E p i s o d e 8
-A. Zafar Ardinanto-
Sekolah kali ini memberikan waktu bebas untuk para muridnya untuk melakukan persiapan untuk acara amal yang di lakukan oleh sekolah dengan metode bazar. Semua orang berlomba mempersiapkan pertunjukkan, dan keahlian dalam menggambar, dan membuat sesuatu agar bisa di jual dan uang itu nanti akan di berikan kepada Yayasan yang merawat anak-anak yang terlantar.
Menghembuskan napas berat, tanganku terulur ke depan membuka pintu yang lampunya masih menyala. Mengabaikan tatapan dari para anak kelas IPS, aku memilih untuk duduk di depan piano hitam yang selalu menjadi kebanggaan sekolah. piano dan segala aransemen yang membuat sekolah lebih hidup saat saat akan menyambut ulang tahun sekolah di setiap tahun.
Membuka penutup piano, mataku menatap semua tuts hitam dan putih dengan senyum kecil. Tuts, tuts ini melambangkan kehidupan baik dan buruk, membuatku senang dengan benda ini. benda yang selalu ku ingin kan namun enggan memainkan di depan orang banyak.
Menekan tuts awal, jemariku bergerak ragu saat ingin menari dari satu tuts ke tuts lainnya. Menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskan nya berat, jemariku kembali menari diatas tuts piano dengan lincah, aku menghafal note dari lagu yang ku bawakan, River Flows In You. salah satu note piano yang ku hafal saat duduk di kelas enam sekolah dasar, dan semua itu berkat paman Rama.
Paman Rama, mengingat orang itu, kepalaku berdenyut. Dia salah satu Paman yang tidak memiliki hubungan dengan keluarga besarku, hanya kenalan Fregilmadra dan mantan Kakak Ipar dari Paman Chandra, yang berarti Paman Rama adalah Kakak dari Kak Kio, perempuan yang seharusnya menikah dengan Paman Chandra dulu.
Paman Rama mengatakan jika Bibi Kio pintar memainkan piano, dan lagu pertama yang berhasil dimainkan oleh Bibi adalah lagu yang sama seperti yang saat ini ku mainkan. Saat pertama kali di perlihatkan rekaman tentang Bibi Kio yang terlihat anggun saat memainkan piano, rambut yang terurai, mata yang indah, dan senyum yang sangat menawan, pantas, Paman Rama sulit melupakan rasa sakit.
Menghentikan permainan piano dipertengahan lagu, kepalaku menoleh ke belakang saat merasakan punggung ku ditusuk oleh pandangan yang sangat ku hindari, tatapan kagum dan memuja. Saat berbalik badan, aku melihat dua orang siswa dan siswi yang memegang kanvas besar di dalam pelukan tengah menatap kearahku dengan decakan dan wajah kagum.
Terdengar suara helaan napas panjang,bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat. "Hey, loe itu... Septra dari kelas IPA 'kan?" tanya siswa yang kini menyandarkan legan nya pada badan piano.
"Hm, bagaimana kamu tau?"
Berdecak, siswa itu menatapku dengan pandangan mengejek. "Siapa yang nggak kenal Septra, si pintar dari IPA 2." Menunjuk siswi yang masih berdiri di depan pintu, siswa itu terkekeh kecil. "Bahkan dia sampai tidak bisa menutup mulut saking terpesona nya sama loe."
Aku meihat pancaran ekspresi kesal dengan mata yang menatap sinis siswa yang berada di hadapanku. tertawa hambar, aku memilih menutup piano kembali, kemudian berbalik badan, duduk menghadap pintu masuk. Tanganku terangkat sedikit sebagai sapaan pada siswi yang masih mematung.
"Aku akan pergi, kalian bisa menggunakan ruangannya." Kataku.
"Nggak boleh! Gue mau tawarin loe kerja sama."
Sebelah alis terangkat, membuatku mengurungkan niat beranjak dari tempatku. Bersidekap, aku menatap siswa dan siswi itu lekat. "Jadi, apa yang ingin kalian tawarkan?"
Siswi yang sejak tadi diampun tersenyum cerah, namun aku hanya diam, membuat siswi itu menatapku tajam seolah mengatakan, ingin mati? respon kek!
"Bisa langsung pada intinya saja?" ujarku sedikit tergesa.
"Tenang kawan, loe nggak akan di telanjangi oleh mata Vilza yang saat ini lihatin loe seperti itu, bahkan gadis ini selalu menatap gue dengan padangan yang sama saat di kelas." Ujar siswa itu mengejek sekaligus menjawab ucapanku.
Menyipitkan kedua mata, aku menatap lekat pada siswa yang ada di hadapanku. "Kamu Randu?" sebelas alis siswa itu terangkat.
"Pardon me?"
"Randu Adjie Prayogo, itu kamu 'kan?"
"Loe tau darimana?"
Tersenyum tipis, tangan ku mengibas sebagai jawaban tak pasti. "Di seragam mu terlihat jelas, jadi..., apa yang ingin kalian tawarkan?" tanyaku kali ini dengan senyum hangat. "Aku tidak akan bekerja sama jika itu tidak menguntungkan."
Siswi yang di panggil Vilza tadi duduk di atas lantai dengan tatapan memohon agar aku ikut baik itu menguntungkan atau tidak.
"Nyebelin banget ternyata ya loe, kayak anak keluarga terpandang, banyak aturan tutur kata loe di jaga banget."
Tersenyum tipis, "Terima kasih pujian nya."
"Gue mau ajak loe buat ikutan acara beberapa hari lagi, loe bersedia atau nggak?"
"Aku akan pikirkan dulu," beranjak dari tempat duduk, aku menepuk belakang celanaku kemudian pergi dari ruang musik, bertepatan dengan Faris yang masuk ke dalam ruangan. "ja, aku akan berikan jawaban besok, setidaknya kalian harus fokus pada lukisan 'kan, aku akan menunggu dengan sabar untuk memberikan jawaban."
Sebelum menutup pintu, aku kembali melemparkan pandangan pada Vilza dan Randu. "Senang berbincang dengan kalian, aku pergi dulu."
***
Freza berdiri di depan kelas ku dengan seseorang di sebelahnya. Terdiam sesaat, aku berusaha mengingat siswi yang berada di sebelahnya itu, terdiam cukup lama dari tempatku berada, menggunakan tas, kemudian berjalan di sebelah Faris.
"Ada apa?" tanyaku.
"Mas, gue balik belakangan ya, ada urusan."
Melirik siswi yang berada di sebelah Freza, aku memperhatikan wajah itu dengan seksama kepalaku mengangguk kecil. "Jangan pulang larut, Ayah hari ini pulang dari Banjarmasin."
"Hari ini? demi apa?"
"Buat apa Mas bohong," melirik sekilas pada siswi itu, Azgar tersenyum tipis. "karena kamu yang pergi, tolong beli beberapa bahan belanjaan sepulangnya kamu main." Melewati Freza dan siswi itu, aku memilih berbincang dengan Faris.
"Oh ya, tadi lo ngapain di ruang musik?"
"Ruang musik, gue nggak ngapa-ngapain, cuma ngadem."
"Di UKS kan bisa ngadem ya, bercanda aja lo!"
"Bau obat,"
"Emang sih bener, tapi anak cewek suka suka aja tuh disana,"
Saat ingin membalas ucapan Faris, kami berdua sudah terlebih dahulu di hadang oleh Randu dan Vilza yang tersenyum cerah. "Gimana, terima nggak?" tanya Randu langsung pada intinya.
Melirik Faris yang berada di sebelahnya, "Ajak dia juga," ujar ku dengan menarik tubuh Faris ke depan. "kalau tidak, kalian bisa mencari orang lain."
Randu memperhatikan penampilan Faris dari ujung kepala sampai ujung kaki, tangan yang berlumuran dengan cat yang sudah mengering pun mengusap dagu, seolah berpikir keras untuk menerima atau menolak. Menoleh kearah Vilza, Randu bertanya melalui tatapan mata,
"Gimana?"
"Bawa keruang musik aja, kita tatar dulu!"
Memutus kontak mata, aku melihat Randu mengangguk, baru aku ingin menjawab, Randu menyuruh ku diam, dengan jari telunjuk yang berada di depan bibirnya. "Nggak semudah itu ferguso, manusia ikan ini harus di tatar dulu di ruang musik, gue nggak mau orang lain asal masuk ke kelompok yang bakalan gue bikin."
"Iya, benar kata Randu, aku sama dia lagi cari orang, walaupun itu kamu yang rekomendasikan." Aku melihat Vilza melirik Faris. "Kamu bisa ikut kami dulu 'kan, lagi nggak buru-buru 'kan?"
"Ah, nggak kok. Boleh-boleh, kalau boleh tau kalian cari orang untuk apa?"
"Buat bazar," jawabku.
"Bazar?" Faris menoleh kearahku dengan pandangan terkejut. "Katanya nggak mau ikutan?"
"Terpaksa," jawabku dalam bentuk gumaman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro