Episode 5
-F. Septra Ardinanto.-
***
Semenjak perkelahian waktu itu, gua sudah di pastikan pindah dari sekolah lama gua ke sekolah tempat Azgar menuntut ilmu. Bunda marah besar sampai nangis sewaktu di panggil ke sekolah untuk rapat bareng ibunya Sigit, dan Yuda, bahkan satu sekolah jadiin gue tontonan karena kepala sekolah ngejemur gua sama kedua sahabat gua di tengah-tengah lapangan pas siang hari bolong.
Semenjak hari itu ayah yang jarang banget marah ke gue pun mendadak tegas dan kasih hukuman ke gua untuk cuci semua sepatu yang ada di rumah, di tambah lagi selama seminggu harus ikut ayah gua kemanapun dia pergi, enak sih dapet makan, ketemu tante-tante cantik, tapi tetap aja gua gak suka, ayah memperlakukan gua kayak pembantu, bener-bener keterlaluan, padahal baru dua hari setelah bunda di panggil buat ke kantor, tapi rasanya udah mirip kayak satu tahun lamanya.
Keadaan mas gua udah juga mulai membaik setelah terakhir kali kami berdua ngobrol di kamar waktu itu. tetapi ada yang aneh sama mas gue yang satu itu, rasanya dia jadi lebih tertutup walaupun tingkah ngeselin sekaligus sok cool nya makin menjadi, herannya gua malah makin terkesima sama gayanya itu, dan berharap gua bisa kayak dia.
Kemarin Paman Rama datang ke rumah, bilangnya mau ngomongin bisnis sama Ayah, tapi berujung di kamar mas Azagar pas ayah keceplosan kalau mas gua itu kemarin habis mimisan terus pingsan. Kenapa gue bisa tau? Karena gua ikut masuk ke ruang kerjanya beliau, inget kan gua di hukum, di hu ku m.
Bunda masih belum tau kalau mas gua itu mimisan waktu pulang terlambat, dan anehnya juga ayah terkesan nutupin dan bertingkah semua baik-baik aja. Kalau di tanya gua bingung atau enggak, gua akan jawab, bingung! Coba aja kalian pikir, kenapa ayah, seorang *butri; bucin istri sampai rela bohong ke bunda yang notabennya wanita satu-satunya yang ada di hidup ayah?
Menghela napas, gua membuka tiga kancing seragam yang gua gunakan lalu duduk di barisan paling belakang untuk bersembunyi. Ya, kalian benar, Gua sudah pindah ke SMA PRADITOR, dan setiap hari naik sepeda bareng Azgar, atau kadang gua nebeng sama dia kalau lagi gak pingin naik sepeda.
Jadi murid baru nyatanya nggak menghindarkan gua dari berbagai macam masalah, contohnya kayak hari ini, semua siswa ngeledekin gua dan terus nantangin gua untuk ngeladenin mereka ribut satu persatu di lapangan indor sekolah.
Kalau sekolah ini nggak punya koneksi langsung ke ayah, bunda, bulek Tania, dan Pakle Gilang, dengan senang hati, gua memberikan tinjuan maut gua untuk mereka semua, dan gua pastiin gak akan menahan diri untuk meninju wajah siswa tadi. siswa yang mengaku sebagai jagoan di SMA PRADITOR, aslinya nol, jangankan berantem, nembak cewek aja dia di tolak, lucunya ceweknya malah kepincut sama kharisma gua dan Mas Azgar.
Menghela napas panjang, gua menyelonjorkan kedua kaki kedepan dengan kedua tangan yang di lipat di depan dada. Jujur aja, gua lebih suka bebas daripada di kekang begini. Kata siapa, hidup jadi anak orang kaya itu enak, gua yang ngebantah itu duluan, hidup tercukupi, apapun yang kalian mau tinggal sebut, berapapun yang kalian minta bakal di kasih, DARI BATU KAPUR!
Gua minta apapun harus berusaha dulu, kalau masih nggak bisa ya tunggu sampai apa yang gua kejar ada di tangan, baru ayah sama bunda kasih barang yang gua mau. Nyatanya nggak selamanya jadi anak orang kaya yang tajir melintir itu enak, teman-teman gua dulu di sekolah yang lama, nyatanya mereka nggak dapet kasih sayang dari kedua orang tuanya yang sibuk sama bisnis, bisnis, bisnis.
Gua paham, nggak semua orang tua yang sibuk sama bisnisnya bakalan mengabaikan anak-anak dari pernikahan mereka, gak semua okay? Gua hanya mengambil contoh dari beberapa teman gua yang besar karena kasih sayang mbak yang mengurus mereka dari kecil sampai besar.
Kenyataan aja, semua yang di limpahkan bukan kasih sayang, tapi duit. Untungnya, ayah sama bunda masih bisa bagi waktu mereka buat keluarga, walaupun bunda kadang harus dinas di pelosok daerah untuk bantu korban bencana alam dan lain sebagainya, walaupun begitu, bunda pasti bakalan terus mantau gua sama Azgar.
Ayah pun juga sama, beliau yang paling kerja mati-matian, walaupun wajahnya kesannya serius terus, tapi dia yang paling bisa di andelin di setiap masalah. Gua ingat dulu, sewaktu gua masih kecil, waktu itu gua demam tinggi efek kangen sama bunda yang lagi dinas di luar kota, kebetulan juga ayah lagi ketemu client di luar kota, Azgar langsung hubungin ayah saat itu juga, dan hebatnya nggak ada tiga jam ayah sudah ada dirumah dan langsung bawa gua ke dokter.
Gua terdiam lama, kadang gua merasa terlalu emosian, tetapi di sisi lain gua juga ngerasa kalau gua terlau perasa sampai melow sendiri, kayak sekarang ini. pintu kelas terbuka lalu menabrak dinding terdengar sampai ke telinga gua yang duduk di barisan paling belakang, tersembunyi dengan apik di deretan kursi dan meja berjejer rapih menyembunyikan tubuh tinggi gua.
"Ada yang lihat Freza nggak?"
Gua masih diam saat mendengar suara kak Faris dari depan kelas. Hari ini gua berusaha sembunyi biar nggak kepancing emosi, tapi malah ketemu sama Faris yang sifat bar-bar nya nggak ketulungan, padahal kalau deket sama Mas Azgar dia jadi orang yang paling tenang, apa ini pencitraan?
Mendongakkan kepala, gua melihat kak Faris sudah berdiri tiga meja dari tempat duduk gua saat ini. sebelah alis terangkat, gua menunggu kakak kelas itu bicara, mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke kelas gua sampai membuka pintu dengan cara buruk.
Selama menunggu kak Faris bicara, gua mengancingkan seragam yang sebelumnya terbuka. Panas matahari belakangan ini benar-benar membakar kulit, entah itu hanya gua yang merasa atau semua orang juga merasakan hal yang sama. Bahkan bunda sampai memperingati untuk menggunakan body lotion dan topi sebelum pergi keluar rumah.
"Azgar," kedua alis gua terangkat tinggi saat mendengar kak Faris menyebut nama Azgar. "Lapangan indor, Azgar ribut sama orang yang ngajakin lo berantem."
Pada saat itu juga kedua mata gua membola saat mendengar kalimat lengkap yang kak Faris ucapkan barusan membuat gua reflek berlari keluar kelas bahkan menabrak bahu kakak kelas gua itu keras, yang ada di kepala gua saat ini adalah gimana keadaan Azgar, kalau sampai dia kenapa-kenapa bukan siswa itu yang di habisi oleh ayah dan paman Riad, tetapi gua!
Berlari sekuat dan secepat mungkin, gua yang sudah hafal di luar kepala setiap sudut sekolah dengan cepat menemukan lapangan indor yang di maksud oleh kak Faris, selain hafal ruangan ini, alasan lainnya klasik abis, gua lihat semua siswa dan siswi berkumpul di depan pintu untuk menyaksikan keributan yang terjadi di dalam.
Gua menyelinap masuk melewati kerumunan orang-orang yang terlalu banyak dan gak punya otak kayak mereka. Sampai Azgar kenapa-kenapa orang pertama yang gua habisin pertama kali adalah siswa tadi, dan yang kedua kak Faris, itu yang terlintas di kepala gua untuk saat ini. Saat berhasil masuk, yang gua lihat adalah Yuda, dan Sigit berusaha memisahkan Azgar dan siswa tadi, namun geng dari siswa itu malah menghajar Yuda dan Sigit sampai kedua sahabat gua itu luka-luka.
"BEGO KALIAN SEMUA!" teriak gua setelah melayangkan pukulan ke pipi siswa yang ingin memukul wajah Azgar, masih siswa yang sama mengajak gua untuk berkelahi di dalam lapangan indor saat sebelum istirahat tadi.
Napas gua nggak teratur sama sekali, malah terkesan memburu dengan dada yang bergerak naik turun. Emosi benar-benar bersarang pada diri gua, mungkin jika di ibaratkan Azgar itu air, sedangkan gua itu api yang mampu berkobar kapan saja dan dimana saja, sekali tersentuh benar-benar terkena luka bakar parah yang artinya patah tulang atau babak belur saat emosi gua nggak terkontrol seperti sekarang.
Menghampiri siswa yang saat ini meringis kesakitan dengan tangan kirinya di pipi. Mencengkram kerah seragam, gua berusaha fokus saat membaca bordiran nama yang berada di sebelah kanan lalu kembali menatap siswa tadi dengan tatapan mengintimidasi sekaligus menusuk.
"Lo mau jadi jagoan disini, yakin?" tanya gua dengan nada berat. "Gue berusaha buat nggak kena masalah di sekolah ini, tapi lo malah mau mukul Azgar kayak tadi? yang boleh mukul dia cuma gue, Septra!"
Mendorong siswa tadi sampai tertidur di lapangan indor, gue menginjak dada siswa tadi dengan pandangan datar, benar-benar menulikan pendengaran saat orang itu meminta tolong dengan kedua tangan yang berusaha mengangkat kaki gue agar menjauh dari dadanya.
"Ini yang lo bilang jagoan?" tanya gua kali ini dengan tangan kanan yang terulur kebelakang, menghentikan Yuda, Sigit, dan Azgar yang bergerak mendekat untuk menghentikan apa yang sedang gua lakukan pada siswa itu. "Urusan lo sama gue belum selesai, kita lanjut diluar Di."
Setelah mengatakan hal itu gua benar-benar keluar dari lapangan indor dengan emosi yang masih bercokol di dalam hati, ternyata cuaca juga mampu mempengaruhi kerja otak dan amarah, seperti yang gua alami saat ini.
Nyatanya, sekuat apapun gua menahan diri untuk tidak terpancing emosi seperti tadi, jika menyangkut orang terdekat, tersayang, atau masih memiliki ikatan keluarga, tetap saja emosi mudah tersulut, seperti sumbu kompor yang terkena minyak tanah, cepat terbakar.
----
Gua benar-benar sembunyi dan merelakan satu pelajaran kesukaan gua, yaitu Bahasa Inggris. Emosi masih memenuhi hati dan pikiran, percaya atau nggak sejak tadi yang ada di kepala adalah gimana caranya membalas semua perlakuan Aldi and the gank tanpa ketahuan ayah, bunda, kakak gua, dan kedua sahabat gua itu.
Mengusak rambut kasar, gua berusaha keluar dari gudang tempat penjaga sekolah menyimpan meja, kursi, dan yang lainnya di dalam sini. Sekolah ini termasuk keren dan ngebuat bangga karena semua meja dan kursi masih buatan dalam negri, nggak kayak beberapa sekolah yang mengimport barang-barang dari luar negri.
Sejak istirahat pertama sampai ingin masuk jam Sholat, gua bersembunyi di dalam gudang ini dan betah berlama-lama karena udaranya yang dingin dan minim debu, walaupun tidak memiliki penerangan yang cukup, sebetulnya penerangannya bagus, terdapat lampu di tengah langit-langit ruangan. Namun, saat gua menyalakan lampu ruangan ini, lampunya meledak dan sukses membuat gua terkejut setengah mati, untungnya gua nggak latah seperti pak Sahrul, salah satu pekerja di rumah kami.
"Gua harus apa sekarang, balik ke kelas pas emosi lagi di ubun-ubun gini? Yang ada di tendang ulang aling sama guru yang ngajar karena nggak fokus," kataku gusar, tangan yang sebelumnya mengacak-acak rambutpun kini beralih fungsi untuk menjambak rambut sendiri.
Kebiasaan buruk saat emosi gua sedang berada di puncaknya. Gua nggak tau kebiasaan ini mirip sama siapa, tapi yang jelas sifat gua yang emosian ini mirip sama ayah. Semenjak pakle Gilang pindah ke Jakarta, pakle cerita banyak tentang ayah yang dulu selalu berantem sama orang-orang yang bertindak semena-mena kayak Aldi tadi, bahkan yang gua dengar, ayah dulu pernah ngebuat beberapa preman babak belur sampai memberikan lowongan kerja agar mereka berhenti melakukan pencurian dan penodongan, dan yang membuat lebih mengejutkan lagi adalah, beberapa preman itu sudah bekerja lama di rumah, salah satunya pak Sahrul.
Menghela napas kasar, gua meloncat turun dari atas meja yang di pepetkan pada tembok. Tujuan utama kali ini adalah kamar mandi, efek terlalu lama di dalam ruangan dan minum air kebanyakan, panggilan alam mulai menyebut nama gua berkali-kali untuk se-segera mungkin pergi ke kamar mandi, sebelum hal yang memalukan terjadi.
Keluar dari gudang, gua terus melangkah melewati setiap ruangan yang membuat beberapa siswa betah berlama-lama di sekolah sampai sore hari. selain lingkungan sekolah yang asri dan menyejukkan, sekolah ini benar-benar memfasilitasi para siswa dan siswi untuk mengembangkan bakat minatnya.
Beberapa diantaranya, di sekolah ini memfasilitasi untuk siswa dan siswi yang menyukai dunia photography, dan ekskul tari daerah, sekolah benar-benar menyediakan guru untuk mengajarkan siswa dan siswinya. Sebelum pergi ke kamar mandi, gua menyempatkan diri untuk mengambil seragam baru dan handuk kecil yang tersimpan di loker, setelah itu bergegas pergi ke kamar mandi, karena panggilan alam semakin meraung bahkan menjerit di dalam kepala gua.
Langkah kaki gua terhenti saat mendengar suara jeritan tertahan dari dalam kamar mandi siswi yang berhadapan dengan kamar mandi siswa. Melirik melalui bahu kearah kamar mandi, gua memberanikan diri untuk masuk kedalam kamar mandi karena mendengar suara gelak tawa jahat seperti sinetron yang di tonton oleh Bu Ngatiyem saat menyiangi sayuran yang akan dimasak setiap pukul 10 pagi.
Saat masuk kedalam kamar mandi, gua benar-benar di buat diam saat melihat salah satu siswi menggunting seragam seorang siswi lainnya yang saat ini berusaha melindungi tubuh bagian depan dengan cara memeluk tubuhnya sendiri dengan menangis sejadi-jadinya.
Sialan banget ya, kenapa hari ini semua orang nyebelin di sekolah ini pada keluar semua sih, kenapa juga harus bareng-bareng keluarnya!! Jerit gue dalam hati.
Panggilan alam yang sebelumnya menggedor, berteriak, bahkan menjerit di dalam kepala, dan perut gua pun sirna seketika saat melihat teman dari siswi itu hendak menahan tangan gadis itu agar tidak memeluk diri sendiri. Mengeluarkan ponsel, gua langsung menekan ikon kamera dan merekam tindakan tidak terpuji dari ke empat siswi yang gua perkirakan adalah kakak kelas.
"Wah, halo! waah.. wah.. kakak-kakak hitz lagi ngapain temennya tuh? Bilangin guru ah, atau kasih tau ke kepala sekolah sekalian?" gua benar-benar merekam itu di dalam ponsel untuk bahan banding jika mereka masih menindas gadis itu lagi di keesokan hari. "Ayo atuh lanjut di lanjut, enak loh langsung libur 2 minggu kalau di lanjut, hahaha."
"Lo ngapain masuk kamar mandi anak cewek!" bentak salah satu siswi yang lipstiknya merah terang menyala membahana, gua berpikir kalau sisiwi itu habis makan ayam hidup-hidup terus lupa lap mulutnya pake tisu basah.
"Loh, kakak sendiri ngapain seragam temennya di gunting-guntinglahi buat prakarya apa gimana?"
"Heh! Lo songong ya, untung ganteng!" sela salah satu siswi lainnya yang kali ini mengaplikasikan bedak hanya sampai dagu, tidak sampai leher, jadi kalian bisa membayangkan sendiri bagaimana belangnya, mengalahkan zebra!
"Gua emang ganteng, makasih loh kak.. ayo mau di lanjut gak?"
"Cabut!" ujar siswi yang membawa gunting dengan nada memerintah.
"Daaa kakak-kakak cancik nan imoetz, ewh!" ejek gue dengan tertawa terpingkal-pingkal saat mengarahkan kamera kearah mereka yang lewat tepat di hadapan gue dengan pandangan sinis dan juga ketakutan. Setelah mereka semua keluar dari kamar mandi, gue menghampiri gadis itu dengan pandangan sendu, hati gue rasanya teriris saat melihat gadis itu ketakutan sampai seluruh tubuhnya gemetar seperti sekarang.
Membungkukkan tubuh, gue mengulurkan tangan kanan untuk membantu gadis itu bangun dari atas lantai ubin yang dingin. Dengan tangan gemetar, gadis itu menyentuh telapak tangan gue dan berusaha bangun walaupun tubuhnya bergetar hebat.
Diam. Gue benar-benar diam saat gadis itu mendongak menatap kedua mata gue secara langsung seperti saat ini, seorang gadis cantik yang benar-benar membuat lidah ini kelu untuk mengucapkan sederet kalimat penenang yang sebelumnya sudah tersusun rapih di benak gua tadi.
"Ma–makasih..." ujar gadis itu dengan suara terbata-bata.
Mencelos, rasanya hati ini benar-benar mencelos keluar dari tempatnya saat melihat gadis itu ketakutan, pasalnya dulu di sekolah gua yang lama, tindakan bullying seperti ini tidak pernah terjadi, karena sekolah memasang cctv di setiap sudut, walaupun harus menggelontorkan uang yang banyak untuk membayar spp dan uang pangkal, sekolah gua termasuk sekolah yang mengutamakan kenyamanan dan keamanan, walaupun dulu Yudi, Sigit, dan gua selalu jadi biang kerok di sekolah karena tawuran setiap saat, tetapi di lingkungan sekolah sedikit bahkan jarang terjadi kejadian seperti ini.
Seingat gua, dulu bunda juga di perlakukan seperti ini oleh seseorang yang tergila-gila dengan Paman Chandra, sekaligus mantan dari ayah, gua nggak tau namanya siapa, mungkin kalian ada yang tau?
"Y-ya, sama-sama..," jawab gua gugup.
Berdeham pelan, gua menarik tangan yang sejak tadi di genggam oleh gadis itu. walaupun terasa nyaman dan pas untuk di genggam, tetap saja waktunya tidak pas dan latar tempatnya terlalu buruk, bayangkan saja, bertemu gadis cantik di kamar mandi, untung saja kakinya menapak di atas lantai, jika tidak gua menjadi orang pertama yang akan pingsan dengan tampan nya sampai membuat gadis itu jadi manusia lagi.
Menyodorkan seragam, gua menengok kearah kiri dengan keringat yang tiba-tiba bercucuran. Kan! Kan! Jelek banget udah, ketemu cewek cantik aja langsung nervous gini!
"Nggak.. nggak perlu, aku nggak apa kok,"
Nggak apa dari lenteng agung! Itu seragam udah di gunting sana-sini masih bilang nggak apa, mau masuk angin ngana hah?!
"Udah pake aja," ucapan gua terhenti, apa yang ada di kepala gua semuanya buyar benar-benar buyar saat gadis itu berusaha memaksakan senyumnya saat melihat gua saat ini, dan yang lebih sialnya lagi adalah, tangan gua dengan lancangnya menepuk rambutnya pelan dengan wajah yang masih menengok kearah kiri. "Lainkali hati-hati, minta temen lo buat temenin ke kamar mandi, atau nggak langsung lapor ke guru."
Setelah mengatakan hal itu, gua buru-buru menarik tangan yang sebelumnya ada di atas rambut lembut gadis itu, dan segera pergi keluar dari kamar mandi siswi, namun sebelum gua benar-benar keluar dari kamar mandi itu, suara gadis tadi mengintrupsi gua untuk berhenti sejenak, mendengar apa yang di sampaikan olehnya.
"Makasih, nama aku Ayunda Giselle Veronika, kelas sebelas Ips 1!"
Hailo semua, kali ini gue balik lagi bareng si Abang Freza yang udah kangen banget mau nyapa kalian setelah lama tidak muncul ke permukaan wattpad!
Freza : halo kakak-kakak cantik yang selalu me nunggu kedatangan Freza sama Mas Azgar, kali ini setelah memaksa kak Yun on ketik cerita, kami berdua kembali muncul,
Terima kasih untuk kakak yang sudah menunggu dan kangen sama cerita ini, semoga makin betah karena ceritanya sudah masuk ke bagian serius jadi–
Azgar : jadi buat yang gregetan, kalian boleh cubit Freza sepuas hati kalian semua..
Frega & Azahra : jangan lupa untuk vote, komen, tambahkan ke perpustakaan setelah itu selamat menyelam pada kisah romantis Freza, Azgar yang memeperebutkan seorang siswi di SMA praditor!
Frega : kira-kira siapa yang bisa mendapatkan hati siswi itu ya bun?
Azahra : Mas azgar pasti nya! Kalau menurut kalian?
Terima kasih, salam kenal untuk setiap pembaca cerita ini!💙
Salam hangat dari Jakarta untuk kalian semua,
Yun!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro