4. Perkenalan Yang Dipaksakan
Dress code gaun malam formal. Dilarang berpenampilan kasual. Apalagi pakai celana jins dan sepatu kets
Liberty terperangah membaca pesan WhatsApp dari ayahnya itu.
"Seriously?" gumamnya kesal. Selain memaksanya makan malam dan berkenalan dengan anak dari seorang yang menurut ayahnya penting, ayahnya juga mengatur pakaian yang harus dia kenakan.
Memangnya tuh anak sekeren apa sih? Ayah sampai segitu repotnya, batin Liberty.
Tapi Liberty memutuskan kali ini tak akan membantah. Dia turuti keinginan ayahnya, berharap ayahnya menepati janji. Setelah ini membiarkannya hidup normal seperti anak kampus lainnya. Tinggal di apartemen biasa tanpa ditemani asisten.
Liberty memilih mengenakan gaun polos merah marun sepanjang mata kaki. Sepatu berhak 5 sentimeter. Menggulung rambutnya ke atas, membiarkan beberapa menjuntai di kanan kiri pipinya.
Pukul enam tepat, Liberty berangkat ke hotel tempat orangtuanya menginap diantar Hans dan Rafael yang sudah menunggunya cukup lama. Liberty heran, mengapa ayahnya menugaskan mereka berdua hanya untuk menjemputnya? Kenapa tidak salah satu saja? Seolah satu orang tidak cukup untuk mengawasinya. Ayahnya memang seringkali berlebihan seperti ini.
Tak sampai tiga puluh menit, Liberty sudah sampai di hotel tempat ayah dan ibunya menginap. Dia memilih menunggu di lobi.
Pukul tujuh kurang lima belas menit barulah ayah dan ibunya turun, lalu bersama-sama mereka menuju restoran yang terletak di lantai tertinggi hotel. Hingga dari jendela kaca yang lebar, terlihat pemandangan kota Barcelona dari atas di waktu malam.
Ayahnya memilih meja dekat jendela. Sehingga mereka bisa melihat pemandangan indah di luar sana. Bangunan-bangunan bercahaya.
Ayah dan ibunya duduk berdampingan. Liberty duduk di hadapan orangtuanya. Dia menyadari ayahnya sengaja akan menempatkan tamunya di sampingnya.
"Tamu ayah belum datang?" tanya Liberty ringan, tapi mengandung sindiran.
"Belum jam tujuh tepat," sahut ayahnya tenang.
"Selamat malam, Pak Adipta. Sudah lama kita nggak ketemu."
Sapaan itu terdengar dari belakang Liberty, tapi dia tak menoleh. Dia hanya melirik diam-diam saat sosok yang berbicara itu sudah berdiri tepat di sampingnya.
Panjang umur nih orang. Baru diomongin tau-tau muncul, batin Liberty.
"Saka! Hampir setahun kita nggak bertemu. Terakhir kita ketemu saat ayahmu berkunjung ke sini, kan? Duduklah," sahut ayah Liberty yang disebut Pak Adipta oleh tamunya itu. Saka menerima uluran tangan Pak Adipta, lalu duduk di samping Liberty.
"Makasih lho, kamu sudah mau datang kami undang makan malam," sambut ibu Liberty.
"Mana mungkin saya menolak undangan dari tokoh penting seperti Bapak Adipta dan Ibu Netiana," sahut pemuda itu seraya tersenyum pada ayah dan ibu Liberty.
Ibu Liberty, yang disebut Bu Netiana oleh tamunya itu balas tersenyum.
"Oya, ini Liberty, putri saya satu-satunya, yang pernah saya ceritakan. Kalian belum pernah ketemu ya?" kata Pak Adipta sambil memandangi putrinya dan tamunya bergantian.
Pemuda itu menoleh pada Liberty, lalu mengulurkan tangannya.
"Hai, aku Raesaka. Panggil saja Saka," katanya.
Liberty menerima uluran tangannya. "Atta," sahutnya singkat.
Saka mengernyit. "Atta? Tapi ayahmu tadi bilang namamu Liberty."
"Liberty Manhattan. Atta itu dari Manhattan."
"Wow! Nama yang keren. Lahir di Manhattan?"
"Yup!"
"Aku pernah ke Manhattan."
Liberty tak menyahut lagi. Buatnya bukan hal penting Saka pernah ke Manhattan atau tidak. Dia tak peduli. Kesan yang dia tangkap tentang Saka, cowok itu cukup percaya diri. Terbuka, terlihat lumayan akrab dengan ayahnya.
Cowok yang hanya beberapa sentimeter lebih tinggi darinya itu bertubuh langsing. Mengenakan jas hitam, kemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam. Formal sekali. Rambutnya ikal dan dibiarkan menumpuk tebal. Raut wajahnya, hm, menurut Liberty, lebih tampan Neo.
Liberty mengerjap. Mengapa mendadak muncul bayangan Neo dibenaknya?
"Saka ini kuliah di jurusan manajemen. Sudah tahun kedua. Sayang ya, kampus kalian berbeda," kata Pak Adipta, menjelaskan siapa Saka.
Liberty menatap heran ayahnya. Mengapa ayahnya sangat mengenal Saka?
"Liberty baru semester pertama di jurusan arsitektur," kata ayahnya lagi, kali ini bicara kepada Saka.
"Wow, hebat. Calon arsitek," sahut Saka sambil menoleh ke arah Liberty dan tersenyum.
"Kamu hobi bilang wow ya?" sindir Liberty.
Senyum di wajah Saka berhenti, berubah menjadi tatapan heran.
"Oh, maaf. Itu ekspresi kekagumanku padamu," sahutnya membela diri.
Belum apa-apa sudah berani ngegombal, batin Liberty.
"Biasa aja. Nggak ada yang perlu dikagumi," sahut Liberty masih bernada sinis.
Hening sejenak. Tampaknya Saka tidak tahu harus berkomentar apa. Lalu keadaan terselamatkan pramusaji yang datang menanyakan apakah mereka sudah siap memilih menu.
Sepanjang santap malam, Saka lebih sering berbicara dengan ayah Liberty. Tampaknya percakapan mereka 'nyambung'. Liberty hanya bicara jika ditanya Saka. Dia tidak pernah balik bertanya. Seolah dia tak ingin tahu informasi apa pun tentang Saka.
Menurut penilaian Liberty, tak ada yang menarik dari Saka. Kecuali namanya. Raesaka. Lumayan keren.
"Saya mengenalkanmu dengan Atta supaya saya dan ibu Atta bisa merasa tenang. Ada yang kami kenal di kota ini," kata Pak Adipta.
Makan malam hampir selesai. Kini mereka menikmati hidangan penutup sambil melanjutkan perbincangan.
"Jangan khawatir, Pak Adipta. Saya sudah kenal Atta sekarang. Sesekali saya akan menanyakan kabarnya," sahut Saka sambil tersenyum, melirik sebentar ke Liberty.
"Terima kasih, Saka," ucap Bu Netiana.
"That's okay, Bu Netiana," balas Saka.
Liberty hanya diam.
"Boleh minta nomor HP kamu?" tanya Saka, menoleh kepada Liberty. Gadis itu terkesiap sesaat.
Dia ragu, sebenarnya ingin sekali dia menolak permintaan Saka. Tapi saat melirik ke arah ayah dan ibunya, melihat mereka menatapnya, menunggu penuh harap, akhirnya Liberty memberikan nomor ponselnya pada Saka.
Setelah dua jam berada di restoran, akhirnya acara makan malam itu selesai. Saka permisi pulang. Liberty mampir dulu ke kamar orangtuanya.
Saat ayahnya ke kamar mandi, Liberty duduk di samping ibunya yang sudah lebih dulu menyandarkan tubuh di sofa. Kamar yang ditempati ayahnya ini sangat luas. Ada ruang tamu dengan sofa sangat nyaman, ruang berikutnya barulah kamar tidur. Kamar mandi dengan bath up. Balkon dengan pemandangan kota Barcelona.
"Sekarang aku sudah bisa bebas, kan? Aku sudah mengikuti keinginan ayah malam ini. Hans dan Rafael nggak akan mengawasiku lagi, kan?"
Ibunya tersenyum. "Gimana Saka menurutmu? Ganteng nggak?" Ibunya malah balik bertanya.
"Sangat biasa," jawab Liberty, sengaja memberi penekanan lebih pada ucapannya.
"Jadi, kamu tetap lebih suka Neo daripada Saka?" tanya ibunya lagi.
Liberty terkesiap mendengar pertanyaan ibunya itu. Matanya menyipit memandangi ibunya penuh selidik.
"Dari mana Ibu tau namanya Neo? Aku nggak pernah bilang namanya siapa. Ibu menyelidiki dia?"
"Maaf, Sayang. Gampang sekali dapat info WNI yang mendapat beasiswa di kampusmu. Ayahmu sudah punya profilnya lengkap."
"Lengkap? Ayah tahu semua rahasia hidupnya?"
"Kamu mau tahu juga? Kalau mau, ibu akan memberitahumu."
Liberty menggeleng kuat-kuat. "Aku nggak mau tahu. Andai aku tahu tentang dia, biar Neo sendiri yang bilang ke aku. Bu, tolong bilang ke ayah, jangan ganggu Neo?"
"Ayahmu nggak mengganggunya. Ayahmu cuma waspada."
"Neo itu anak baik-baik. Seorang yang serius belajar. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ayah kelewat paranoid."
Bu Netiana tersenyum dan memandangi putrinya.
"Kalau kamu nanti jadi orang tua, kamu bakal ngerti gimana rasanya mencemaskan anakmu."
"Ya ampun, aku jadi orang tua? Itu masih lama banget, Bu."
"Waktu berjalan nggak terasa, Sayang. Lihatlah kamu. Dulu masih kecil dan manja sama ayah ibu. Sekarang kamu nggak mau lagi kami awasi."
Liberty menghela napas.
"Sudah ah, aku pulang sekarang. Sudah malam," katanya, lalu berdiri. Bertepatan dengan ayahnya keluar kamar mandi.
"Kamu mau pulang sekarang?" tanya ayahnya.
"Ya, Ayah. Aku permisi dulu," sahut Liberty.
"Hans dan Rafael akan mengantarmu," kata ayahnya lagi.
"Kenapa harus mereka berdua yang mengantarku? Cukup Hans atau Rafael saja," protes Liberty.
"Harus mereka berdua, supaya bisa lebih maksimal menjagamu."
"Nggak ada yang mengancam keselamatanku, Yah. Aku nggak perlu dijaga ketat."
"Apa salahnya. Mereka ada di sini hanya selama ayah ada di sini."
"Sampai kapan ayah di sini?"
"Masih dua hari lagi. Besok ayah akan membuat acara ramah tamah dengan beberapa warga negara Indonesia di kota ini."
Mata Liberty menyipit. "Acara ramah tamah?" tanyanya curiga.
"Kamu pulang sekarang. Besok ayah hubungi. Hans dan Rafael menunggumu di lobi," kata ayahnya mengabaikan pertanyaan Liberty, lalu menelepon Hans, memberi instruksi.
Liberty tak membantah lagi. Walau acara ramah tamah yang direncanakan ayahnya itu membuatnya curiga.
**===========================**
Halo teman-teman. Ketemu lagi dengan lanjutan cerita ini.
Hm, jadi apa lagi ya rencana ayah Liberty? Ada kejutan yang bikin Liberty syok!
Tunggu ya lanjutannya. Ga lama-lama kok. Mungkin besok atau lusa.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro