Episode 1.
"Berhenti." Kedua matanya menatap tajam dengan alis yang menukik tajam. "Lo mau babak belur, terus buat Bunda khawatir?"
"Ngapain lu kesini, hah? ! Kalo lu mau ikut ribut, berdiri di belakang gua, kalo nggak mau bo,-"
D u a k h !!
"Lo yang harus berdiri di belakang Kakak lo, Adik."
Pukulan Hook benar-benar menghantam bawah dagu orang yang ingin memukul Freza menggunakan balok kayu. Pukulan yang di berikan tidak tanggung-tanggung, nyatanya mampu membuat lawan tersungkur dengan memegangi rahang.
"Sejak ...”
"Gak perlu tau, tugas gue cuma bawa lo pulang."
"Terus temen-temen gua gimana hah?! Mereka berharga buat gua!" Freza memukul salah satu lawannya tepat di bagian ulu hati, membuat lawannya mundur kebelakang. "Kalo lu mau gua ikut pulang, lu harus bantu gua."
Sebelah alisnya terangkat. Kedua tangan yang sebelumnya berada di depan wajahnya, kini turun bersamaan dengan raut wajahnya yang berubah menjadi datar.
"Urus sendiri."
Setelah mengatakan hal itu, yang Freza lihat, orang itu benar-benar pergi mengabaikan orang-orang yang saat ini berlari kearah Freza secara bersamaan. Dalam hati, Freza benar-benar ingin memukul Kakak kandung satu-satunya itu, lalu membuatnya dimarahi oleh Bunda mereka berdua. Lihat aja nanti, lu pasti kena semprot sama Bunda dan Ayah!
***
Episode 1.
***
Azahra meletakkan piring terakhir diatas meja makan. Melepas apron yang sebelumnya dipakai, Azzahra pergi ke lantai dua menuju kamar kedua anaknya yang kemungkinan masih tidur di jam-jam seperti ini.
Mengetuk pintu kamar berwarna coklat beberapa kali, Azzahra masuk kedalam kamar lalu melihat anak kedua nya masih tertidur dengan posisi tengkurap.
Tersenyum kecil, Azzahra mengusap rambut hitam anaknya itu, lalu pergi menuju jendela yang ada di dekat meja belajar anaknya itu, membuka jendela itu lebar-lebar lalu menjauhkan tirai yang sebelumnya menutup jendela. Sinar matahari yang sebelumnya terhalang kini masuk kedalam kamar ini membuat kamar terlihat lebih terang, ditambah lagi udara yang masuk membuat kamar lebih terasa nyaman karena usaha yang ada di dalam kamar terganti dengan udara yang lebih segar.
"Ergm.. Buun, jangan dibuka jendelanya.." rengek anaknya itu dengan kedua kaki yang menendang-nendang angin.
"Hayoo, Abang Freza bangun lalu turun ke bawah untuk makan bareng."
"Gak mau Bun, Abang masih ngantuk."
"Satu..."
"Bunda.."
"Dua..."
Bangun dari tempat tidur, Freza menghentakkan kaki lalu pergi menuju kamar mandi untuk cuci muka, dan sikat gigi. Melihat tingkah anaknya sendiri, Azzahra tertawa kecil karena si bungsu memang mirip dengan Suaminya, persis! Sifatnya mirip Frega, walaupun wajahnya lebih sedikit mirip dengan dirinya.
"Nanti jangan tidur lagi ya, Abang! Jangan coba-coba tidur di bath up!" merasa tidak ada jawaban, Azzahra mengetuk pintu kamar mandi, lalu memainkan knop pintu kamar mandi berulang kali agar Freza merasa terganggu lalu bergegas untuk menyikat gigi dan mencuci muka untuk makan bersama.
"Iya Bunda, Masyaallah.., rusak itu nanti knop pintu nyaaaa!"
"Biarin! Biar nggak bisa keluar kamu sekalian dari kamar mandi, terus tidur di bathup, nanti tiba-tiba ada kecoa,-"
"Bunda!!!!"
Freza berusaha keluar dari kamar mandi saat Bundanya itu menakut-nakutinya dengan serangga yang bernama kecoa. Freza berusaha membuka pintu kamar mandi. Namun, ditahan dari luar oleh Azzahra karena kesal sekaligus mengerjai anaknya yang sudah menginjak umur 15 tahun dan duduk disekolah menengah Atas kelas satu.
Saat merasa pintunya ditarik dengan kuat, Azzahra dengan tenangnya melepas pegangan pada knop pintu dan membuat suara gaduh di dalam kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka dengan perlahan dan menampilkan Freza terduduk di atas lantai kamar mandi dengan sikat gigi yang ada di dalam mulutnya.
"Sukurin." Setelah mengatakan itu, Azahra keluar dari kamar anaknya itu dengan senyum kemenangan di wajahnya. meninggalkan Freza yang masih setia duduk dengan raut wajah tidak percaya.
"Itu Bunda gua bukan sih?" gumam Freza seraya bangun. "Haish..," mengusap bagian belakang nya dengan tangan kiri. "Sakit juga ternyata, tau gitu gak usah gaya-gayaan pakai sandal." Rutuknya dengan tangan kanan yang memegang sikat gigi.
***
Dengan tenang, Frega duduk di halaman belakang rumahnya setelah memotong rumput-rumput yang mulai sedikit meninggi. Sesekali Frega mengusap wajahnya menggunakan handuk kecil yang bertengger di lehernya.
Menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan, Frega menengok ke arah belakang, tempat dimana anak sulungnya sedang menyapu tempat yang sebelumnya sudah Frega rampungkan terlebih dahulu.
"Boy! Sudah?"
Bukannya menjawab, yang ditanya hanya mengangguk kan kepala lalu kembali menyapu halaman menggunakan sapu lidi yang ditambahkan dengan bambu agar tidak perlu membungkuk saat menyapu halaman seperti saat ini.
Frega tersenyum kecil saat melihat respon anak sulungnya itu. Frega sadar betul jika sifat itu sama persis seperti yang Frega lakukan dulu semasa muda, bukan hanya si sulung yang melakukan itu, terkadang si bungsu juga ikut-ikutan melakukan hal sama sampai membuat Frega gemas sendiri.
Beberapa sahabatnya juga menasihati Frega untuk sesekali menegur apa yang dilakukan kedua anaknya lalu berkata "Jangan jawab begitu nak, nanti kamu jadi seperti Ayah, punya anak di ajak ngobrol bukannya jawab cuma ngangguk sama geleng, mirip robot." Frega ingat betul saat itu Chandra dan Gilang yang mengatakan hal yang sama di kesempatan yang berbeda. Bahkan Tania pernah marah ke Frega hanya karena hal seperti itu.
"Mas!!" teriak Azzahra, membuat Frega dan anak sulung nya menengok ke sumber suara.
"Ya Bun?" jawab keduanya bersamaan, membuat Frega dan anak sulungnya saling melemparkan tatapan kesal.
Azahra yang mendengar Suami dan anaknya menjawab panggilan nya dengan kompak pun tertawa geli, di tambah lagi ekspresi dua orang kesayangan nya itu, benar-benar memperlihatkan sisi dominan dan tidak mau mengalah yang sangat terlihat kontras.
Frega berdecak kesal saat anak sulungnya memutus kontak mata mereka berdua hanya untuk memperhatikan Istrinya yang saat ini tengah tertawa di teras belakang sebelum masuk ke halaman tempat dimana Frega dan si sulung berada.
"Kamu kenapa bun?" tanya Frega lalu menghampiri Azahra yang saat ini duduk diatas lantai dengan terus memperhatikan raja dan pangeran dirumahnya ini.
"Nggak apa kok Mas, tadi aku mau tanya dimana si Azgar, taunya lagi sama kamu disini."
"Iya, tadi tiba-tiba Azgar datang terus cari sapu untuk bantu Mas disini."
"Mengada-ngada," Frega menengok ke arah belakang dengan raut wajah kesal. "Tadi Mas Mau di lempar bun pakai remote sama ayah kalo nggak mau bantu."
"Beneran kamu kayak gitu Mas?"
"Nggak Dek, Mas mana berani begitu."
"Bohong Bun.. tadi remotenya sudah diangkat tinggi, terus Mas langsung kesini cari sapu buat bantu Ayah."
Menghela nafas panjang. "Yaudah, ayo Mas Azgar masuk kedalam, siap-siap untuk makan."
Azzahra bangun dari duduknya lalu menarik tangan Azgar agar menjauh dari Frega dan masuk kedalam rumah, meninggalkan Frega yang saat ini memasang ekspresi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, karena anak sulungnya itu memperlihatkan seringaian yang mirip dengan dirinya.
Menepuk dahi, Frega membalikkan tubuhnya saat Istri dan anaknya sudah masuk kedalam rumah. "Ya Allah.., pantesan dulu Ayah sama Bunda uring-uringan ngerawat saya." Gumam Frega pelan. Seringaian Azgar kembali melintas di kepalanya, sukses membuat bulu kuduknya merinding. "Apa iya seseram itu, nggak mungkin lah ya.. kayaknya itu faktor si Mas yang ngelakuin."
"Ayah, ayo makan dulu, dari tadi dipanggil Bunda, nanti Abang bantu kalo belum selesai."
Frega mengejang kaget saat mendengar suara si bungsu tepat di sampingnya. Membalikkan badan, Frega tersenyum kecil, lalu merangkul anaknya yang bernama Freza untuk masuk kedalam rumah dan ikut makan bersama Istri dan juga anaknya yang bernama Azgar.
"Kamu jangan muncul tiba-tiba seperti tadi ya lain kali."
"Emangnya kenapa yah?"
"Ayah bisa jantungan kalau kamu muncul seperti itu terus."
Menganggukkan kepala, Freza tersenyum lebar. Senyuman yang benar-benar mirip dengan senyum milik Azzahra, membuat Frega reflek memeluk anaknya erat.
***
"Mas!!!" teriak Freza saat masuk kedalam kamar Azgar yang tidak pernah terkunci, kecuali pada malam hari.
Kepalanya menengok setiap sudut ruangan yang ada di kamar ini. kamar yang terlihat keren untuk anak seusianya, di dalam kamar kakaknya itu hanya ada beberapa hal yang pada umumnya ada di dalam kamar, seperti tempat tidur, lemari kayu, kursi dan meja belajar.
Tapi ada satu hal yang benar-benar membuat Freza gigit jari. Di dalam ruangan ini ada televisi dan playstation lengkap dengan komputer keluaran terbaru yang diberikan oleh Paman Rama untuk kakak satu-satunya itu.
Freza itu anak yang mudah iri, namun pantang meminta. Azgar juga paham sifat adiknya yang selalu ingin memiliki apa yang dia punya. Maka dari itu, sebagai kakak yang baik, Azgar selalu mengizinkan adiknya itu masuk kedalam kamarnya, dengan satu syarat yaitu dilarang memainkan komputer dan juga menyentuh rak buku.
"Sudah belum lihat-lihatnya?"
Freza seakan ditarik ke dunia nyata oleh suara Azgar yang saat ini tengah menatapnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Sejak dulu Freza selalu ingin menjadi kakaknya yang terlihat sangat keren dalam posisi apapun, bahkan saat tidur. Oke, abaikan hal itu.
Freza mendekati Azgar lalu membuka buku pelajarannya, bermaksud untuk langsung mengerjakan tugas tadinya, tapi fokusnya selalu buyar saat melihat Playstation yang ada dibalik lemari kaca di bawah televisi.
"Mau belajar atau mau main?"
"Belajar."
"Yang mana?"
"Apanya?"
"Materinya, fokus dulu. Main Playstation nya nanti sama Mas."
"Beneran ya?"
"Hm, kalo belajarnya nanti lebih dari jam delapan, artinya nggak jadi main."
"Kok gitu?" tanya Freza dengan raut wajah tidak terima.
"Semuanya tergantung dari bagaimana kamu menghargai waktu. Semakin cepat kamu bergerak dan memutuskan, semakin cepat kamu sampai pada tujuan."
"Hah?"
Azgar menggeleng, lalu menarik kursi untuk Freza duduk. "Sekarang apa lagi?" tanyanya dengan raut wajah bingung. Pasalnya sejak tadi, Freza tetap berdiri di tempatnya dengan bibir yang dimajukan.
Terdiam sebentar, tanpa sengaja kedua tangannya memegang tempat duduk pemberian Paman Rama dan membuat Azgar paham, jika adiknya itu ingin duduk di tempat duduk ini selama belajar.
Menghela nafas pelan, Azgar bangkit dari duduknya lalu berpindah ke kursi yang sedikit pendek untuk tubuhnya yang tinggi, kurang nyaman, namun jika itu untuk Freza, maka Azgar akan mengalah.
Dengan senang hati, Freza duduk di tempat duduk empuk yang memiliki bantalan punggung pada sandaran kursinya, rasanya seperti duduk di dalam mobil. Freza menunjukkan cengiran di wajahnya saat melihat Azgar yang saat ini sedang menopang dagu menggunakan tangan kiri.
"Sudah mau mulai belum?"
"Ayo Mas!" membuka buku tulisnya dengan semangat, Freza menunjuk salah satu soal yang sebetulnya masih mirip dengan soal pertama yang sudah dikerjakan oleh Freza, hanya berbeda sedikit di cara pengerjaannya. "Yang ini."
"Oh ini, yang mananya?"
"Dari sini, kan Eza sudah hitung dari sini, terus kok nggak ada jawabannya? Terus kenapa hasilnya bisa beda sama yang di buku paket?"
"Nih, dari sini rumusnya sudah salah." Azgar mengambil pensil mekanik berwarna merah dari tempat penyimpanan pensil. "Ini masih satu soal dari soal yang pertama kamu kerjain ini." Azgar menarik garis panjang di bawah soal yang Freza tulis. "Memangnya di sekolah kamu ngapain aja?"
"Ya sekolah, ketemu temen, terus main bola, ke kantin, ola,-"
"Stop. Jadi kesimpulannya kamu dengerin guru jelasin nggak?"
"Dengerin kok, tapi sambil ngobrol sama Yudi."
"Yang kamu dapat sekarang apa?"
"Bahan omongan satu kelas, Mas!"
"Bangga?"
Freza tertawa geli saat melihat wajah kesal Azgar. "Lanjut Mas, jadi gimana caranya?" Freza mendekatkan wajahnya ke buku tulisnya.
Menghela nafas panjang, Azgar memberitahu langkah pertama yang harus dikerjakan dalam soal, dengan teliti laki-laki itu menjelaskan agar Freza memahami apa yang dimaksud olehnya. Saat ingin melanjutkan menerangkan materi, Azgar dibuat diam saat Freza dengan suara pelan mengikuti apa yang diucapkan nya saat ini.
Menyadari Azgar diam, Freza terdiam lalu menatap kakaknya itu dengan senyum kecil. "Biar hafal Mas." Menggelengkan kepala, Azgar kembali menjelaskan dengan memperhatikan Freza yang saat ini terlihat sangat serius mendengar penjelasannya.
"Dari sini udah paham?"
"O..!"
"Sudah?"
"Belum, hehehe."
Dahi Azgar berdenyut setelah mendengar jawaban Freza plus senyuman lebar yang mirip dengan senyum Azzahra, bunda mereka berdua. Berusaha menahan emosi, Azgar meremas pensil mekaniknya agar tidak menunjukan apa yang dirasakan olehnya.
Menarik nafas panjang, Azgar menerangkan sekali lagi materi yang ditanyakan oleh Freza dengan pelan, bahkan sampai bertanya apa adiknya sudah paham atau belum di bagian-bagian tertentu, di bagian yang menurutnya memang sedikit sulit jika adiknya tidak fokus dan niat mengerjakan tugas.
"Nah, dari sini sudah paham?"
"Udah!"
"Alhamdu,-"
"Udah bosen, nggak ngerti. Males sama Matematika."
"Lilah.." menarik nafas panjang, Azgar menepuk rambut Freza pelan. "Sekali lagi, kalo masih nggak ngerti juga, besok minta Bunda sama Ayah untuk ikut les."
"Nggak ada waktu."
"Gaya banget kamu. Dirumah kerjaan nya tidur sama main PlayStation doang."
"Itu sibuknya, main PlayStation."
"Jawab terus!"
"Jawab lah, selama bisa jawab."
"Freza.."
"Ganteng."
Reflek Azgar mengusap wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Astaghfirullah.. kamu mending keluar sana, Mas nggak mau ajarin kamu. Tugas Mas lebih banyak, waktu Mas juga terbuang percuma 'kan gara-gara kamu nggak fokus, sana keluar!"
"Tapikan.. tapikan Abang belum paham, Mas sekali lagi dah!" Ujar Freza dengan raut wajah memelasnya, ditambah lagi kini Freza menggosok-gosok kedua tangannya dengan bibir yang di majukan.
Menengok ke arah lain, Azgar berusaha tidak termakan oleh rayuan Freza seperti yang sudah-sudah. Gak boleh terpengaruh, biarin diajarin sama Bunda, biar kapok. Rutuk Azgar dengan kedua alis yang menekuk. "Sana, buruan."
"Sekali lagi, Abang serius deh Mas!"
"Moso, do I look like I care?" Freza masih berusaha membujuk Azgar saat laki-laki itu sudah beranjak dari tempat duduknya dengan membereskan buku pelajaran yang sebelumnya Freza bawa.
"Mas! Sekali lagi, yang tadi bercanda doang, aslian!"
Menyeringai kecil, Azgar mendorong Freza keluar dari kamarnya. "I don't even care, hehehe. Good bye, go there hush!" setelah mengatakan hal itu, pintu kamar benar-benar tertutup dengan Freza yang berkedip beberapa kali saat melihat seringaian Azgar yang mirip dengan seseorang.
"MAASS!! EZA BELUM PAHAM!!" teriak Freza dari luar dengan berusaha membuka pintu yang di kunci dari dalam. "*Edan! Edaann!! Mas Ager edan!"
"Reza, kamu ngatain Mas kamu apa barusan?"
Deg!
Freza berbalik badan dan menemukan Ayahnya yang saat ini berjalan menghampirinya yang ada di depan kamar Azgar. Menundukkan kepala, Freza memainkan pensil mekanik yang ada di tangan kirinya berulang kali, dan berhenti saat Frega berhenti di depannya.
"Kamu ngatain apa barusan ke Masmu, hm?"
"Ngatain edan, yah."
"Kenapa coba kamu bilang begitu ke Masmu? Kamu tau kan, itu kurang sopan kalau di tuju ke orang yang lebih tua, apalagi ke teman sendiri. Jadi apa masalahnya kali ini?"
"Habisnya Eza kesel yah, 'kan Eza emang nggak paham materinya, tapi Mas malah marah-marah."
Tersenyum kecil, Frega mengusap rambut Freza menggunakan telapak tangan kanannya. "Yasudah.., ayo belajar di bawah, biar Ayah bantu materi yang belum kamu paham."
"Tapi ini materi Matematika yah."
"Terus kenapa?"
"Emangnya Ayah bisa?"
"Ya bisa! Ayah dulu Ketua Osis terus pinter, tanya sana ke bundamu."
"Masa iya?"
"Heih, nih anak ya.."
Freza tertawa saat melihat ekspresi pasrah Ayahnya saat ini tengah Freza kerjai. Mendekat kearah Ayahnya, lalu tersenyum lebar, Freza tersenyum melihat wajahnya yang tetap terlihat muda, bahkan teman-teman sekolahnya selalu menyangka jika Ayahnya ini adalah kembarannya, dan Bundanya adalah kakak perempuannya.
"Kenapa, Ayah ganteng 'kan?"
"Dih! Pede banget si Ayah!"
"Hahaha, nyatanya memang gitu.. banyak yang suka sama Ayah. Bundamu juga banyak yang suka dulu, tapi milihnya tetap Ayah, nikahnya juga sama Ayah."
"Wah, Bunda ketiban sial nih!"
"Hush! Ngawur mulutnya!"
"Bercanda yah, Freza sama Mas Azgar beruntung punya Ayah sama Bunda kayak kalian malah."
"Maaf ya, dompet Ayah ditahan Bunda."
"AYAH!!" teriak Freza membuat Frega tertawa geli, Azahra yang sebelumnya ada di dapur sedang makan pun sampai berlari ke ruang tengah untuk melihat apa yang dilakukan oleh Ayah dan anak itu kali ini.
"Kenapa?" tanya Azahra sambil mengelap bibirnya menggunakan tisu.
"Ayah tuh, bun!"
"Freza tuh, masa tiba-tiba muji-muji aku sama kamu.. terus aku jawab aja, dompet aku sama kamu."
"O.. dompet? Iya, nih sama Bunda, lagi Bunda tahan, soalnya Ayahmu itu lagi ngincer motor baru."
"Motor? Buat siapa lagi kali ini, yah?"
"Buat di tawarin ke teman, bisnis."
"Terus kamu ngapain bawa buku kesini?"
Azahra mengambil buku Freza lalu membuka halaman yang di selipkan pulpen di dalam bukunya. Membawa buku ke dapur. "Duduk disana, Bunda mau ambil minum sebentar." Melihat Frega ingin mengikutinya, Azzahra sudah terlebih dahulu mencegah suaminya itu agar tetap duduk bersama anak mereka. "Kamu juga Mas, diem aja disana temenin Abang."
Frega dan Freza duduk diam dengan sesekali memukul meja yang berubah menjadi drum. Terdiam sebentar, Ayah dan anak itu saling bertatapan, menunggu Azahra yang tidak kunjung kembali dari dapur.
"Eza, Minggu depan kamu pindah sekolah ke tempat Masmu ya." Ucap Frega dengan tenang.
"Kenapa gitu, yah?"
"Ada beberapa alasan, yang jelas Minggu depan sudah pindah ke sekolah Masmu itu."
"Bunda tau?"
"Bunda yang ngusulin itu. soalnya Bunda tau, disekolah Abang suka nggak ikut pelajaran 'kan? Bunda sama Ayah diam bukan berarti nggak tau gimana kamu di sekolah."
"Tapi Bun... Yah.."
"Nggak ada penolakan ya sayang, Bunda kayak gini karena sayang sama kamu."
"Tapi nanti kan susah lagi cari temannya."
"Kata siapa? Disana nanti kamu lebih mudah nemuin teman baru." Terdiam sebentar, Frega melirik Azahra yang sudah mulai fokus pada soal. "Tapi kalau kamu menolak juga nggak apa, pikirkan baik-baik, jangan karena Ayah sama Bunda kamu jadi terpaksa untuk pindah kesekolah Masmu. Ayah nggak masalah kamu mau tetap di sekolah yang sekarang, Bunda juga pasti begitu, tetapi yang terpenting Abang harus berubah, nggak boleh tuh yang namanya nggak ikut pelajaran seperti yang sudah-sudah." Frega menepuk-nepuk kepala Freza pelan. "Anggap saja, satu Minggu kedepan itu, hari penentuan kamu untuk memilih tinggal atau pergi ketempat yang lebih baik. Nah, belajar sama Bunda, Ayah mau urus kerjaan sebentar."
"Katanya Ayah yang mau ajarin!"
"Iya, sama Bunda dulu."
--------
Pukulan Hook : Hook dalam bahasa inggris artinya kait. Dan memang posisi seperti itu yang dilakukan oleh seorang petinju. Pukulan Hook dapat dilontarkan dengan kedua tangan, kanan dan kiri. Dalam tinju pukulan ini sangat mematikan.
[Sumber : Wikipedia]
Edan : artinya Gila.
Haii! publish ulang, versi panjaaaaang! selamat membaca, jangan lupa untuk vote, komen, dan share jika kalian suka cerita ini!! SELAMAT DATANG UNTUK PEMBACA BARU! SEMOGA SUKA, TERIMA KASIH!
-
11/11/2019 - Publish Wee Fall in Love with the same Girl!
etvlbplr99!
Selasa, 02 Februari 2020 Repost!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro