Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kesepakatan

Sambil menunggu Bokuto mengurus belanjaan dan kekacauan yang ia buat di dapur, Akaashi kembali menggulung tubuhnya di atas kasur.

Tanpa sehelai benang, menindih Nitotan dengan nafas memburu. Salahkan isi botol yang ia tegak beberapa saat lalu.

Benda itu bagaikan penenang, juga bisa menjadi candu.

Sebenarnya, Akaashi yakin benda itu sudah tidak ada di rumahnya. Dan beberapa menit setelah ia menemukannya lagi di kulkas, Akaashi mendapat pesan dari Bokuto Nee-chan.

"Ji, aku punya sesuatu untukmu di kulkas.
Anggaplah bulan lalu aku sengaja membatasi botol yang ku berikan padamu, dan sengaja menyimpannya untuk keadaan darurat. Tapi, ku rasa Koutarou takkan pergi sejauh Osaka untuk 9 bulan ke depan. Jadi habiskan itu."

Habiskan itu.

Akaashi tidak tahu harus senang atau panik, di hadapannya ada 5 botol kaca berisi 6 ml Bokuto.

Itu jumlah yang tidak sedikit.

Dan ia harus menghabiskan itu sebelum Bokuto pulang atau ia akan diabaikan sepanjang hari. Begitu Akaashi meneguk isi botol satu persatu, ia sangat kesulitan untuk menelannya.

Semakin banyak ia mengkonsumsi Bokuto, hasratnya untuk dimanjakan semakin kuat. Akaashi sampai tidak bisa menggerakkan kakinya karena terlalu lemas.

Ia hanya bisa bergerak dengan menyeret tubuhnya di lantai, dan ketika ia mencoba membersihkan botol-botol itu, Bokuto sudah pulang.

Setidaknya begitulah situasi saat ini.

"Mau sampai kapan kau mendekap Nitotan itu?"

Akaashi menegakkan kepalanya, Bokuto sudah ada di kamar sambil menanggalkan pakaiannya.

Mendekati ranjang di mana Akaashi berada.

"Haruskah kita mandii??"

"Biasanya aku yang berkata begitu, tapi kali ini kita harus mandi."

Akaashi hanya menggembungkan pipinya tidak setuju.

Dalam gendongan Bokuto menuju kamar mandi, Akaashi menggesekkan kepalanya pada pundak Bokuto dan sesekali mengerang.

Membuat batas kesabaran Bokuto diuji.

"Uuukh, berapa banyak yang kau minum sih??"

"Umm~ 30 ml?"

Bokuto meneguk ludah, teringat kenangan buruk.

"Yah, setidaknya perjuanganmu tidak sia-sia bukan? Aku menghabiskan semuanya."

Bokuto tidak tahu harus menjawab apa, antara kesal dan senang.

*****

(1 bulan yang lalu sebelum Akaashi hamil)

"Ketika aku pergi kamu ingin aku membekukan sperma?"

Akaashi mengangguk mengiyakan.

"Kenapaaa?"

"Untuk membuatku selalu merasa ada kamu di sisiku."

"Tapi spermaku?? Tidak bisakah yang lain?"

Akaashi menggeleng.

Saat ini suami istri ini tengah bersantai di depan televisi, menikmati acara komedi di tengah malam sambil merapatkan diri di atas sofa yang empuk.

Seiring waktu berlalu percakapan mengenai acara tv beralih pada Bokuto yang akan pergi ke luar negeri dan permintaan konyol Akaashi.

"Ji, aku hanya pergi 3 hari."

"Kemarin katamu seminggu."

Uh, oh. Bokuto lupa ia punya dua pertandingan.

"Ji, kamu ingin meminumnya selama aku tidak ada?"

Akaashi tidak menjawab.

Sudah cukup lama Bokuto bersama Akaashi, dan ia hapal betul kebiasaan Akaashi. Salah satu kebiasaan Akaashi ketika di ranjang adalah meneguk spermanya.

Entah sejak kapan Bokuto lupa, tapi setidaknya dalam seminggu.... Akaashi akan menyedot selangkangannya seperti vacum cleaner hingga tetes terakhir.

"Ji?"

"Aku tidak mungkin memakai itu untuk dilumuri ke dildo bukan?"

Bokuto segera menangkup wajah Akaashi, menatap iris zamrud yang berkedip dengan polos.

"Ayolah, Ji! Untuk apa kamu meminum sperma botolan jika kamu bisa mendapatkannya langsung dari sini?"

Bokuto menarik wajah Akaashi dan di arahkan ke selangkangannya.

"Fresh from the dick!"

Akaashi sendiri tahu itu, yang hangat lebih enak dibandingkan yang dingin.

Kopi maksudnya.

"Tapi Kou, kamu tidak bisa membawaku ingat?  Aku ada acara dengan Udai-san dan asistennya."

Bokuto merengut.

"Kalau begitu tidak bisakah kamu menahan diri?"

Akaashi tertegun sesaat, meneguk ludahnya.

"Hanya seminggu kan?"

Bokuto menganguk-angguk, lalu meraih handphonenya.

"Kami akan ketempat Oikawa, dia mengirimi beberapa foto saat ia sedang bersama kenalannya di sana. Sebentar, aku tunjukkan padamu--"

"Di mana itu?"

"Argen-TIDDIES??!"

"Hah?"

Akaashi melirik ke arah handphone Bokuto yang memperlihatkan Oikawa dikerubungi wanita cantik dengan bikini seksi.

Iris zamrud itu kembali melirik ke arah Bokuto yang terlihat terpana.

"Apa daya istrimu krempeng dan tidak punya bagian yang bisa ditonjolkan, ternyata istilah rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri itu memang ada benarnya."

Mendengar itu Bokuto segera membuang hpnya dan merangkul pinggang Akaashi, mengecupi pipi si raven berwajah datar.

"Keijiii~? Kamu marah?"

"Tidak."

Bokuto mati kutu.

"Kapan kamu pergi?"

"Erm... lusa..."

"Begitu, selamat bersenang-senang selama seminggu di Argen-TID-DIES." Ucap Akaashi penuh penekanan di akhir dan beranjak dari sofa.

Merasa situasi semakin buruk, Bokuto mengejar Akaashi, mencoba memikirkan cara agar Akaashi tidak marah padanya.

Meski ia tidak suka dengan rencananya sendiri.

"Ji, kita menemui kakaku ya besok?"

"Untuk apa?"

"S-sperma botol...?"

Akaashi mendelik.

"Bukankah rumput tetangga lebih hijau? Kenapa kamu masih mencoba untuk mengunyahku yang sudah busuk?"

"Busuk? Keiji ku tidak akan pernah terlihat jelek meski di pagi hari rambutnya acak-acakkan dengan iler  yang membasahi bajuku!"

Akaashi masih skeptis dengan Bokuto.

"Dengar Kou, aku tidak tahu apa yang kamu lihat dari para wanita itu tapi..."

GROOOB!!!

Akaashi meremas dada Bokuto dengan kedua tangannya.

"Dadamu lebih besar dari mereka!"

Dan menampar bokong Bokuto, PLAK!!

"Bokongmu juga lebih besar dari pada para lonte itu!"

"Lont--??"

Akaashi lanjut menarik bajunya sendiri, menunjukkan perutnya.

"Sejak lulus SMA aku juga sudah kehilangan otot yang susah payah ku bentuk, tubuhku sangat lembut dan kamu bisa meremasnya dengan mudah."

Iris zamrud yang berkaca-kaca itu menatap iris emas di atasnya tanpa berkedip.

"Dan mungkin saja... saat ini aku bukanlah lelaki yang dulu pernah membuatmu jatuh cint--umh?"

Jari telunjuk Bokuto menghentikan bibir Akaashi.

"Shh, ngomong apa sih? Keiji tetap Keiji yang ku kenal sejak dulu, hanya saja saat ini kamu jadi lebih empuk."

"Aku gendutan?" Ekspresi horor tercetak jelas di wajah Akaashi.

Bokuto menghela nafas, dipuji salah, ga dipuji juga salah.

"Mau sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bosan denganmu. Bahkan jika di suatu hari nanti kita menjadi orang tua renta tanpa gigi, aku akan tetap mencintaimu."

"Kou..."

"Tidak! Aku harap gigiku masih ada di tempatnya hingga aku mati!"

Akaashi menertawakan Bokuto yang lebih mengkhawatirkan giginya, untuk apa ia cemburu jika tempat hati Bokuto berada adalah dirinya?

"Kamu sudah bilang ke Nee-chan soal besok?"

"Setelah ini aku akan mengabarinya."

Akaashi tersenyum manis mendengar itu, lalu mengecup pipi Bokuto.

"Perjuanganku untuk memasukkan taoge dalam makanan mu selama seminggu ini tidak sia-sia."

Menyadari sesuatu, Bokuto mencengkram kedua pundak Akaashi.

"Kau... merencanakan ini?"

Akaahsi mengulum bibirnya, mendelik ke kanan lalu menoleh pada Bokuto lagi.

"Tidak juga, tapi istirahatlah malam ini."

"Karena besok aku akan menjadi sapi perah?"

Akaashi tersenyum misterius dan berjalan menuju kamar tidur mereka.

Meninggalkan Bokuto dengan imajiner telinga, ekor, dan lonceng sapi.

"Ow!"

Bokuto tidak tahu tamparan itu akan meninggalkan memar atau tidak, yang pasti tamparan di bokongnya masih berdenyut sakit.

.
.
.

"Keluarkan sebanyak yang kamu bisa."

Bokuto meneguk ludahnya sekuat tenaga, Akaashi hanya tersenyum di sampingnya.

"Mau ku bantu?" Tawar Akaashi.

"Tidak boleh, kau pasti langsung menelannya." Cegat Bokuto Nee-chan.

Takut-takut tempat praktiknya akan ditutup karena pasiennya tengah berbuat mesum.

"Tunggu, bagaimana Nee-chan tahu Keiji--"

"Saat masih SMA ia pernah bertanya apakah tidak masalah meneguk spermamu."

Wajah Akaashi semerah kepiting rebus, teringat kenangan masa lalu.

"Pertanyaan yang dilayangkan oleh seorang anak SMA mengenai seks pasti berdasarkan penasaran ingin mencoba atau sudah terjadi, jadi aku tidak heran jika di suatu hari nanti kalian akan datang untuk meminta bantuanku."

Setidaknya Akaashi harus bernafas lega yang ia ajak bicara soal itu dulu adalah kakak perempuannya Bokuto, bukan ibunya.

Jika ibunya tahu, mungkin nama Akaashi sudah dicoret dari Kartu Keluarganya.

"Baiklah, Keiji tunggu di sini ya?"

Akaashi hanya mengangguk dan duduk di sofa.
.
.
.
Kini, di sebuah ruangan serba putih dengan banyak peralatan lab, Bokuto Nee-chan menyesap kopinya.

Menunggu Bokuto yang sedang memerah dirinya sendiri di ruangan kecil di tempat yang sama.

Dengan warna yang juga serba putih dan cahaya yang tidak terlalu terang, serta beberapa gambar gadis seksi menempel di dinding.

Bokuto cemberut.

"Apa kamu tidak punya gambar Keiji??"

"Kou, untuk apa aku memiliki gambar istrimu dengan bikini di ruang pasien? Lakukan saja urusanmu agar aku bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaanku!"

Sahut Bokuto nee-chan dari balik pintu.

Bokuto menghela nafas kecewa, ia mengeluarkan foto Akaashi dari dompetnya dan menempel foto itu menutupi gambar yang ada.

"Sebentar, benar juga."

Bokuto baru mengiyakan kenapa kakaknya tidak punya foto mesum Akaashi, ini kan tempat umum?

Setelah ini, Bokuto harus ingat untuk menyimpan foto istrinya lagi. Karena ia tidak mau ada lelaki lain onani dengan memakai Akaashi.

"Guh..."

Sudah cukup lama Bokuto tidak melakukan ini, menyentuh dirinya sendiri untuk melepas hasrat

Mengingat jika ia ingin, ia tinggal menerjang Akaashi di manapun istrinya itu berada--selama di dalam rumah tentunya.

Iris emas itu tertuju pada foto Akaashi yang tersenyum manis, dengan baju toga. Foto yang di dapat setelah Akaashi menyelesaikan studinya dulu.

Dengan tangan yang meremas dan mengurut kejantanannya sendiri, Bokuto terus membayangkan Akaashi hingga ia mencapai puncak.

Lagi, dan lagi.

Hingga ia mengisi wadah berupa gelas kaca di tangannya yang lain.

Cklak.

Pintu terbuka dan Bokuto keluar dengan wajah merah padam, menyodorkan sperma itu pada kakaknya sendiri.

"Ohh, ini tidak terlalu kental ataupun encer! Ini produk yang bagus dari seorang atlit!" Kagum Bokuto nee-chan sambil memperhatikan gelas yang ia genggam.

"Berhenti mengatakan aku sapi perah!"

"Kou, aku tidak pernah berkata demiki--oh, kau harus lihat ke sini."

Bokuto hanya mengekor ketika kakaknya itu mengajaknya mendekat ke arah peralatan lab.

"Nee-chan?"

Bokuto mengernyit bingung saat kakanya mengambil spermanya dengan pipet, lalu di teteskan di atas wadah tipis, lalu diletakkan di bawah kaca mikroskop.

"Lihatlah, Kou! Mereka sangat sehat!" Girang Bokuto Nee-chan.

"Mereka?"

Bokuto menunduk dan melihat melewati benda itu. Sejak melihat spermanya sendiri, wajah Bokuto memucat.

.
.
.

Waktu berlalu lambat bagi Akaashi, dan kini Bokuto muncul dari ruangan lain dengan wajah lesu.

"Kou? Kenapa?"

Sebenarnya saat melihat suaminya sempoyongan begitu, Akaashi sedikit merasa bersalah karena memaksa Bokuto.

Menurut Akaashi, mungkin karena Bokuto mengeluarkan spermanya bukan dengan cara yang biasa ia lakukan--dengan akaashi, bukan solo begini.

"A-aku melihatnya..."

"Melihat apa?"

"TAOGE ITU BERGERAK!!!"

Akaashi kembali membuka bibirnya tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar.

"Kata Nee-chan, para Taoge itu keluar dari ku, dan selama ini kau meminumnya--astaga! Aku alien dengan tubuh berisi parasit!"

"Tidak, Kou itu--"

"Bagaimana bisa kau masih hidup setelah menegak parasit itu sepanjang tahun?!"

"Kamu memintaku untuk hidup hingga 130 tahun, ingat?"

Bokuto terdiam.

"Benar! Dan mungkin saja parasit itu juga membuatmu tetap hidup."

Akaashi tidak tahu harus menjelaskan dari mana pada Bokuto yang susah dengan Biologi.

"Angh~ ini melelahkan sekali, tapi tenang saja. Dua hari lagi aku akan mengantarkannya--ada apa ini?"

Bokuto Nee-chan yang baru saja bergabung mendapati Bokuto tengah menoel-noel sekujur tubuh Akaashi, mengecek hidung, lidah, dan lainnya.

"Kou berpikir aku keracunan spermanya."

"Parasit Taoge!"

Bokuto Nee-chan menghela nafas lelah.

"Kou, sudah ku bilang itu sperma yang bagus dan berhenti mengatakannya parasit, mereka calon anakmu."

Bokuto mengerjap.

"Calon anakku di makan Keiji."

Kali ini, Akaashi mencoba menenangkan Bokuto yang menangis histeris.

.
.
.

Meski tadi siang seakan sudah tidak ada sperma yang tersisa, malam harinya mereka melakukan itu.

Dengan tubuh yang tumpang tindih tanpa sehelai benang di dalam kamar. Akaashi mengerang, meremas sprei hingga kusut dengan tubuh menungging. Sedangkan Bokuto meremas pinggul Akaashi sambil mengocok hole yang becek.

"K-kou~ ngh~❤️ touch me--"

Akaashi menggeliat, hampir mencapai puncak hasrat.

"No, you should to squirt from your hole today."

Bokuto menjilat bibir, merasakan Akaashi yang semakin mengetat dan bergairah.

"Hiks~ angh~❤️" Pundak Akaashi digigit.

SPU~UUURT! SPURT! SPURT!

Beriringan dengan sperma hangat yang mengisi perut Akaashi, membuat Akaashi juga mencapai puncak hasratnya.

SPUURT!!! Mengotori sprei kasur dan meninggalkan jejak basah yang cukup besar.

Setelah puas, Bokuto menarik dirinya keluar. Menatap tubuh kekasihnya yang sesekali berkedut karena rasa nikmat.

"Are you okay?"

Akaashi yang sedang mengatur nafas karena lelah itu mengangguk.

Bwof!!! Bokuto mendekap dan menarik tubuh Akaashi untuk berbaring.

"One more?" Bibir Bokuto mengerucut maju, salah satu tangannya menggenggam penisnya sendiri.

Bokuto menggesekkan kepala penisnya di antara belahan pantat Akaashi.

"Mmh~ on my mouth?"

"Only your hole."

Entah kenapa Bokuto lebih memilih untuk mengeluarkan spermanya di dalam Akaashi dibandingkan membiarkan Akaashi menelannya.

Dan keesokan harinya Bokuto pergi ke Argentina selama seminggu, Akaashi menghabiskan minggu tanpa Bokuto dengan Bokuto dalam botol.

Botol terakhir tepat di hari ke pulangan Bokuto.

Tidak seperti biasanya, kali ini Akaashi memilih untuk bermain dengan sperma itu dibandingkan meminumnya.

Akaashi berada di kasur dengan memakai selembar kemeja, kedua kakinya terbuka tanpa sehelai kain.

Tangannya bergerak untuk menyingkap kemejanya yang sebagian tidak dikancing, memperlihatkan pucuk dadanya yang tenggelam namu  menegak.

"Umh... Haa--"

Akaashi menggeliat ketika sperma dingin yang ia tuang menyentuhnya dari pucuk dadanya, turun perlahan menuju pusar.

"Mmhhh~ Kou~"

Sambil mengangkat bokongnya ke atas, Akaashi menuangkan sisa sperma ke hole nya.

"Anh~"

Dada Akaashi membusung tinggi, nafasnya semakin berat.

Tidak ingin menyayangkan sperma yang mengalir turun menuju sprei, Akaashi menahan mereka dengan tangannya lalu menjilat jari jemarinya.

Perlahan jari yang basah itu ia arahkan ke holenya sendiri, masuk perlahan dengan sperma dingin Bokuto.

Tak lupa tangannya lain mencoba mengelus pucuk dadanya sendiri.

Gerakan tangannya semakin cepat, namun Akaashi tidak ingin segera berakhir.

Ia meraih Nitotan Bokuto, menindih boneka itu seakan yang asli berada di sana.

Akaashi meraih benda di sampingnya yang sedari tadi juga ada di kasur, warnanya mengkilap dengan kondom.

Meski ia tidak pernah berpikiran untuk melakukannya sendiri, Akaashi tidak punya pilihan lagi saat ini.

"Mngh~"

Ketika dildo yang ditempelkan pada Nitotan itu diarahkan pada hole Akaashi, ia reflek berhenti karena melihat siluet orang di depan pintu kamarnya.

Akaashi segera meraih kacamatanya dan menggenggam vas bunga di dekatnya, bersiap untuk menyerang.

Namun, gerakannya terhenti ketika penglihatannya sudah dibantu oleh kaca matanya.

Bokuto berdiri di ambang pintu dengan ekspresi marah dan hidung mimisan.

Entah sejak kapan ia pulang dan melihat Akaashi.

"K-kou, kau mimisa-aagh!"

Akaashi didorong ke arah kasur.

Prang!

Membuat vas bunga yang dipegang Akaashi jatuh ke lantai, namun tidak ada yang memedulikan.

"Kau mau memperkenalkanku dengan teman kencan satu malammu ini?"

Bokuto meraih dildo yang tergeletak, seraya melirik Nitotan dirinya.

Akaashi beringsut mundur hingga punggungnya menempel pada bedhead, Bokuto memang terlihat tengah bercanda, tapi Akaashi tahu Bokuto marah padanya.

Bokuto mendekat sambil mengusap darah dari hidungnya dengan punggung lengannya.

"Aku tidak menduga kau akan bermain sendiri, kurang belaian ya?"

Akaashi sedikit terbakar emosi di sini, Bokuto seakan mengatakan bahwa dirinya terlalu bernafsu.

Detik itu, Akaashi memilih untuk menuang minyak pada api. Sambil merangkul leher sang suami, Akaashi mendekatkan bibirnya dan berbisik.

"Aku kangen."

Lalu menjilat kuping Bokuto, menarik wajahnya menjauh dan menatap iris emas yang terpaku padanya.

Bokuto tersenyum miring.

"Jangan salahkan aku jika besok kamu tidak bisa berjalan dengan benar."

Akaashi ikut tersenyum, meniupkan udara panas pada leher tebal Bokuto.

"Bersyukurlah aku sudah potong kuku hari ini."

Bibir keduanya bertaut, seraya menanggalkan pakaian yang masih melekat. Bergumul di atas kasur sambil mendesahkan nama. Hingga hari gelap dan mereka mengabaikan makan malam.

Terlalu mabuk memadu kasih.

Dan benar saja, esok harinya Akaashi tertatih setiap kali mencoba berjalan. Pinggangnya sakit, paha dalamnya ngilu, dan ada bercak kemerahan serta gigitan memenuhi tubuhnya. Terutama di bagian leher, pundak, dan paha.

"Astaga, Kou! Bagaimana aku menghilangkan ini?"

Akaashi berdiri di depan kaca di kamar mereka. Ia dengan panik menunjuk pinggul, paha, pergelangan tangan dan kakinya yang terlihat memar karena di cengkram.

Akaashi seakan baru saja disekap dan dianiaya.

"Besok aku ada pekerjaan di kantor, bagaimana aku menyembunyikannya?"

"Erm... mungkin kita bisa mengkompresnya."

Akaashi berjalan menuju Bokuto yang masih setengah sadar di atas kasur, kondisi tubuhnya kurang lebih seperti Akaashi.

"Aku yakin sudah memotong kukuku, tapi..."

Kondisi Bokuto tidak jauh berbeda, hanya saja kebanyakan didominasi bekas cakaran di bagian punggung, pinggul, dan lengannya.

"Tidak apa, mereka pasti mengira aku dicakar oleh kucing."

"Kucing macam apa yang bisa mencakarmu sebanyak ini?"

"The Pussy that always whines for me to
move in it."

"D-dari mana kamu belajar kosa kata seperti itu?"

Akaashi semakin bersemu saat Bokuto tersenyum padanya.

Tangan Akaashi terulur pada wajah Bokuto.

Bokuto meraih tangan Akaashi dan menempelkannya di pipi.

"Setidaknya rumah kita kedap suara dan desahanmu tidak akan membangunkan tetangga--PLAK!"

Akaashi reflek menampar Bokuto dengan tangannya yang lain.

Ia kesal bukan karena Bokuto, ia kesal pada dirinya sendiri yang suka tidar sadar berbuat apa kalau sudah diserang di ranjang.

Sejak saat itu, Akaashi selalu merawat kuku tipe petenya agar selalu pendek.

.
.
.

Selama beberapa waktu setelahnya seperti yang pernah Bokuto ceritakan (kalau bingung bisa cek chapter Semua Karena Hormon), Akaashi selalu meminta jatah lebih di atas ranjang. Bahkan tetap merengek meski suaminya sudah kelelahan karena voli.

Meski tidak bisa menolak, Bokuto sadar setiap kali ia melihat dan menyentuh tubuh istrinya. Dada yang perlahan membesar, puting yang menegak dan basah, tubuh yang semakin montok.

Bahkan celana dalam yang Akaashi kenakan membuat lemak di tubuhnya seakan terjepit dan menyembul.

Sayangnya Bokuto harus menahan diri agar tidak terlalu banyak berkomentar mengenai berat badan Akaashi. Takut-takut istrinya malah tidak mau makan.

*****

Setelah membawa Akaashi ke dalam kamar mandi, Bokuto mendudukkan Akaashi di dalam bathup.

"Apa Nee-chan yang menaruhnya di kulkas kita?"

Akaashi mengangguk mengiyakan.

Akaashi berada dalam bathtub menggosok sabun pada tubuhnya sendiri, sedangkan Bokuto duduk di sampingnya sambil mengusap shampoo pada surai hitam Akaashi.

"Maaf Kou, hanya saja aku tidak ingin membuang mereka."

"Aku tahu itu, dan setelah ini kau akan langsung mendapatkannya dari ku."

Akaashi menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak menjerit karena sebentar lagi ia akan mendapatkan apa yang ia mau.

.
.
.

Author note :

Lama banget ga nulis sepanjang ini~

Abaikan realita dan mari berfantasi sejenaaak~

Well, that's me today.

Btw, kuku Pete atau jengkol?

Entahlah, tapi referensi kuku Akaashi ku pakai dari diriku sendiri aja.

Kalau aku liat ini bulat rada kotak, tapi ada juga bilang tipe pete? Heran juga, yang pasti meski kuku dah pendek kalau ga sengaja garuk-garuk terlalu kencang jadi ninggalin bekas cakaran.

Buat proses Bokuto ngeluarin sperma yang ku pake dia onani aja, dari pada prosedur Biopsi Testikular atau mengumpulkan sperma secara langsung dari testis/buah zakar menggunakan jarum.

Aku ga mau ngetik kekonyolan Bokuto lari tanpa celana keluar ruangan karena takut jarum 😭

Jadi kita ehem ehem aja ya 🥺

Aku ada baca sampel sperma segar yang dibekukan dicampur dengan cairan khusus (Krioprotektan) untuk melindungi sperma dari kerusakan saat pembekuan.
Sampel sperma didinginkan perlahan-lahan dan dimasukkan ke dalam nitrogen cair.

Krioprotektan biasanya digunakan untuk mengawetkan materi hidup atau produk makanan, tapi jika ada yang lebih paham silahkan ralat aku ya? Biar sama tau gitu.

Yup, sekian ngocehnya nanti lanjut lagi.

Menu utama sebentar lagi.

Iykwm 🥺

Ukey, see you on next chapter~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro