Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Semalam Bersamamu

Liberty terjaga pukul setengah enam pagi. Dia terkejut melihat Neo sudah duduk di kursi menghadap meja pantry, menikmati secangkir minuman yang mengepulkan asap. Tanda minuman itu baru diseduh. Wangi coklat menguar memenuhi ruangan. Kantung infus tergeletak di nakas. Neo sudah melepasnya sendiri. Entah bagaimana caranya.

Liberty bangkit berdiri, melangkah mendekati Neo.

"Kenapa kamu duduk di sini? Kamu belum benar-benar sehat, kan?"

"Aku mau minum. Aku haus sekali dan lapar."

"Kamu bisa membangunkan aku. Aku bisa membuatkanmu minuman hangat."

"Kamu? No way! Setelah insiden kamu memecahkan piring dan gelasku lalu melukai tanganmu, aku nggak akan pernah mengizinkanmu menyentuh peralatan dapurku lagi."

"Itu cuma kecelakaan. Aku nggak sengaja memecahkan piring dan gelasmu."

"Siapa yang memasang infus di tanganku?" tanya Neo.

"dr. Julio, dia dokter keluarga yang tinggal di Barcelona, selalu siap aku hubungi jika aku butuhkan. Kamu beruntung dia nggak sedang sibuk. Dia langsung memeriksa keadaanmu dan memasukkan cairan infus itu ke tubuhmu. Dan kamu melepas infusnya sendiri? Itu kan bahaya. Memangnya kamu tahu cara melepas jarum infus?" jawab Liberty.

"Aku baik-baik saja, nggak butuh infus."

"Semalam kamu nggak baik-baik saja. Kamu mendadak pingsan begitu membuka pintu. langsung jatuh di pundakku. Dan aku harus bersusah payah memapahmu ke tempat tidur."

Mata Neo membesar mendengar cerita Liberty itu. Dia tidak ingat telah pingsan. Seingatnya keadaannya baik-baik saja semalam, dia hanya merasa sedikit pusing.

"Aku nggak ingat sudah pingsan."

Berarti kamu juga nggak ingat sudah memegangi tanganku selama kamu tidur? ucap Liberty dalam hati. Dia ingat semalam Neo memegangi tangannya. Dia mengira Neo sudah bangun, tapi ternyata Neo masih terlelap walau memegangi tangannya. Entah apa yang dimimpikan Neo semalam. 

"Dokter bilang, kamu kecapean. Kurang tidur, kurang makan. Tekanan darahmu turun drastis. Itu yang bikin kamu pingsan," kata Liberty lagi.

Neo menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia masih merasa letih dan lemah.

"Aku nggak sadar sudah selemah itu. Tapi, baiklah, terima kasih sudah memanggil dokter." Akhirnya kata-kata itu terucap dari bibir Neo.

Liberty tersenyum senang. "Kamu sedang beruntung. Kebetulan aku datang. Kamu kebanyakan kerja, padahal kuliah sedang sibuk-sibuknya," katanya.

"Empat bulan lagi libur panjang. Aku harus segera beli tiket pesawat pp Jakarta-Barcelona. Aku harus cepat mengumpulkan uang," sahut Neo.

"Aku tahu. Tapi jangan maksa. Nggak ada gunanya rencanamu pulang kalau kamu sakit," kata Liberty.

"Libby, aku mohon berhenti menolongku. Aku nggak mau berutang budi terlalu banyak padamu."

Liberty mengernyit. "Kamu nggak berutang apa-apa. Aku temanmu, wajar kalau aku mencemaskan kesehatanmu."

"Aku baik-baik saja, kamu nggak perlu mencemaskan aku," bantah Neo.

"Kamu nggak baik-baik saja. Kamu harus berhenti kerja terlalu keras. Cukup bermain biola tiga kali seminggu di restoran Enrique. Jangan ditambah pekerjaan lain. Dan sesibuk apa pun kamu, jangan lupa makan teratur. Itu penting, Neo." Liberty menasihati panjang lebar.

"Gosh, kamu cerewet sekali," sindir Neo.

"Memang harus ada yang cerewet padamu," sergah Liberty.

Neo menghela napas. "Jangan pernah kamu menginap lagi di kamarku. Jangan pernah," ucapnya tanpa memandang Liberty.

Liberty menahan senyum geli mendengar ucapan Neo itu. Dia menginap di apartemen Neo. Hanya berdua semalaman. Jika ayahnya tahu, pasti akan marah besar. Dia harus memastikan Nana tidak melapor pada orangtuanya tentang dia tidak pulang semalam.

"Pulanglah, Lib. Nana pasti cemas menunggumu. Sarapan saja di apartemenmu. Di sini aku nggak punya apa-apa yang bisa dimakan."

"Kamu nanti sarapan apa?" tanya Liberty, refleks rasa pedulinya muncul lagi.

"Masih ada oatmeal dan kismis yang bisa kuseduh."

"Hari ini sebaiknya kamu nggak usah masuk kuliah. Istirahat dulu sampai kamu benar-benar sehat," saran Liberty.

"Aku sudah sehat. Lagipula, nggak ada dalam prinsip hidupku bolos kuliah," tolak Neo.

"Bukan bolos. Tapi izin nggak masuk karena sedang kurang fit."

Neo menggeleng. "Aku akan masuk. Aku nggak akan menodai rekorku sendiri yang selalu hadir di kelas sejak SD sampai kuliah."

"Serius kamu selalu masuk? Apa kamu nggak pernah mendadak sakit atau ada urusan super penting yang bikin kamu terpaksa izin nggak masuk?" tanya Liberty. Kedisiplinan Neo agak membuatnya tercengang.

"Aku hampir nggak pernah sakit," jawab Neo tenang.

"Tapi di sini lain. Kamu tinggal sendiri, jauh dari ibumu. Semua harus kamu kerjakan sendiri. Semalam, kamu sakit." Liberty mengingatkan

"Bukan sakit, aku cuma kurang tidur," bantah Neo.

Liberty menghela napas. "Itu pertanda kamu harus lebih hati-hati."

"Iya, aku tahu. Sekarang pulanglah, Lib. Sudah pagi. Jangan bikin Nana resah nunggu kamu."

"Baiklah, aku pulang sekarang," sahut Liberty, dia kembali ke sofa.

"Nggak masalah kan, kalau nanti ada tetanggamu yang melihatku keluar dari kamar apartemenmu?" lanjutnya setelah membereskan tasnya.

"Nggak akan ada yang melihat. Andai pun ada, mereka nggak akan usil ikut campur," sahut Neo.

"Syukurlah," ucap Liberty lega.

"Aku harap, lain kali kamu nggak perlu menginap di kamarku. Walau tetangga di apartemen ini nggak usil, kita tetap harus menjaga etika hubungan laki-laki dan perempuan ..."

Liberty mengerjap, dengan cepat memotong kalimat Neo.

"Ya, ya, ya. Kamu seorang yang sangat disiplin dan menjaga moral setinggi-tingginya. Aku nggak akan menginap di sini kalau nggak terpaksa," ucap Liberty.

Dia mencangklong tasnya di pundak kanan, lalu berjalan menuju pintu.

"Bye, Neo," katanya, sebelum membuka pintu.

Neo hanya mengangguk. Tak lama, Liberty sudah menghilang ke balik pintu. Neo menghela napas, lalu menyeruput minuman coklatnya yang mulai dingin hingga habis. Lalu dia kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia memejamkan mata, melanjutkan istirahatnya beberapa jam lagi.

Neo benar-benar lelah. Dia baru terbangun pukul sebelas. Pertama-tama yang dia lakukan adalah duduk di tempat tidur. Kemudian, Neo yang sangat menyukai kerapihan, segera membereskan dan membersihkan ruang apartemennya. Setelah itu dia mandi air hangat.

Dalam balutan pakaian bersih, Neo merasa sekarang dia sudah benar-benar sehat seperti semula. Dia membereskan tas kuliahnya, menyiapkan buku yang akan dia bawa ke kampus siang ini. Setelah semuanya siap, barulah dia berniat menyiapkan makan siang.

Baru dua langkah menuju pantry, bel pintu berbunyi. Kening Neo berkernyit. Dia berbalik melangkah menuju pintu. Mengintip dari lubang intip dan terkejut melihat Liberty sudah berada di depan pintu kamarnya lagi.

Neo membuka pintu separuh, memunculkan kepalanya saja.

"Libby! Ada apa lagi? Kenapa nggak langsung ke kampus?" tanyanya, menunjukkan sikap tak berniat mempersilakan Liberty masuk."

"Aku ingin mengecek keadaanmu. Kalau kamu belum benar-benar sehat, aku akan memanggil dr. Julio untuk memeriksamu lagi. Mungkin dia perlu memberi resep obat."

"Nggak usah. Aku sudah baik. Aku sudah bilang, aku cuma kurang tidur. Tadi aku tidur cukup lama dan sekarang badanku rasanya sudah fit lagi."

Liberty hanya diam menatap Neo.

"Aku harus membayar biaya pengobatanku semalam ke dr. Julio," kata Neo lagi.

"Nggak perlu. Semua sudah kuurus," sahut Liberty.

"Lib, aku sudah bilang, kan? Jangan membantuku terus. Aku laki-laki tangguh. Aku nggak mau bergantung padamu. Bisa minta alamat dr. Julio? Biar aku menemuinya dan membayar biaya pengobatan untukku semalam."

"Aku sudah membayar jasa dr. Julio. Kamu boleh menggantinya kapan saja."

"Oh, jadi sekarang aku berutang padamu? Katakan berapa, aku akan membayarnya sekarang."

"Jangan terburu-buru. Bisa izinkan aku masuk dulu? Kamu belum makan siang, kan?"

Liberty mengangkat dua tumpuk rantang ke hadapan Neo.

"Aku bawa makan siang buat kamu. Ini nasi tim daging sapi buatan Nana. Ini sungguh-sungguh enak. Percayalah. Nana sering membuatkan aku makanan ini," lanjut Liberty.

Neo melirik rantang yang dibawa Liberty. Tak ada pilihan baginya, dia tak mungkin tega mengusir Liberty. Dia buka pintu selebar-lebarnya, lalu dia menepi memberi jalan untuk Liberty.

"Thank you," ucap Liberty lalu melangkah masuk. Dia langsung menuju sofa, meletakkan rantang di meja depan sofa.

"Ini ada dua porsi. Aku juga belum makan siang. Jadi, sekalian saja makan siang di sini bersamamu," kata Liberty.

Dia menunggu Neo hingga berada dekat dengannya. "Boleh pinjam piring atau mangkuk dan sendok?" tanyanya.

"Oke. Duduklah. Biar aku siapkan semuanya," jawab Neo. Dia melangkah ke pantry. Mengambil dua piring dan dua pasang sendok garpu. Dia letakkan di meja depan sofa. Lalu dia mengambil dua gelas dan sebotol air dingin dari lemari es kecilnya.

Dia letakkan gelas itu di meja, kemudian dia duduk di samping Liberty. Gadis itu sudah membuka rantang. Aroma sedap segera menguar menyerbu lubang hidung Neo. Membuat rasa laparnya meningkat.

"Masih hangat, baru saja matang. Aku yakin kamu suka. Ini makanan bergizi. Nana sudah dibekali pengetahuan tentang cara membuat makanan bergizi dan sehat," kata Liberty.

Dia menuang nasi tim berbalut irisan kecil-kecil daging di atasnya ke piring yang tersedia. Ada dua rantang. Masing-masing rantang berisi satu porsi nasi tim daging sapi. Asap mengepul tanda makanan itu memang masih cukup panas.

"Aku rasa, kamu mahasiswa perantauan paling beruntung di kota ini," kata Neo.

Liberty menyodorkan satu piring yang sudah berisi tim nasi daging ke hadapan Neo.

"Kenapa kamu merasa begitu?" sahutnya.

"Ada Nana yang melakukan segalanya untukmu. Termasuk menyiapkan makanan bergizi. Nggak heran kalau kamu selalu terlihat sehat. Sementara mahasiswa biasa seperti aku, lebih sering hanya memikirkan makanan yang mengenyangkan. Nggak peduli gizinya sudah cukup atau belum."

"Aku nggak akan membantah. Aku memang beruntung. Tapi suatu saat nanti aku akan mencoba mandiri sepertimu. Merasakan menjadi mahasiswa yang selain sibuk kuliah, harus mengurus semuanya sendiri."

Neo tersenyum. "Nggak usah memaksakan diri seperti itu. Kalau memang kamu bisa hidup dengan kualitas lebih baik, jangan menyiksa diri dengan memilih hidup lebih susah."

"Aku perlu belajar hidup mandiri, Neo. Aku pengin jadi perempuan tangguh."

"Itu aku setuju," sahut Neo, lalu dia mulai menyantap nasi tim daging bagiannya. Matanya membelalak.

"Bagaimana? Enak, kan?" tanya Liberty, tak sabar menunggu pendapat Neo.

"Lib, kamu yakin ingin hidup mandiri? Masakan Nana ini enak sekali. Kamu nggak bisa merasakan masakan seenak ini lagi kalau kamu tinggal di apartemen sendirian tanpa Nana," jawab Neo setelah menelan makanannya.

Liberty tersenyum geli.

"Aku sudah terlalu sering merasakan makanan enak buatan Nana. Lagipula, kamu pernah menantangku untuk berani hidup mandiri, kan?" katanya.

"Coba saja kalau kamu memang mau mencobanya," sahut Neo.

Dia melanjutkan makannya hingga nasi tim itu habis. Setelah piring Liberty juga sudah kosong, Neo menumpuk kedua piring beserta sendok garpu.

"Kamu pasti melarangku membantumu mencuci piring," kata Liberty.

Dia hanya bisa pasrah melihat Neo dengan cekatan membereskan meja.

"Tentu saja. Kamu nggak boleh mencuci piring di dapurku lagi."

"Biar rantangnya aku yang cuci. Ini terbuat dari stainless steel. Nggak akan pecah."

"Kamu duduk saja di sini. Biar aku yang membereskan semuanya. Jangan pernah ke dapurku lagi," kata Neo tegas.

Dia membawa tumpukan piring dan rantang ke pantry. Liberty hanya bisa duduk menunggu.

Tak lama, Neo kembali ke sofa membawa rantang yang sudah dia cuci dan keringkan.

"Ini rantang Nana. Sampaikan ucapan terima kasihku padanya," kata Neo. Dia duduk di samping Liberty.

"Boleh aku titipkan rantang ini di sini dulu? Nggak mungkin aku ke kampus membawa rantang, kan? Besok aku ke sini mengambilnya," sahut Liberty.

Neo tersenyum meledek. "Jangan mencari-cari alasan untuk datang ke apartemenku lagi," katanya.

Mata Liberty membelalak. "What?" ujarnya mendadak kesal.

"Oke, biarkan rantang ini di sini. Besok aku yang ke apartemenmu mengembalikannya pada Nana, sekaligus mengucapkan terima kasih langsung sudah membuatkan aku makanan enak tadi," kata Neo.

Liberty yang semula kesal merasa tersindir, akhirnya mengangguk. "Itu lebih baik," sahutnya.

"Sudah hampir setengah satu. Kita siap-siap berangkat." Neo melirik jam dinding.

"Jam segini, warga Barcelona masih istirahat tidur siang," ucap Liberty mengingatkan.

Warga Spanyol memang dikenal sangat menikmati hidup. Mereka senang memanfaatkan istirahat siang secara maksimal. Bahkan ada toko yang tutup tepat tengah hari karena penghuninya ingin istirahat siang dengan santai.

"Kita berangkat setengah dua," sahut Neo.

Liberty mengangguk setuju. Dia tersenyum senang. Mereka masih punya waktu satu jam lagi terjebak berdua dalam momen ini. Momen yang membuat Liberty merasa semakin dekat dengan Neo.

**==================**

Halo, ada yang nungguin lanjutan kisah Neo Liberty?

Sesuai janji, hari ini update lagi. 

Selamat baca yaa...

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro