Epilog
Neo gelisah, berulang kali dia mengecek layar ponselnya. Pesannya untuk Liberty masih belum masuk. Beberapa kali dia menelepon, tapi ponsel gadis itu tidak aktif.
Lib, please? gumamnya menahan kesal.
Sepertinya sikap Libby terakhir ketemu sudah membaik. Dia nggak ketus lagi sama aku. Tapi kenapa sekarang dia kumat lagi? Kirain sudah selesai ngambeknya.
Neo resah. Hari ini semester tiga kuliah mereka telah dimulai dan sejak tadi dia sudah berkeliling kampus, tapi dia tak melihat Liberty.
"Apakah ini karma?" gumamnya.
"Karma apa?"
Neo terlonjak hampir jatuh mendengar suara menyahuti ucapannya. Refleks dia menoleh. Dia terbelalak, lalu dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Terlihat jelas dari matanya yang berbinar.
"Libby!" teriaknya.
Liberty mengangkat alis dan tersenyum geli.
"Kamu kelihatan kaget dan senang banget ketemu aku. Ngarepin aku banget ya?" sindir Liberty.
Neo menghela napas. "Kamu sengaja matiin HP? Menghindari aku?" tanyanya mengabaikan sindiran Liberty.
"Beberapa hari ini aku sibuk banget mengurus banyak hal. Jadi, supaya nggak terganggu siapa pun, aku matiin HP-ku," jawab Liberty.
"Kamu takut aku nggak datang hari ini?" ledek Liberty sambil menyeringai.
"Kamu sengaja mengabaikan aku," keluh Neo agak kesal.
"Seperti yang tadi kamu bilang, itu karma. Kamu pernah nyuekin aku, sekarang gantian."
"Ternyata kamu pendendam."
"Hei, bukan dendam. Cuma mau ngasih kamu pelajaran. Nggak enak, kan, dicuekin?"
Neo kembali menghela napas.
"Jadi gimana? Kamu nggak senang, aku akhirnya datang ke kampus ini dan lanjut kuliah lagi?"
"Yah, senang sih. Tapi sebal juga dua hari kemarin kamu sengaja nggak mau dihubungi," sahut Neo masih terlihat kesal.
"Ya, sudah kalau kamu sebal sama aku, aku pergi aja."
Liberty berbalik dan siap melangkah, tapi Neo meraih lengannya.
"Jangan pergi," ucap Neo.
Liberty menoleh, kembali membalikkan tubuhnya menghadap Neo.
"Sebalnya kan tadi. Sekarang sudah nggak. Aku cuma khawatir kamu nggak muncul di kampus. Kan sayang kalau kuliahmu di sini nggak dilanjutkan."
"Aku nggak akan menyia-nyiakan satu tahun yang sudah kujalani di kampus ini. Tinggal empat tahun lagi. Setelah lulus, aku bebas mau pergi ke mana saja."
Neo menatap tepat di mata Liberty.
"Dan, apakah ini artinya jawabanmu iya?"
Kening Liberty berkernyit. "Jawaban apa?"
Neo melotot. "Pertanyaanku saat makan malam di Cadaques. Jangan bilang kamu lupa."
Liberty mengulum senyum. "Oh, pertanyaan itu. Harus dijawab sekarang?"
"Katakan saja iya atau nggak," sahut Neo tak sabar.
Liberty meraih lengan Neo dan merangkulnya.
"Masa kamu nggak tahu jawabannya? Kan udah jelas banget. Nggak perlu jadi genius buat tahu jawabannya."
Neo menatap serius Liberty. Bola matanya bergerak-gerak.
"Kamu nggak jadi berkelana ke New York, kamu kembali ke kampus ini, itu artinya ... jawabanmu iya," tebak Neo.
Neo meraih jemari Liberty dan menggenggamnya hangat.
"Mulai sekarang, kamu harus selalu duduk di sebelahku."
Pipi Liberty bersemu merah merasakan genggaman tangan Neo. Dia tersenyum geli.
"Dari dulu juga aku selalu duduk di sebelah kamu," sahutnya.
"Eh, iya. Kamu sekarang tinggal di mana? Nggak mungkin balik lagi ke apartemen kamu yang dulu, kan? Itu sudah ada penghuninya," tanya Neo. Mereka melangkah masuk ke dalam gedung kampus masih sambil bergandengan.
"Nggak. Seperti janjiku dulu. Aku mau hidup mandiri. Itu syarat yang aku ajukan ke ayah. Aku harus boleh tinggal sendiri di apartemen biasa, tanpa Nana."
"Apartemen biasa?" tanya Neo lagi dengan wajah tak percaya.
"Iya, seukuran apartemen kamu. Aku harus bersihin sendiri, laundry sendiri, masak sendiri—"
"Yakin kamu bisa masak? Nggak bakal bikin kebakaran, kan?" potong Neo lagi.
Liberty menarik tangannya dari genggaman Neo. Pura-pura cemberut.
"Jangan ngeremehin gitu dong. Gini-gini aku calon arsitek. Masa masak aja bisa bikin kebakaran."
Neo tersenyum. Aneh, kali ini wajah ngambek Liberty malah membuatnya gemas.
"Baguslah kalau kamu yakin nggak bakal bikin kebakaran. Kamu bisa masak apa?"
"Aku bisa masak nasi, ibuku ngasih rice cooker kecil. Aku juga bisa masak mi instan, spaghetti instan, telor ceplok, oseng-oseng sayuran."
"Wow, hebat. Kamu benar-benar ada kemajuan. Semoga masakanmu itu enak."
Neo terlonjak ketika tiba-tiba Liberty mencubit pinggangnya.
"Aww! Kok nyubit sih?"
"Gemes! Kamu ngeremehin aku terus sih!" omel Liberty.
"Aku nggak ngeremehin. Aku kan tadi malah mendoakan. Aku bilang tadi semoga ... "
"Kalau kamu nggak percaya, nanti aku masakin deh buat kamu."
Neo nyengir sambil menggeleng. "Nggak usah repot-repot. Aku bisa masak sendiri," katanya.
Liberty melotot. "Kamu takut masakanku nggak enak?"
Neo, tak menyahut. Dia malah tergelak.
"Kok malah ketawa sih? Apa yang lucu?" protes Liberty.
"Kita yang lucu. Benar-benar sudah jadi sepasang kekasih. Ada berantem-berantemnya," sahut Neo sambil tersenyum.
Liberty masih memberengut. "Dari dulu juga kita sering berantem," ucapnya. Lalu melangkah meninggalkan Neo. Bergegas Neo mengejarnya.
"Dulu bukan berantem, cuma berdebat. Kamu belum bilang sekarang kamu tinggal di mana. Tempatnya aman atau nggak. Sekarang kan kamu tinggal sendiri," ucap Neo.
"Pasti amanlah."
"Ada sistem keamanannya?"
"Keamanannya ya kamu."
Alis Neo terangkat. "Aku? Kok aku?"
"Kalau ada apa-apa aku tinggal nelpon kamu, terus, kamu tinggal turun satu lantai dan menyelamatkan aku."
Kening Neo berkernyit, lalu matanya membelalak.
"Maksudmu, kamu tinggal di gedung apartemen yang sama denganku? Satu lantai di bawahku?"
"Nggak perlu jadi genius buat ngambil kesimpulan dari ucapanku tadi."
Neo tersenyum. Dia meraih kedua tangan Liberty.
"Ya, harusnya aku tahu. Kamu pasti sudah duluan punya rencana seperti itu."
"Jadi, aku pasti aman, kan?"
Neo mengangguk. "Aman banget. Ada aku di dekat kamu, aku pastikan kamu aman, aku akan selalu menjagamu."
Ujung bibir Liberty bergetar. Lalu perlahan bibirnya membentuk senyum.
Mereka melanjutkan langkah masuk ke kelas. Kuliah hari pertama semester tiga akan segera dimulai. Bersamaan dengan dimulainya hubungan spesial Neo dan Liberty.
"Te amo," bisik Neo di dekat telinga Liberty. Pipi gadis itu menghangat, lalu rasanya bagai tersengat.
Anyone who's seen us
Knows what's goin' on between us
It doesn't take a genius
To read between the lines
And it's not just wishful thinking
Or only me who's dreaming
I know what these are symptoms of
We could be in love.
Siapa pun yang melihat kita
Tahu apa yang terjadi di antara kita
Tak perlu jadi genius
Untuk membaca tanda-tandanya.
Dan bukan sekadar harapan
Atau aku hanya sedang bermimpi
Aku tahu gejala apa ini
Kita mungkin sedang jatuh cinta
NOTE :
Te amo : aku cinta kamu dalam bahasa Spanyol.
https://youtu.be/iA88ZgE9PFE
Lagu ini yang jadi inspirasi judul "We Could Be In Love"
~ The End ~
**=============**
Hola!
Akhirnya ... sampai di ending cerita ini.
Novel WCBIL (We Could Be In Love) sudah dicetak nih. Siap terbit. Untuk sementara aku kasih tau cover belakangnya dulu ya ;)
Sebelumnya ada yang tanya, apa kelebihan versi novel hingga pembaca cerita WCBIL di wattpad perlu beli?
Ini kelebihan WCBIL versi novel :
1. Ada bab yang membuka tabir rahasia hidup Liberty yang nggak dipublikasi di wattpad. Jawaban dari pertanyaan anak siapakah dia sebenarnya? Apa benar anak angkat, atau anak kandung?
2. Epilog versi novel beda dengan epilog versi wattpad.
3. Banyak ilustrasi unyu yang menggambarkan beberapa adegan dalam cerita WCBIL.
4. Cover yang keren banget. Judulnya timbul dan keemasan warnanya.
Setelah ini masih ada satu extra part. Nanti aku publikasi hari Sabtu ya. Bersamaan dengan aku pasang cover novel WCBIL.
Terima kasih buat teman-teman yang sudah setia baca terus kisah ini, ngasih vote dan komen seru.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro