Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10


Jemari Wenda masih berselancar di layar ponsel sambil meneliti nama hotel dalam kota. Ia memperhatikan dengan seksama jumlah kamar yang tersedia melalui online travel agent. Namun, sudah sebanyak sepuluh hotel bintang yang menurut Wenda nyaman untuk Saga ternyata penuh. Well, mungkin dikarenakan malam minggu, sehingga banyak yang ingin menghabiskan waktu untuk bersantai sejenak di penginapan.

Wenda menggigit bibir bawah sambil sesekali melirik ke arah Saga yang sedang fokus mengemudikan mobil rentalnya. Alih-alih menggunakan mobil operasional yang ditawarkan oleh Jaka, Saga lebih memilih mobil rental agar tidak m

engganggu aktivitas Lovey Inn. Ia memang tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk kepentingan diri sendiri.

"Gimana, udah dapat belum hotelnya?" tanya Saga sambil memutar kepala ke arah Wenda.

Dalam gerakan yang bersamaan, Wenda ikut melemparkan tatapan ke layar ponsel sebelum bertatap muka dengan Saga. Ia tidak ingin kepergok Saga jika sedang mencuri lihat. Melihat Saga menyetir untuknya saja sudah sedikit membuat canggung. Well, tidak ada pilihan selain duduk di kursi samping Saga. Tentu saja Wenda tidak ingin Saga seperti supir jika ia duduk di kursi penumpang.

"Ehm, saya masih cari, Pak," ujar Wenda yang sudah sampai di baris paling bawah. Hanya tersisa hotel melati yang menawarkan penginapan dengan harga ramah. "Pak Saga mau hotel yang seperti apa?"

"Yang penting nyaman," jawab Saga sambil mengamati bangunan candi prambanan yang berdiri gagah di kiri jalan. Ia pernah sekali mengunjungi tempat bersejarah antara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso itu ketika berumur 8 tahun. Saat itu ia bersama keluarga besarnya yang berasal dari Solo. Sebagai agenda perpisahan sebelum Saga dan keluarga pindah ke Jakarta untuk menetap.

Wenda memutar matanya sambil berpikir keras. Jawaban dari Saga sama sekali tidak memberikan solusi. Pasalnya Wenda tidak mengetahui tingkat nyaman Saga itu seperti apa. Bukankah tingkat nyaman seseorang itu berbeda? Wenda akan nyaman di tempat yang bersih meskipun sempit, asal harganya ramah di kantong.

"Ini masih lurus?" tanya Saga yang membuat Wenda terkesiap.

"Ehm ... ini masih lurus, Pak." Wenda memajukan tubuh sambil memperhatikan jalanan yang hampir setahun tidak dilaluinya. Terakhir kali Wenda pulang kampung, lebaran tahun kemarin. "Nanti belok ke kanan setelah lampu merah kedua, Pak."

"Kamu yakin?" Saga ragu dengan nada bicara Wenda yang kurang meyakinkan.

"Yakin, Pak. Saya masih inget kok jalan ke rumah saya," jawab Wenda.

"Jangan sampai kamu bikin saya tersesat, ya," tambah Saga dengan tatapan datar tanpa ekspresi.

Wenda hanya mendengus menanggapi ucapan Saga. Meskipun baru saja melakukan kebaikan untuknya, sikap Saga sama sekali tidak ramah. Masih saja ketus, dingin dan sedikit menyebalkan.

Ingatan Saga tampak bagus. Ia mengingat petunjuk arah yang diberikan oleh Wenda tanpa perlu bertanya lagi. Fortuner hitam yang dikemudikan oleh Saga memasuki jalanan yang menyempit, hanya bisa dilalui oleh dua mobil yang berlawanan arah tanpa bisa menyalip.

Hamparan sawah dengan padi yang masih hijau terasa menyegarkan mata Saga. Biasanya ia hanya akan melihat bangunan yang menjulang tinggi ke angkasa dan mobil dengan asap knalpot yang penuh dengan polusi. Dada Saga sering terasa sesak karena sulit untuk mendapatkan oksigen. Well, hal tersebut karena pepohonan penghasil oksigen banyak yang ditebang demi memuaskan hasrat manusia untuk pembangunan. Sama seperti keluarga Saga yang selalu memperluas kerajaan bisnis dengan menambah bangunan hotel di beberapa kota.

"Saya mau di setiap hotel yang akan dibangun nanti ada taman dan banyak pepohonan hijau, biar sejuk." Saga menjeda ucapannya yang kemudian membuat Wenda menoleh.

"Ide yang bagus, Pak. Jadi kelihatan lebih asri dan teduh," ujar Wenda memberikan tanggapan. Setelah itu iris cokelat gelapnya menyapu ke jalanan yang cukup sepi. Hanya ada beberapa mobil dan motor yang melintas. Pun ada seorang pria paruh baya tampak mengayuh sepeda dengan muatan rumput dengan suka cita, tampak menikmati rutinitas tersebut.

"Pak itu ada gapura langsung masuk saja," ujar Wenda menunjuk gapura dengan tulisan desa Cawas di bagian atasnya.

Mendengar petunjuk arah dari Wenda, Saga memelankan laju mobil lalu memutar kemudi. Ia menurunkan kecepatan mobil karena sudah memasuki area pedesaan. Banyak anak kecil yang berlalu lalang dengan sepeda kayuhnya. Beberapa wanita paruh baya juga tampak bercengkrama di depan rumah sambil menyuapi balita mereka. Sesekali mengamati mobil gagah Saga yang melintas sambil melemparkan pertanyaan satu sama lain. Ingin tahu siapa pribadi yang berada di dalam mobil tersebut.

"Pak perempatan itu belok kanan ya," pinta Wenda.

Saga tidak banyak berkomentar dengan jalanan kampung Wenda yang cukup sempit itu. Beberapa kali Saga memelankan laju mobil agar spionnya tidak membawa kabur pakaian yang dijemur di tanaman pagar.

Mobil Saga belok kanan mendahului mobil yang juga akan ke arah yang sama, kedua mata Wenda melebar ketika mengenali mobil putih dengan plat yang tidak asing itu. Kepala Wenda ikut berputar saat mobil Saga terus menjauh.

"Pak, bisa berhenti sebentar?" pinta Wenda yang membuat dahi Saga berkerut tidak paham.

"Mana rumah kamu?" tanya Saga menyapukan pandangan ke kanan dan kiri.

"Disitu, Pak." Kedua mata Wenda hanya tertuju pada Pajero putih yang biasa digunakan Dion untuk touring mobil bersama klub mobilnya. Ia biasa keliling beberapa kota, salah satunya di Yogyakarta atau Solo. Ia segera mengayunkan kaki turun dari mobil setelah melepaskan seat belt. Sementara itu Saga hanya bisa diam dalam kebingungan sambil melihat pribadi Wenda yang berjalan dan mengetuk kaca mobil tersebut dengan raut wajah menahan amarah.

Saga tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh Wenda dengan pria itu. Namun, terlihat sangat jelas jika mereka sedang mendebat sesuatu. Ekspresi Wenda yang selalu tampak ceria dan bahagia, kini berubah seketika. Kedua mata yang biasa berbinar diikuti lengkung tipis dari sudut bibir, sekarang menjatuhkan air mata penuh rasa pilu. Bibir Wenda terlihat bergetar diikuti dada yang naik turun. Wanita itu tampak bersusah payah mengatur emosinya. Ia menghapus air mata kasar sambil mengembuskan napas kasar sebelum kembali masuk ke dalam mobil.

Nada pengingat pesan pada ponsel, membuat Saga mengalihkan perhatian dari Wenda sejenak. Ia membuka pesan dari nomor yang sengaja tidak disimpan itu.

From : +62821 4456 2121

Jangan buat semuanya jadi rumit.

Setelah membaca pesan singkat tersebut, Saga lantas menghapusnya dan bersikap tidak peduli. Pintu samping kemudi terbuka lalu Wenda masuk dan meletakkan bokong di sana.

"Maaf Pak, tadi teman saya. Sekarang lurus saja, Pak Saga," ucap Wenda dengan senyuman yang tercetak di wajah. Ia kembali berpura-pura jika tidak ada hal buruk yang terjadi. "Rumah cat kuning gading itu, sebelah kanan."

"Oke," jawab Saga sambil kembali melajukan mobilnya pelan. Sementara itu Wenda masih mengamati Pajero putih yang memutar arah lantas pergi begitu saja.

"Ini rumah saya, Pak. Itu Bapak sama Ibu Saya." Wenda menunjuk ke rumah dengan pekarangan luas. Tampak dua pasangan paruh baya sedang menata snack pada meja yang ditata memajang di teras rumah. "Turun dulu, Pak. Saya kenalkan sama Bapak dan Ibu saya."

"Turun?"

"Iya." Wenda mengangguk antusias. Melihat Saga yang masih enggan beranjak, ia langsung membuka seat belt yang mengikat tubuh Saga. "Bapak 'kan nganter karyawan bukan anak kucing."

Wenda segera mengayunkan kaki dan turun dari mobil. Langkah kakinya semakin cepat ketika menghampiri orang tuanya dan berteriak memanggil nama mereka. Wajah Wenda terlihat sangat bahagia.Tergambar jelas jika wanita itu sudah menyimpan kerinduan cukup lama, persis seperti cerita dari Hesti. Beberapa hari yang lalu Hesti sempat bercerita jika Wenda terpaksa menunda rencana pulang kampung karena biaya.

Awalnya Saga tidak peduli. Tetapi setelah melihat Wenda terisak di dalam kantor seorang diri dan semangkuk bubur ketika ia sakit, mampu menggerakkan hatinya.

"Ah, anggap aja ini ucapan terima kasih karena bubur," ujar Saga sambil menggelengkan kepala. Ia tengah mengusir kata tidak masuk akal yang akan muncul di dalam benak atas tindakannya itu.

"Ibu! Bapak!" teriak Wenda sambil memberikan pelukan kepada orang tuanya. Wanita paruh baya dengan rambut sebahu dan daster bunga-bunga tersebut menciumi kedua pipi Wenda. Pun Bapak Wenda ikut memberikan ciuman. Ia sangat rindu dengan putri semata wayangnya yang jarang pulang karena tengah mengadukan nasib ke ibu kota.

"Loh, Nduk. Siapa itu?" tanya Maryati ketika melihat pribadi Saga yang baru saja keluar dari mobil dan melangkah pelan. Didik juga ikut melemparkan atensi pada Saga.

"Oh, itu bosnya Wenda, Bu. Tadi ada acara di Yogya, terus Pak Saga kasih izin Wenda buat mampir ke rumah," jelas Wenda.

"Loh, bos kamu bukannya Dion?" Salah satu alis sang ibu terangkat ke atas.

Wenda terkesiap. Ia hampir lupa jika belum mengumumkan kegagalan pertunangannya kepada keluarga.

"Wenda dapat tawaran yang lebih bagus. Sekarang nggak satu kantor sama Dion. Lebih enak gini justru, Bu."

Netra Maryati memindai penampilan Saga dari ujung kaki hingga puncak kepala. Kemudian ia tersenyum, "Ganteng, Wen. Masih muda, kayaknya baik."

"Permisi." Bibir Maryati seketika mengatup sebelum memberikan puluhan pujian mengenai pandangan pertama ketika melihat Saga. Ia melengkungkan bibir lalu ikut menundukkan kepala setelah Saga terlebih dahulu melakukannya.

"Iya, monggo-monggo, silahkan. Aduh gubuknya Wenda cuma kayak gini, Pak. Monggo pinarak mlebet (Silahkan masuk)." Maryati langsung mempersilahkan Saga untuk masuk dan duduk di kursi kayu yang terpasang di ruang tamu. Beberapa foto masa kecil Wenda tampak tergantung di dinding sambil memegang beberapa piala. Giginya yang ompong diperlihatkan tanpa malu-malu.

"Terima kasih, Bu." Saga meletakkan bokong di kursi setelah mendapatkan perintah.

"Mau minum apa, Pak? Kelapa muda ya?" Maryati menawarkan. Di teras rumah Wenda ada beberapa butir kelapa hijau yang tergeletak rapi.

"Ya, Bu," jawab Saga singkat.

Maryati lantas keluar dari ruang tamu dan meminta sang suami untuk memecah kelapa muda untuk Saga. Sementara itu ia tampak menata beberapa gorengan di atas piring. Sesekali wanita paruh baya itu tergelak tawa ketika Didik berceletuk, tampaknya sedang bercanda. Pemandangan yang sangat jarang didapati oleh Saga pada orang tuanya. Terakhir kali mereka terlihat harmonis ketika usia Saga menginjak 10 tahun. Setelah itu semua yang ditampilkan hanya topeng saja.

"Ibu buka katering buat nambah pemasukan. Setelah Bapak kena PHK, mereka memutuskan jualan gorengan sama es kelapa muda kalau sore." Wenda yang baru saja muncul dari dalam rumah menjelaskan. Ia meletakkan aneka buah potong di hadapan Saga. "Maaf ya, Pak. Kalau rumahnya kecil dan kurang nyaman."

"Lebih nyaman daripada rumah saya," jawab Saga tanpa ekspresi.

Wenda tidak memberikan tanggapan akan kalimat yang baru saja terucap. Untuk mengusir kecanggungan, ia mencari topik pembicaraan yang lain. "Pak Saga, makasih."

"Untuk?"

"Sudah ngizinin saya buat jenguk Ibu sama Bapak," tutur Wenda. Sekarang ia duduk berhadapan dengan Saga.

"Kebetulan saja lokasinya dekat. Bukan satu hal yang besar."

"Tetap saja, Pak. Saya sangat berterima kasih."

"Ini es kepala muda pakai gula arennya, Pak. Silahkan diminum." Maryati datang dengan nampan berisi es kelapa muda dan beberapa risoles yang tertata rapi di piring. "Ini ada risol mayo buatan saya. Silahkan dicicipi, Pak. Masih hangat."

"Terima kasih banyak, Bu." Saga lantas mengambil satu risoles dan menggigitnya. Campuran mayones dan saus terasa pas dan tidak berlebihan. Isian telur dan sosis juga tidak pelit. "Wah, ini enak Bu. Sepertinya chef saya harus belajar resepnya."

Wenda tampak kaget dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh Saga. Ini pertama kali Saga tersenyum dengan ramah selain kepada klien. Biasanya wajah Saga terlihat lempeng dan lurus-lurus saja.

"Oh ya? Kalau gitu ini bisa dihabiskan." Maryati mendekatkan piring dengan gambar bunga di pinggirnya kepada Saga.

"Bu, ada yang borong risolesnya." Suara Didik membuat Maryati menoleh ke ambang pintu.

"Saya permisi dulu, Pak. Ada yang mau beli gorengan," ujar Maryati yang lantas melemparkan tatapan kepada Wenda. "Wen, temani Pak Saga dulu yo."

"Njih, Bu," jawab Wenda santun. Lalu ia tersenyum ketika Saga tampak menikmati gorengan dan minuman yang dihidangkan oleh ibunya. "Pak Saga nggak lagi pura-pura suka sama masakan ibu 'kan?"

"Nggak. Ini enak beneran kok," jawab Saga sambil menggigit kembali risolesnya. Melarutkan lumatan makanan berminyak itu dengan air kelapa muda dan melemparkan tatapan kepada Wenda. "Tanpa kita sadari, semua orang itu suka berpura-pura."

Iris Wenda mengikuti gerak jari Saga yang menunjuk ke punggung Didik, terlihat dari balik jendela. "Ada seorang ayah yang pura-pura tersenyum, meskipun merasa bersalah karena sudah membebani keluarganya." Lalu jari Saga berpindah kepada ibu Wenda. "Ada seorang istri yang pura-pura kuat untuk membantu perekonomian keluarga, meskipun dia adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung. Dan ..."

Wenda terbeliak ketika jemari Saga menunjuk dirinya. "Dan?"

"Dan ada anak yang pura-pura tersenyum, meskipun sedang menyembunyikan kesedihan. Dia sedang pura-pura menampilkan sisi bahagia dan menyimpan semua kesedihan seorang diri," tukas Saga.

Wenda meneguk saliva. Semua yang diucapkan Saga tidak ada yang salah. Ia memang tidak ingin menambah kesedihan keluarga dengan menceritakan pengkhianatan Dion dan gagalnya rencana pernikahan mereka. Lalu Wenda melemparkan tatapan pada Saga yang sedang meneguk air kelapa muda. Saga terlihat kuat dan tidak mudah roboh. Ia selalu berdiri tegap dan menyelesaikan semua masalah kantor dengan cepat. Namun, apakah Saga memang sekuat itu?

Rintik air jatuh terdengar jatuh ke atas genteng rumah. Semakin lama suaranya terdengar bergemuruh dan berisik. Mengisi keheningan yang beberapa menit lalu sudah tercipta sebab ucapan Saga.

"Wen, nanti kamu menginap 'kan?" tanya Maryati yang kembali masuk dengan satu piring getuk goreng dan menyajikannya di depan Saga.

"Iya, Bu. Besok baru balik ke Jakarta." Wenda baru ingat belum memesankan kamar untuk Saga. Ia segera merogoh ponsel untuk mencarikan hotel yang nyaman untuk atasannya itu.

"Pak Saga nginep di sini aja. Nanti bisa tidur di kamarnya Pradipta." Ajakan Maryati membuat daging kelapa muda yang baru saja ditelan oleh Saga tersangkut di kerongkongan.

"Nginep, Bu?" Wenda terbelalak kaget.

"Iya, nanti Ibu masakin makan malam sekalian, besok bisa jalan-jalan di sekitar sawah buat cari udara pagi. Biar seger sebelum balik ke Jakarta," tambah Maryati.

"Tapi, rumah kita terlalu kecil untuk Pak Saga, Bu. Pasti nggak nyaman," ucap Wenda sembari melirik ke arah Saga yang justru melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. Terlihat sama sekali tidak keberatan."

"Boleh, kalau tidak merepotkan, Bu." Jawaban dari Saga kontan semakin melebarkan kelopak mata Wenda.

"Tentu nggak merepotkan. Nanti biar Bapaknya Wenda izin ke pak RT kalau ada tamu yang mau menginap," jelas Maryati dengan semringah.

TO BE CONTINUED.... 

Selamat pagi, Lovelies. Wenda dan Saga akan menemani kalian menyambut tahun baru. Selamat membaca ^^ 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro