Karena Kamu
Setelah para anak kelas satu dan senior di klub voli saling memperkenalkan diri, aktivitas klub pun di mulai.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat.
Begitu waktu mendekati jam malam, dan semua anak mulai beristirahat sembari bersiap pulang...
"Hey, uhh, Akashi-kun?"
Pemuda dengan iris emas itu mendekat.
Akaashi yang sedang mengepel menoleh dan meralat seniornya.
"Akaashi."
Dengan wajah datar, Akaashi mengingat nama si remaja.
Bokuto Koutarou.
Tentu, karena dialah salah satu alasan Akaashi memilih untuk melanjutkan sekolah di sini.
Fukurodani Gakuen.
"Bisakah kamu membantuku latihan memukul sebentar?"
Pinta Bokuto, dan seorang senior berambut coklat keemasan melihat hal tersebut.
Tak habis pikir dengan Bokuto yang masih ingin bermain voli setelah berjam-jam latihan bersama.
Akaashi hanya mengiyakan, dan iya tidak menyangka... latihan yang dikatakan sebentar menguras seluruh energinya yang sudah sedikit.
Akaashi sudah lupa berapa banyak ia melempar umpan dan mengayunkan tangannya ke udara, tuk membantu sang senior berlatih.
Puluhan bola yang tadinya rapi, kini berhamburan di pinggir lapangan.
"...Nice Kill..."
Lirih Akaashi sembari membungkuk dan mengatur nafasnya.
"Akashi!" Seru Bokuto.
"Akaashi..." Ralatnya lagi.
"Lemparanmu yang terbaik!"
Dengan senyum secerah mentari, Akaashi tertegun melihatnya.
Dibalik diam, Akaashi sangat senang karena dipuji secara langsung oleh seseorang.
Terutama dari seseorang yang ia kagumi.
Perlahan suhu tubuh Akaashi semakin meningkat, sensasi panas itu mencekiknya.
"Eh? Akas-huh?"
Semerbak aroma manis menusuk hidung Bokuto, aroma itu terasa familiar.
Entah di mana, Bokuto ingat ia pernah mencium aroma ini.
Aroma yang menggelitik sisi buas yang bersemayam dalam dirinya.
BRUK!
"Akashi!"
Bokuto mengabaikan aroma itu dan berlari mendekat saat Akaashi tersungkur di lantai.
Alisnya mengerut, aroma itu semakin tajam... Sumbernya berasal dari...
"Akaa-shi..."
Akaashi masih meralat Bokuto, meski kondisinya saat ini mengancam dirinya.
"Tubuhmu-Akaashi kau...?!"
Bokuto terkejut dengan suhu tubuh Akaashi yang tinggi.
Sekujur tubuh yang di banjiri oleh keringat, wajah kecil yang memerah, dan iris zamrudnya yang berkaca-kaca.
Bokuto tidak pernah melihat seseorang mendapati heat di depannya selain keluarganya...
Apa lagi mengurus orang yang sedang dalam keadaan heat.
Entah kenapa, pemandangan yang Bokuto lihat terasa... menggiurkan.
Di sisi lain, Akaashi meremas kaos yang ia kenakan.
Dadanya terasa sesak, perutnya seakan dicabik, dan kepalanya seakan di pukul oleh palu.
Berbeda dengan Bokuto, ia berulang kali meneguk ludahnya.
Ia bahkan dapat merasakan benda di antara kedua kakinya mulai mengeras.
Tapi...
"Kamu membawa obatmu?"
Meski saat ini selangkangannya menjadi aktif karena aroma seduktif, Bokuto masih mencoba berpikir waras.
"Di loker..."
Dengan air liur yang tidak dapat dibendung, Bokuto mengangkat Akaashi dalam gendongannya.
Menelusupkan kedua tangannya diantara ketiak dan lipatan kaki Akaashi, merapatkan tubuh kecil Akaashi ke dadanya.
Akaashi reflek mengalungkan lengannya ke leher Bokuto, Bokuto dapat merasakan lehernya terbakar saat Akaashi menyentuhnya.
Panas tubuh Akaashi tidak wajar.
"Senpai..." Lirih Akaashi pelan.
"Sebentar lagi, bertahanlah."
Bokuto mempercepat larinya, jika ia tidak cepat...
Ia takut tidak bisa mempertahankan akal sehatnya lagi.
BRAAAK!!!
Dengan sekali tendang, Bokuto membuka paksa pintu ruang ganti mereka.
"Loker.. Hh-yang-ngh..."
Akaashi tidak bisa melanjutkan kalimatnya, tenggorokannya terasa terbakar.
Sebagai gantinya, dengan lemah Akaashi menunjuk sebuah loker di ruangan itu.
Setelah menurunkan Akaashi dari gendongannya, Bokuto membaringkan Akaashi di atas kursi panjang yang berada di tengah ruangan itu.
Bokuto setengah berlari ke arah loker yang di maksud, mengobrak-abrik benda yang dapat sekiranya dapat menenangkan Akaashi.
Sebuah botol kaca dengan pil berwarna biru dalam genggamannya.
Bokuto bergegas mendekati Akaashi dengan menunjukkan botol obat yang ia temukan.
"Yang ini?"
Akaashi hanya mengangguk lemah dengan mata setengah terpejam, Bokuto girang karena berhasil menemukan obat untuk Akaashi.
Hanya saja...
"Kaashi-"
Bokuto merutuki dirinya, tidak ada air minum diruangan itu. Dan ia ingat, bahwa botol air terakhir berada di Gym.
"Aku akan mengambil air minum, bertahanlah sebenta-"
"Tidak!"
Rengek Akaashi dan mencengkram celana Bokuto yang berhasil ia raih.
Bokuto yang melihat kondisi Akaash yang semakin memburuk, ia mulai memutar otak.
Bokuto mendekati dan duduk di samping Akaashi, membantu Akaashi menegakkan tubuhnya.
Bokuto melipat kakinya, lalu menahan punggung Akaashi dengan pahanya. Serta memegangi leher Akaashi agar wajah pemuda berambut hitam itu menghadap ke atas.
Leher kecil itu seakan membakar telapak tangan Bokuto.
"Uuh... Boku...to... Ngh-pai.."
Bokuto membuka tutup botol, lalu memasukkan beberapa pil obat ke dalam mulutnya.
Ia menarik dagu Akaashi, menyentuh bibir berwarna pink itu, dan membuat celah di antara dua bibir dengan ibu jarinya.
"Kamu boleh menghajarku setelah ini."
"Umph?!"
Akaashi tersentak, iris zamrud itu membelalak terkejut.
"Mmh! Mmngh! Ngh-!"
Bibir Bokuto menciumnya dengan lembut, sebuah benda lunak yang basah juga menelusup masuk dan mencumbu lidahnya.
Akaashi meremas kuat kaos di dada Bokuto hingga membuatnya kusut, sedangkan Bokuto masih menahan tubuh Akaashi agar tidak terjatuh.
"Nghh..."
Akaashi mengerang saat tangan Bokuto mempererat dekapannya, benang saliva menetes dari sudut bibir Akaashi.
Akaashi yang tidak pernah berciuman dengan seseorang tentu kebingungan, ia tidak mengerti.
Ia hanya mengikuti permainan yang dilakukan oleh Bokuto.
Dirasa cukup, Bokuto melanjutkan hal yang seharusnya dilakukan.
"Guh? Umph-"
Tubuh Akaashi bergetar saat Bokuto mendorong beberapa pil obat ke dalam mulutnya, rasa manis bercampur pahit itu melesak masuk menyapa lidah Akaashi.
Akaashi yang melemah hanya bisa pasrah, ia menegak pil yang diberikan Bokuto.
"Gulp."
Pil itu berhasil ditelan Akaashi.
"Hhh... Hhh..."
Bokuto melepas pagutannya, meski ada sepercik rasa penolakan muncul.
Ia tetap melepas bibir mungil itu. Membuat seutas benang saliva tercipta.
Akaashi mengatur nafasnya, matanya setengah terbuka. Wajahnya merah padam, bibirnya bengkak dan memerah itu masih terbuka.
Bersamaan dengan benang-benang saliva yang menjuntai, Akaashi meraup oksigen dengan rakus.
"....."
Akaashi yang kembali normal, mengelap bibirnya yang basah.
"Kaashi? Kamu masih sakit?"
"Aku... Sudah mendingan, terimakasih S-senpai..."
Bokuto mengernyit dengan alis terangkat, menatap juniornya yang menutup wajahnya.
"Apa ini karena kamu kelelahan?"
"S-sepertinya."
Akaashi masih menutup wajahnya yang seperti kepiting rebus.
Saat ini, ketika akal sehatnya kembali...
Akaashi sedang dimandikan hujaman panah rasa malu.
"Bokuto senpai meminumkan obatku dengan air liurnya..."
"Bokuto senpai meminumkan obatku dengan air liurnya..."
"Bokuto senpai meminumkan obatku dengan air liurnya..."
Wajah Akaashi semakin memanas, kalimat itu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.
Bokuto yang melihat Akaashi seperti itu, mengerutkan wajahnya.
Dengan paksa, ia menjauhkan tangan Akaashi. Membuat wajah mereka berhadapan.
"Ah!"
Air matanya berlinang, Akaashi semakin tenggelam dalam rasa malu.
Tak kuasa ditatap dengan tajam oleh sepasang iris emas, ia hanya bisa menunduk dengan wajah memerah.
"K-kenapa?"
"Sebentar, aku ingat kamu... Waktu musim gugur kemarin--"
"Tolong jangan diingat..."
Iris emas itu membesar tak percaya.
"Eh? Kamu orangnya? Ohh, pantas saja aromanya familiar."
"I-itu heat... pertamaku..."
Bokuto terpaku.
"Tunggu jangan bilang kau..."
Akaashi terkejut, ia mendongak dan menatap seniornya.
Tidak, tidak, tidak, ini terlalu cepat jika Bokuto tahu...
"Ini juga ciuman pertamamu?!"
Akaashi mematung.
"Katakan!" Tuntut Bokuto.
"Err.. ya?"
Bokuto melepas dekapannya, lalu duduk di lantai.
"Bokut-"
"TERIMAKASIH BANYAK UNTUK
FIRST KISS NYA!!!"
Bokuto melakukan Dogeza, Akaashi kembali bersemu.
"S-seharusnya aku yang berterimakasih-uh?"
"Kaashi?"
Bokuto yang heran karena Akaashi kembali diam mengangkat wajahnya, ia mendapati Akaashi kembali bersemu merah.
Bahkan lebih merah dari sebelumnya.
Sambil merapatkan kedua kakinya.
"Sakit dibagian ini ya?"
"Wuaaah?!"
Akaashi menjerit saat Bokuto dengan mudah membuka lebar kedua kakinya, memperlihatkan selangkangannya yang menonjol.
Celana yang Akaashi kenakan basah, dan cairan bening mengalir keluar dari celah celananya.
Bokuto meneguk liurnya, ia mendorong Akaashi hingga telentang di bawahnya.
Akaashi yang merasa ada yang berubah dari Bokuto mulai ketakutan, ia menahan dada Bokuto yang semakin turun mendekatinya.
"B-bokuto-san!"
Akaashi memekik saat salah satu tangan Bokuto menelusup ke dalam celananya yang basah, dan menyibak kaos yang Akaashi kenakan.
"Ah?!"
Bokuto kembali sadar, wajahnya ikut memerah saat melihat di mana tangannya mendarat.
Sedangkan Akaashi, ia telentang di bawah kukungan sang senior. Sambil memperlihatkan kulitnya yang tak sengaja terbuka.
"M-maaf..."
"Tidak apa..."
Keduanya menjauhkan tubuh dengan canggung.
"K-kamu bawa baju ganti?" Bokuto mencoba bersikap normal.
"Seragam tadi pagi-"
Akaashi mendapati selembar kaos dan celana training dilemparkan padanya, pakaian itu berasal dari Bokuto.
"Senpai?"
"Kamu bisa mengembalikannya nanti."
Sekali lagi wajah Akaashi terasa memanas.
"Terimakasih..."
"T-tentu, sehabis aku membersihkan lapangan kita akan pulang oke?"
"Ah, biar aku bant-!?"
Akaashi mematung, matanya tertuju pada sesuatu yang menonjol di antara selangkangan Bokuto.
Bokuto yang menyadari Akaashi melihat bagian selatan tubuhnya juga ikut memerah.
"A-aku ke toilet dulu."
"Tunggu!!!" Cegat Akaashi lagi.
Bokuto yang bersemu keheranan, ia menatap balik Akaashi yang juga bersemu.
"I-ini salahku Bokuto-san jadi... akan ku bantu."
"Eh???"
Keduanya membisu.
Akaashi merutuki mulutnya, wajahnya semakin panas meski saat ini pengaruh obat mulai bekerja.
Bisa-bisanya ia menawarkan diri untuk...
Senpainya mungkin akan berpikir Akaashi itu menjijikan...
Jika seperti itu ia akan dibenci-
"Kamu mau melakukannya bersama?"
"Eh?"
Bokuto perlahan mendekat, dan mempersempit jarak di antara mereka.
Dalam sekejap, Bokuto menarik lepas celana yang dikenakan Akaashi.
Lalu merentangkan kedua kaki Akaashi di sisi tubuhnya, membuat Akaashi membuka kakinya lebar di depan Bokuto.
Akaashi mencoba menarik kaos yang ia kenakan turun, mencoba menutupi selangkangannya yang terekspos.
Namun, dengan mudah Bokuto menjauhkan tangannya. Akaashi berjengit saat miliknya disentuh Bokuto.
"Reaksi obatnya lambat ya? Kau masih keras."
"Ah! Ngh-"
Bokuto menggenggam kejantanan berwarna pink itu, cairan bening mengalir keluar semakin banyak.
"Kamu benar-benar sensitif ya?"
Akaashi menggigit bibirnya saat tahu bahwa Bokuto sejak tadi menatapnya, ia terlihat seperti kelinci yang terperangkap dalam jebakan serigala, terpojok.
Kali ini, Akaashi meneguk ludahnya gusar. Ia melihat Bokuto menelusupkan tangannya sendiri ke dalam celananya...
"Huff... Kalau begini jadi lebih lega, terjepit seperti tadi sangat tidak nyaman."
Bokuto mengeluarkan miliknya, di mana benda tersebut sangat berbeda dengan milik Akaashi.
Milik Bokuto terlihat sangat maskulin, dengan urat-urat tebal yang menonjol dengan ukuran yang lebih besar.
Cairan bening yang sama seperti milik Akaashi juga membasahi Bokuto, perlahan menetes dari pucuknya.
Akaashi hanya bisa terpaku melihat milik Bokuto yang terlihat sangat dewasa, berbeda dengan miliknya yang terlihat... menggemaskan.
"Hauh!?"
Akaashi tidak bisa melawan saat Bokuto menempelkan milik mereka berdua, menggeseknya secara bersamaan.
"Mngh-Bokuto-senpa-Nnhh!"
Akaashi menggeliat, tangannya ditarik dan dibuat menggenggam sepasang kejantanan yang mengeras.
"Bukankah ku bilang kita melakukannya bersama?" Bokuto dengan wajah bersemu memajukan bibirnya.
Akaashi hanya mengangguk mengiyakan, dengan gugup ia meremas keduanya secara bersamaan.
Tangan Akaashi tidak muat untuk menggenggam keduanya.
Milik Bokuto terlalu... tebal.
"Ya, begitu-"
"Hii-Ah! Ngh!"
Bokuto bergabung, keduanya secara perlahan mengocok penis yang berdempetan itu. Saling merasakan sensasi nikmat yang menjalar.
"Ahn-s-senpai-"
Bokuto meneguk ludahnya, ia yakin saat ini Akaashi terlihat seperti orang lain yang tidak pernah ia temui.
Wajah Akaashi terlalu menggoda, membuat Bokuto ingin lebih.
"Kaashi-"
"Ngah! Naaah!!"
Bokuto mempercepat tempo, membuat Akaashi lebih dulu mencapai hasratnya.
"H-henti-ngh-!?"
Akaashi mencoba menghentikan Bokuto yang masih mengocok milik mereka dibawah sana, namun bibirnya dibungkam oleh Bokuto.
Sambil menahan tengkuk leher Akaashi, Bokuto menelusupkan lidahnya lagi dan mencumbu Akaashi.
"Ngh♥ Sto-mh♥"
Akaashi dibuat mabuk, sensasi yang menyerang otaknya membuat Akaashi meleleh!
Hingga paru-paru meminta pasokan oksigen, dengan terpaksa Bokuto melepas pagutannya. Menatap Akaashi yang masih gemetar dengan rasa nikmat di tubuhnya.
"Ah♥ Ahh♥"
Akaashi sekali lagi menyemburkan hasratnya, diiringi dengan Bokuto. Cairan kental itu mengenai pakaian yang mereka kenakan, sebagian mengenai kursi yang mereka duduki.
Setelah merasa puas, keduanya saling pandang dengan nafas memburu.
BRUUUK!!!
"Kaashii?!"
Bokuto terkejut saat Akaashi tiba-tiba limbung ke belakang, beruntung Akaashi hanya menjatuhkan tubuhnya karena kehilangan tenaga.
Bokuto lagi-lagi meneguk ludah dengan pemandangan yang ia lihat.
Wajah Akaashi sangat merah, matanya berair, bibirnya bengkak dengan benang saliva berhamburan.
Akaashi telentang dengan kaos tersingkap tinggi, hingga memperlihatkan pucuk dadanya yang menegang. Kaki yang terbuka lebar dengan selangkangan yang dipenuhi cairan lengket.
Bokuto seakan baru saja memperkosa Akaashi.
"Huh?!"
Tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan, dengan panik ia mencoba membangunkan Akaashi.
"Akaashii?! O-oy? Akaashi-kun! Akaashi-kun!"
Akaashi awalnya hanya menatap Bokuto.
"Dia mengucapkan namaku..."
"Akaashi?! Kamu baik-baik saja?!"
Orang yang ditanya hanya mengacungkan jempolnya dengan lemah, dan tak berapa lama...
Ding-
"Akaashiiiiii??!"
Sang kouhai jatuh tak sadarkan diri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro