Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 3.

#TeamAzgar ?

#TeamFreza?

------------

Bel pulang sekolah berbunyi beberapa menit yang lalu, Freza benar-benar dihukum oleh Kepala Sekolah untuk kerja bakti di sekolah selama dua hari kedepan karena alasan yang tidak jelas. Berdecak pelan, Freza paham, ini pasti ada hubungannya dengan ucapan Bundanya semalam.

Menghela napas berat, Freza menyapu halaman sekolah dengan asal-asal, membuat debu naik sampai membuatnya batuk karena tidak sengaja menghirup debu tadi. mendongakkan kepala, Freza menatap langit siang yang terlihat sangat cantik, dengan awan-awan yang memenuhi langit, ditambah lagi warna biru yang menjadi latar awan semakin memperindah langit siang ini.

Mengeluarkan ponsel, Freza mengambil beberapa foto langit siang ini, lalu kembali menyimpan ponselnya kedalam kantong celana. Lumayan.. buat memperbagus feed Instagram. Membayangkan banyak likes yang akan diterima nya nanti membuat Freza senyum-senyum sendiri.

Sampai senyumnya luntur, saat melihat salah satu sahabatnya berlari ke arahnya dengan satu tangan yang memegang perut, dan wajah penuh luka. Terdiam, tubuh Freza benar-benar membeku saat melihat pemandangan itu. menjatuhkan sapu, Freza menghampiri sahabatnya itu dengan guratan wajah khawatir yang sangat terlihat.

"Lu kenapa?" tanya Freza dengan memegang kedua bahu temannya erat.

"Gu- gue di hadang di parkiran belakang sam-sama anak SMA ERISDO."

"Sialan! Terus temen-temen pada kemana! Kok cuma lu doang yang kena hah?!"

"Ma-masih pada disana! Gue nyamperin lo kesini buat bantu yang lain."

Mengenyahkan jauh-jauh peringatan dari kedua orangtuanya, Freza berlari mengambil tas yang ia letakkan di bawah pohon mangga. Dengan amarah yang membuncah, Freza menarik tangan sahabatnya itu agar membawanya ke tempat kejadian.

"Berapa orang?" tanya Freza dengan tetap berlari, kali ini Freza berlari di belakang sahabatnya itu, memastikan agar sahabatnya itu tidak lari. "Yudi ada disana juga?"

"Ada! Yudi paling banyak di serang! Sekitar lima orang!"

"Emangnya anak-anak ada berapa?"

"Delapan!"

"Kenapa bisa kalah!"

"Gue sama Yudi mau pergi ke warnet sama anak kelas lain yang nggak bisa berantem! Jelas kalah lah, gimana sih lo!"

Menarik napas panjang, Freza berlari semakin kencang saat melihat Yudi ingin dipukul menggunakan balok kayu oleh seseorang dari belakang. Rasanya Freza ingin langsung menendang kepala orang itu menggunakan kakinya, namun ia menggunakan sepatu yang bagian bawahnya licin, bukannya menendang, yang ada ia ditertawakan karena jatuh.

Melihat celah, Freza menjatuhkan tubuhnya untuk men-sledding siswa tadi sampai jatuh. Dengan seringaian yang tercetak di wajahnya, Freza memberikan pukulan bertubi-tubi untuk siswa tadi, setelah memastikan siswa itu tidak akan mudah bangkit, Freza berdiri dibalik punggung Yudi yang saat ini menengok kearah samping.

"Thanks, bro!"

"Yup! Sorry telat! Nyapu sekolah dulu."

Tertawa bersama, Freza dan Yudi sama-sama memberikan pukulan tepat di ulu hati lawan, ditambah lagi dengan pukulan yang mengarah ke wajah lawan, setelah itu kembali mengirimkan pukulan tepat di ulu hati, membuat para siswa mundur dengan memegang perut mereka.

"Kayaknya semakin banyak." bisik Freza saat menghitung jumlah lawan yang tidak berkurang sama sekali, melainkan semakin bertambah. "Yud, ini bocah pada kemana?"

Yudi mengedarkan pandangan dan baru tersadar saat hanya tinggal mereka berdua dan Sigit yang masih bertahan walaupun mendapatkan luka-luka di wajah dan tubuhnya. Memberikan gesture pada Sigit, Yudi menyuruh agar laki-laki itu tidak terlalu jauh dari jangkauan Yudi dan Freza.

"Ini kenapa nggak ada bantuan?" bisik Freza saat merasa semua orang yang sebelumnya sudah teratasi oleh ia dan Yudi membuat lingkaran.

"Hahaha, tiga anak kecil dari SMA LOTUSIF.. sayang sekali, teman-teman kalian tidak ada yang datang ya? hahaha." Ejek salah satu siswa dengan postur tubuh sedikit gendut.

Freza menyisir poninya ke belakang dengan wajah menyebalkan. "Banyak omong gendut! Yang jelas kalian salah sasaran!"

"Tidak, kalian yang namanya Yudi, Sigit dan Freza kan? Hahaha, kalian tau, teman-teman kalian yang tadi itu sengaja meminta bantuan pada kami untuk membuat kalian tidak terlalu banyak gaya!"

Mengambil karet rambut dari dalam saku celana, Freza menarik poni yang mulai sedikit panjang kebelakang lalu mengikatnya dengan erat agar tidak terlepas saat ia melayangkan pukulan, karena itu mampu membuat fokusnya hilang.

"Kalian bawa berapa banyak orang?" tanya Sigit membuat siswa gendut tadi tertawa keras seolah sedang menyaksikan drama yang ada di televisi, mulai dari satu anak mengikat rambut, yang satunya malah bercanda dengan menanyakan berapa orang yang ia bawa.

"Kalian keluar lah sekarang!" teriak siswa gendut tadi, namun tidak ada satupun orang yang keluar dari balik tembok. Siswa gendut tadi memberikan gesture untuk memeriksa keadaan oleh salah satu rekannya, tanpa menunggu lama, siswa itu pergi mengikuti perintah siswa gendut.

Menghela nafas, Freza menyeringai kecil. Orang-orang yang dibawa oleh siswa gendut itu sedang dalam keadaan lengah. Mencolek tangan Yudi, Freza memberikan aba-aba untuk menyerang saat ini juga. Mengerti maksud Freza, Yudi memberikan aba-aba yang sama pada Sigit.

Setelah itu mereka secara bersamaan menendang dan melayangkan pukulan pada masing-masing siswa, berusaha membuka jalan, itu yang ada di kepala Freza. Mereka bertiga terkepung tepat di tengah-tengah dengan lima tujuh orang yang berdiri mengelilingi mereka semua.

"Sekarang!" teriak Yudi.

***

Azgar berhenti saat melihat siluet Freza dan salah satu temannya berlari menuju ke jalan buntu yang terkenal sepi. Azgar mengayuh pedal sepedanya dengan tenang, berusaha tidak memancing apalagi sampai ketahuan oleh adiknya itu. karena mau seperti apapun, adiknya itu memiliki indra pendengaran yang cukup tajam.

Saat Freza dan temannya berbelok ke kiri, Azgar sengaja memilih berbelok kearah kanan untuk melihat dari jalan yang sedikit besar. Jika ini masalah serius, maka pilihan Azgar tepat. Turun dari sepedanya, Azgar memarkirkan sepeda sedikit jauh dari jalan besar yang ingin ia lewati.

Memejamkan mata, Azgar bisa melihat enam sampai sepuluh orang yang mengenakan seragam SMA ERSIDO sedang berkumpul dengan rokok ditangan mereka masing-masing. Melonggarkan sedikit dasi yang mencekik leher, langkah kaki Azgar terhenti saat melihat enam siswa dari SMA LOTUSIF, sekolah yang sama dengan Freza, adiknya.

Berjalan mengendap, Azgar mengeluarkan ponselnya lalu merekam enam siswa SMA LOTUSIF memberikan satu amplop pada anak SMA ERSIDO, setelah berjabat tangan ke enam siswa tadi pergi begitu saja seolah mempercayakan semuanya pada siswa SMA lain.

Keluar dari tempat persembunyiannya, Azgar memakai masker lalu memainkan ponselnya seolah tidak tahu apa-apa. yang jelas, setelah ini ia akan dipalak oleh salah satu siwa yang ada disana. Dan jika benar, rencananya akan berjalan mulus seperti yang ada di kepalanya.

Licik, anggap saja begitu.

Salah satu siswa mencegatnya dengan tangan kanan yang direntangkan ke samping. Azgar berkedip sekali lalu menatap datar siswa tadi. tangan siswa itu menengadah meminta ponsel yang ada di tangan Azgar agar diberikan padanya.

"Berikan."

"Apa?"

"Ponsel beserta uang yang lo punya."

"Gak ada uang, ah.. ada!" jawab Azgar dengan melepas tas yang digunakan, menyimpan ponsel ke dalam tas, Azgar mengambil salah satu surat cinta yang ada di dalam tasnya, tangannya terkepal seperti memegang uang.

Dengan senang, siswa tadi menengok ke arah teman-teman nya yang lain dengan tertawa. "Nih." Ucap Azgar dengan memberikan surat cinta yang terlalu banyak dan menumpuk di dalam tasnya.

"Apaan nih! Lo kira gue bego hah!"

"O..?" kedua kerahnya ditarik oleh siswa tadi, membuat wajah mereka terlihat sangat dekat, memundurkan wajah Azgar menaikkan sebelah alisnya. "Gue bagi-bagi surat cinta, duit nggak ada."

Tubuhnya terdorong ke belakang, membuat Azgar terdiam di tempat. Satu pukulan mengarah ke arahnya, membuat Azgar menghindari serangan tersebut dengan kepala yang miring ke kiri.

"L-Lo! Hah! Lo dibaikin malah ngelunjak, ya!!" kesal siswa kurus tadi dengan dahi yang mengkerut dan kedua alis yang menukik tajam. Saat ingin melanjutkan kata-katanya, bagian bawah dagunya sudah terlebih dahulu terkena tendangan yang diberikan oleh Azgar.

Siswa tadi terpelanting ke belakang dengan kencang, menabrak beberapa temannya yang berjaga di belakang. Azgar berdiri dengan stabil walaupun kaki kanan nya terangkat tinggi sehabis menendang siswa tadi.

Beberapa siswa menatap nanar ketua mereka yang tidak sadarkan diri dengan beberapa gigi yang hilang dari tempatnya. "Kasihan banget.. apa kita harus kabur aja kalau begini?"

"Benar.. apa kita kabur secara bersama saja, lalu pindah sekolah?"

Melangkah mendekat kearah siswa tadi, Azgar menatap penuh ancaman seolah benar-benar ingin menghabisi siswa itu hari ini juga. "Sampah." Hanya itu yang terucap dari bibirnya, Azgar semakin mendekat sebelum mendengar langkah kaki dua sampai tiga orang berlari ke arahnya lalu menahan kedua tangannya dari belakang.

Menyeringai dari balik masker, Azgar melihat ada tembok tepat di belakang siswa yang memegang erat kedua tangannya, sedangkan di depannya ada satu siswa yang ingin melayangkan pukulan secara gratis untuknya.

Saat siswa itu semakin dekat, Azgar memancalkan kakinya pada tubuh siswa yang ada di depannya, membuat tubuh Azgar dan siswa di belakangnya menabrak tembok dengan kencang. "Sampah!" ucap Azgar sekali lagi, lalu melayangkan pukulan pada siswa yang saat ini terduduk lemas saat bagian kepalanya membentur tembok.

Satu siswa kembali menyerang Azgar. "Be- beraninya lo!!" teriak siswa itu, membuat Azgar mengetatkan rahangnya lalu menendang tepat bagian perut siswa itu sampai laki-laki itu mundur ke belakang, dengan dua temannya yang tersisa diam di tempat, memandang kagum, sekaligus tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

"Ja-jangan ada yang mundur! Kita jangan sampai malu-maluin sekolah kita!" teriak salah satu siswa membuat Azgar lagi-lagi mengangguk dengan wajah yang terlihat kelewat malas.

"Maaf ya, jika pukulannya nanti nggak main-main, karena gue membela diri."

"Be-berisik lo! Serang!"

Sebelah alisnya terangkat, Azgar melirik ke arah samping, tempat dimana dua teman siswa yang ada di depannya sudah jatuh terduduk dengan tubuh gemetar. "Wah.. kayaknya tinggal lo sendiri." Memiringkan kepala, Azgar menaikan kedua alisnya naik-turun. "Tinggal kita doang, mau di selesaikan sekarang? Ketua lo masih betah pingsan tuh."

Dengan kaki yang gemetar, siswa itu tetap mengangkat kedua tangannya untuk melindungi bagian wajah dan ulu hati, kakinya pun memasang kuda-kuda yang tidak terlalu lebar. Azgar memperhatikan dengan seksama.

"Wah, Karate? Keren.. tapi sayang banget." Azgar langsung melayangkan tinjuan kuat dari tangan kanan Azgar, sukses mengenai rahang sebelah kiri siswa tadi sampai membuat siswa itu tersungkur. "Seharusnya bela diri itu digunakan untuk hal baik, bukan malah buat gaya-gayaan kayak gini."

Azgar dengan membungkukkan badan untuk mengikat tali sepatunya. "Duh nggak kena, ulang-ulang." Ujar Azgar saat ada seseorang yang ingin memukulnya menggunakan kayu. "Kirain udah pingsan karena gemetaran, ternyata belum ya?" tanya Azgar dengan tatapan tajam.

"Berisik! Lo kebanyakan bacot tau nggak!" Melempar kayu ke wajah Azgar, siswa itu dengan cepat melancarkan rencananya untuk memberikan pukulan di bagian ulu hati. Saat berpikir Azgar lengah dengan kayu tadi, siswa itu merangsek maju lalu mengeluarkan pukulannya.

Dengan senyum kemenangan, siswa itu terdiam dengan kedua mata yang nyaris keluar dari tempatnya karena saat ini Azgar menyilangkan kedua tangannya tepat di depan bagian ulu hatinya. Saat keadaannya lengah, dengan kencang siswa itu terpelanting ke belakang karena tendangan yang dilakukan oleh Azgar.

Membuang nafas kasar, Azgar kembali berdiri dengan tegap. Menengok kebelakang, ia membenarkan letak masker yang hampir terlepas dari wajahnya. "Kalian pergi sekarang." Ke enam siswa SMA ERSIDO berlari menjauh dari Azgar.

Saat ingin melepaskan masker yang digunakan, salah satu siswa yang Azgar perkirakan dari SMA yang sama dengan siswa tadi datang dengan nafas yang terengah-engah. Jika ia bisa tertawa terbahak-bahak seperti Freza, mungkin ia akan tertawa detik ini juga. Namun sayang, ia tidak bisa melakukannya.

"Pe-permisi.."

"Ya?"

"A-apa lo lihat anak-anak yang kumpul di sini?"

Menatap siswa itu dengan berkedip dan tatapan polos, Azgar menggeleng pelan dengan kepala yang di tunduk kan. "Ah, yaudah nggak apa. thanks ya." Azgar mengangguk lalu berbalik badan untuk pergi mengambil sepedanya yang ia letakkan sembarangan.

Setelah punggung Azgar menghilang di belokan utama, siswa itu terdiam dan mendekati cairan warna merah yang ada di atas aspal. Mencolek cairan berwarna merah tadi lalu menggosoknya menggunakan ibu jari. "Ini darah kan? Tapi nggak mungkin bocah tadi." gumam siswa berambut silver.

***

Freza masih sanggup berdiri dengan tegap walaupun sudah di hajar oleh beberapa orang yang masih mampu berdiri lalu melawannya, dan berakhir dengan mereka yang kalah. Sisa satu orang yang masih sanggup berdiri walaupun wajahnya sudah sama-sama memiliki luka di sekitar wajah.

"Gimana nih, bantuan lu nggak dateng-dateng, hahaha." Ejek Freza dengan menyeka sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. "Orang suruhan lo tadi pun nggak dateng tuh." Lanjutnya dengan cengiran di wajahnya.

"Berisik! Tanpa mereka pun gue masih bisa buat lo nggak masuk sekolah selama satu minggu!"

"Yang benar?"

"Ya, maka dari itu, sekarang gue nggak akan menahan diri lagi untuk pakai semua tenaga gue!" teriak siswa gendut itu dengan suara lantang, walaupun lirikan matanya mengarah keluar gang buntu, berharap bantuan akan segera datang.

"Baguslah kalau begitu, ayo selesaikan ini secara cep,-" Ucapan Freza menggantung di ujung lidahnya saat melihat siswa gendut itu terpental ke belakang. Semua yang ia lihat terlalu cepat sampai membuatnya mematung di tempat, bahkan kedua sahabatnya pun benar-benar tidak bergerak, mungkin napas mereka berdua juga tertahan karena melihat orang bertubuh gendut itu seperti melayang terkena salah satu jurus anime yang pernah mereka tonton di kelas.

"-Pat..." Freza menengok ke arah orang yang melayangkan pukulan super tadi. "L-lu! Lu siapa?! Kenapa lu ikut campur! Seharusnya gue yang kasih pukulan *Sepupi!!!!" teriak Freza tidak terima karena bagian yang seharusnya ia lakukan sudah direbut terlebih dahulu oleh orang yang menggunakan sweater abu-abu dengan celana sekolah berwarna senada dengan sweater yang di gunakan oleh laki-laki itu.

"U-udah lah Rez, me-mending kita buruan cabut!" usul Yudi yang saat ini dibantu berjalan oleh Sigit. Mendongakkan kepala, Yudi dan Sigit tersenyum lebar saat menatap laki-laki yang membantu Freza tadi.

"Makasih bang! Makasih sudah bantu kami."

Laki-laki itu mengangguk membenarkan topi hitamnya, laki-laki itu memutar badan lalu pergi meninggalkan mereka bertiga dengan tanda tanya besar di kepala mereka masing-masing. Freza terus memperhatikan punggung laki-laki itu dengan pikiran yang berkecamuk, menengok ke arah Sigit dan Yudi, Freza memperlihatkan cengiran di wajahnya.

"Sehat kan lo pada? Hahaha." Tanya Freza seraya menepuk pipi Yudi dan Sigit yang terluka.

Seperti tersambar ribuan volt, baik Yudi dan Sigit memegang tubuh Freza lalu menampar-nampar bagian punggung, lengan, kedua pipi Freza yang terluka akibat perkelahian barusan. bukannya marah, Freza malah tertawa geli walaupun sesekali meringis kesakitan akibat tamparan yang diberikan tepat mengenai luka-lukanya.

Sigit orang yang pertama kali berhenti melakukan hal itu. menepuk bahu Freza pelan, Sigit menggaruk-garuk pipi menggunakan jari telunjuk. "Rez, sorry.. seharusnya lo nggak kebawa masalah ini, lo pasti bakalan kena omelan kedua orang tua lo setelah ini." Ujar Sigit 'tak enak hati.

"Heh, santai aja kali. Sekali-kali mah cowok nggak apa berantem asalkan menang!" Aduh! Mati gue mati! Semoga aja nggak dicoret dari kartu keluarga, amin! Lanjut Freza dalam hati. "Yaudah ayo balik! Lo pada naik motor kan? Anterin gue sampai depan komplek pokoknya!"

"Siyaap! Jangankan depan komplek, sampai depan rumah juga,"

"Emang lu pada mau sampai rumah gue? sampai ketemu kedua orang tua gue ples Mas gue yang gak berekspresi itu?"

"E-engg..." kedua mata Sigit dan Yudi bertemu menampilkan cengiran kecil di wajahnya. "Mungkin kalau situasinya nggak kayak sekarang, dengan senang hati gue main kerumah lo, Rez."

"A-hahaha, iya tuh bener.. sayangnya aja kita dalam posisi yang nggak beruntung, alias terlalu sial banget ya, itu hahahha."

Memutar bola matanya malas, Freza terkekeh pelan. Kedua sahabatnya itu memang masih takut jika bertemu dengan keluarganya, terlebih lagi saat bertemu dengan Ayahnya yang memang memiliki tatapan tajam.

"Alasan aja kalian Bambang, Nurdin!"

"HEH! NAMA BAPAK GUE ITU! DASAR FREGA!"

Freza kembali tertawa saat kedua sahabatnya itu reflek menutup mulutnya rapat-rapat saat tidak sengaja berteriak. Mereka bertiga langsung berlari meninggalkan gang buntu itu sebelum warga datang.

***

Freza sampai di rumah setelah di antarkan oleh Sigit yang rumahnya memang dekat dengan komplek tempat ia tinggal. Menengok ke dalam garasi, Freza tidak menemukan sepeda milik Azgar, kakak laki-lakinya tersebut.

Duduk di teras depan, Freza melepas sepatu sekaligus kaos kaki yang digunakan tadi. memakai sandal jepit, ia mendekati keran yang ada di taman kecil yang ada di depan rumahnya untuk mencuci kaki.

Setelah mencuci kaki, Freza mengeringkan kakinya pada keset yang ada di depan pintu, lalu masuk kedalam rumah setelah menyimpan sepatu di dalam rak sepatu yang ada di dalam garasi. Mengucapkan salam, Freza langsung berlari masuk kedalam rumah, berusaha tidak ketahuan oleh Bunda nya yang kemungkinan sedang ada beristirahat.

Baru ujung kakinya menyentuh anak tangga keempat, suara deheman terdengar dari belakang, membuat Freza menengok dengan gerakan kaku. Menelan saliva kasar, Freza berbalik badan dengan cengiran yang terpasang di wajahnya. jaket yang sebelumnya digunakan terlampir di tangan kirinya.

"Eh.. Bunda.. Ayah... tumben Ayah di rumah hehehe." Sapa Freza dengan perasaan canggung sekaligus merasa bersalah.

"Hehehe..." Azzahra mengikuti ucapan Freza, tangan kanan nya terjulur ke depan dengan telapak tangan yang memberikan gesture agar ia mendekat Bunda dan Ayahnya. Dengan berat hati Freza mendekati Bunda dan Ayahnya dengan merapalkan doa sebanyak-banyaknya di dalam hati.

Menarik pelan tangan Ayah dan Bundanya, Freza mencium punggung tangan kedua orang tua nya bergantian. Frega menggeleng kan kepala lalu membawa Freza agar duduk di ruang keluarga. Azzahra sudah terlebih dahulu pergi ke ruang keluarga dengan raut wajah menahan emosi.

"Kamu lain kali jangan masuk telinga kiri keluar telinga kiri lagi Bang." Nasihat Frega pelan agar anaknya itu mengerti peringatan yang semalam di berikan oleh Azzahra itu tidak main-main. Mereka berdua duduk dengan Freza yang duduk di sofa tunggal, sedangkan Frega dan Azzahra duduk di sofa panjang.

"Bunda kasih kamu kesempatan untuk membela diri." Ujar Azzahra tegas, membuat Freza membeku di tempatnya.

Rasanya Freza seperti terdakwa yang sedang di sidang oleh Jaksa dan Hakim yang akan memutuskan hukuman apa yang akan diterima setelah melakukan pembelaan untuk dirinya sendiri. Biasanya jika ia berada di bangku panas seperti ini, Azgar akan membelanya lalu merayu Bunda mereka agar memaafkan dan melupakan masalah ini tanpa harus Ayahnya tau.

Tapi, kali ini Freza harus menghadapi semua ini sendiri dan yang lebih gilanya lagi Ayahnya duduk di sebelah Bundanya yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan tajam dan menuntut. Menarik napas panjang, Freza mendongakkan kepala, dalam hatinya berdoa agar kakaknya keluar dari kamar jika memang sudah pulang terlebih dahulu, atau yang lebih baik lagi kakaknya itu pulang sekarang juga agar bisa membantunya merangkai kata.

Frega menunggu dengan sabar anaknya untuk bercerita, berbeda dengan Azahara yang terlihat sangat marah saat ini. mengurut pangkal hidung menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, Frega menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa dengan kaki kanan yang bertumpu pada kaki kiri.

"Maaf Bun.. Yah.. Abang tau, Abang salah karena nggak dengerin warn yang udah Ayah sama Bunda bilang semalam. Tapi Bun.. Yah.. Freza nggak ada maksud untuk ikut berantem kali ini, bahkan seharian Freza nyapu di sekolah terus dikeluarin pas pelajaran Agama karena nggak kasih salam, ngobrol juga sih sama temen sebangku, ditambah lagi Abang makan permen karet juga di kelas tadi.

Tapi Yah.. Bun.. Abang berani sumpah deh, kali ini Abang berantem karena Sigit anaknya Om Nurdin di pukulin sama anak sekolah lain, Yudi juga kena di gebukin Yah.. Bun.." Freza menundukkan kepala. "Disekolah ada yang nggak suka sama kami bertiga, gak tau alasannya apa, tapi.. bukannya yang kayak gini udah biasa Yah, Bund?"

Azzahra mendelik saat mendengar kalimat terakhir yang Freza ucapkan. "E-enggak! Nggak gitu Bun.." Wajah Freza pucat dengan kedua tangan berada di depan dada bergerak ke kanan-kiri dengan cepat. "Maksud Abang tuh... bukannya udah biasa kalau sesama teman harus membantu, kayak Ayah sama Om Iqbal, Pakle Gilang, Om Andra, Om Bayu?" melirik Azzahra yang masih menatapnya dengan tatapan tajam, Freza menunduk dengan meremas jarinya.

Menghela nafas panjang, Frega menyentuh bahu Istrinya agar bisa menurunkan atmosfer di ruangan ini. "Sudah.. jadi benar kamu begitu karena ngebelain Yudi sama Sigit? Bukan mau jadi jagoan?" tanya Frega dengan tenang.

Merasa akan diberikan pembelaan oleh Ayahnya, Freza mendongak lalu mengangguk kan kepala cepat. Azzahra terdiam saat melihat kedua mata Freza berkaca-kaca, bahkan sampai memerah. Beranjak dari tempat duduknya, Azzahra pergi meninggalkan Freza dan Frega berdua.

Menengok sekilas Istrinya yang terlihat membekap bibir menggunakan kedua tangan, Frega memejamkan kedua matanya lama, sengaja mendiami si Bungsu juga agar berpikir apa yang dilakukan itu tetap salah walaupun membela sahabat sendiri.

Frega merasakan celana jeans hitam yang saat ini ia pakai di tarik-tarik. Membuka mata, Frega melihat Freza menangis namun tidak mengeluarkan suara. "Sudah tau kesalahan kamu apa?"

"Su-sudah Yah.." jawab Freza dengan nafas tersendat.

Menarik Freza kedalam pelukannya, Frega menepuk-nepuk punggung anaknya itu agar berhenti menangis. "Jagoan nggak ada yang nangis, Ayah nggak marah.. Cuma, kamu harus dengerin omongan Bunda Zahra." Terdiam sebentar, Frega memandang lurus ke arah pintu masuk. "Bunda seperti itu karena khawatir sama kamu Bang.. percaya sama Ayah, kamu ikutin omongan Bunda sama Ayah nggak akan menyesal, kami nggak mungkin menggiring kamu sama Masmu ke jalan yang salah."

Tepukan tangan nya terhenti saat melihat anak pertamanya masuk dengan seragam putih yang terdapat noda darah. "Kamu pergi temui Bunda di kamar sekarang, minta maaf lalu bilang apa yang kamu rasain sekarang." Freza mengangguk, melepas pelukkan dari sang Ayah, Freza membenarkan tali tas lalu pergi masuk kedalam kamar kedua orang tuanya.

Tepat setelah Freza menutup pintu kamar, Frega hampir kehilangan seluruh tulang yang ada di tubuhnya saat melihat anak pertamanya, Azgar ambruk tepat di depan pintu. Beranjak dari tempat duduknya, Frega menghampiri si Sulung, lalu menepuk-nepuk pipi anaknya agar bangun.

"Mas, bangun.. jangan buat Ayah sama Bunda khawatir." Ujar Frega, lalu menggendong Azgar keluar rumah. Memanggil supir yang bekerja di rumahnya, Frega menyuruh pria itu untuk membuka pintu mobil.

Mendudukkan Azgar dengan hati-hati, Frega kembali masuk kedalam rumahnya dengan sikap seperti biasa, tenang. masuk kedalam kamar, Frega tersenyum hangat saat melihat Freza saat ini sedang terbaring diatas tempat tidur dengan Istrinya mengobati si Bungsu.

"Dek, Mas keluar sebentar ya.. mau beli makanan sekali-kali buat si Mas sama si Abang." Izin Frega setelah mengambil dompet dan jaket kulit yang ada di belakang pintu. "Kamu mau makan apa Bang?"

"Mau Pizza yang banyak keju, terus sama cola! Bolehkan Bun.. Yah?"

"Boleh sayang.. tapi janji, besok jangan seperti ini lagi ya?"

"Siap Bunda sayang.."

Frega masih memperlihatkan senyum di wajahnya, walaupun tidak bisa dipungkiri ia juga khawatir dengan Azgar yang ada di dalam mobil. "Ya sudah, Ayah berangkat dulu, jagain Bunda ya." Menarik punggung leher Azzahra, Frega mendekatkan wajahnya ke kening Istrinya itu lalu menciumnya lama. "Berangkat dulu ya, Assalamualaikum!"

Setelah mengucapkan itu, Frega pergi dengan sedikit tergesa-gesa. Sampai di luar rumah, Frega mewanti-wanti semua orang yang bekerja di rumahnya agar tidak memberitahukan kejadian ini pada Istrinya dengan sedikit ancaman tentunya. Setelah merasa percaya pada orang-orang yang bekerja di rumahnya, Frega masuk kedalam mobil dan menyuruh supir pribadinya untuk segera pergi ke rumah sakit.

"Sekarang kamu ngapain lagi sampai begini, hm?" bisik Frega dengan mengusap peluh yang membanjiri wajah anaknya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro