Episode 2.
Azgar keluar dari kamarnya terlebih dahulu dengan seragam yang melekat pada tubuhnya. Mengusap rambutnya asal, Azgar berjalan menuruni tangga dengan tas punggung yang terlampir pada lengan kirinya. Sengaja belum dipakai karena nanti akan dilepas lagi saat makan bersama.
Pagi ini terlihat sedikit lebih tenang karena adiknya itu sedang mogok bicara dengannya karena masalah semalam. Menggidikkan bahu, Azgar memilih menghampiri Azzahra lalu mencium kening Bundanya itu sebentar, lalu bersalaman seperti anak muda dengan Ayahnya.
Azgar menjulurkan kepalan tangannya pada Freza, namun tidak ada respon dari adiknya itu. saat ingin menarik tangannya, Freza sudah terlebih dahulu mengadukan kepalan tangannya pada Azgar, membuat laki-laki itu mengusap rambut Freza yang terlihat sangat rapi pagi ini.
"Ayah, bisa datang kesekolah?" Tanya Azgar membuka suara di pagi hari yang tenang itu. mengalihkan pandangan dari koran, Frega menatap Azgar dengan pandangan bertanya. "Bukan masalah serius yah, cuma Pak Sofyan mau tanya soal kepindahan Freza."
"Ah itu.. iya, nanti Ayah sempatkan datang, kalau tidak hari ini ya berarti besok, atau besoknya atau,-"
"Atau terus, sok sibuk."
"Anak kecil sensi banget nih, kenapa hm?"
"Gak perlu tau!"
"Bun, anaknya yang ini kelas berapa?"
"Satu Sekolah Dasar, ngambek terus!"
Mendengar jawaban itu, Freza semakin memanyunkan bibirnya. Frega, Azzahra, dan Azgar tertawa sekaligus gemas dengan tingkah si bungsu yang sangat berbeda dibandingkan biasanya, entah apa yang membuat si bungsu memiliki tingkat daya saing setelah Rama memberikan Azgar komputer saat si Sulung mendapat peringkat pertama.
"Sudah ayo kita makan."
Azzahra melirik si Bungsu yang langsung memakan nasi goreng buatannya dengan dua telur mata sapi diatas piringnya. "Itu yang benar aja gitu makan nya? laper banget?"
"Bete, Eza bete banget! Jadi mau makan banyak!"
***
Azgar memarkirkan sepedanya di tempat khusus yang disediakan oleh sekolah. Semenjak ada larangan membawa mobil ataupun motor, sebagian siswa dan siswi memilih menaiki sepeda, walaupun ada juga yang tetap membandel mengendarai motor dan mobil.
Mengambil sapu tangan dari kantong belakang celana, Azgar mengelap bagian wajah sampai lehernya, lalu melipat sapu tangan itu kembali, setelahnya memasukkan sapu tangan kedalam saku celana.
"Pagi Zaf!" sapa salah satu siswa kelasnya. Mengangguk kan kepala, Azgar mengangkat tangan kanannya sebagai jawaban. Beberapa siswi juga menyempatkan diri untuk menyapanya dengan suara khas yang membuat Azgar merinding.
Bukan kenapa, Azgar tidak terlalu suka dekat dengan siswi yang berpenampilan terlalu diluar konteks pelajar. Seperti yang kalian duga, lipstik, minyak wangi yang berlebihan, belum lagi ditambah dengan body lotion, ah, jangan lupakan make up yang digunakan, menurutnya, semua itu terlalu berlebihan.
Kembali ke awal, sepertinya Azgar belum memperkenalkan diri dengan benar. Namanya, Azgar Zafar Ardinanto, anak pertama dari dua bersaudara, Azgar merupakan anak dari pasangan Muhammad Frega Ardinanto dan Azzahra Septi Ananto. Azgar atau yang sering dipanggil dengan Zaf, dan Mas Asgar merupakan murid kelas 2 menengah atas di SMA PRADITOR, sekolah yang sudah ada sejak zaman kedua orangtuanya bertemu pertama kali karena Ayahnya menjadi Ketua Osis walaupun terkenal dengan label bad boy pada saat itu, eits! Ini bukan waktunya membahas kedua orangtuanya lagi, sudah lewat.
Azgar atau Zaf merupakan salah satu tim basket yang dipilih secara acak oleh teman-teman di ekstrakurikuler basket. Karena prestasinya yang bagus baik akademik maupun non-akademik, Azgar selalu ditawari untuk duduk di bangku Ketua Osis oleh Ibu Ratna dan anggota Osis. Namun dengan tegas, Azgar menjawab tidak ingin masuk kedalam organisasi itu, lagipula, jika adiknya masuk kesekolah ini, pasti adiknya itu yang akan menempati tempat itu.
Mengacak-acak rambut, Azgar pergi masuk kedalam sekolah bersama dengan beberapa siswa dan siswi lainnya.
"Zaf!" panggil seseorang, membuat Azgar menengok lalu menunggu orang itu sampai. "Tumben datangnya mepet jam masuk?" tanya orang itu lagi dengan senyum diwajahnya, ditambah lagi, orang itu merangkul bahu Azgar seolah mereka sahabat baik.
"Oh, ya.. dirumah ada rapat dulu."
"Hahahaha, rapat? Itu rumah atau kantor!"
"Dua-duanya, *Jalki Ris?"
"Iya, sepeda gue rantainya lepas mulu. kayaknya gara-gara di jungkir balik sama kakak kelas itu dah."
Azgar mengangguk lalu menyudahi perbincangan tidak penting di pagi hari ini. membuat temannya itu, Faris Hidayat terdiam karena teman satu bangkunya itu tidak banyak bicara, dan herannya lagi adalah, Faris selalu betah dan mau berteman dengan Azgar, dibanding main bersama yang lain.
"Tadi gue lihat adik lo."
Azgar berhenti, lalu menengok ke arah Faris. "Dimana?"
"Di gang sebelah dekat sekolah kita." Azgar diam mendengarkan. "Tadi kalau gak salah dia sama cowok tinggi gitu, terus.." Faris mengetuk dahinya, lalu menepuk tangan sekali. "Tadi adik lo sempat bilang gini, apa bagusnya sih sekolah kayak gini, mending sekolah gue bagus! Kayak gitu."
Mendengus, Azgar kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda. Faris mengejar langkah kaki Azgar yang lebar, membuatnya sedikit kesusahan. "Zaf, memangnya adik lo mau pindah sekolah ke sini?"
"Nggak tau, susah di tebak."
"Kayak lo dong?"
Azgar melirik Faris melalui ekor mata dengan raut wajah datar. Melihat hal itu, Faris menelan saliva kasar. Jari telunjuknya masuk ke balik kerah, lalu menariknya keluar, terlihat seperti melonggarkan dasinya.
"Bercanda."
"Tenang aja, memang begitu kan?"
"Zaf, lo sudah ngerjain tugas?"
"Sudah."
"Berarti gue bisa nyo,-"
"MAS AZGAR!!" teriak seseorang membuat Azgar reflek memejamkan mata, bersamaan dengan Faris yang memasang wajah masam karena omongannya dipotong oleh teriakan dari seseorang.
"Kita jalan buruan."
"Tapi lo barusan di panggil."
"PAGI MAS AZGAR dan... hm?"
"Faris Hidayat." Jawab Faris dengan raut wajah datar.
"Ya, Pagi Kak Faris."
"Kenapa Li?" tanya Azgar dengan malas. Bukan karena apa, Azgar paling malas diajak bicara oleh Alia, seorang gadis yang terkenal di sekolah SMA PRADITOR, di tambah lagi hampir semua teman sekelasnya selalu bertanya apa dia mengenal Alia atau tidak.
"Nggak apa, mau nyapa aja ehehe."
"Yaudah sana ke kelas."
"Anterin.."
"Mana Ilyas?"
"Oh! Dia.. dia..."
"HEH! KURANG AJAR BANGET PUNYA ADEK!"
"Tuh!" tunjuk Alia, menarik leher Azgar mendekat, Alia mencium pipi kiri laki-laki itu lalu berlari meninggalkan Azgar, Faris, dan Ilyas yang memasang raut wajah datar. Sebetulnya jika dilihat lebih teliti, wajah Azgar sedikit memerah karena Alia mencium pipinya. "DAA! SAMPAI KETEMU NANTI WAKTU ISTIRAHAT! SARANGHAE? HAHAHA."
Alia Gineta Pangestu, anak nomor dua dari pasangan Tania Lianeta Ardinanto dan Gilang Pangestu. Seorang gadis cantik yang masih berada di kelas 2 Menengah Pertama, merupakan adik dari Ilyas Ardietha Pangestu, anak pertama dari pasangan Gilang dan Tania, seorang laki-laki dari SMA PRADITOR yang saat ini duduk di kelas 1 Menengah Atas.
Mata kanan Azgar berkedut, begitu juga Ilyas, sedangkan Faris, laki-laki itu benar-benar terpaku saat melihat raut wajah bahagia yang diperlihatkan oleh Alia. Menengok ke kanan dan kiri, Faris di perlihatkan oleh wajah bertanya yang sangat terlihat datar, tidak ada senyum sama sekali, seolah diwajah kedua laki-laki itu terdapat badai dan hujan petir, membuat seram dan gelap.
"Apa?" tanya keduanya bersamaan, setelah itu pergi meninggalkan Faris dengan raut wajah tidak percaya. Ilyas berhenti, lalu kedua jarinya bergerak dari kedua matanya ke arah depan, seolah memberitahu Faris jika laki-laki itu selalu mengawasi Faris agar tidak mendekati Alia.
Menghela nafas panjang, Faris mengedikkan bahu, lalu berlari menyusul Azgar yang sudah pergi jauh dari jangkauan matanya. "Tapi.. kalau di pikir-pikir, adiknya Ilyas cantik juga." Gumam Faris dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.
***
Freza memakan permen karetnya lalu membuat balon dari permen tersebut. Beberapa kali sebelum balon itu ditusuk menggunakan jari telunjuk salah satu temannya, membuat Freza melepehkan permen karet tadi ke bungkusnya lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Jorok banget lo! Mau gue tampol?!" sungut Freza dengan raut wajah kesal, sedangkan yang dimarahi malah tertawa geli sampai memukul-mukul meja saking lucunya melihat ekspresi wajah Freza.
"Rez! Lo nggak sakit gigi apa makan permen karet mulu pagi-pagi?" tanya salah siswi yang duduk disebelah Freza. Menggelengkan kepala, Freza mengambil satu bungkus permen karet, membukanya, lalu kembali memasukkan permen berwarna pink tadi kedalam mulutnya.
"Nggak, masih mending gue makan permen, daripada merokok."
"Iya juga sih, tapi nggak usah buat balon terus! Gue nggak bisa soalnya!"
"O.. sini gue ajarin!"
"Gak sudi!"
"Ah, malu-malu aja deh kamu nih beb!"
"Berisik ah! Jangan rese deh, Rez!"
"Yakin nih mau aku diem aja?"
Freza Septra Ardinanto anak nomor dua dari dua bersaudara, si bungsu yang selalu jadi kesayangan kedua orang tuanya, memiliki panggilan khas yaitu, Rez atau Abang Freza, eits! Jangan coba-coba panggil Freza dengan Abang Freza jika kalian bukan keluarga dan sahabat dari Ayah dan Bundanya, karena dia paling tidak suka jika nama kesayangannya di ucap oleh orang lain, seperti Chandra yang tidak suka dipanggil Andra oleh orang lain.
Freza atau Rez lahir di Jakarta pada tanggal 02 September. Sejak kecil hidupnya selalu dilimpahi kasih sayang oleh kedua orang tua, paman, bibi, kakek, nenek, dan seluruh orang-orang, berbeda dengan Azgar yang sejak kecil terlalu dilimpahi kasih sayang oleh Paman Rama dan Bibi Kia. Freza itu cetakan Frega namun memiliki senyum dan kebiasaan seperti Azzahra. sedangkan Azgar, keluarganya tidak tahu si sulung memiliki kebiasaan siapa, karena saat ditanya saat mengidam dulu, Azzahra hanya ingin bertemu dengan Paman Rama dan Ayahnya, tidak ada yang lain selain itu.
Menghela nafas panjang, Freza paling tidak suka dibedakan, apalagi dari cara Paman Rama dan Bibi Kia yang menyayangi Azgar dan dirinya. Paman dan Bibinya itu bukan sepasang suami istri, tetapi kasih sayangnya sangat melimpah untuk Azgar, dan lagi, diwajah kakaknya tidak pernah ada raut bahagia, jarang, mungkin seingat Freza, kakaknya itu tersenyum saat dia berumur 4 tahun, setelahnya tidak ada.
Bahunya ditepuk dari belakang, membuat Freza menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi lalu menggerakan kepalanya kebelakang sampai melihat wajah temannya yang terlihat datar dengan menggelengkan kepala.
"Pulang sekolah jangan balik dulu."
"Kenapa?"
"Biasa... ada yang nantangin sekolah kita." Terdiam sebentar, Freza menegak kan tubuhnya dengan tangan yang memegang punggung leher. "Sakit kan! Sukur!"
"Diem lah, siapa nih? Kali ini SMA mana lagi? Belum cukup apa yang kemarin-kemarin jadi pelajaran?"
"Makanya itu, tadi gue di ajak sama Bang Syahril, Bang Deden."
Freza terdiam, tiba-tiba perbincangan dengan Ayah dan Bundanya semalam. Freza melipat kedua tangannya tepat di depan dada, jari telunjuknya berada tepat di depan bibir dengan ibu jari dibawah dagu. Kedua matanya terpejam dengan sesekali mengunyah permen karet.
Sheila yang ada di sebelah Freza menepuk lengan laki-laki itu kencang, membuat laki-laki itu hampir tersedak permen karet yang ada di dalam mulutnya. Menatap tajam, tangan Freza rasanya gatal ingin menarik satu helai rambut Sheila setelah itu baru ia anggap impas.
"Apa? lihat tuh sudah ada guru!" Omel Sheila dengan jari yang menunjuk ke depan pintu kelas yang menampilkan guru pelajaran Agama. "Mending dibuang tuh permen karet."
"Males banget, sayang."
Sheila terdiam, membuat Freza menyeringai puas. "Iya, sayang.. aku buang sekarang kok demi kam,-"
B r a k !
Freza dan murid lainnya terdiam saat penggaris kayu beradu dengan meja paling depan. Suara langkah sepatu pantofel benar-benar mendekat kearah meja tempat dimana Freza dan Sheila duduk.
Semua murid menahan napas sekaligus menelan saliva kasar, rasanya pasokan udara di dalam kelas ini tersedot semua oleh guru pelajaran Agama yang terkenal dengan tegas dan tidak memberikan toleransi apapun pada murid yang membangkang di kelasnya.
"Freza, bangun dari tempat duduk kamu dan bawa tas kamu juga." Ujar guru itu dengan nada memerintah, tidak bisa di bantah, sudah jelas sekali. Membuat Freza berdecak kesal di tempatnya saat ini. "Kamu dengar apa yang Bapak bilang barusan 'kan Freza?"
"Ya, dengar Pak."
Mengambil tas lalu menyampirkan pada punggung sebelah kiri, Freza bangkit dari tempat duduk untuk menunggu perintah selanjutnya dari guru yang mengajar. "Sekarang kamu boleh keluar dari kelas saya."
"Oh.. Ok,-" Freza terdiam lalu menengok ke arah guru Agama dengan pandangan tidak terima sekaligus kaget. "Maksudnya gimana Pak, saya ada salah?"
"Ada. Kamu pergi ke ruang Bimbingan Konseling, sekarang."
"Nggak bisa begitu Pak! Bapak kalau mau ngeluarin murid dari dalam kelas harus ada alasan yang jelas."
Guru itu menatap datar Freza yang saat ini terlihat sangat emosi. "Makan permen karet di pelajaran saya, menggoda teman wanita kamu saat yang lain memberikan salam pada saya, yang terakhir, kamu pakai apa di telinga kamu."
Memejamkan mata, Freza menghela napas berat. Menepuk bahu Sheila dua kali, Freza tersenyum kecil ke arah gadis itu lalu pergi keluar dari kelas tanpa mengucapkan satu katapun. Yang jelas, ia butuh tempat untuk mengeluarkan semua emosinya, saat ini juga.
Melewati ruang musik, Freza masuk kedalam ruangan itu lalu mengunci pintunya dari dalam. Melemparkan tasnya asal, ia mengambil gitar lalu duduk diatas lantai dengan pencahayaan yang kurang, Freza hanya membuka sedikit tirai jendela agar tidak terlalu gelap.
Memangku gitar, Freza memainkan salah satu lagu yang pernah ia dengar dari Paman Riad. Lagu dari salah satu band asal Indonesia, kalau tidak salah nama band itu Sheila On 7. Memetik gitar, Freza memainkan chord untuk intro di G.
"Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali.."
"Kita berbincang tentang memori di masa itu."
"Peluk tubuhku usapkan juga air mataku."
"Kita terharu seakan tidak bertemu lagi.."
Freza menutup kedua matanya, mengingat kejadian Azgar memeluknya dengan erat. Saat itu, kakaknya benar-benar menariknya kedalam pelukan saat beberapa siswa di SMP membullynya hanya karena tubuh Freza saat itu tidak terlalu tinggi dan sedikit kurus.
Saat itu, Freza ingat betul, pertama dan terakhir kalinya Freza melihat kakaknya berkelahi dengan hidung yang mengeluarkan darah saat tidak sengaja mengenai kepalanya dan berakhir dengan hidung Azgar yang banyak mengeluarkan darah.
"Bersenang-senanglah."
"Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan."
"Di hari nanti.. sebuah kisa klasik untuk masa depan."
"Bersenang-senanglah."
"Kar'na waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua.."
Saat Freza ingin menyanyikan reff, suara ketukan pintu terdengar beberapa kali, membuat Freza meletakkan gitar yang sebelumnya ada di dalam pangkuannya ke tempat semula. Ia benar-benar diam, tidak bersuara, bahkan Freza mengatur suara nafasnya yang kemungkinan akan terdengar jika orang yang mengetuk pintu saat ini memiliki indra pendengaran yang tajam.
Terdengar konyol, tapi tidak ada yang tidak mungkin di zaman serba canggih seperti ini bukan? Freza menghela napas saat mendengar suara langkah kaki mulai menjauh dari ruangan ini. merebahkan tubuhnya, Freza menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan di belakang kepalanya. Saat ingin memejamkan mata, namanya dipanggil melalui interkom yang ada tersambung juga di ruangan ini, membuat Freza bangkit dari tidurnya dengan kedua kakinya yang tertekuk.
"HHAAAHH!!!" teriak Freza kesal, kedua tangannya mengacak rambutnya sampai berantakan. "gue kan nggak salah apa-apa!!" teriaknya kali ini dengan sedikit kencang. terdiam sebentar, Freza bangun dari posisinya saat ini, lalu dengan tenang, ia membuka kancing seragamnya, lalu mengeluarkan seragam yang sebelumnya terlihat sangat rapi.
"Masih ada empat hari lagi 'kan sebelum keputusan pindah?" gumamnya dengan senyum licik yang menghias wajahnya.
***
Azgar memakai headset lalu pergi keluar dari kelasnya untuk pergi ke kantin. Bel istirahat terdengar beberapa menit yang lalu, namun ia sengaja mengulur sedikit waktu agar tidak bertemu dengan Alia dan gadis-gadis yang lain.
Saat berbelok ingin menuruni anak-anak tangga, kedua netranya menangkap salah satu siswi yang kakinya sengaja dijegal oleh siswa lainya, sebelum siswi itu menghantam lantai dengan cepat Azgar menahan bahu siswi itu agar tidak terjatuh ke depan.
Melemparkan tatapan tajam, Azgar menggeleng kecil lalu melirik kearah siswi tadi dengan raut wajah datar. "Lain Kali rambutnya diikat." Menggigit pipi bagian dalamnya kencang, Azgar menghela nafas berat, lalu pergi meninggalkan para siswi yang mulai berkumpul.
Faris melihat Azgar yang berjalan sendirian menuju kantin berniat menghampiri teman sekelasnya itu, namun Faris urungkan saat melihat Ilyas berada tepat di sebelah temannya itu, dengan langkah berat, Ilyas berbalik badan lalu meninggalkan koridor, memilih jalan belakang untuk pergi ke kantin.
Azgar dan Ilyas adalah dua orang yang terkenal karena paras tampan yang dimiliki keduanya. Jika Azgar terkenal dengan raut wajah tanpa ekspresi, berbalik dengan Ilyas, laki-laki itu selalu mengumbar senyum hangat pada siapapun yang baru laki-laki itu kenal, makanya banyak siswi dari angkatannya maupun kakak kelasnya mengincar dirinya untuk dimintai nomor telepon atau sekedar modus untuk berbincang dengannya.
"Mas, denger-denger si Abang Freza mau pindah kesini." Ucap Ilyas membuka pembicaraan, karena sejak tadi bertemu sampai mereka berdua sampai di kantin, tidak ada obrolan panjang antara keduanya.
Azgar berdehem sebagai jawaban, membuat Ilyas memanyunkan bibirnya dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Melirik melalui ekor mata, Azgar mengusap rambut Ilyas menggunakan tangan kirinya.
"Mas, lo nggak ada niatan untuk potong rambut?"
"Enggak."
"Kenapa?"
"Gak apa."
"Jangan bilang mau ikutin Paman Rama!"
Mendengus, Azgar menggelengkan kepala saat Ilyas menuduhnya seperti barusan. "Pesan makanan sana, panggil Alia suruh ke kantin, pesenin juga buat dia."
"Nggak mau ah, nanti salah mulu kalau gue yang pesan, tunggu anaknya kesini aja, tadi katanya sih lagi ganti baju, habis olahraga." Protes Ilyas dengan raut wajah kesal.
Ini yang membuat Ilyas dan Azgar terlihat sangat mencolok di mata seluruh siswa dan siswi di SMA PRADITOR. Ilyas dengan segala ekspresi yang terang-terangan ditujukan, sedangkan Azgar, laki-laki itu tidak pernah mengekspresikan apa yang dirasakan, entah itu senang, sedih, dan yang lainnya.
"Mas, lo senyum gitu."
"Biar apa?"
"Biar dapat pahala."
"Oke."
Azgar menarik senyuman kecil, lalu kembali lagi ke ekspresi awalnya, membuat Ilyas menaikkan kedua alisnya, lalu saat ingin menjitak kepala Azgar, tangannya sudah terlebih dahulu ditahan oleh Azgar yang saat ini terlihat seperti sedang menertawakan dirinya sekaligus mengejek.
Andai semua orang tau kelakuan saudaranya yang satu ini, sudah dipastikan tidak akan ada yang mau menyukai Azgar karena sikap menyebalkannya. Menepiskan tangan Ilyas, Azgar menyisir poninya ke belakang, membuat beberapa siswi heboh hanya karena melihat ketampanan Azgar bertambah beberapa persen saat dahi laki-laki itu terlihat.
"Mana Alia?"
"Tau ya lama bang,-"
"JENG! JENG! Aku disini!" teriak Alia tiba-tiba, membuat Ilyas hampir melompat di tempatnya berdiri saat ini. mengusap dada, Ilyas menjitak kepala adiknya yang lebih pendek darinya. "Aduh! Maass~ lihat tuh, masa Mas Ilyas jitak kepala Alia.."
Menengok ke arah lain, Azgar tidak merespon aduan yang Alia barusan lakukan. Saat kedua matanya berkaca-kaca, dua tangan melingkar di perut Alia lalu keduanya berjalan seperti seekor pinguin yang ingin cepat masuk kedalam air untuk mencari ikan.
Alia mendongak kan kepala bersamaan dengan Azgar yang menundukkan kepala. Alia bisa melihat sudut bibir Azgar tertarik sedikit, sebuah senyum yang tidak terlihat seperti senyuman, karena saudaranya itu terlalu sering memperlihatkan ekspresi datar.
Ilyas tertawa kecil saat melihat respon yang Azgar berikan. Saudaranya itu memang tidak terlalu banyak memberikan respon seperti yang dilakukan pada kakak kebanyakan, laki-laki itu akan merespon sesuai caranya, seperti yang saat ini Azgar lakukan.
Memeluk Adiknya dari belakang lalu memesan makanan yang diinginkan oleh adiknya itu. kerah bajunya tiba-tiba tertarik membuatnya mau tidak mau bergerak cepat jika tidak mau tercekik kerah seragamnya sendiri. Orang yang melakukan itu masih orang yang sama, yaitu Azgar.
Faris menerima pesan masuk di ponselnya, membuka kata sandi, Faris membaca pesan yang masuk.
A. Zafar Ardinanto : kantin, cpt. Ngapain di perpus, mkn dl, makin krus lo.
Mendongakkan kepala, Faris mengedarkan pandangannya pada perpustakaan. Ponselnya kembali bergetar saat pesan dari Azgar kembali masuk.
A. Zafar Ardinanto : lma.
Faris Hidayat : on the way, ge!
Setelah membalas pesan untuk Azgar, Faris keluar dari perpustakaan dengan berlari menuju kantin untuk makan. Saat kakinya ingin masuk kedalam kantin, langkah kakinya terhenti, benar-benar terhenti.
Kenapa gue pergi dari perpus? Kenapa gue harus ikutin apa yang Zafar perintahkan, gue kan punya uang, kenapa nggak pergi makan dari tadi, kenapa harus tunggu Zafar merintah gue, batin Faris.
Dengan lesu Faris memasuki kantin dan pergi menghampiri meja yang ditempati oleh Azgar, Ilyas, dan Alia.
"Pesan gih Bang! Hari ini Mas Azgar yang trak,-" belum selesai berbicara, bibir Ilyas sudah terlebih dahulu di bekap oleh Azgar agar tidak melanjutkan ucapannya. Tersenyum kecil, Faris mengangguk lalu pergi memesan makanan. Toh, memang begitukan, Faris akan makan jika Azgar membelikan dia makanan, jika tidak, ia akan menahan lapar sampai pulang sekolah.
Faris berdiri lama di depan tempat nasi goreng, makanan yang selalu ia pesan jika Azgar mentraktirnya makanan. Makanan yang masih bisa dijangkau oleh orang sepertinya, melirik telur omelet, Faris meneguk salivanya berat. Menggelengkan kepala, Faris tersenyum sambil menunjuk nasi goreng biasa yang sedikit pedas dan juga air putih hangat.
Azgar memperhatikan gerak gerik Faris sejak tadi, lalu menarik Ilyas untuk memesankan sesuatu. Mengangguk paham, Ilyas pergi menghampiri Faris yang masih menunggu nasi gorengnya jadi.
"Bu, Omelette empat sama.. es teh tiga, terus.. oh! Teh hangat satu." Ucap Ilyas dengan sopan. "Nanti tolong di antar di meja yang itu ya Bu." Lanjut Ilyas dengan menunjuk meja yang ditempati oleh Alia dan Azgar.
"Oh, iya... nanti Ibu antar, sekalian punya nak Faris."
"Iya bu, terima kasih ya.." Ilyas menarik tangan Faris agar segera duduk, setelah itu mereka berdua duduk dengan Faris berhadapan dengan Ilyas. "Nah, kita kenalan dulu."
"Gue sudah kenal, lo."
"Ah itu.. kan kita belum kenal secara resmi bang."
"Faris Hidayat, panggil aja Far."
"gue Ilyas, Ilyas Ardietha Pangestu. Salam kenal bang, tapi jangan deket-deket adik gue ya."
Faris menganggukkan kepala setelah mendapatkan ancaman secara terang-terangan dari Ilyas yang merupakan adik kelasnya di sekolah. Beberapa menit kemudian, pesanan mereka sampai, begitu juga dengan pesanan Faris, dan pesanan yang Ilyas bilang tadi.
Menunggu air putih hangat, Faris menengok ke arah belakang, menunggu, siapa tahu pesanannya terlupa. Baru ingin bertanya, Ilyas mencolek tangan nya untuk memakan omelet sekaligus memberikan es teh yang ada di dekat piring nasi gorengnya.
"Ayo makan!" teriak Alia membuat Faris terkejut dengan teriakan yang barusan dilakukan oleh Alia. "Ayo bang Far makan!" Faris nyaris tersedak saat mengunyah nasi goreng yang ada di dalam mulutnya.
"I-iya Li."
"Ih, itu omeletnya dimakan juga, nanti omeletnya nangis loh.. iya kan Mas, Bang?"
Azgar dan Ilyas mengangguk bersamaan membuat sudut bibir Faris terangkat mengulas senyum. Akhirnya..Alhamdulillah..
-------------------------------------
selaamat membaca! semoga suka, hm.. kira-kira nanti Freza bakalan ikutin omongan kedua orangtuanya atau tetap ikut temennya itu ya? hmm, buat yang penasaran, di tunggu aja.
SELAMAT MEMBACA UNTUK PEMBACA BARU, SEMOGA SUKA DAN NYAMAN YA!
jangan lupa untuk vote, komen, dan share, kalo kalian benar-benar suka ya! terima kasih!
Repost : 7 Feb 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro