Extra Part 9 : It Hurts (1)
https://youtu.be/TR3Vdo5etCQ
Now playing :
Don't Speak ~ No Doubt
I don't need your reasons
Don't tell me 'cause it hurts
~o~
Trinity berjalan cepat masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam. Melewati mama dan papanya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.
"Trin, kamu udah pulang? Kok masuk rumah nggak ngucap salam?" tegur mamanya.
"Maaf, Ma. Aku buru-buru mau istirahat dulu," jawab Trinity dengan wajah tertunduk tanpa menoleh ke mamanya. Bergegas dia menaiki tangga.
Mama dan papanya saling berpandangan.
"Kenapa Trinity?" tanya papanya heran.
"Mama lihat dulu ke depan. Tanya Zaki ada masalah apa sama Trin," jawab Bu Prita, lalu beranjak dari duduknya menuju ke teras.
Bu Prita tertegun melihat Zaki sudah tidak ada. Minuman yang dia sediakan hanya diminum sedikit. Kue bolu sama sekali tak disentuh.
Bu Prita mengalihkan pandangan ke carport. Motor Zaki sudah tak ada. Segera saja dia merasakan ada yang tak beres.
Zaki sepertinya mendadak pulang, Trinity masuk rumah dengan suara bergetar seperti menahan tangis. Bu Prita menduga kedua anak muda itu habis bertengkar. Tapi, apa yang mereka pertengkarkan?
Bu Prita membawa masuk piring kecil berisi bolu dan gelas berisi minuman yang tadi disuguhkan untuk Zaki. Kemudian menutup pintu.
"Lho, Zaki udah pulang?" tanya papa Trinity melihat Bu Prita masuk membawa kembali suguhan untuk Zaki.
"Iya, udah nggak ada."
"Kenapa dia pulang nggak pamit sama orangtua?"
Bu Prita menghela napas.
"Biarkan dulu mereka, Pa. Sepertinya sedang ada masalah. Nanti mama tanya Trinity pelan-pelan. Kalau ditanya sekarang juga percuma. Pasti dia nggak mau jawab."
"Haduh anak-anak muda ini. Masih kuliah sudah pacaran, pakai berantem segala lagi," keluh papa Trinity.
"Halah, papa ini, kayak nggak pernah muda aja," sahut Bu Prita.
Papa Trinity hanya menghela napas, lalu meneruskan tontonannya di televisi.
Sementara Trinity langsung menumpahkan tangisnya di atas tempat tidur. Hingga bantalnya basah oleh air mata.
Dengan tangan bergetar dia mengetik pesan untuk Zaki.
Zak, please, maafin aku. Jangan marah, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Neo.
Pesan itu, jangankan dijawab, dibaca pun tidak. Tak ada tanda online. Sepertinya Zaki sengaja mematikan ponselnya.
Air mata Trinity semakin berderai. Dia masih berharap Zaki hanya sedang emosi. Mungkin sedang kalut memikirkan Lala.
Kalau bisa, ingin sekali sekarang juga Trinity ke rumah Zaki. Melihat langsung keadaan Lala. Namun itu tak mungkin. Sekarang sudah terlalu malam baginya untuk keluar rumah. Dia tak ingin membuat orangtuanya khawatir.
Setengah jam kemudian, terdengar ketukan di pintu. Menyusul suara mamanya memanggilnya.
"Trin, makan dulu yuk. Kamu pasti belum makan malam, kan? Belum mandi juga," kata mamanya dengan suara agak keras.
Trinity menyusut air mata. Dia belum sanggup bertatap muka dengan mamanya karena air matanya masih terus saja mengalir tak bisa dia cegah.
Bagaimana dia menjelaskan semuanya pada mamanya? Mamanya pasti bakal marah besar kalau tahu apa yang sudah dilakukan Zaki. Mencampakkan Trinity begitu saja. Padahal dulu Zaki minta izin Bu Prita saat ingin mendekati Trinity.
"Aku nggak lapar, Ma! Aku mau langsung tidur saja! Capek banget!" jawab Trinity dengan suara keras juga. Dia mendekati pintu tapi tidak membukanya.
"Trin! Ngomong sama mama kok nggak buka pintu. Teriak-teriak begitu nggak sopan lho!"
Trinity menarik napas panjang. Kalau dia membuka pintu, dia harus siap menjelaskan semuanya pada mamanya.
Tapi dia tak mungkin mengabaikan mamanya. Selama ini dia dididik untuk menjadi anak yang menghargai orangtua. Sebaliknya, orangtuanya pun menghargainya.
Trinity membuka pintu. Wajahnya tertunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang sembab.
"Kamu kenapa, Trin? Berantem sama Zaki?"
Ada rasa menyengat di hatinya mendengar pertanyaan mamanya yang tepat sekali itu. Dia hanya mengangguk.
"Akhirnya, kalian berantem juga setelah selama ini kayaknya hubungan kalian manis terus."
Trinity tersentak, dia mengangkat wajahnya, matanya yang basah mengernyit menatap mamanya.
"Kok mama malah senang sih?" tanyanya heran.
Mamanya tersenyum.
"Suatu hubungan kalau belum teruji dengan masa-masa berantem, berarti belum mendalam. Yang terlihat baru manis-manisnya saja. Baru kulit luarnya. Kalau setelah menghadapi segala rintangan perasaan kalian belum berubah, berarti kalian lulus ujian," jawab Bu Prita.
Trinity hanya diam.
"Zaki marah karena lihat aku pulang diantar Neo." Satu menit kemudian akhirnya Trinity tak sanggup lagi memendam keresahannya sendirian. Mata mamanya membesar.
"Kenapa kamu pulang bisa diantar Neo? Kamu minta temani dia ke Bandung? Pantesan kamu nggak mau dijemput papa."
"Kami nggak sengaja ketemu di kereta menuju Bandung. Swear, Ma. Kami nggak janjian. Tau-tau berada di gerbong yang sama. Di Bandung juga kami nggak pergi bareng. Neo punya urusan sendiri, aku juga. Kami ketemu lagi di kereta menuju Jakarta." Trinity menjelaskan panjang lebar.
Bu Prita menatap Trinity tak percaya.
"Mama paham kenapa Zaki nggak percaya itu cuma kebetulan."
"Tapi kenyataannya kami memang nggak janjian."
"Aneh juga ya, kalian bisa kebetulan mau ke Bandung dan satu gerbong. Jangan-jangan Neo yang ngikutin kamu."
"Nggak mungkin, Ma. Neo juga nggak sangka."
Bu Prita menghela napas.
"Ya sudah. Kamu mandi dulu gih. Cuci muka, supaya adem. Mata kamu pasti panas sampai sembab begitu."
Trinity mengerjap. Ya, matanya memang terasa panas dan sakit.
"Paling-paling kalian marahan cuma sebentar. Awas aja kalau Zaki ninggalin kamu nggak pamit sama mama. Dulu berkali-kali dia dia minta izin mama mau deketin kamu."
"Besok aku mau ke rumah Zaki. Mau lihat keadaan Lala adik bungsunya. Katanya mendadak sakit. Mungkin itu salah satu yang bikin Zaki jadi gampang kesal hari ini."
"Oke. Sekarang, cepat mandi terus makan. Kalau nggak lapar banget nggak usah makan nasi. Ada bolu cokelat. Nanti mama bikinin teh manis hangat."
"Teh hijau hangat saja deh, Ma. Soalnya bolunya kan udah manis," tawar Trinity.
Bu Prita tersenyum. "Iya," ucapnya singkat, lalu merangkul putrinya menemaninya hingga ke lantai bawah.
Setelah mandi dan makan bolu cokelat ditemani teh hijau hangat, perasaan Trinity sedikit membaik. Dia permisi masuk lagi ke kamarnya. Merebahkan tubuh di tempat tidur. Meraih ponselnya. Masih belum ada tanda online dari Zaki.
Dia kembali mengetik pesan.
Zaki, aku sayang kamu. Sampai kapan pun tetap sayang kamu
Lalu dia kirim ke Zaki. Entah kapan Zaki akan membacanya.
**==============**
Hola!
Buat yang mau baca kisah Zaki dan Trinity, aku lanjutin lagi ya.
Ini bab sesudah Zaki marah dan ... mm gitu deh. Zaki pulang, Neo merasa bersalah. Ini bab selanjutnya.
Ada yang mau nunggu lanjutannya? Buat yang suka cerita Zaki dan Trinity, gimana menurut kamu kisah mereka ini? Gemesin, ngeselin atau bikin nyesek?
Oh iya, buat yang mau ikutan PO novel WCBIL, bisa nanti setelah lebaran ya. Yang dapet THR sisain ya buat ini, hehe. Yang dapat angpao lebaran, nah sisihin deh buat kalo mau beli novel WCBIL ;)
Tebal 316 halaman. Harga novel 79.000. Ada diskon. Nanti diumumin lagi diskonnya berapa. Bonus gantungan kunci dan ttd.
Buat yang belum follow IG-ku, boleh nih follow. Siapa tau nanti aku ngadain giveaway di IG.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro