Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16


"Pak Saga! Pak!" Suara parau Wenda mengaung dalam vila tersebut. Ia masih menelusuri setiap ruangan untuk kedua kalinya. Tetesan darah di lantai semakin membuat ketakutan Wenda memuncak. Entah apa yang sudah terjadi dengan Saga.

Tangan Wenda bergetar ketika merogoh ponsel dari dalam tas tangannya. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa selain Rizwan. Saga pernah memperingatkan Wenda untuk tidak melakukan hal yang gegabah ketika dirinya tidak ada. Sial! Saga sudah membuat Wenda sangat ketakutan malam itu. Well, hanya orang gila yang akan bersikap santai ketika melihat darah berceceran di lantai. Tidak banyak memang, tetapi tetap saja itu sangat menakutkan.

Kaki Wenda berjalan mondar-mandir sembari menunggu panggilannya kepada Rizwan tersambung. Bagaimana kalau suatu hal buruk terjadi pada Saga? Bagaimana kalau pria itu diculik dan terluka? Bagaimana kalau seseorang memiliki niat jahat pada Saga? Segala pikiran buruk mulai meracau pikiran Wenda. Rasa takut semakin memenuhi batin ketika panggilannya pada Rizwan tidak diangkat.

"Astaga! Pasti ada sesuatu hal yang buruk sama Pak Saga." Wenda menyugar rambut frustrasi. Ia masih mondar-mandir sambil mencari jalan keluar.

Sekali lagi, Wenda menekan nomor Rizwan dan berharap bisa mendengarkan kabar yang menenangkan dari pria tersebut. "Ayo diangkat Pak Rizwan! Aku mohon."

["Halo, Mbak Wenda."]

Ketika suara Pak Rizwan mampir di rungu, kontan Wenda menghentikan langkah kaki seraya mengembuskan napas lega. Well, meskipun belum sepenuhnya lega.

"Pa-Pak Saga menghilang, Pak. Saya pergi villa, tapi Pak Saga nggak ada. Ponselnya ketinggalan di sini ... da - dan ada tetesan darah di lantai, Pak. Saya harus gimana? Apa perlu saya lapor ke petugas hotel?" ujar Wenda tanpa jeda.

["Mbak Wenda, tenang dulu."]

"Atau langsung saja saya telepon polisi, Pak? Saya takut kalau kita terlambat, nanti sesuatu hal buruk terjadi sama Pak Saga." Wenda terus berceletuk tanpa jeda.

["Mbak Wenda tenang dulu."]

"Gimana saya bisa tenang, Pak Rizwan? Pak Saga hilang, dan nggak bisa dihubungi. Nggak hanya itu saja, ada darah di sini. Gimana saya bisa tenang, Pak Rizwan?"

["Mbak Wenda dengarkan saya dulu. Saya tahu Mas Saga ada di mana, dia baik-baik saja."]

"Be-benarkah? Di mana dia?"

["Maaf, Mbak. Saya nggak bisa kasih tahu Mbak Wenda. Tapi yang jelas Mas Saga baik-baik saja. Hanya mungkin malam ini tidak bisa kembali ke villa dan menghadiri pesta para pemilik hotel."]

Wenda bergeming sesaat. Netranya melirik pada tetesan darah yang tidak begitu banyak di lantai. "Te-terus darah ini? Pak Rizwan nggak bercanda 'kan? Pak Saga benar baik-baik saja?"

["Mbak Wenda percaya saja sama saya, Mas Saga bisa melindungi diri dengan baik. Mas Saga sedang ada urusan yang harus diselesaikan."]

Hening. Ingin sekali Wenda bertanya lebih jauh mengenai urusan yang terdengar berbahaya itu. Namun, Wenda harus menahan diri sebab tidak seharusnya ikut campur dalam urusan sang atasan.

["Mbak Wenda. Bisa saya minta tolong?"]

"Tolong apa, Pak?"

["Tolong bersihkan darah Pak Saga yang berceceran di lantai."]

"Akan saya lakukan. Tapi benar 'kan kalau Pak Saga baik-baik saja?" Wenda memastikan kembali. "Pak Saga pasti terluka karena ada darah di sini."

["Hanya tergores saja. Terima kasih Mbak Wenda karena sudah mengkhawatirkan Mas Saga."] Panggilan terputus, Rizwan yang melakukan.

Kedua kaki Wenda mendadak lemas dan tidak bisa menopang berat tubuh. Ia jatuh bersimpuh sambil menengadahkan kepala. Helaan napas kasar berulang kali lolos dari bibirnya. Saga memang pria yang misterius dan penuh rahasia. Entah apa yang sedang ia alami kali ini.

***

Sinar mentari yang masih mengintip dari ufuk timur menemani langkah Saga yang berjalan sambil menyeret kaki. Ia terus memegangi pundaknya yang terasa ngilu. Sesekali ia menggoyangkan lengannya untuk mengurangi rasa sakit. Pukulan dari preman yang menghadang di jalan tadi, membuat tubuh Saga penuh dengan lebam.

Langkah Kaki Saga terhenti, pun diikuti rasa terkejut saat melihat pribadi Wenda sedang tertidur di sofa panjang tanpa selimut. Wanita itu masih mengenakan gaun pesta tali spaghetti yang memamerkan tulang selangka seksinya.

Berusaha agar tidak menimbulkan suara, Saga berjalan perlahan mendekati Wenda. Ia duduk jongkok dengan bertumpu pada satu lutut. Sinar mentari yang mulai menyelinap dari celah-celah gorden menerangi wajah Wenda. Pun angin yang berembus pelan menerbangkan helaian rambut Wenda hingga menutupi sebagian wajah.

Jemari Saga kontan bergerak seperti mendapatkan perintah untuk menyingkirkan helaian rambut yang menutupi paras ayu Wenda. Riasan tipis dengan lipstik warna merah muda glossy masih bertahan di wajah wanita itu.

Tanpa kata. Saga hanya terdiam sambil mengamati paras Wenda lekat-lekat. Sesekali salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Rasa kagum akan kecantikan sang sekretaris bercampur dengan raungan bersalah dalam batin. Karena kejadian yang tidak diinginkan semalam, Wenda harus tertidur semalaman di sofa. Tentu saja tidak nyaman terlelap di atas sofa yang sempit tanpa selimut.

"Kamu pasti ketakutan ya?" gumam Saga dengan nada yang teramat lirih. Iris gelapnya masih menatap Wenda lurus-lurus. "Maaf."

Hati Saga terasa bergetar saat mengetahui sikap Wenda yang manis. Pun ia kembali teringat cerita Rizwan mengenai betapa khawatirnya Wenda. Ini pertama kali bagi Saga dikhawatirkan oleh seseorang setelah sang ibu pergi. Bahkan Sania yang terlihat sangat mencintai Saga, belum pernah melakukan hal tersebut.

Bangkit dari posisinya, Saga berjalan pelan menuju ke dalam kamar. Ia mengambil selimut untuk menutupi tubuh Wenda. Merasa sedikit terganggu dengan gerakan menyelimuti dari Saga, Wenda beringsut. Namun, wanita itu masih memejamkan mata dan melanjutkan tidurnya.

Senyuman tipis kembali terulas di wajah Saga. Sebelum berdiri, tangan Saga sekali lagi bergerak tanpa disadari. Ia mengusap puncak kepala Wenda perlahan. Lalu Saga mengayunkan kaki menuju ke kamar untuk mengobati luka lebam di sebagian wajah dan pundaknya.

Warna ungu kemerahan tercetak jelas di sudut bibir Saga. Pun pundak kanan atasnya juga mendapatkan warna yang sama atas pukulan benda tumpul dari preman asing itu. Saga merasa dijebak dengan kedatangan segerombolan pria berbadan kekar yang tiba-tiba menghadang di jalanan sepi. Mereka seperti sudah bersiap dan menunggu kedatangan Saga.

Setelah melepaskan kemeja, Saga berniat untuk mengobati luka di pundak. Karena lukanya berada sedikit ke bawah, Saga tampak kepayahan. Berulang kali ia berusaha menjangkau luka tersebut, tetapi tetap saja tidak bisa mengoleskan obat dengan tepat.

"Hah." Saga mengembuskan napas kasar.

Ia berusaha sekali lagi dengan memunggungi cermin panjang yang tergantung di dinding. Ia berusaha semaksimal mungkin menolehkan kepala.

"Saya bantu, Pak." Suara Wenda yang tiba-tiba terdengar, membuat Saga terdiam. Ia melemparkan pandangan ke arah cermin dan mendapati wanita itu sedang berdiri di ambang pintu mengamati.

"Sejak kapan kamu berdiri di sana?" tanya Saga dengan ekspresi kaget.

"Sejak Pak Saga kesulitan mengobati luka itu," jawab Wenda singkat. Tanpa banyak bicara ia berjalan mendekati Saga dan meraih kotak obat dari tangannya.

TO BE CONTINUED.....

Selamat malam, Lovelies. Ada yang kangen Saga dan Wenda? Bab 17 sudah diupload di Karyakarsa. Selamat membaca ^^ 

SPOILER : 

"Kimmy cuma punya aku, Wen. Aku akan melindungi dia, meskipun nyawaku taruhannya," tambah Saga.

Air mata pertama Saga yang menetes di hadapan orang lain langsung diusap oleh Wenda. "Kamu nggak sendiri. Aku akan ikut jaga Kimmy."

Bibir Wenda mengucapkan kalimat itu tanpa berpikir. Seakan ada dorongan dalam hati untuk ikut serta meringankan beban Saga. Bersamaan dengan ucapan serta sentuhan Wenda, jantung Saga kembali bergetar. Setelah sekian lama jantung itu mati rasa, kini perlahan menampakkan debarannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro