Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 10

***

Menghentikan motor, Freza menurunkan Ayunda tepat di depan rumah yang berada di belakan toko soto. Tersenyum cerah, Ayunda mengangkat kantong plastik yang berisi es krim dan beberapa camilan dengan bahagia.

"Makasih udah di traktir, sering-sering aja, hehehe."

"Nggak ah, nanti lo malah kesenengan gue jajanin terus."

"Gak apa, itu namanya beramal!"

"Beramal itu sama orang yang lebih membutuhkan bukan sama lo."

"Aku kan juga membutuhkan, membutuhkan makanan buat teman belajar, capek tau kalau belajar nggak ada yang nyemangatin."

"Ceileh, kode banget kalau belajar minta di temenin."

"Nggak gitu!" seru Ayunda seraya mengalihkan pandangan ke arah lain, tangan nya mendorong lengan Freza kencang. "Sana pulang! Katanya ada acara keluarga, ini udah malam loh!"

"Iya, ini gue mau pulang, nggak usah di usir gitu dong, udah di jajanin juga!"

"Kok kamu gitu, nggak ikhlas ya?!"

"Bercanda elah, yaudah, gue balik ya, salam buat Ibu sama Bapak maaf belum bisa mampir."

"Iya, daah! Hati-hati di jalan ya,"

Berdeham pelan, Freza menyalakan motor kemudian menurunkan kaca helm nya, menekan klakson beberapa kali, Freza langsung meninggalkan Ayunda dengan seorang lelaki yang tidak jauh dari tempat Ayunda berdiri.

Saat berbalik badan, Ayunda di kejutkan oleh keberadaan anak yang seusia dengan nya menatap tajam kearah nya saat ini.

"Bagus banget kamu malah jalan sama dia, ingat tugas kamu Ay, jangan terlalu jauh taruh perasaan, atau nanti keluarga kamu yang dalam bahaya." Ujar lelaki itu kemudian pergi menjauh setelah menepuk bahu Ayunda.

Meremat kantong plastik pemberian Freza, Ayunda berteriak kencang, membuat lelaki itu berhenti melangkah.

"NGGAK BISA!"

"Tcih! Kalian sendiri yang menawarkan buat bantu aku, tapi kamu malah..."

"MEREKA ORANG BAIK! NGGAK BISA! AKU NGGAK BISA!"

"Kalau mereka baik, mereka nggak akan menghilangkan seorang Ayah dari keluarganya."

"Tapi yang aku lihat mereka itu orang-orang baik!"

"Jangan tertipu, mereka pandai memainkan perasaan orang lain dan membalikkan kata-kata."

Berbalik badan Ayunda menatap punggung itu dengan tatapan terluka. Ayunda mengingat semua kesedihan yang dialami oleh lelaki itu, teapi ia tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Keluarganya memang menawarkan bantuan, tetapi bukan untuk membalaskan dendam, tetapi untuk membantu menyelidiki kasus itu karena Kakaknya adalah salah satu petinggi di Kepolisian.

"Ay, aku tumbuh besar tanpa kehadiran seorang Ayah."

"Ag-"

"Kamu bilang kamu bakalan bertahan disisi aku selamanya, kamu bilang kamu mau bantu aku, kamu bilang kita selama ini sahabat, tapi nyatanya apa?" kekehan mengerikan terdengar dari bibir lelaki itu. "Ternyata kamu saja aja sama yang lain, kalian cuma mau tau keadaanku, bukan bantu aku."

"Kalau kamu berubah pikiran, kamu tau aku ada dimana, kalau kamu nggak berubah pikiran, artinya keluarga kalian siap kehilangan satu sama lain, pikirin itu, jangan karena aku lembek ke kamu, artinya kamu bebas lepas dari aku." Menendang krikil yang ada di hadapan nya, lelaki itu pergi meninggalkan Ayunda yang kini mematung di tempatnya. "Aku peringatin itu aja, aku juga pingin lepas dari semua ini, tapi aku harus selesaikan sesuatu yang sudah mereka mulai, aku nggak akan tinggal diam, karena mereka udah merusak keluargaku, bahkan merusak mental Ibuku menjadi orang yang pemabuk dan memukuliku setiap saat."

"Agung... kamu jangan begini..." lirih Ayunda ketakutan mendengar ancaman lelaki itu.

"Terserah kamu, kalau kamu coba-coba mencari cara keluar lain dengan menggunakan kekuatan Kakak mu yang nggak peduli sama keluarganya sendiri, itu terserah, yang jelas, entah bagiamana pun caranya aku buat kalian kehilangan satu persatu, sama seperti yang aku rasain."

Mengangkat tangan sedikit tinggi, lelaki itu pergi meninggalkan Ayunda yang jatuh terduduk. "A... aku hampir lupa," Agung menoleh ke belakang, tangan nya menurunkan masker yang sejak tadi di gunakan. "aku nggak pernah main-main sama ucapanku Ay, kamu tau itu sendiri." Lanjutnya dengan senyum lebar, membuat wajah tampan nya semakin terlihat bersinar di bawah sinar rembulan.

***

Azgar dan Rafael duduk di teras depan dengan berbincang singkat. Sebetulnya keduanya menunggu Freza pulang, karena semua orang sudah menanyakan kemana perginya Freza sampai malam seperti ini belum kembali ke rumah.

"Memangnya dia sering pergi sampai larut malam?" tanya Rafael, lelaki bersurai hitam legam dengan iris mata coklat.

"Aku nggak terlalu memperhatikan anak itu."

"Yang benar?"

"Em,"

"Apa kamu masih melindunginya dengan cara diam-diam?"

"Nggak, sekarang aku harus terang-terangan menolongnya, karena anak kecil itu sudah tau semuanya."

"Tau?"

"Ya, dia tau kalau aku sering tolongin dia secara diam-diam."

"Kok bisa?"

Menggaruk pelipis menggunakan telunjuk, Azgar terkekeh kecil. "Anak itu di hukum, dan harus ikutin Ayah kemanapun Ayah pergi, jadi ya begitu, kamu tau sendiri Paman Rama lebih gila dari Paman Riad. Mendengar aku yang mimisan seperti itu langsung datang ke kamar dan memarahi Ayah."

Menghembuskan napas panjang, Rafael mengusak rambut Azgar dengan lembut. "Pria tua itu sangat menyayangi dan melindungi kamu. Namun, memang caranya saja yang salah, terlalu over pada anak lain dan sedikit mengabaikan anak nya itu."

"Ah ya, berbicara anak itu, apa dia akan kembali ke Indonesia setelah studinya selesai di Jepang?"

"Entah, berharap saja anak itu akan datang untuk menyelesaikan satu masalah yang sejak dulu di pegang oleh Paman Rama, aku dengar dari orang kepercayaanku, orang itu hampir mati oleh anak itu."

"Benarkah?"

"Hm... ini cukup kita saja yang tau, menurutku, cepat atau lambat, anak dari orang itu akan mengambil langkah besar, karena selama ini kita terlalu damai."

"Aku juga berpikir seperti itu, setidaknya aku harus melindungi dua keluarga, keluarga ku dan keluarga paman Gilang, karena kamu tau sendiri anak mereka masih kecil."

"Kamu menanggung beban yang berat sebagai cucu pertama."

"Kamu juga sama Kak."

"Yah... aku yakin mereka akan mengincar salah satu dari keluarga kita."

"Kemana Rafadan, kenapa nggak ikut?"

"Dia lagi ada jam ngajar, nanti juga datang."

"Kalau Kiandra dimana?"

Wajahnya menggelap, Rafael mengusap wajahnya lelah. "Nggak tau, dia itu susah di ajak kumpul keluarga lagi, dia lebih senang habisin waktunya nonton drama korea di rumah, nggak pernah macam-macam memang, tapi makin gerah lihatnya kalau tengah malam teriak-teriak mirip orang kesurupan."

Azgar tersenyum kecil. "Pasti ramai, kalau disini si Freza doang yang berisik."

"Iya, kamu 'kan lebih senang di kamar, kalau pergi nggak jauh-jauh dari tempat gymm."

"Sama seperti Kak Rafael dan Rafadan 'kan?"

"Iya benar, apa kita buat pelatihan ya untuk semua anak laki-laki dari Fregilmadra, mereka seenggaknya harus bisa pegang senjata disaat saat genting, apalagi orang tua mereka para petinggi dan ahli waris yang sah di mata hukum dan negara."

Suara motor dan mobil masuk ke pekarangan rumah secara bersamaan. Membuat keduanya menoleh ke depan dan melihat Freza, Rafadan, dan Kiandra datang secara bersamaan. Saling menyapa satu sama lain, Freza merentangkan tangan saat melihat Rafael dan Azgar yang menghampiri mereka bertiga.

"MAAAAASSS!!!" teriak Freza bahagia.

Rafael tertawa geli, terlalu gemas melihat tingkah Freza yang masih seperti anak-anak.mengambil alih belanjaan yang di bawa oleh Freza, Rafael mengusak kepala Azgar dengan lembut.

"Kamu nih sudah besar masih seperti anak kecil, cepat masuk, mandi lalu ikut makan bersama." Titah Rafael, yang di tanggapi dengan cengiran lebar.

Melihat Azgar, Freza tersenyum cerah pasalnya Azgar menggunakan pakaian yang di belikan olehnya, celana bahan putih, kaos putih dan cardigan rajut berwana pale turquoise yang terlihat indah saat di gunakan oleh Azgar.

"Mas, bajunya bagus kalau lo yang pakai, nanti gue beliin lagi dah hehehe."

Tersenyum tipis, Azgar mengusak rambut Freza gemas. "Masuk sana, ada bibi Monic, kasih selamat lagi isi lagi."

"BENERAN?" tanya nya heboh.

"Iya, sana pergi kasih selamat."

"Yep yep! Duluan ya Mas, Mbak."

"HEH SIAPA YANG KAMU PANGGIL MBAK!" teriak Kiandra.

Menepuk dahi. "Iya maaf salah, maksudnya nunna Kiandra."

"Nah gitu dong, okay! Nanti aku pinjam kamar kamu ya, mau nonton hehe."

"Di ruang film aja Nunna, nanti Freza ikutan, mau liat Do Kyungsoo."

"OKE!" Seru Kiandra bersemangat. "Emang kamu doang yang punya ekspresi, nggak kayak mereka bertiga, sana masuk mandi terus nanti kebawah ya,"

"Okay, byebye!"

Merasa di perhatikan, Kiandra menatap ketiga orang lelaki yang berada di sekitarnya memandang balik dengan pandangan galak. Tangan nya bersedekap di depan dada.

"Apa? emang benar kok, nggak usah protes!" menyeringai, Kiandra mengeluarkan iPad miliknya, kemudian menyuruh ketiganya mendekat. "Kita harus memperketat penjagaan, anak dari orang itu mulai menunjukkan ulah."

"Adikku yang manis ini memang patut diacungi jempol," ujar Rafadan bangga.

"Kemarin yang marah-marahin aku siapa ya,"

"Kita bahas itu nanti, sekarang kita harus masuk dulu ke dalam, orang tua itu akan curiga kalau kita berkumpul disini." Ujar Azgar dengan mendahului ketiganya.

Menggeleng tak percaya, Kiandra memegang dahinya tak habis pikir bagaimana anak pertama keluarga Ardinanto itu bisa setenang itu saat melihat bahaya di depan mata.

"Astaga, anak itu, benar-benar!" seru Kiandra

"Dia tak akan berubah, kecuali ada yang mengusik keluarganya, benarkan Mas?" tanya Rafadan.

"Yah... begitulah, walaupun memiliki kekuarangan, anak itu pandai menutupinya dengan kekuatan lainnya. Kita sangat beruntung memiliki kunci besar di dalam tubuh anak itu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro