3. Biarkan Aku Sendiri
Liberty menatap gelas di depannya yang masih terisi penuh. Dia enggan menatap wajah ayahnya yang duduk di hadapannya memandanginya tajam.
Sejak kemarin ayahnya datang ke kota ini dari Madrid. Ada urusan pekerjaan, sambil ingin bicara dengan Liberty, putri satu-satunya.
"Kenapa kamu sekarang makin sering melawan ayah?" Ayahnya mulai bersuara lagi.
"Aku nggak melawan Ayah. Aku cuma pengin Ayah memahami aku. Aku sudah mahasiswi. Aku sibuk ngerjain tugas-tugasku."
"Kalau Ayah memintamu menemui Ayah, itu artinya ada hal penting yang mau Ayah omongin sama kamu."
Liberty menghela napas. Jari kanannya mengetuk-ngetuk lengan kursi.
"Oke, apa hal penting yang mau Ayah omongin? Aku sudah di sini, di hadapan Ayah," ungkapnya kemudian.
"Ayah mau ngenalin kamu dengan anak teman Ayah. Dia juga kuliah di Barcelona. Ayah bisa tenang kalau tahu kamu ditemani orang yang Ayah kenal."
"Hah? Maksud Ayah ngenalin gimana? Aku baik-baik saja di sini. Anak teman Ayah siapa? Cewek atau cowok?" tanya Liberty beruntun. Dia mulai curiga dengan maksud ayahnya.
"Namanya Saka. Laki-laki. Anak Pak Grenaldi. Duta besar RI untuk Italia."
Liberty terbelalak.
"Orang tuanya di Italia kenapa dia kuliah di Barcelona? Ah, tapi itu nggak penting. Aku nggak mau tahu alasannya. Di sini aku sudah punya teman," tolaknya.
"Apa salahnya nambah teman?" sergah ayahnya.
"Aku nggak mau. Nanti dia ngerepotin aku," elak Liberty.
"Gimana kamu tahu dia seperti apa kalau kamu nggak kenalan dulu sama dia?"
"Nggak perlu. Aku sudah punya teman dekat di sini. Aku sudah merasa nyaman di sini. Tolong jangan ganggu kenyamananku, Yah. Please?"
"Teman dekat?" Ayahnya menatap curiga.
"Iya, teman dekat. Teman sekelasku."
"Laki-laki?" tanya ayahnya lagi.
"Iya, laki-laki."
"Orang Spanyol?" Ayahnya semakin penasaran.
Liberty menatap sebal ayahnya yang terlalu mencampuri kehidupannya. Padahal dia merasa sudah saatnya dibiarkan mandiri.
"Bukan, dia orang Indonesia. Dia cerdas, dapat beasiswa full di kampusku."
"Hm. Ayah akan mengecek siapa WNI yang mendapat beasiswa di kampusmu."
"Ayah! Kenapa Ayah nggak berhenti mengaturku? Aku bukan anak high school lagi. Aku sudah dewasa, Yah," bantah Liberty, akhirnya tak tahan mengungkapkan keberatannya.
"Kamu belum dewasa. Anak ayah satu-satunya. Perempuan sendirian di kota ini. Wajar kalau ayah mencemaskanmu."
"Ayah sudah memaksaku tinggal dengan Nana. Apa itu belum cukup? Tahun depan aku mau pindah apartemen dan mau tinggal sendiri. Tolong biarkan aku mandiri."
Ayahnya tersenyum sinis.
"Kamu yakin, bisa hidup tanpa bantuan Nana? Kamu biasa dilayani, apa kamu sanggup hidup sendiri?"
"Kalau Ayah nggak yakin, Ayah boleh ngetes aku. Biarkan Nana kembali ke Madrid. Aku akan pindah ke apartemen yang lebih kecil dan tinggal sendiri."
Ayahnya memandanginya agak lama.
"Ayah izinkan asalkan kamu mau berkenalan dengan Saka dan membiarkannya membantu ayah menjagamu."
"Aku nggak butuh babysitter atau bodyguard."
"Saka nggak akan jadi babysitter atau bodyguardmu. Dia cuma bantu ayah ngawasin kamu, supaya ayah tenang ninggalin kamu sendirian di sini."
Liberty menghela napas kuat-kuat.
"Oke, aku pengin tahu, seperti apa Saka yang ayah banggakan itu," katanya.
"Besok, makan malam di hotel ini, bersama ayah, ibu dan Saka."
"Oke, kalau itu bisa membuat ayah senang. Sekarang, boleh aku permisi? Aku mau bicara sama ibu."
Liberty bangkit berdiri, langsung menuju balkon. Ibunya sedang duduk bersantai. Menikmati secangkir teh sambil memandangi panorama senja kota Barcelona.
"Apa Ibu tahu rencana Ayah ini?" tanya Liberty, setelah duduk di samping ibunya.
Ibunya menoleh perlahan. Lalu balik bertanya. "Rencana apa?"
"Mengirim seseorang untuk mengawasiku."
"Sayang, ini pertama kalinya kamu tinggal terpisah dengan kami. Ibu pernah cerita, kan? Ayahmu menjadi posesif sekali padamu karena kamu pernah hampir hilang saat di New York."
"Ibu sudah menceritakan kejadian itu ratusan kali, dan ketika itu usiaku baru tiga tahun. Sekarang, aku sudah mahasiswa. Aku sudah jauh lebih dewasa. Aku bisa menjaga diri."
"Bagi ayahmu, kamu tetap putri kecilnya."
"Keterlaluan sekali."
"Pahamilah kecemasan ayahmu. Kamu anak kami satu-satunya. Dan posisi ayahmu ... nggak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi, kan? Nggak ada salahnya tetap waspada."
"Jadi, ibu mendukung ayah? Ibu selalu berada di pihak ayah. Kapan ibu berada di pihakku?"
Ibunya memandangi Liberty dalam-dalam. Seolah sedang berusaha membaca apa yang tersimpan di ujung terdalam pikiran putrinya.
"Kamu ... mulai naksir seorang cowok?" tebak ibunya. Liberty terkesiap.
"Kenapa ibu nuduh begitu?" tanyanya berusaha menghalau rasa jengah
Ibunya tersenyum. "Hans dan Rafael bilang, tadi kamu melarikan diri dari mereka ditemani seorang cowok muda ..."
"Hans dan Rafael bilang begitu?" potong Liberty cepat.
"Benarkah?" Ibunya balik bertanya.
"Dia teman sekampusku. Aku memang paling sering bersamanya karena dia warga Indonesia juga," jawab Liberty.
Ibunya hanya tersenyum. Mendadak mata Liberty melebar, seolah baru saja mendapat pencerahan.
"Hei, kenapa nggak jadikan saja temanku itu sebagai pengawasku? Aku aman bersamanya. Dia bilang, dia jago karate," katanya, merasa antusias dengan idenya.
"Wah, hebat. Jago karate. Sepertinya cowok yang menarik. Hans bilang, temanmu itu memang tampan. Siapa namanya?" tanya ibunya.
"Kenapa Hans jadi senang bergosip begitu? Oh, soal tampannya memang bukan gosip. Aku nggak akan menyebutkan namanya. Nanti ibu menyelidikinya kalau tahu namanya."
"Ayahmu bisa mencarinya dengan mudah walau kamu nggak bilang siapa namanya."
"Jangan ganggu dia, please? Dia orang baik," pinta Liberty sambil memajukan tubuhnya sedikit ke arah ibunya dan memberi tatapan penuh harap.
"Dan kamu menyukainya," tebak ibunya lagi sambil tersenyum menggoda.
"Ibu ... " ucap Liberty menahan rasa tersipu.
"Belum pernah matamu terlihat berbinar saat membicarakan seorang cowok. Selain itu, kamu mengakuinya tampan. Ibu tahu seleramu. Kalau kamu bilang tampan, artinya benar-benar tampan," sahut ibunya.
"Ibu sok tau," sanggah Liberty.
"Ibu memang tau. Ibumu ini sangat mengenalmu, Sayang."
Liberty menghela napas. "Sudahlah, aku pulang ke apartemenku sekarang. Banyak tugas kuliah," kata Liberty lalu bangkit berdiri.
"Besok datanglah lebih awal. Jangan terlambat. Makan malam jam tujuh." Ibunya mengingatkan.
"Seperti apa sih yang namanya Saka itu? Ganteng?" tanya Liberty setengah sinis.
Ibunya tersenyum. "Besok kamu akan melihatnya," jawab ibunya.
Liberty mencium pipi kanan dan kiri ibunya, lalu menemui ayahnya untuk permisi pulang ke apartemennya. Ayahnya memaksa Liberty diantarkan pengawal pribadinya, Hans dan Rafael. Lagi-lagi gadis itu tak bisa mengelak.
Sesampainya di depan pintu ruang apartemennya, Hans mengingatkan, besok sore dia dan Rafael akan datang lagi menjemput Liberty. Gadis itu hanya menjawab dengan helaan napas. Lalu bergegas masuk dan menutup pintu.
Selama sisa hari itu dia hanya merebahkan tubuh di tempat tidur. Berkali-kali hampir menelepon Neo tapi dia urungkan. Dia tak ingin mengganggu cowok itu. Dia cemas jika dia menelepon, Neo akan semakin kesal padanya. Dia masih ingat raut ketus Neo tadi sore. Biarlah dia redakan kemarahan Neo besok saja di kampus.
oOo
Sejak kelas pertama hari itu, Liberty merasakan Neo menghindarinya. Cowok itu menjauh tiap kali Liberty mendekat. Hingga kuliah terakhir usai pukul tiga sore, Liberty memberanikan diri menghadang langkah Neo saat cowok itu berjalan menuju keluar gedung kuliah mereka.
"Kamu masih marah sama aku gara-gara kejadian kemarin?" tanya Liberty, menatap lekat mata Neo.
"Aku nggak marah. Aku cuma nggak mau terlibat lagi dengan urusanmu," sahut Neo, lalu berjalan menjauh. Liberty tertegun. Bergegas dia menyusul Neo.
"Neo, berhenti menghindariku. Cuma kamu temanku yang paling dekat di kampus," kata Liberty sambil berjalan di sisi Neo. Gerak kakinya mengikuti kecepatan langkah Neo.
"Mulai saat ini, dekatilah teman yang lain. Supaya kamu punya teman lain yang dekat denganmu." Neo masih bersikap dingin.
"Kamu masih mau mengajariku bahasa Spanyol, kan? Besok jadwal belajar kita," kata Liberty, masih mencari celah agar tetap bisa bersama Neo.
"Untuk sementara, kursus bahasa Spanyolmu libur dulu," sahut Neo.
"Ah, jangan dong. Pelajaranku belum selesai. Kita kan sudah sepakat."
Tiba-tiba Neo berhenti. Lalu menoleh.
"Baiklah. Kamu sudah membayar di awal bulan jasaku mengajarimu bahasa Spanyol. Sisa bulan ini masih ada seminggu. Aku akan mengajarimu dua kali lagi. Setelah itu, aku mengundurkan diri nggak mau lagi jadi guru bahasa Spanyolmu," kata Neo.
Setelah itu dia kembali berjalan. Liberty terpaku. Dia berhenti mengejar Neo. Menyadari cowok itu sedang butuh diberi jarak. Semakin dia memaksa mendekat, Neo akan semakin menjauhinya.
Liberty menghela napas. Dia semakin pasrah ketika kemudian melihat Hans dan Rafael menunggunya di depan kampus.
Saatnya menghadap ayah dan ibunya lagi. Lalu bertemu seseorang yang dipaksa berkenalan dengannya.
Cuma disuruh kenalan. Masih untung ayah nggak punya ide gila menjodohkan aku dengan anak duta besar RI untuk Italia itu, pikir Liberty.
Namun dugaan Liberty salah. Ide ayahnya tidak sesederhana itu.
**========================**
Hai, hai, hai.
Masih banyak rahasia belum terungkap. Sengaja identitas ayah Liberty belum diungkap di part ini. Ada yang bisa nebak, apa sih profesi ayah Liberty?
Dan seperti apa Saka?
Terima kasih teman-teman sudah berkenan baca dan ngasih komen.
Selamat membaca.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro