Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🎉🌏🎊

"Bayinya kembar."

Akaashi melotot ke arah hasil USG di depannya.

Benar-benar ada 2 sosok bayi dalam perutnya.

"Ups---"

Akaashi mendelik ke arah Bokuto, dengan cengiran lebar dan melet lidah.

Tanduk imajiner muncul dari kening Akaashi.

"KOU-TA-ROU---"

Bokuto menciut.

"A-aku tidak tahu jika mereka
benar-benar akan menjadi kembar!"

Akaashi masih menatapnya dalam diam.

"Sungguh!"

Akaashi menghela nafas, marah pada Bokuto pun tidak akan menyelesaikan masalah.

Masalah? Tentu mengasuh tiga bayi sekaligus dalam satu waktu adalah suatu masalah bagi Akaashi--termasuk suaminya, Big Baby.

"3 Minggu yang lalu hanya
ada 1 bayi, bagaimana bisa?"

Dokter Kandungan itu mengangkat alisnya, melirik ke arah Bokuto yang cengengesan.

"Suami anda sudah
tahu jawabannya."

Akaashi mendelik dengan ekspresi horor.

"Aku hanya menelan,
bagaimana mungkin..."

Sadar akan suatu hal, Akaashi menutup mulut dengan tangannya.

Air matanya menggenang.

"Kamu bohong
kalau pakai kondom!"

JDEEEE~R!!!

Pas sekali hari mendung dan tengah ada petir menyambar, membangun suasana.

Bokuto menggeleng, ia tidak akan mungkin berbohong pada burung hantu mungil kesayangannya.

Bokuto hanya...

"Kadang aku... lupa." 👉🏻👈🏻🥺

Memelas dan meminta belas kasih.

Akaashi menggeram, kesal, ia sangat kesal.

Ia kadang tak memperhatikan Bokuto suka lupa memakai kondom jika diminta, dan bagaimana Akaashi tidak sadar saat suami bodohnya ini menyemprot prostatnya?

Sudahlah, kadang kalau sudah di atas ranjang Akaashi juga lupa dunia.

Akaashi juga tidak mungkin melakukan hal aneh dengan kandungannya yang dalam waktu dekat akan keluar.

Dan percakapan di rumah sakit itu terus terbayang dalam kepala Akaashi.

"Ji, ngapain bengong?"

Tersadar ia sedang melamun, Akaashi kembali bersikap biasa.

"Umh... tidak..."

"Mau tidur?"

Saat ini keduanya berada di kasur, hanya berbaring dan melakukan hal yang mereka sukai. Akaashi dengan novel horornya, dan Bokuto dengan gadgetnya memainkan game online.

"Sebentar lagi setelah aku..."

"Ohh, tunggu."

Bokuto menahan Akaashi agar tidak beranjak dari kasur, ia menggeledah laci di dekatnya. Lalu mengambil sebotol cairan yang berisi campuran minyak zaitun, minyak dari biji bunga matahari, dan minyak kelapa.

Di sisi lain, Akaashi membuka kancing piyamanya, membuka pakaiannya. Setiap malam sebelum tidur, Akaashi akan memijat kedua payudaranya yang mulai berkembang semenjak ia hamil.

Menyiapkan ASI untuk bayinya nanti.

Mereka tidak terlalu besar, memang tidak seperti payudara wanita. Namun cukup untuk menggoda nafsu Bokuto.

Payudara mungil itu menyerupai otot dada yang padat, tapi lebih lembut dan lunak untuk disentuh. Puting tenggelam dengan areola gelap berbentuk seperti bibir seksi yang menonjol.

Payudara Akaashi terlihat begitu menggemaskan.

Iris emas itu menatap cukup lama ke arah sana, dan itu membuat Akaashi tidak nyaman dengan wajah memerah. Meski Bokuto sudah sering melihat tubuhnya, Akaashi masih merasa malu.

"Aku sering melihatmu melakukannya dan itu cukup seksi kau tahu?" Ucap Bokuto yang membaca gestur tidak nyaman dari Akaashi.

"Aku bernafas pun terlihat seksi untukmu."

Tawa Bokuto pecah, tapi itu memang benar adanya.

Apapun yang Akaashi lakukan terkesan seksi atau menggemaskan bagi Bokuto.

"Kamu ngapain?"

Bokuto menuangkan minyak pada salah satu telapak tangannya.

"Membantumu memijat mereka?"

Dan Akaashi tahu Bokuto takkan menerima kalimat penolakan.

"Baiklah, pertama usapkan minyak itu di telapak tanganmu..."

Bokuto mengikuti intruksi Akaashi dan mengusap telapak tangannya.

"Lalu usapkan dari p-puting..."

Bokuto mengusapkan minyak pada kedua puting Akaashi, lebih tepatnya areola. Lalu disekitar payudara Akaashi, memijat dengan jari jemari kasar.

"P-pegang ujung areolaku dengan jempol dan telunjukmu..."

"Areola?"

Akaashi menunjuk bagian dadanya yang melingkar dan berwarna lebih gelap.

Bokuto memegang payudara Akaashi tepat di ujung areola dengan jempol dan telunjuk. Lalu memberikan pijatan lembut ke arah puting Akaashi.

Di sini, sekuat tenaga Akaashi menahan dirinya untuk tidak mendesah.

Rasanya berbeda ketika ia melakukannya sendiri, ketika Bokuto yang melakukan pijatan untuknya terasa... menggairahkan.

"O-ohh? Mereka mulai menyembul!"

Akaashi menunduk melihat ke arah putingnya yang mulai keluar, bersandar pada bantal dan bedhead.

"Apakah ini saatnya Pinch-test?"

"P-pinch apa?"

"Putingmu di dalam kan? Aku pernah bertanya pada kakaku soal itu, katanya harus dicubit untuk merangsangnya keluar."

Beruntung salah satu kakak Bokuto seorang perawat, dengan begitu Bokuto cukup tahu mengenai pijatan ini meski sedikit.

"T-tapi itu jika bayinya sudah keluar--"

"Tidak ada salahnya kita mencoba, selama ini putingmu memang susah muncul kan?"

Akaashi kehabisan kata-kata, rintihan keluar dari bibirnya saat Bokuto memencet dadanya.

"Angh~ ah~ ahh~~"

Bokuto meneguk ludah, ekspresi Akaashi terlihat menggiurkan. Mata berair, saliva menetes, rona merah, nafas tersengal... dan semua itu disebabkan putingnya tengah dicubit!

"Gemes..."

Bokuto terus memberikan pijatan pada puting Akaashi, semakin lama selangkangannya membentuk tenda karena mengeras. Entah karena ia terpancing melihat Akaashi yang begitu menggoda atau karena sensasi memanjakan payudara istrinya.

Remas, pijat, cubit, hisap, colek.

Perlahan-lahan putingnya menyembul setelah Bokuto memberikan hisapan terakhir dengan bunyi Plop! yang nakal.

"Lihat? Putingmu akhirnya keluar Ji."

Bokuto menatap puas pada hasil kerjanya, menatap payudara Akaashi yang mengkilap dengan puting menegak.

"Haa--haa--" Akaashi masih mengatur nafas, sama sekali tidak mengatakan apapun.

Bokuto kembali memijat payudara Akaashi dari daerah puting dengan memberikan gerakan lembut dan halus, setiap tekanan yang diberikan akan memperlancar aliran darah pembuluh limfatik.

Dengan gerakan meremas seperti gerakan mengangkat dan menekan.

Secara perlahan-lahan Bokuto memijat payudara Akaashi ke arah jarum jam dan berlawanan jarum jam, tapi tidak menekan terlalu keras karena tekanan berlebih bisa merusak jaringan kelenjar.

Setelah hampir selama 10 menit Bokuto memberikan pijatan pada Akaashi...

"Bagaimana Ji?"

Akaashi terkulai lemah, nafasnya tersengal.

"Berhenti... aku tidak kuat lagi..."

"Eh? Kenap--" Ada aroma manis dari Akaashi.

Omega cantiknya terangsang dari pijatan yang ia berikan.

Dan itu membuat Bokuto lepas kontrol.

"K-kou--" Akaashi mencoba menjauhkan kepala Bokuto yang mendekat, tapi ia tidak punya tenaga untuk menggerakkan tangannya.

Kini, Bokuto berhadapan dengan kedua payudara Akaashi lagi.

"Memikirkan jika sebentar lagi bayi kita akan mengeksploitasimu sendirian, ku rasa aku harus memberi tanda bahwa kamu milikku."

Meski terdengar bodoh, Akaashi mengerti maksud Bokuto.

Akaashi akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bayi mereka dibandingkan bersama Bokuto.

"Aaa~aaah♡♡"

Akaashi meremas sprei saat bibir Bokuto mengecup salah satu putingnya. Sementara putingnya yang lain tengah dipilin Bokuto. Dengan gerakan yang lembut, membuat Akaashi semakin terbakar oleh nafsunya sendiri.

Bokuto dengan sengaja menyedot puting Akaashi, lalu memberikan gigitan kecil, menyusu layaknya bayi.

"Hiiii--aaagh~"

Akaashi memekik saat putingnya digigit, dan putingnya yang lain dicubit.

Membuat cairan keruh memercik keluar dari bagian yang Bokuto cubit.

"J-jangan~"

Rengek Akaashi sambil terisak, Bokuto menjilat cairan yang mengalir dari kedua puting Akaashi bergantian.

Melihat istrinya begitu menggemaskan membuat penisnya yang masih terbungkus berdenyut, berkedut dengan semangat.

"Haa--!!"

Akaashi tercekat saat bagian bawahnya disentuh, entah sejak kapan celana dalam yang ia kenakan pergi dan berganti dengan tangan Bokuto menangkup bijinya.

"Kou~♡" Air mata Akaashi semakin mengalir.

Desahan Akaashi mengalun dengan indah di telinga Bokuto, membuatnya semakin ingin menyentuh Akaashi.

Dengan bibir yang terus memanjakan puting Akaashi, tangan Bokuto juga membelai Akaashi di daerah bawah.

Mengocok penis yang mengeluarkan precum, lalu mengocok hole Akaashi hingga menimbulkan decak basah.

"B-berhentiii~" Rengek Akaashi memohon.

Ia bahkan menjambak surai Bokuto yang masih menyusu di payudaranya, dan Bokuto sama sekali tidak mau melepaskan puting dalam mulutnya.

Malah semakin mengerjai tubuh Akaashi.

Menyedot puting dan mengocok hole basah dengan 3 jari. Akaashi membenamkan kepalanya pada bantal, hampir mencapai puncak.

Erangannya semakin menjadi, dengan tubuh yang mengejang, Akaashi mencapai puncak hasratnya.

"Koutarou~❤" Jerit Akaashi.

Nafa tersengal, jari kaki melengkung, tubuh yang berkeringat banyak.

Dan Bokuto masih belum mau berhenti.

"Kou, ku mohon--"

Tubuh Akaashi yang sensitif itu masih mendapat stimulus yang sama, membuatnya hampir menangis dengan rasa nikmat yang menyerang.

Hingga Bokuto mencabut jarinya keluar dan berhenti untuk menyusu, membuat Akaashi bernafas lega.

Untuk sejenak.

"Maaf, Ji, kamu ga papa?"

Bokuto meraih wajah Akaashi yang terengah-engah, dengan tangan yang tadinya mengocok bagian bawah Akaashi.

Membuat wajah Akaashi kotor dengan cairannya sendiri.

"Mm~ aku tidak apa..."

Bokuto menghela nafas lega.

"Kamu terlalu imut, aku ga tahan~"

Akaashi berjengit, kali ini tangan Bokuto berada di kejantanannya yang layu.

Mengocok dan memilin kepala penisnya.

"Aaangh~ stop--"

"Ops--" Kali ini Bokuto benar-benar berhenti.

Bokuto sulit mengendalikan dirinya saat melihat Akaashi memasang ekspresi menggoda, tangannya kini mencubit-cubit pipi Akaashi dengan gemas.

Saat Akaashi menggeser kakinya, ia merasa kasurnya seperti spon cuci piring.

"Kou, kasurnya jadi basah?"

Sprei di bawah mereka terlihat basah, seakan seseorang menyiramkan air di atasnya.

"Ji, kamu ngompol?"

"Yang benar saja??!" Sangkal Akaashi dengan wajah yang kembali memerah.

Bokuto menyentuh sprei yang basah, mengecek cairan apa yang ia sentuh.

"Ga bau, bukan pipis."

Meski Akaashi kesal dituduh ngompol, ia bernafas lega karena itu memang bukan air kencingnya.

Kalau begitu apa?

"Aaagh?!" Akaashi memekik dan mencengkram lengan Bokuto.

Nafasnya kembali berat, air mata Akaashi kembali menggenang.

Kedua kakinya terbuka lebar, bergerak gelisah.

"I-i want cum--"

"What? Wait, let me fingering you again."

Bokuto kembali menelusupkan jarinya pada hole Akaashi yang basah, menggerakkan jarinya keluar masuk.

Akaashi mengerang, menggeram kesal. Karena bukan itu yang ia maksud!

"Noo--"

Akaashi menahan lengan Bokuto, menatap iris emas yang kebingungan.

"I mean the baby--"

Seakan tersambar petir, Bokuto segera meraih telfonnya.

"AMBULAAAANCE!!!"
.
.
.
"Tarik nafas, tahan, hembuskan, ulangi."

Intruksi Bokuto Nee-chan sambil menjauhkan suntikan yang tadinya berisi obat bius.

Akaashi kini berada di atas ranjang pasien, di ruang bersalin.

Dengan kain hijau yang menutupi pandangan dari perutnya sendiri.

Ia sedang melahirkan.

"Keijiiiii~" Rengek Bokuto yang berada tepat di sampingnya, berlinang air mata.

"Tenanglah Kou, tarik nafas."

Sebenarnya Akaashi mati rasa, tubuhnya sudah dibius, dan Bokuto terlihat lebih panik dibandingkan dirinya.

Dengan tangan yang saling menggenggam, Akaashi bisa merasakan Bokuto gemetar.

Setelah dilarikan ke rumah sakit dan dibawa ke ruang bersalin, Akaashi menjalani beberapa proses panjang untuk melahirkan anaknya.

Bersama Bokuto yang berada di sisinya.

Meski terdengar konyol, selama proses bersalin, Akaashi mencoba menenangkam Bokuto yang menangis.

Akaashi memang tidak bisa melihat dengan jelas, apa lagi ada kain yang menghalangi perutnya.

Berbeda dengan Bokuto yang menyaksikan dari awal perut Akaashi dibelah, penampakan bayi merah, percikan darah, dan Akaashi yang masih bicara tenang meski ususnya terbuka.

Andai Bokuto bisa pingsan, ia akan melakukannya. Sayangnya tidak, ia tidak mau meninggalkan Akaashi.

"Operasi ceasernya berhasil, sulit untuk seorang Omega pria melahirkan dengan normal kau tahu?" Jelas Dokter aka Bidan.

"B-bagaimana bayinya?" Tanya Akaashi.

Wajah Bokuto menegang, melihat itu Akaashi menjadi bingung.

"Bayinya hanya satu..."

Akaashi memucat.

"A-apa? Bukankah katamu operasinya berjalan dengan baik?"

Air mata Akaashi menggenang, cengkramannya pada tangan Bokuto melemah.

"Dokter! Tekanan jantungnya melemah!"

"Tidak! Ji! Bertahanlah!"

Kesadaran Akaashi perlahan menghilang, seiring dengan isak tangis Bokuto yang semakin kencang.

Andai Akaashi bisa menggerakkan tangannya, ia akan mengusap jejak basah yang keluar dari mata Bokuto.

Ia merasa sangat lelah.

Sejenak memejamkan mata sepertinya tidak apa pikir Akaashi.

.
.
.

"Bayinya!"

Akaashi memekik begitu terbangun, membuat Bokuto yang berada di sampingnya terkejut.

"Kou! Bagaimana bayinya?"

Bokuto mencoba menenangkan Akaashi agar dia tidak meloncat dari ranjangnya.

Menahan Akaashi dengan memeluknya.

"Hati-hati Ji, nanti lukanya terbuka lagi--"

"Tapi bayiku--" Akaashi meraung.

"Tenanglah Ji, bayinya aman."

Akaashi terdiam.

"Sungguh?"

Bokuto mengangguk, dan Akaashi bernafas lega, ia berhenti berontak.

Jika Bokuto tidak menghentikannya, ia takut Akaashi akan menyusuri lorong rumah sakit dengan usus yang terburai sambil menyeret tabung infus.

Kini, Akaashi kembali berbaring. Mengingat beberapa saat yang lalu tubuhnya disayat dua, luka sehabis operasi tentu belum sembuh dengan benar.

"T-tapi katanya hanya ada satu?"

Bokuto mengangguk mengiyakan, dengan wajah polosnya.

Akaashi menggembungkan pipinya, matanya kembali berair.

"Satu bayi yang saaaaaangat montok."

Akaashi mengerjap tidak mengerti.

"Hasil scan bulan lalu memang mengatakan kita punya dua bayi, tapi nyatanya tidak Ji."

"Kita tidak punya dua bayi?"

"Yah, dia hanya... terlalu gendut."

Gendut.

Kini, Akaashi tersenyum lebar dan itu membuat Bokuto cemberut.

Pasalnya, dulu Bokuto merupakan bayi besar dengan berat 5.9 kg. Meski pun saat dewasa dia masih menjadi bayi.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan."

"Oya?" Tantang Bokuto.

"Dia memang anakmu Kou."

Tawa Akaashi membahana saat melihat Bokuto cemberut tidak terima.

"Ohh, Keiji sudah sadar?" Bokuto Nee-chan memasuki ruang kamar.

Beriringan dengan kedua orang tua Akaashi, dan ibu Bokuto, serta seorang bayi dalam gendongan Nyonya Akaashi.

Iris zamrud Akaashi berbinar cerah, rona bahagia merebak.

"A-apa dia..."

Semua orang tersenyum dan mengangguk.

"Selamat Ji, kamu sudah menjadi seorang ibu."

Bayi itu kini dalam gendongan Akaashi, terlelap dalam balutan kain hangat.

Kulitnya masih memerah, terpejam dengan liur yang menetes.

Dan ukurannya cukup besar dari bayi pada umumnya dengan berat 5.8 kg dengan tinggi 51 cm.

"Aku... seorang ibu..."

Air mata Akaashi menetes, jatuh mengenai wajah si bayi.

"Uuu~ngh?"

Bayi dalam gendongan Akaashi menggeliat, kelopak matanya bergerak, perlahan terbuka.

Menampilkan iris dwi warna.

Mata kanannya memiliki warna yang sama seperti Bokuto, sedangkan yang kiri mirip seperti mata Akaashi.

"Ohhh, aku menjadi ayaaah!"

Bokuto menyedot ingus di samping Akaashi yang masih menimang bayinya.

"Kou..."

Akaashi semakin menangis, mendekap bayinya dengan haru.

Bokuto mendekat, mengusap wajah Akaashi yang basah.

"Terimakasih sudah menjadikanku seorang ayah, kamu ibu yang terhebat."

Ciuman di kening Akaashi, lalu di bibir.

Sekarang, anggota keluarga mereka bertambah satu.

*****

Author Note :

Sulit rasanya mempertahankan plot cerita tanpa memasukkan Akaashi yang mendesah.

Ku rasa sesi pijatan tadi cukup.

Kalian tahu? Aku buruk dengan judul.

Yah, setidaknya seperti kata pepatah "Jangan hanya melihat buku dari sampulnya."

:') ceritanya menarik ko walau judulnya kadang rada ga jelas/ketawa hambar.

Dan sebagian dialog sengaja ku jadikan Inggris karena kalau Indonesia kadang punch line nya ga dapet/jika kamu ngerti maksudku...

But, let me tell you...

Heterocromia itu cantik, jadi aku membuat gambaran anak mereka memiliki dua ciri khas BokuAka.

Iris emas dan iris zamrud.

Meski ku lihat di beberapa ilustrasi Akaashi memiliki warna mata yang berbeda-beda wkk.

Kayanya cukup, nanti kita lanjut~

See you on next chapter~ 🤤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro