Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Aku Di Sini Untukmu

Semester pertama berlalu dengan lancar. Walau pelajaran di masa kuliah jauh lebih sulit dibanding SMA, nilai-nilai Neo cukup memuaskan. Nyaris A di semua mata kuliah dengan hiasan beberapa nilai B tanpa ada nilai C.

Sementara Liberty merasa lega, tak ada mata kuliah yang harus diulang. Meski mayoritas nilainya C, hanya ada dua nilai A dan beberapa nilai B, dia sudah cukup senang.

Dua kehidupan masih berusaha dijalani Neo dengan seimbang. Menjadi mahasiswa di siang hari dan menjadi musisi di malam hari.

Semakin mendekati akhir semester dua, Neo menambah pekerjaannya. Selain rutin bermain biola tiga kali seminggu di restoran Enrique, dia juga menerima tawaran bermain musik di pesta pernikahan atau pesta perayaan pernikahan.

Dua minggu lagi dia harus mulai berburu tiket pesawat pulang pergi Barcelona-Jakarta-Barcelona.

Neo tidak lagi bersikap terlalu dingin pada Liberty walau dia masih menunjukkan sikap hanya menganggap Liberty sebagai teman.

Hari ini kuliah terakhir baru selesai menjelang pukul lima sore. Neo bergegas membereskan buku-bukunya, bersiap meninggalkan kelas. Dia harus bergerak cepat. Pulang dulu ke apartemen, mandi, makan malam, baru kemudian menuju restoran Enrique menunaikan tugasnya malam ini.

"Neo!" panggil Liberty melihat Neo sudah berdiri.

"Aku duluan, Lib!" ucap Neo tanpa menoleh ke Liberty, dia melangkah cepat keluar kelas.

Liberty hanya bisa tertegun. Lalu pandangan matanya beralih mengikuti arah sebuah benda yang jatuh dari meja lipat di kursi yang ditinggalkan Neo.

Liberty yang duduk tepat di belakang Neo, memungut benda kecil itu. Sebuah flash disk.

"Baru kali ini Neo nggak teliti. Meninggalkan barang penting miliknya. Untung aku lihat," gumam Liberty.

"Atta, don't forget to join us this night in Flamenco dancing Studio." Tepukan di pundaknya membuat Liberty terkesiap. Lalu menoleh ke sumber suara.

Maria, gadis asli Barcelona berambut coklat. Entah ada berapa banyak orang bernama Maria di Spanyol. Di sebelah Maria muncul gadis pirang asal Portugal yang nama aslinya Patricia tapi biasa dipanggil Patty.

Keduanya teman satu kelas Liberty. Sejak kemarin mereka mengajak Liberty mengunjungi studio tari Flamenco. Liberty mengatakan sangat tertarik dengan tarian asli Spanyol itu dan ternyata Maria dan Patty berlatih tarian itu di sebuah studio tari.

"Oh, of course. I will be there at seven o'clock. But I just want to watch both of you dancing," jawab Liberty.

"No problem. See you over there." tanya Maria.

Liberty mengangguk. "Okay, see you later, girls," sahut Liberty.

Liberty kembali ke apartemennya dengan taksi. Seminggu ini dia tidak diganggu Saka karena cowok itu sedang studi banding ke Madrid.

Setelah mandi dan makan malam, Liberty bersiap ke studio tari. Di detik terakhir dia teringat USB Neo. Dia pindahkan benda itu dari tas kuliahnya ke tas lebih kecil.

Tepat pukul tujuh malam, dia sampai di studio tari Flamenco. Maria dan Patty sudah datang lebih dulu. Liberty terkesima melihat gadis-gadis itu menari diiringi musik dengan pakaian khas Spanyol yang membuat mereka tampak semakin cantik.

Dia bertekad di kunjungan berikutnya dia akan ikut berlatih. Tentu saja dia harus membeli dulu pakaian khas gadis Spanyol itu.

oOo

Neo sampai di restoran Enrique pukul setengah tujuh malam. Seluruh kursi hampir terisi penuh. Para pengunjung siap menyantap hidangan makan malam. Neo memberi salam dan tersenyum sebelum menggesek dawai biolanya, lalu mengalunlah musik romantis yang membuat suasana terasa syahdu.

Sebenarnya, Neo sangat letih. Malam sebelumnya dia hampir tidak tidur, sibuk menyelesaikan tugas perancangan arsitektur. Banyak gambar yang harus dia buat.

Hari ini kuliahnya full hingga sore. Namun dia mengabaikan rasa letihnya. Dengan penuh penghayatan dia mainkan musik untuk menghibur pengunjung yang datang.

Tugasnya selesai tepat pukul setengah sepuluh malam. Neo bergegas membereskan biolanya, lalu berpamitan pada Enrique.

Seperti biasa, dia naik kereta menuju apartemennya. Dia sandarkan kepala di kursi, matanya terpejam. Mulai terasa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Dia merapatkan jaketnya menghalau rasa dingin yang tiba-tiba menelusup dan membuatnya merinding.

Tak sabar rasanya ingin segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, terlelap sepuasnya, membayar kekurangan tidur kemarin.

Sesampai di apartemen, Neo semakin merasa lelah. Dia baru saja membuat coklat panas berharap akan menghilangkan rasa letihnya, saat bel pintu berbunyi.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumamnya.

Dia menyeruput coklat panasnya dulu sebelum berjalan perlahan menuju pintu.

Dia mengintip di lubang intip pintu. Terbelalak melihat Liberty berdiri di depan pintu ruang apartemennya.

oOo

Liberty baru selesai menonton latihan tari flamenco pukul sembilan malam. Dia mampir kafe sebentar memesan moccachino hangat dan seiris cheese cake. Setengah sepuluh lewat, dia keluar dari kafe. Dia menghentikan taksi, melanjutkan perjalanannya ke apartemen Neo. Dia mengabaikan kenyataan sudah terlalu larut untuk bertamu.

Sekadar mampir memberikan flash disk nggak apa-apa, kan? pikirnya.

Lima belas menit kemudian dia sampai di depan pintu ruang apartemen Neo. Dia menekan bel. Dua menit menunggu pintu tak terbuka. Ditekannya bel sekali lagi. Masih tak ada tanda-tanda pintu akan membuka.

"Apa Neo belum pulang?" gumamnya.

Dia tahu hari ini jadwal Neo bermain biola di restoran Enrique. Tapi saat ini hampir pukul sepuluh. Seharusnya Neo sudah kembali.

Liberty masih penasaran. Ditekannya bel sekali lagi. Kali ini dia mendengar suara dan tak lama pintu terbuka perlahan. Kemudian muncul Neo dengan wajah dinginnya yang khas.

"Hai, Neo! Aku kira kamu sedang keluar. Lama sekali pintumu terbuka. Aku datang cuma pengin ngasih ini. Kamu menjatuhkannya di kelas," kata Liberty sambil menyerahkan flash disk Neo.

Neo tak bereaksi. Bahkan pandangan matanya kosong. Liberty baru menyadari wajah cowok itu pucat sekali.

Tiba-tiba tubuh Neo jatuh ke arahnya. Liberty terkejut, refleks menangkap tubuh Neo, hingga berada dalam dekapan. Kepala Neo lunglai di bahu Liberty.

"Neo!" pekik Liberty panik.

Liberty kewalahan menahan tubuh Neo.

"Aduh, kenapa pingsan? Gimana ini?" Liberty mengoceh sendiri kebingungan.

Dia bisa merasakan tubuh Neo yang panas. Liberty berusaha melangkah masuk, dia memutar tubuhnya, hingga dia bisa berjalan mundur sambil menarik tubuh Neo yang masih didekapnya erat. Tentu tidak mudah. Tubuh Neo yang tinggi atletis cukup berat untuk ditarik. Liberty merangkul kedua lengan Neo dari belakang lalu menariknya perlahan.

Untunglah tempat tidur Neo tidak terlalu jauh dari pintu. Liberty hanya perlu melewati sofa, lalu sampailah dia di tepian tempat tidur. Dia berbalik lagi, mengarahkan punggung Neo ke tempat tidur, perlahan dia merebahkan tubuh Neo ke tempat tidur. Usahanya itu membuat tubuhnya sangat dekat dengan Neo. Wajah mereka nyaris bersentuhan. Walau Neo tak sadar, tak urung itu membuat pipi Liberty berdesir hangat. Buru-buru dia menarik tubuhnya menjauh dan berdiri di samping tempat tidur.

"Neo! Kamu kenapa? Badanmu panas banget. Gimana cara bawa kamu ke rumah sakit?" katanya kebingungan.

Dia membuka lemari. Mencari handuk kecil. Setelah mengaduk-aduk isi lemari, dia dapatkan juga satu handuk kecil. Dia basahkan handuk itu, lalu dia gunakan untuk mengompres dahi Neo.

Setelah itu Liberty berpikir keras. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa dia perlu memanggil paramedik? Atau memanggil dokter yang sudah menjadi dokter keluarganya di kota ini? Dia yakin dr. Julio pasti akan langsung datang ke sini jika dia minta.

Dia tidak bisa membawa Neo ke rumah sakit, tapi dia bisa meminta dokter datang ke sini. Masalahnya, jika dia memanggil dr. Julio, dia khawatir dokter yang sudah berteman baik dengan ayahnya itu akan melaporkan soal ini.

Namun Liberty memutuskan mengabaikan rasa khawatirnya itu. Dia segera menelepon dr. Julio.

Dokter berusia tiga puluh lima tahun itu sudah sepakat dengan ayah Liberty, akan selalu siap jika Liberty butuh bantuannya. Walau saat ini kondisi Liberty sangat sehat, tapi ayahnya sudah mengantisipasi menyiapkan dokter jika sewaktu-waktu dibutuhkan Liberty.

Setelah telepon tersambung, Liberty meminta dr. Julio datang ke apartemen temannya. Dia ceritakan kondisi Neo. Dia berikan juga alamatnya.

Sepuluh menit kemudian, dr. Julio sampai. Bel pintu berbunyi. Liberty bergegas membuka pintu. Mempersilakan dr. Julio masuk. Neo masih tidak sadar. Kompres di dahinya hanya mendinginkan kepalanya, tapi tubuhnya masih panas.

dr. Julio memasang termometer ke mulut Neo. Lalu mendengarkan detak jantung dan meraba nadi di pergelangan tangan.

"Dia harus diinfus," kata dr. Julio. Dia membawa cairan obat dalam kantung infus untuk memulihkan keadaan seperti Neo, tapi tentu saja dia tidak membawa kaki besi yang biasa digunakan untuk menggantungkan kantung infus.

dr. Julio melihat sekeliling ruangan. Pandangannya berhenti di jam dinding yang tergantung tepat di dinding atas tempat tidur. Dia menurunkan jam itu, lalu mengikat tali sepatu yang dia ambil dari sepatu kets Neo ke paku tempat menggantungkan jam. Lalu tali sepatu itu diikatkan ke kantung infus.

Cairan obat dalam kantung infus itu turun perlahan masuk ke tubuh Neo.

"Beberapa jam lagi dia akan membaik," kata dr. Julio.

"Terima kasih, dokter. Oh iya, tolong jangan ceritakan tentang ini pada ayahku," pesan Liberty.

dr. Julio tersenyum. "Baiklah, aku mengerti. Dia kekasihmu?" tanyanya.

"Oh, bukan. Dia teman kampusku. Tadi aku datang untuk memberikan barangnya yang tertinggal di kampus. Tapi mendadak dia pingsan," jawab Liberty.

dr. Julio mengangguk-angguk. Lalu dia permisi pergi. Liberty mengunci pintu. Dia kembali ke tempat tidur dan duduk di tepiannya.

Liberty membelai atas kepala Neo.

"Neo, aku akan tinggal di sini nungguin kamu. Aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian dalam keadaan begini," ucapnya pelan, tak peduli Neo bisa mendengar ucapannya atau tidak.

Lalu dia berdiri dan berbalik, bermaksud melangkah menuju sofa. Tapi dia terkejut saat tiba-tiba terasa ada yang menangkap jari jemari tanggannya dan menggenggam erat. Seketika jantung Liberty berdebar lebih keras. Perlahan dia menoleh pada Neo. Cowok itu masih terpejam. Tapi tangannya bisa menggenggam tangan Liberty.

"Neo, kamu sudah sadar?" tanya Liberty.

Neo tidak menjawab. Dia malah melepas genggaman tangannya.

"Neo," ucap Liberty lirih.

Dia mengurungkan niatnya pindah ke sofa. Di duduk lagi di tepi tempat tidur dan menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur.

"Aku bakal nunggu sampai kamu sadar," ucapnya sambil memandangi wajah Neo yang masih terpejam.

Kemudian Liberty ingat harus menelepon Nana menyampaikan malam ini dia tidak pulang. Dia berdiri lagi, berjalan agak menjauh, lalu menelepon Nana. Asistennya itu awalnya curiga, tapi Liberty berusaha meyakinkan dia menginap di rumah temannya yang perempuan. Nana dimintanya untuk tidak khawatir. Dia berjanji akan pulang pagi-pagi sekali.

Usai menelepon, Liberty kembali duduk di tepian tempat tidur. Kemudian, tanpa sadar tak lama dia tertidur. Punggungnya bersandar di kepala tempat tidur, sementara kepalanya tertunduk.

Liberty tersentak bangun saat dia merasakan hawa hangat di tangannya. Dia mengerjap beberapa kali. Setelah pandangannya sudah jelas, dia melihat tangan Neo berada di atas tangannya. Tangan Neo yang telah menghangatkan tangannya. 

**==================**

Halo ... jumpa lagi dengan lanjutan kisah Neo dan Liberty. Ada yang nungguin nggak?

Komen yang banyak ya supaya aku semangat update terus cerita ini. 

Salam,

Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro