pengunjung yang memenuhi kafe tersebut.
Waktu makan siang sudah lewat, tetapi masih banyak beberapa pengunjung yang menghabiskan waktu di sana untuk membicarakan pekerjaan mereka.
"I'm okay, Om," jawab Saga seraya meluruskan punggung.
"Are you serious? Matamu kelihatan capek kayak gitu? Begadang lagi?" Ruslan yang sudah hafal kebiasaan buruk Saga, langsung menebak. "Kamu ini udah dikasih tahu berkali-kali masih aja bandel. Jaga kesehatanmu, Saga."
Saga hanya mengulas senyuman tipis. Tebakan Ruslan yang biasanya tepat, kali ini salah. Bahkan semalam Saga tidak sempat menyentuh Macbook untuk menyelesaikan pekerjaan. Ia hanya membolak-balikkan tubuh di atas ranjang dengan pikiran terisi penuh soal Wenda. Ini bukan pertama kalinya Saga mencium wanita. Tetapi, efek aneh baru saja dirasakan setelah mengecup bibir Wenda dengan mesra.
"Sepertinya Om harus mencarikanmu wanita yang cocok untuk jadi istri setelah dicampakkan sama Sania." Ruslan mendesah pelan saat rasa dingin americano melewati kerongkongan.
Saga menarik salah satu sudut bibirnya sebagai reaksi. "Om Ruslan nggak perlu repot-repot."
"Kenapa? Kamu sudah mendapatkan penggantinya? Secepat itu?" Ruslan menaikkan salah satu alis tidak percaya.
"Aku dan Sania berpisah karena tidak cocok. Kami sama-sama sudah memiliki pilihan lain, Om." Saga menjeda sebentar ucapannya seraya menghela napas pelan.
"Wooo! Om jadi semakin penasaran dengan wanita itu. Pasti dia yang bisa membuat jantungmu berdebar," tambah Ruslan.
Senyum tipis kembali tersirat di wajah Saga. Benar jika wanita itu bisa kembali membuat jantungnya berdebar. Bahkan hanya melalui ciuman, Wenda seperti magnet yang tidak akan membiarkan Saga terlepas begitu saja.
Aroma gurih bercampur pedas dihantarkan oleh asap tipis yang menguar dari nasi ayam bumbu pedas di meja mereka. Tidak membuang waktu lama, baik Ruslan maupun Saga menyantap makan siang yang sangat terlambat itu dengan lahap. Well, ketika mereka bertemu, maka obrolan mengenai banyak hal bisa menghabiskan banyak waktu.
"Makanan di sana emang nggak pernah mengecewakan," ucap Ruslan seraya mengayunkan kaki menuju ke hotel. Jarak antara kafe yang baru saja mereka kunjungi dengan hotel serta kantor utama Gunawan grup memang tidak jauh.
"Aku langsung keluar ya, Om. Mau jemput Kimmy," tukas Saga seraya melemparkan tatap pada Ruslan.
"Jemput ke rumah?"
"Nggak, jemput ke daycare."
"Ya sudah, hati-hati. Om masuk ambil tas sama kunci mobil dulu." Ruslan menepuk pundak Saga sebelum masuk ke dalam lobi.
Raut wajah Saga sedikit mengernyit ketika mendapatkan tepukan di pundaknya yang sempat terluka. Ia sedikit meregangkan otot pundak dengan membuat gerakan memutar sedikit. Lalu tiba-tiba langkahnya terhenti saat mendapati Wenda sedang berbicara dengan seorang pria di bawah pohon trotoar jalan. Waktu memang sudah menunjukkan jam pulang kerja.
"Dion?" gumam Saga lirih setelah mengamati pribadi pria tersebut. Terlihat mereka sedang bersitegang. Tetapi kali ini Wenda menanggapinya dengan santai.
Setelah beberapa detik kemudian, Wenda membalikkan tubuh dan berjalan dengan ringan. Ia sesekali mengembuskan napas lega. Dadanya terasa longgar setelah sedikit memberikan umpatan pada pria tidak tahu diri seperti Dion.
"Bukankah kamu harusnya bulan madu sama Sofia? Nikmati semua penyesalan kamu itu! Sekarang aku sudah dapat pria yang jauh lebih baik dari kamu!"
Senyum tipis tercetak di bibir Wenda ketika teringat kalimat yang diucapkan dengan penuh percaya diri.
"Wen!" Panggilan dari Dion membuat Wenda mendengus kesal dan menoleh.
"Opo meneh!" (Apa lagi)
"Jangan sampai kamu kecewa!" peringat Dion.
Mendengar ucapan dari Dion, Saga berjalan cepat untuk menghampiri mereka. Ia merangkul pundak Wenda yang kemudian membuatnya sedikit terkejut.
"Saya pastikan, Wenda nggak akan kecewa sama pilihannya," ujar Saga dengan tatapan lurus tertuju pada Dion.
Sementara itu Wenda menatap bengong Saga yang sudah berada di sebelah sambil merangkulnya mesra.
"Kamu tenang aja, saya nggak akan nyakitin Wenda seperti yang kamu lakuin dulu." Suara berat Saga terdengar sangat berwibawa dengan pandangan yang mengintimidasi.
Mendengar penuturan tersebut, jantung Wenda seperti disiram air es setelah membara karena kedatangan Dion. Perkataan Saga lembut di rungu dan membuatnya berbunga-bunga.
"Sadarlah Wenda! Jangan cepat terpengaruh! Ini hanya akting!" Satu kata peringatan berteriak dalam batin Wenda. Ia tidak boleh terbawa suasana yang mungkin akan kembali menghancurkan hatinya.
"Tolong jauhi kekasih saya, sebelum saya bertindak di luar kendali," peringat Saga yang kembali membuat Dion terdiam seribu bahasa. Lalu tangannya meraih tangan Wenda. "Yuk."
Wenda tidak menolak saat Saga mengajaknya berjalan ke parkiran hotel. Ia menurut tanpa bertanya sampai Saga membukakan pintu mobil.
"Masuk," titah Saga.
"Mau kemana?" Wenda tersentak dan badu sadar jika berada di parkiran mobil.
"Jemput Kimmy." Saga lalu berjalan mengitari mobil untuk duduk di belakang kemudi. Sementara Wenda masuk dan meletakkan bokongnya di samping kursi kemudi.
Setelah Fortuner hitam itu melaju beberapa meter, Saga mulai membuka suara. "Ngapain dia nemuin kamu?"
"Soal ciuman kita semalam," jawab Wenda sambil menoleh ke arah Saga dan tersenyum. "Kamu berhasil buat dia kesal."
"Hah! Sekarang aku kasihan sama istrinya. Pernikahan mereka nggak akan bertahan lama kalau kayak gini," tutur Saga menanggapi.
Meskipun ini terdengar jahat, tetapi dalam lubuk hati Wenda yang dalam mengharapkan hal tersebut. Seseorang yang mendapatkan cinta dengan cara merebut maka tidak akan bertahan lama.
Bangunan dengan cat warna-warni yang sudah tampak, membuat Wenda memanjangkan leher. Ia sudah lama tidak bertemu dengan Kimmy dan mulai merindukannya.
"Saga!" Suara nyaring dari ayunan depan Daycare menarik atensi Saga.
Kaki kecil Kimmy berlari hingga membuat kedua rambutnya yang dikuncir dua bergoyang. Pun pipinya ikut bergetar sebab hentakan kaki.
"Saga!" Kimmy melompat ke dalam dekapan Saga. Ia bengong setelah melihat ada sesuatu yang berbeda dengan penampilan sang kakak. "Saga bukan tukang pukul lagi. Rambut pendek rambut."
Saga melirik ke arah Wenda lalu wanita itu mengulum senyum. Ia berhasil memprovokasi Kimmy dan ikut mengatainya seperti tukang pukul.
"Kimmy udah mandi ya?" Saga mengendus ketiak Kimmy, membuat bocah itu terkikik geli.
"Ahhahahaha. Geli Saga!"
Seorang wanita dengan seragam warna jingga mendekat. "Ini tasnya Kimmy. Tadi bekal makan siang dan snack Kimmy sudah habis. Kimmy juga pintar tadi tidur siang tiga jam dan sudah mandi."
"Terima kasih, Bunda," ucap Saga sambil mengulas senyum tipis. Bunda merupakan panggilan semua staf yang berada di Daycare Pelangi.
"Mamacih, Bunda," celetuk Kimmy yang masih bermanja-manjaan dalam gendongan Saga. "Oh!" Kedua mata kecil Kimmy membulat saat menyadari keberadaan Wenda.
"Hai, Kimmy!" Wenda meringis memamerkan deretan giginya yang rapi.
"Kakak! Kakak sama Saga?" cicit Kimmy.
"Iya, Kak Saga yang ajak. Sekarang gimana kalau kita ke taman bermain?" Ajakan Saga kontan membuat Kimmy menjerit kegirangan. Sementara Wenda ikut terkejut tetapi tidak berani memprotes.
"Yeay! Taman bermain! Saga mau beli manis, Arum manis Saga. Boleh?"
"Boleh, Sayang."
Selama perjalanan, Kimmy terus mengoceh sambil bernyanyi dengan lirik yang tidak beraturan. Kedua mata kecil Kimmy mengamati jalanan sambil sesekali tertawa girang. Wajah Saga ikut berseri karenanya.
Wenda mencuri lihat ke arah Saga dan Kimmy secara bergantian. Adik kakak yang memiliki jarak usia cukup jauh itu memiliki senyum sama. Saga juga akan memejamkan mata jika tersenyum lebar. Beberapa kali Wenda melihatnya selama mereka di Bali.
Saga tukang bakso
Mari-mari sini
Atu mau beliii
Kimmy terkekeh setelah menyanyikan lagu dan mulai menggoda kakaknya. Tidak mau kalah dengan sang adik, Saga pun membalas. "Kimmy tukang bakso. Mari-mari sini."
"Bukan gitu lagunya!" rengek Kimmy.
"Kimmy duluan yang mulai."
"Ish! Saga!" Dengan tingkahnya yang menggemaskan, Kimmy mengerucutkan bibir kesal.
"Ya udah, biar Kak Wenda aja yang jadi tukang bakso. Kak Wenda tukang bakso."
Kimmy terkekeh dengan nyanyian Wenda. Senyum Saga ikut tercetak di bibir sambil melirik ke arah Wenda dari ekor mata. Lagu anak-anak yang dimodifikasi mereka itu diulang sebanyak lima kali sampai mereka tiba di taman bermain.
"Yeay!" Kimmy berlari dengan rok tutu warna merah jambu yang melingkar di pinggang.
"Kimmy! Hati-hati." Wenda langsung berlari mengikuti Kimmy dengan sepatu hak tinggi.
Melihat aneka wahana yang disukai, Kimmy tidak bisa menahan diri untuk menjajalnya satu persatu. Pilihan pertama yang menarik perhatian adalah carousel dengan patung kuda ditata melingkar.
Saga memilih untuk menunggu Kimmy dan Wenda di luar wahana sambil mengabadikan momen mereka dalam ponsel. Saga tidak bisa naik wahana berputar seperti itu, karena akan membuat kepalanya pusing.
"Saga!" teriak Kimmy riang sambil melambaikan tangan pada Saga.
Setelah itu, Kimmy yang merasa tidak lelah mengendarai mobil di area bom-bom car. Sekarang giliran Wenda yang mengabadikan kebersamaan Saga dan Kimmy. Senyuman Saga senantiasa tercetak di wajah yang biasanya dingin itu. Bibir Wenda ikut tersenyum melihat keakraban mereka.
Sebelum pulang, Kimmy masih ingin bermain perosotan sambil mandi bola. Wenda yang merasa sedikit lelah, menunggu Kimmy di pinggir kolam bola setelah bermain perosotan sebanyak tiga kali.
Ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Saga. Pun melirik waktu dari arloji yang melilit tangan. Saga sudah pergi cukup lama tetapi belum juga kembali.
"Hah, kemana sih dia pergi!" gumam Wenda kesal.
"Kakak!" Kimmy yang sedang bermain bola di sudut kolam melambaikan tangan pada Wenda.
"Kimmy," jawab Wenda dengan senyuman.
Wenda berjingkat kaget ketika Saga tiba-tiba duduk jongkok di bawahnya. Melepaskan salah satu kaki Wenda dari sepatu hak tinggi yang sedari tadi menyiksa.
"Ka-kamu mau ngapain?" tanya Wenda sedikit tergagap.
Saga tidak menjawab. Ia menempelkan plester di tungkai kaki Wenda yang lecet. Setelah itu memeriksa kaki satunya dan mengeluarkan sepasang sepatu kets.
Kepala Saga mendongak ke arah Wenda. "Pakai ini. Kenapa kamu nggak bilang dari tadi kalau lecet?"
"Ah, aku nggak tahu kalau lecet. Tadi saking senengnya main sama Kimmy," jawab Wenda.
Tanpa meminta persetujuan dari Wenda, Saga memasangkan satu per satu sepatu tersebut. "Lain kali kamu langsung bilang aja kalau ngerasa nggak nyaman."
Wenda cukup terhenyak dengan perkataan Saga barusan. Apa pria itu sedang meminta Wenda untuk selalu bergantung padanya? Kepala Wenda lalu menggeleng samar untuk mengusir segala pikiran yang terlalu percaya diri.
"Terima kasih sudah menemani Kimmy bermain." Jantung Wenda kembali berdesir ketika tangan Saga mengusap puncak kepalanya pelan. "Ternyata kamu selalu bisa diandalkan."
Mendapatkan pujian seperti itu membuat kedua sudut bibir Wenda tertarik ke atas. Sangat membahagiakan.
Dering ponsel membuat Saga bangkit dari posisinya dan menerima panggilan dari sang ayah. "Aku angkat telepon dulu."
Wenda mengangguk. Ia mengikuti arah langkah kaki Saga yang menjauh. Semakin lama sikap pria itu manis dan tidak seburuk dugaannya. Apalagi kalau sedang bersama Kimmy. Bocah berumur tiga tahun itu seperti tali kendali bagi Saga.
["Sebentar lagi rapat pemegang saham. Papa nggak mau tahu, Saga. Kamu harus penuhi janjimu sama Papa. Kamu tahu apa yang sedang kamu pertaruhkan. Kamu harus menjadi pemimpin selanjutnya."] Suara Gunawan terdengar dari balik ponsel.
"Dan memperbaiki semua kesalahan Papa?"
["Saga! Jaga bicara kamu!"]
"Papa juga harus akui. Jika kekacauan dalam perusahaan kita karena ulah Papa. Termasuk adanya monster seperti Sabiru."
["Berhenti menyalahkan Papa, Saga! Kamu harus ikuti kata Papa. Jangan sampai salah bertindak, karena bagaimanapun Sabiru adalah istri dari kakakmu. Jangan banyak membantah dan bikin masalah sebelum peresmian."]
Saga memilih tidak menjawab dan mematikan panggilan begitu saja. Well, sejak dulu memang Saga selalu diminta mengerti semua hal. Namun, tidak ada satupun yang memahami keadaannya.
Embusan kasar lolos dari bibir Saga. Lalu ia berjalan menghampiri Wenda dan duduk di sebelahnya. Menoleh ke arah Wenda dan menatap kedua iris kecokelatan wanita tersebut.
"Kamu siap?"
Salah satu alis Wenda terangkat dan tidak paham dengan pertanyaan singkat itu. "Maksudnya?"
"Siap melanjutkan sandiwara kita, karena acara peresmian semakin dekat," terang Saga dengan nada sedikit lemas. Raut wajah yang semula bersemangat kini berubah drastis. Ada rasa takut terselip di hati.
Kepala Wenda mengangguk. "Yah. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
Saga melemparkan tatapan pada Kimmy seraya menggeser tubuh dekat dengan Wenda. Tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya di pundak Wenda.
"Kamu hanya perlu diam dan membiarkanku bersandar sebentar."
Wenda menelan saliva kasar ketika posisi mereka sangat dekat. Well, meskipun mereka sudah pernah berciuman sebanyak dua kali, tetap saja posisi ini cukup membuat canggung.
"Wen, kamu masih mencintai Dion?"
"Tentu saja tidak. Yang ada aku benci banget sama dia," jelas Wenda. "Kamu sendiri, pernah jatuh cinta? Atau pacaran?"
"Pernah. Tapi dia akhirnya menikah dengan pria asing. Setelah itu, tidak ada lagi yang bisa membuatku jatuh cinta," terang Saga.
"Sampai sekarang?" tanya Wenda lebih lanjut.
"Entahlah, aku tidak begitu yakin untuk menjawab tidak."
Wenda menelan saliva kasar. Ia memilih diam dan mengatur debaran jantungnya yang mendadak tidak karuan.
"Wen," panggil Saga.
"Ya."
"Apa mungkin kamu ingin mencoba hubungan baru lagi setelah disakiti sama Dion?" Pertanyaan itu bukan hal yang luar biasa. Tetapi entah mengapa lidah Wenda terasa kelu untuk menjawabnya. Mungkin itu karena pertanyaan tersebut keluar dari bibir Saga.
TO BE CONTINUED....
Halo, Lovelies. Ada yang kangen nggak sih sama kisah Saga dan Wenda? Hihihi maaf ya aku udah lama nggak update ini. Buat teman-teman yang baca lebih cepat bisa ke Karyakarsa yap. Selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro